Dinamika Peran dan Pengaruh Politik Gus Dur di PKB

PKB. 33 Gus Dur merasa bahwa dirinya telah dizalimi. Dan kini, proses itu sedang berjalan.

D. Dinamika Peran dan Pengaruh Politik Gus Dur di PKB

Kekuasaan dapat dilihat dari sumber-sumber yang melekat padanya. Konsepsi mengenai sumber kekuasaan yang telah diterima secara luas adalah dikotomi antara “position power” kekuasaan karena kedudukan dan ”personal power” Kekuasaan pribadi. Menurut konsep tersebut, kekuasaan sebagian diperoleh dari peluang yang melekat pada posisi seseorang dalam organisasi dan sebagian lagi disebabkan oleh atribut-atribut pemimpin tersebut serta dari hubungan pemimpin-pengikut. Termasuk dalam position power adalah kewenangan formal, kontrol terhadap sumber daya dan imbalan, kontrol terhadap hukuman, kontrol terhadap informasi, kontrol ekologis. Sedangkan personal power berasal dari keahlian dalam tugas, persahabatan, kesetiaan, kemampuan persuasif dan kharismatik dari seorang pemimpin Gary Yukl, 1996:167-175. Sejarah telah menunjukkan bahwa pemimpin yang mempunyai position power yang terlalu kuat cenderung menggunakannya untuk mendominasi dan mengeksploitasi pengikut. Sebaliknya, seorang pemimpin yang tidak mempunyai position power yang cukup akan mengalami kesukaran dalam mengembangkan kelompok yang berkinerja tinggi dalam organisasi. Sedangkan dalam personal power, seorang pemimpin yang mempunyai expert power atau daya tarik 33 “KPU Siap Layani Gugatan Gus Dur,” artikel diakses pada 16 April 2008 dari httpwww.detiknews.com kharismatik sering tergoda untuk bertindak dengan cara-cara yang pada akhirnya akan mengakibatkan kegagalan. 87 Perjalanan politik Abdurrahman wahid Gus Dur dalam membesarkan Partai Kebangkitan Bangsa PKB, sebagaimana yang telah dipaparkan, ternyata memiliki kedua sumber kekuasaan itu yaitu position power dan personal power. Gus Dur dengan “position Power” yang ia peroleh dari posisinya sebagai ketua Dewan Syuro di PKB, memiliki konsekuensi positif dan sekaligus negatif. Dikatakan positif, karena dengan kewenangan yang begitu luas yang diberikan partai terhadap posisi seorang Dewan Syura ternyata berimplikasi terhadap kekeluasaan Gus Dur dalam melakukan manuver dan komunikasi politiknya secara efektif, bebas, dan tidak terikat. Dengan demikian keputusan dan kebijakan partai dapat diambil dengan cepat dan dapat dengan segera bisa langsung di implementasikan tanpa ada banyak halangan dan kesulitan. Hal inilah yang dapat menjadikan eksistensi dan pergaulan politik PKB di panggung politik nasional dapat berjalan cepat dan efektif. Dan adapun konsekuensi negatifnya adalah dengan kewenangan yang besar itu Gus Dur cenderung mempergunakannya sebagai alat untuk mendominasi dan mengeksploitasi pengikutnya. Sejarah mencatat bahwa dalam perjalanan politik PKB, masalah suksesi kepemimpinan selalu saja diwarnai oleh konflik yang berujung pada dualisme kepemimpinan, dari kasus Matori Abdul Djalil, Alwi Shihab dan terakhir dengan Muhaimin Iskandar. Di samping itu, pemecatan beberapa pengurus dan pembekuan kepengurusan di beberapa wilayah secara 87 Fuad Anwar, Melawan Gus Dur, Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004, h. 135 sepihak adalah bukti lain dari konsekuensi negatif itu. Semua ini bisa terjadi karena lebih disebabkan peran politik Gus Dur yang begitu besar, sehingga semua keputusan harus sesuai dengan keinginan dan hitungan-hitungan politiknya saja, tanpa mau mendengarkan masukan dan kritikan dari berbagai pihak. Ketokohan dan kharisma yang luar biasa, yang muncul dari dalam diri seorang Gus Dur adalah merupakan “personal power”. Hal ini yang ternyata mampu menjadi daya tarik yang luar biasa besar, paling tidak sejak PKB didirikan, Pemilu 1999, dan Pemilu 2004. Tidak heran jika kemudian PKB, walaupun merupakan salah satu partai baru yang berdiri sejak Reformasi 1998, menempati posisi ketiga dalam perolehan suara pada Pemilu 1999 dan 2004. sesuatu yang menakjubkan dan fenomenal. Hanya masalahnya pasca-Pemilu 2004 dan menjelang Pemilu 2009, peran dan pengaruh Gus Dur, yang besar itu, tiba-tiba merosot. Banyak kalangan elemen NU, baik yang berada di lingkungan PKB maupun yang berada di dalam NU sendiri melakukan perlawanan terhadap sikap politik dan keputusan-keputusan politik yang diambil Gus Dur. Kecenderungan adanya perlawanan terhadap sikap dan keputusan politik Gus Dur, dinilai KH. Yusuf Hasyim sebagai pertanda baik. Ia mengatakan bahwa, “dulu kalau Gus Dur punya kemauan tidak ada yang berani mengingatkan walaupun itu menyimpang.” Padahal menurut KH. Wahid Hasyim, “organisasi kalau ditentukan oleh hanya satu orang, ini tidak sehat.” Tetapi, sekarang Gus Dur sebagai penentu satu-satunya di PKB sudah mulai menyusut dan mulai digugat. 88 88 Fuad Anwar, Melawan Gus Dur, h. 139 Dari fenomena penolakan dan perlawanan elemen PKB terhadap sikap dan atau keputusan politik Gus Dur, dapat disimpulkan bahwa ada kemerosotan kewibawaan Gus Dur, hal ini dapat dipahami dari adanya kecendrungan semakin menipis dan melemahnya ketaatan warga PKB terhadap kepemimpinan Gus Dur, paling tidak mulai ada yang berani beda sikap dengan Gus Dur. Dalam kasus pemecatan Ketua Umum Dewan Tanfidz, Muhaimin Iskandar, yang telah menimbulkan dualisme kepemimpinan di internal PKB, ternyata membuat Gus Dur semakin terpojok dan ditinggalkan. Peran secara struktural yang selama ini menjadi bagian dari kekuatan kekuasaannya di PKB tidak mampu lagi ia kendalikan. Begitu juga pengaruh ketokohan dan kharisma Gus Dur, kini tidak sebesar dulu lagi. Terlepas dari dinamika merosotnya peran dan pengaruh Gus Dur di PKB, ia adalah sosok tokoh yang fenomenal. Membuang sama sekali sosok Gus Dur di PKB adalah merupakan dilema etis bagi PKB sendiri. Betapa tidak, walaupun secara struktural peran Gus Dur sudah terpojok dan pengaruhnya sudah mulai merosot, namun peristiwa ini masih saja meninggalkan kekhawatiran. PKB merasa khawatir jika Gus Dur benar-benar meninggalkan PKB dan kemudian pindah ke partai lain akan sangat berefek terhadap surutnya dukugan bagi PKB pada Pemilu 2009. Karena pada kenyataannya, Gus Dur oleh sebagian kalangan masih dipandang memiliki pengaruh yang sangat luar biasa besar dalam meraup simpati dan dukungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, sejak terjadinya konflik dualisme di internal PKB dimenangkan oleh kubu Muhaimin, banyak partai yang gencar melamar Gus Dur. Artinya, ia masih dipandang sebagai tokoh penting di panggung politik negeri ini. Kedua, walaupun kini ketokohan dan kharisma Gus Dur mulai merosot, namun harus diakui bahwa dukungan masyarakat fanatiknya masih begitu signifikan. Kedua hal inilah yang menyebabkan PKB pantas khawatir ditinggalkan Gus Dur. Disamping itu, Gus Dur masih dianggap sebagai jendela publik PKB. Jadi, jika tidak ada Gus Dur nantinya di PKB, tidak akan ada yang dapat menyaring berbagai bentuk persoalan dan masukan. Di sinilah signifikansi Gus Dur bagi PKB.

BAB V PENUTUP

Kesimpulan Luasnya dukungan yang diperoleh PKB dibandingkan dengan partai- partai lain, yang seusia dengannya, sangat dipengaruhi oleh “ketokohan dan kharisma” yang terdapat dalam diri Abdurrahman Wahid Gus Dur. Walaupun PKB merupakan salah satu partai baru di panggung politik nasional, ternyata mampu menjadi partai besar dan sangat diperhitungkan. Hal ini tentu tidak terlepas dari kemahiran dan kelihaian seorang Gus Dur dalam memainkan “position power” dan “personal power”-nya, sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Keterlibatan Gus Dur dalam dinamika perpolitikan Partai Kebangkitan Bangsa PKB sangat berpengaruh terhadap kebesaran eksistensi PKB di tengah- tengah dinamika politik nasional. Besarnya peran dan pengaruh Gus Dur di PKB sebagai kekuatan struktural position power dan kekuatan personal personal Power-nya adalah sebagai berikut. Pertama, Faktor Geneologis, bahwa Gus Dur merupakan keturunan “darah biru” para kiai besar pendiri NU. Kedua, Faktor Budaya Pesantren, yakni budaya patuh dan taat kepada kiai, yang selama ini dipegang oleh kaum santri warga Nahdiyyin sangat memberikan keuntungan tersendiri bagi Gus Dur karena ia adalah merupakan tokoh dan kiai besar. Ketiga, Faktor Intelektualitas, Gus Dur yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik, ternyata sangat