Latar Belakang dan Aktivitas Sosial Politik

Universitas Baghdad hampir tidak memperoleh pengakuan di Eropa, maka Gus Dur menghabiskan waktunya di Eropa tanpa menjalankan studi formal dan kembali ke Jawa, tahun 1971. 23 Gus Dur yang asli orang Jawa memang berwatak kalem. Di samping itu, Gus Dur punya kebiasaan mendengarkan musik klasik Beethoven, yang mungkin di kalangan para kiai termasuk hobi yang nyeleneh. Dalam segi perjuangan, Gus Dur menggunakan jalan kultural dengan semangat membumikan nilai-nilai Islam, karena dalam pandangan pemikirannya yang pokok untuk ditanamkan bukanlah simbol-simbol Islam melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika partai yang dideklarasikannya tidak berasaskan Islam melainkan Pancasila, karena Pancasila merupakan cerminan dari nilai-nilai keislaman. 24

B. Latar Belakang dan Aktivitas Sosial Politik

Sejak aktif sebagai mahasiswa di luar negeri, Gus Dur mulai aktif dalam aktifitas sosial dan politik. Sebagaimana diketahui bahwa Gus Dur sejak masa kecilnya adalah seorang anak yang hidup dalam sebuah lingkungan sosial religius sekaligus lingkungan sosial politik. Aktifitas sosial politik kakek dan ayahnya mau tidak mau turut membentuk cakrawala berpikir Gus Dur, bahkan secara sadar membentuk karakter serta menjadi fondasi bagi cita-cita Gus Dur di masa mendatang. 23 Barton, Biografi Gus Dur, h. 106-107. 24 Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur, h. 54. Di Kairo, walaupun Gus Dur gagal dalam pencapaian akademisinya, akan tetapi, di sinilah Gus Dur mulai aktif mengasah jiwa sosialnya dalam organisasi kemahasiswaan Indonesia di Kairo. Gus Dur menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia, di mana organisasi ini berperan sebagai penghubung para Mahasiswa yang belajar di Timur Tengah. 25 Tahun 1964 di Kairo, Gus Dur mulai menulis secara teratur untuk Majalah Perhimpunan Pelajar Indonesia, sebagaimana juga ia menulis untuk majalah-majalah seperti Horison dan Budaya Jaya ketika ia masih di Jember. 26 Gus Dur juga secara teratur menyampaikan pidato dalam pertemuan- pertemuan mahasiswa Indonesia. Topik-topik yang disenanginya adalah politik Indonesia, masa depan Indonesia, serta Islam dan modernitas. Selama di Kairo, Gus Dur merasa ragu mengenai NU, ia merasa was-was mengenai pemikiran terbatas banyak ulama NU. Ia juga merasa khawatir ketika melihat tanda-tanda bahwa masyarakat Indonesia berangsur-angsur terbelah menjadi dua. Presiden Soekarno makin beralih ke kiri dan bersatu dengan Partai Komunis Indonesia, sedangkan unsur-unsur konservatif Indonesia, termasuk NU, makin bergerak ke kanan. Tahun 1965, ketegangan antara kaum kiri dan kaum kanan di Indonesia memuncak. Bertepatan pada tahun ini, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia untuk Kairo. Tugas Gus Dur di kedutaan besar adalah menerjemahkan laporan-laporan serta berita teks mengenai situasi di Jakarta. Selama masa kekerasan di Indonesia ini, Gus Dur diminta untuk memberikan laporan tentang 25 Barton, Biografi Gus Dur, h. 87. 26 Barton, Biografi Gus Dur, h. 87. mahasiswa Indonesia di Kairo, kalau-kalau di antara mereka dicurigai menganut paham Marxis. Pada masa-masa ini pula, Gus Dur mulai bertanya-tanya mengenai hubungan yang sumbang antara agama dan negara. Pengalamannya di Mesir adalah salah satu alasan mengapa ia merasa putus asa bahwa masyarakat muslim akan berhasil menghindari polarisasi dan ekstrimisme. Karena hal inilah, Gus Dur mengikuti dengan penuh minat bagaimana Mesir sebagai negara memperlakukan pemikir Islam Sayyid Qutb. Gus Dur telah membaca karya-karya pemikir Islam seperti Hasan al-Banna, Ali Syari‘ati, Sayyid Qutb dan penulis Islam lainnya, dan akhirnya ia berkesimpulan bahwa pemikiran Islam bersifat ekstrimis dan naif. Bagi Gus Dur, para pemikir- pemikir Islam ini kurang memiliki sikap terbuka terhadap kebenaran yang berasal dari sumber-sumber lain yang tidak mereka izinkan. Baginya Islamisme seperti juga Komunisme gagal memberikan jawaban yang lengkap dan manusiawi terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, terlepas dari ketulusan pendukungnya. 27 Tahun 1971, Gus Dur kembali ke tanah air. Kepulangannya saat itu cukup membuat dirinya tersentak. Gus Dur dikejutkan oleh tingkat kemiskinan yang dilihatnya dalam banyak komunitas kecil sekitar pesantren-pesantren NU. Bertepatan dengan tahun kepulangannya ke Indonesia tersebut, Indonesia sedang menyelenggarakan Pemilu 1971. Sebagaimana diketahui sejak 1967 Soeharto telah bergerak untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan melakukan serangkaian perubahan kelembagaan. Golkar memiliki sumber daya yang besar 27 Barton, Biografi Gus Dur, h. 90-95. yang dapat memaksa para pemilih untuk mendukung mereka. Golkar juga dibantu oleh adanya jaringan pengamatan dan kendali yang dilakukan pihak militer secara berjenjang. Jaringan ini memberikan gambaran mengenai birokrasi sipil dari tingkat desa ke atas dan beroperasi seperti badan pengamat lingkungan fantastik. 28 Atas permintaan kakeknya, Kiai Bisri Syansuri, Gus Dur menjadi anggota Dewan Syuriah NU. Pada mulanya Gus Dur enggan mengikuti kemauan kakeknya tersebut, akan tetapi ibunya Gus Dur mendorong Gus Dur untuk memenuhi panggilan tersebut. Saat Gus Dur mulai menapakkan langkahnya dalam dunia NU, kakeknya Kiai Bisri Syansuri saat itu tengah menjabat sebagai Ketua Dewan Syuriah atau Ra’is ‘Aam. Pengalaman menjadi anggota Dewan Syuriah membuat Gus Dur melihat lebih jelas cakupan dan sifat masalah-masalah yang dihadapi oleh NU dan juga memperkokoh reputasinya sebagai pemimpin muda yang penuh harapan. 29 Sejak Muktamar Situbondo 1984, ia menjadi Ketua Umum PBNU hingga tahun 1999. Tulisannya tersebar di berbagai media massa, aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Selain menjadi pimpinan ormas Islam terbesar di Indonesia, Gus Dur juga terkenal sebagai Ketua Pokja Forum Demokrasi. Ia dikenal sebagai tokoh pemikir Islam yang oleh banyak pengamat digolongkan sebagai tokoh neo-modernis. 30 Naiknya Gus Dur bersama dengan Ahmad Shiddiq adalah akibat adanya kontroversi dalam tubuh NU, serta sebagai usaha untuk mereformasi NU yang 28 Barton, Biografi Gus Dur, h. 109-113. 29 Barton, Biografi Gus Dur, h. 121-122. 30 Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur, h. 53-54. dirasakan semenjak kepemimpinan Idham Khalid telah jauh dari tujuan utama organisasi NU. Idham Khalid dianggap tidak dapat mengaktualisasikan NU sebagai sebuah organisasi keagamaan yang dijalankan oleh ulama dan untuk ulama. Idham Khalid juga dinilai enggan untuk melawan marjinalisasi terhadap NU dalam tubuh PPP, sehingga hal ini membuat marah banyak ulama. Berdasarkan keadaan NU tersebut, Gus Dur, sebagai Ketua yang baru, memandang penting bagi NU untuk memisahkan diri dari PPP karena dua alasan yang saling berhubungan. Pertama, Gus Dur merasa bahwa mengingat perlakuan yang diterima oleh NU dari rezim yang berkuasa seperti terlihat dari apa yang terjadi dalam PPP dan tekad pemerintah untuk menghalangi semua pembangkangan politik, tak ada gunanya bagi NU untuk memfokuskan diri pada kegiatan-kegiatan civil society. Kedua, Gus Dur yakin bahwa tidaklah sehat bila perhimpunan agama mempunyai hubungan langsung dengan partai politik. Hal ini bukanlah disebabkan Islam agama lainnya di Indonesia tidak boleh mencoba mempengaruhi perkembangan politik, tetapi keterlibatan langsung badan-badan keagamaan dalam politik partai akan membatasi kebebasan beragama para anggota dan mendorong sektarianisme dalam politik. 31 Kebijakan Gus Dur tersebut di atas kemudian dikenal dengan “kembali ke Khittah 1926.” Konsekuensi logis dari Khittah 1926 adalah, warga NU tidak punya hubungan istimewa atau hubungan famili dengan partai politik tertentu, yang mana saja. Sejak itu, Gus Dur menjaga jarak dengan pemerintah, bahkan Gus Dur lebih dari itu memperlihatkan sikap yang keras dan seringkali 31 Barton, Biografi Gus Dur, h. 167. melemparkan kritikan tajam kepada pemerintahan Soeharto. Sampai-sampai, tanpa segan-segan ia menyebut Soeharto sebagai “orang yang bodoh” dalam wawancaranya dengan Adam Scwartz, penulis buku A Nation in Waiting, Indonesia in the 1990’s. Pada masa ini pula, Gus Dur menggandeng Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDI, yang seringkali mendapatkan tekanan dari pemerintahan Soeharto. Gus Dur sebenarnya lebih dikenal sebagai budayawan ketimbang agamawan atau kiai. Namun, atas restu K.H. As‘ad Syamsul Arifin, maka Gus Dur lolos menjadi Ketua Umum. Selama menjabat sebagai Ketua Umum NU, aktivitas sosial politik Gus Dur banyak yang mengundang polemik di kalangan NU sendiri. Kiai As‘ad yang pada mulanya memberikan restu kepada Gus Dur untuk menduduki kursi ketua umum, lima tahun kemudian mencoba untuk menjegal langkah Gus Dur untuk terpilih kembali pada Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta. Saat itu, Kiai As‘ad menyebutnya “imam yang sudah kentut,” sehingga tidak boleh lagi dimakmumi. Hal ini dikarenakan, Kiai As‘ad tidak menyukai ide “pribumisasi Islam” yang dilontarkan Gus Dur di berbagai kesempatan. Antara lain berupa penggantian Assalamu‘alaikum dengan “selamat pagi atau apa kabar,” yang mana hal ini merupakan kesalahpahaman belaka. Kiai As‘ad juga tidak suka atas ulah Gus Dur yang membeberkan “kemiskinan” umat Islam dalam pidatonya di hadapan Sidang Raya Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, di Surabaya, Oktober 1989. Karena hal ini, Kiai As‘ad menjuluki Gus Dur sebagai “Ketua Ketoprak.” Tetapi Gus Dur dengan kepiawaiannya berpolitik mampu untuk membuat muktamirin untuk memilihnya kembali menjadi Ketua NU. Karena hal ini, Kiai As‘ad pun mewujudkan janjinya untuk mengasingkan diri dari komunitas NU. Gus Dur juga sempat memicu polemik di kalangan NU ketika ia menandatangani surat permohonan bantuan dana kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial YDBKS, pengelola Sumbangan Dana Sosial Berhadiah SDSB. Wakil Ra’is ‘Aam Syuriah saat itu, K.H. Ali Yafie, mengancam akan undur diri jika Gus Dur dan Sekretaris Jenderal PBNU Gaffar Rahman tidak dipecat. Tetapi, setelah Gus Dur mengaku khilaf dan minta maaf, Ali Yafie mengalah. Gus Dur hanya diberi peringatan keras, sedangkan Gaffar dipecat. Gus Dur juga pernah dituduh sebagai agen Zionisme. Hal ini disebabkan, pada tahun 1994, Gus Dur mengunjungi Israel. Tetapi warga NU tidak mempermasalahkan langkahnya. Perjalanan Gus Dur itu dianggap urusan “diplomatis” dan pribadi. Sebaliknya, kalangan Islam di luar NU meradang menyaksikan kunjungan diplomatis Gus Dur ke negeri Yahudi itu. Bahkan, karena kunjungan itu pula, Gus Dur dicap anti umat Islam. Cap anti Islam sebenarnya sudah melekat pada Gus Dur sejak dirinya mendorong NU menerima konsep Asas Tunggal Pancasila. Sedangkan pada saat konsep itu diluncurkan pada 1983, hampir semua ormas Islam menentangnya. Selain itu, Gus Dur juga dikecam habis-habisan oleh banyak kelompok Islam karena persahabatannya dengan MenhankamPangab saat itu, Jenderal L.B. Moerdani. Cap pengkhianat juga pernah distempelkan kepada Gus Dur, terutama ketika Gus Dur berakrab-akraban dengan Golkar. Terlebih lagi ketika Gus Dur bersedia menjadi anggota MPR dari Fraksi Karya Pembangunan untuk periode 1987-1992. Gus Dur juga menunjukkan sikap anti “gerakan kanan” dengan menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia ICMI pada 1990. Pada saat itu, Gus Dur mencurigai ICMI sebagai kelompok sektarian yang berniat membawa Indonesia menuju negara Islam. Di samping itu, Alasan Gus Dur atas sikapnya itu berdasarkan anggapan bahwa banyak orang-orang yang terlibat di dalamnya hanya sekedar untuk mencari-cari kedudukan, bukan untuk kepentingan bangsa, “Saya tidak masuk ICMI justru karena saya tidak mau ikut berebut pangkat, sebab, di sana banyak orang yang begitu. Saya nggak mau ikut-ikutan. Apapun pendapat yang saya kemukakan itukan kapasitas pribadi.” 32 Lalu Gus Dur menghadang ICMI dengan Forum Demokrasi Fordem, manuver terakhir Gus Dur ini nyaris membuat Gus Dur celaka dalam Muktamar NU ke-30 di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994. Saat itu, kursi ketua nyaris lepas ke tangan Abu Hasan yang meraih 46 suara. Menjelang Pemilu 1997, Gus Dur ‘menggandeng’ Mbak Tutut tanpa meninggalkan Mbak Mega. Kedekatan Gus Dur dengan Mbak Tutut tercermin pada kesediaan Gus Dur mengantar Tutut mengunjungi pesantren-pesantren NU. Menurut Gus Dur, keinginan untuk mengajak Mbak Tutut ke pesantren-pesantren NU sudah ada dalam benak pikirannya jauh sebelum menjelang pelaksanaan Pemilu 1997. Gus Dur selama ini mendapat kritik-kritik dari berbagai pihak yang mengatakan bahwa sikapnya tidak fair karena terlalu condong ke Megawati. 32 Mufid A.R., Ada Apa dengan Gus Dur, h. 299. Kemudian, untuk bersikap fair dia memberikan kesempatan yang sama terhadap Tutut untuk bertatap muka dengan warga NU, antara lain, dengan cara mengunjungi pesantren-pesantren NU. Di samping itu, Gus Dur berpendapat bahwa Tutut adalah merupakan tokoh masa depan yang harus dikenal oleh warga NU. 33 Kemudian, pasca-Reformasi 1998 dengan ditandai runtuhnya kekuasaan Orde Baru, pada saat yang bersamaan, Gus Dur masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, mendapat masukan dan dorongan yang kuat dari warga NU untuk ikut serta ambil bagian dalam pemerintahan guna mengisi dan sekaligus mengawal agenda-agenda reformasi dengan membentuk sebuah Partai Politik. Atas dorongan dan keinginan yang kuat dari warga Nahdiyyin itulah kemudian ia merestui lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa PKB sebagai partai resmi warga NU. Walaupun secara formal organisatoris, Matori Abdul Djalil adalah Ketua Umum PKB, namun begitu, tokoh utama yang memainkan peran sangat penting dan signifikan dalam seluruh proses gerak percaturan politik PKB di pentas nasional adalah Gus Dur. Pemilu 1999, yang dipandang sebagai pemilu paling demokratis dibanding pemilu-pemilu sebelumnya, menghantarkan Gus Dur pada kursi kekuasaan melalui sidang MPR, walaupun kekuasaannya tidak sampai akhir masa jabatan sebagaimana semestinya. Pada Pemilu 2004, Gus Dur kembali dicalonkan sebagai Capres dari PKB, akan tetapi Gus Dur harus mengalami kegagalan mengikuti pencalonannya setelah ia ditolak oleh KPU karena alasan kesehatan. 33 Faisal Ismail, NU, Gus Durisme dan Politik Kiai Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, Cet. I, h. 51. Dan terakhir, ia mendeklarasikan diri sebagai Capres 2009, namun lagi-lagi keinginan itu harus kembali surut dengan munculnya kasus dualisme kepengurusan di tubuh PKB. Walaupun belakangan prestasi politiknya tidak begitu memuaskan, paling tidak Gus Dur telah menunjukkan kepiawaianya dalam berpolitik. Dengan segala sepak terjangnya sering dianggap “nyeleneh” dan kontroversial itu, Gus Dur benar-benar menjadi sosok kiai yang mewarnai panggung politik sekaligus langit intelektual bebas di tanah air. Selama ini, ia memang telah memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap negara. Tidak heran jika kemudian ia dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial-politik paling independen di Indonesia.

C. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid