Sekarang, mari kita lihat sejauh mana peran dan pengaruh politik Gus Dur dalam membesarkan eksistensi PKB di panggung politik nasional.
I. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 1999
1. Masa Pemilu 1999 Keberadaan PKB, pada awalnya, sebagai partai baru diduga oleh
banyak pengamat tidak akan memperoleh suara yang signifikan pada Pemilu 1999. Kesulitan PKB dalam memperoleh suara, khususnya suara dari massa
NU, disebabkan dalam tubuh NU sendiri, yang dianggap menjadi basis suara PKB, bukan hanya dimiliki oleh PKB, tetapi ada juga PNU, PKU, dan SUNI
yang juga memiliki tokoh-tokoh yang cukup populer seperti Syukron Makmun dan Yusuf Hasyim. Di samping itu, warga NU –terutama kalangan
pesantren– sejak Orde Baru, secara politis, banyak terkooptasi oleh Partai Persatuan Pembangunan PPP, sebuah partai yang dulu pernah menjadi
rumah politik NU. Dan secara ekonomi-politis sudah menjadi bagian dari pendukung Golkar, dan hal ini tidak mudah untuk mengalihkan suaranya bagi
kemenangan PKB. Atas dasar itu, sekalipun dianggap memiliki basis massa NU, tidak berarti PKB akan mendapatkan suara anggota NU secara
signifikan. Akan tetapi, hasil Pemilihan Umum 1999 berbicara lain. Partai
Kebangkitan Bangsa PKB memperlihatkan fenomena yang menarik dalam Pemilu 1999. Walaupun diperkirakan oleh banyak orang bahwa PKB, dengan
segala macam persoalan yang sedang dihadapi, akan mengalami kegagalan
dalam pemilu perdananya, namun PKB mampu menempati posisi urutan ketiga dalam total perolehan suara dengan jumlah 13.336.963 suara atau
12,6 dari total suara sah dalam pemilu. Urutan pertama dan kedua ditempati oleh PDI-P dengan 35.706.609 suara 33,7 dan Golkar diurutan kedua
dengan 23.742.112 suara atau sekitar 22,4. Sedangkan untuk perolehan kursi di DPR, PKB berada di urutan keempat setelah PDI-P, Golkar, dan
PPP.
67
Kesuksesan PKB dalam memperoleh suara dalam Pemilu 1999 ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, pengakuan dan pemberian
restu oleh PBNU Pengurus Besar Nahdlatul Ulama terhadap berdirinya PKB. PKB adalah satu-satunya partai politik di kalangan warga NU yang
mendapat pengakuan dan restu dari Ketua Umum PBNU Gus Dur. Partai- partai lain yang didirikan oleh beberapa tokoh dan warga NU, yaitu PNU
Partai Nahdlatul Umat, PKU Partai Kebangkitan Umat, dan Partai SUNI tidak diakui secara resmi dan tidak direstui oleh PBNU. Dengan mengakui
dan merestui PKB, maka mayoritas jamaah NU di seluruh tanah air khususnya di Jawa di bawah kepemimpinan dan komando PBNU mudah
digerakkan dan dimobilisasi untuk mendukung PKB. Pimpinan wilayah, cabang, dan ranting NU di seluruh Tanah Air di bawah koordinasi PBNU bisa
menggerakkan dan mengerahkan massa NU untuk mendukung PKB. Akibatnya, PNU, PKU, dan SUNI menjadi terkucil dan terpencil sehingga
tidak mendapatkan dukungan luas dari jamaah NU. Terbukti dalam Pemilu
67
Ahmad Hakim Jaily dan Mohammad Tohadi, PKB dan Pemilu 2004 Jakarta: Lembaga Pemenangan Pemilu PKB, 2003, h. 40-41.
1999, PNU, PKU, dan SUNI hanya memperoleh puluhan atau ratusan ribu suara dan sangat jauh jumlahnya dengan perolehan suara PKB.
68
Kedua, peranan pesantren. Pesantren-pesantren NU berikut para kiai pengasuhnya berperan sebagai jaringan komunikasi politik yang sangat
efektif bagi PKB. Walaupun PKB secara formal organisatoris masih belia, namun PKB secara tradisional dan kultural telah begitu lama berakar dan
berbasis di pesantren-pesantren. Antara NU, pesantren, dan PKB hampir tidak bisa dipisahkan.
Sosialisasi PKB melalui saluran pesantren-pesantren dan para kiai NU berjalan cukup efektif. Hubungan geneologis dan perkawinan antar kiai
pengasuh pesantren, hubungan kiai-santri, dan hubungan kiai-masyarakat lingkungan pesantren menjadi jaringan komunikasi politik yang efektif.
Komunikasi politik secara vertikal dan horisontal dapat berjalan cukup lancar melalui peran dan jalur pesantren serta para kiai pengasuhnya yang tersebar di
masyarakat lapisan bawah. Hal ini, mengingatkan keberhasilan partai NU dalam Pemilu 1955.
Walaupun persiapannya hanya berlangsung dua tahun NU keluar dari Masyumi tahun 1952, namun NU dalam Pemilu 1955 itu muncul sebagai
partai besar ketiga setelah PNI Partai Nasional Indonesia dan Masyumi. Keadaan yang relatif sukses ini tampaknya diulang kembali oleh PKB.
Ketiga, faktor yang membuat PKB sukses dalam perolehan suara pada Pemilu 1999 adalah ketokohan seorang Gus Dur. Sosok dan peran Gus
68
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai, h. 142-143.
Dur yang memiliki reputasi yang baik ternyata mampu menarik simpati mayoritas warga NU untuk mendukung dan memilih PKB. Sebelum menjadi
deklarator PKB, Gus Dur telah dikenal luas oleh masyarakat, baik sebagai sosok intelektual maupun sebagai tokoh nasional. Bahkan, ia juga dikenal di
luar negeri dan berpartisipasi dalam berbagai diskusi, seminar, konferensi, dan organisasi internasional. Dengan perangkat ketokohan, intelektualitas,
dan reputasi baik semacam itu ia mampu membesarkan nama PKB.
69
Di samping itu, kekuatan tawar-menawar politik Gus Dur juga sangat dipertimbangkan dan diperhitungkan. Gus Dur bersama Megawati
Soekarno Putri Ketua Umum DPP PDI Perjuangan dan Amien Rais Ketua Umum DPP PAN beberapa hari sebelum Pemilu 1999 dilaksanakan
membuat komunike yang dikenal sebagai “Komunike Paso.
70
Di sini ada fenomena yang sangat menarik. Justru, yang tampil bersama Mega dan
Amien adalah Gus Dur, bukan Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Umum DPP PKB. Sedangkan PAN dan PDI-P diwakili oleh ketua umum partainya
masing-masing.
71
Kemudian Akbar Tanjung Ketua Umum Partai Golkar berkunjung ke rumah Gus Dur mengadakan kesepakatan untuk mengamankan jalannya
Sidang Umum MPR dan mencari kemungkinan-kemungkinan perlunya koalisi antara PKB dan Golkar. Hamzah Haz Ketua Umum PPP juga berniat
69
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai, h. 141-145.
70
Komunike ini mempertegas komitmen kekuatan reformis untuk menghadang kekuatan status quo.
71
Faisal Ismail, NU, Gus Durisme, dan Politik Kiai, h. 149-150.
bertemu dengan Gus Dur untuk kepentingan yang sama.
72
Di sini, sekali lagi, muncul fenomena yang sama. Justru, yang ditemui oleh Akbar Tanjung dan
Hamzah Haz, bukan Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil melainkan Gus Dur. Hal ini, mengisyaratkan bahwa Gus Dur dipandang sebagai tokoh
penting di pentas politik nasional yang memiliki kekuatan tawar-menawar politik yang patut diperhitungkan oleh partai-partai lain.
Secara kekuatan politik, ketokohan Gus Dur mampu dijadikan sebagai alat komunikasi politik PKB dalam memperoleh dukungan di
parlemen. Tidak heran jika kemudian PKB, walaupun bukan sebagai partai pemenang pemilu, mampu menghantarkan Gus Dur ke kursi kekuasaan,
melalui dukungan dan kekuatan “poros tengah”.
Gus Dur Jadi Presiden Siapa pun sepakat, rezim Gus Dur punya legitimasi yang kukuh. Hal
ini disebabkan karena secara materiil pemerintahannya adalah hasil Pemilu 1999 yang terbilang relatif demokratis. Pemilu itu, menghasilkan MPR baru
yang pada Sidang Umum 1999 memilih Gus Dur-Mega lewat proses yang demokratis pula, meski di luar parlemen ada “ancaman” kerusuhan.
Ancaman kerusuhan di luar parlemen yang dilakukan oleh massa PDI-P pada waktu itu dapat dipahami, karena pada pemilu kali ini PDI-P
berada pada posisi teratas dalam perolehan suara kalah dari Gus Dur saat pemilihan presiden. Jajak pendapat pascapemilu menunjukkan Megawati
72
Harian Kompas, 18 Juni 1999.
berada pada urutan teratas dari beberapa calon presiden, Amien Rais, Habibie, Gus Dur, dan lain-lain. Hal ini, menunjukkan Megawati besar
kemungkinan akan menjadi presiden bila dilakukan pemilihan langsung. Namun, sistem politik pada waktu itu punya jawaban lain, bahwa pemilu
bukan untuk memilih seorang presiden tetapi memilih wakil rakyat yang akan memilih presiden. Partai pemenang pemilu tidak berarti secara otomatis bisa
meloloskan calonnya sebagi presiden. Isu penolakan Megawati sebagai calon presiden dilontarkan Gus Dur
di Singapura saat berbicara di forum yang diselenggarakan Institut Pertahanan dan Studi Singapura, 24 Maret 1999. Gus Dur menyatakan bahwa peluang
Megawati menjadi Presiden RI kecil. Hal ini, disebabkan pandangan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak menerima
tampilnya seorang presiden wanita. Dalam kesempatan lain, Gus Dur menyatakan bahwa dalam tubuh PKB ada banyak orang, terutama para kiai
yang berpikir bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin atau presiden.
73
Isu penolakan terhadap Megawati mengharuskan beberapa elit politik seperti Gus Dur, Amien Rais, Hamzah Haz, dan Nur Mahmudi Ismail
melakukan penjajagan awal mencari tokoh alternatif untuk menghindari dead lock atau jalan buntu. Akhirnya, muncul nama Abdurrahman Wahid sebagai
tokoh alternatif untuk menghindari jalan buntu itu. Fraksi Reformasi PAN dan PK secara resmi mencalonkan Gus Dur. Reputasi dan kemampuan
73
Achmad Mufid, Ada Apa dengan Gus Dur Yogyakarta: Kutub, 2005, Cet. I, h. 235- 236.
berpolitik yang telah lama dibinanya menjadikan Gus Dur dapat diterima oleh hampir semua pihak, dan menjadi pilihan yang amat menarik. Wibawa dan
pengaruhnya yang diakui secara nasional dan internasional membuat semua pihak merasa aman jika Gus Dur yang muncul sebagai Presiden RI.
Dengan munculnya dukungan dari partai-partai Islam dan Reformasi yang kemudian disebut sebagai “poros tengah” di dalam sidang umum
parlemen, menghantarkan Gus Dur ke kursi kekuasaan, dan Megawati harus puas duduk sebagai orang nomor dua.
Kemenangan Gus Dur memperoleh kekuasaan dengan dukungan yang begitu kuat di dalam pemerintahannya, menempatkan Partai
Kebangkitan Bangsa sebagai partai yang besar dan diperhitungkan dalam pergaulan politik nasional.
Sidang Istimewa MPR 2001 dan Konflik PKB Kemenangan Abdurrahman Wahid dalam perebutan kursi nomor
satu di negeri ini hanya mampu dinikmati secara nyaman tidak lebih dari satu tahun. Karena ketika memasuki pertengahan tahun 2000 ia harus dihadapkan
pada isu impeachment. Walaupun dalam berbagai kesempatan Gus Dur menegaskan bahwa tidak mungkin ada impeachment pada Sidang Tahunan
MPR Agustus 2000. Menurut Gus Dur, telah ada kesepahaman politik antara dirinya dengan Megawati, Akbar Tanjung, Amien Rais, dan Matori. Akan
tetapi, yang harus disadari betul adalah bahwa menjelang Sidang Tahunan
MPR itu Gus Dur masih harus menghadapi berbagai persoalan politik yang dapat mengancam kedudukannya.
Pertama, karena di balik pernyataannya yang selalu optimis, Gus Dur menemukan kenyataan bahwa kinerja timnya masih saja jeblok dan
dipertanyakan kapabilitasnya untuk mengatasi krisis. Kedua, ada fakta bahwa pemerintahan Gus Dur belum mampu mengendalikan situasi dan memerintah.
Ketiga, perkembangan politik yang cenderung terus-menerus membuat Gus Dur terserang dan terpojok. Berbagai kasus, seperti Buloggate, Bruneigate,
perseteruan dengan Syahril Sabirin, kasus Maluku, Kongres Rakyat Papua, dan disetujuinya penggunaan hak interpelasi DPR untuk kasus pencopotan
Laksamana Sukardi dan Yusuf Kalla, benar-benar membuat Gus Dur terpaksa menukar Confident-nya dengan kepanikan. Belum lagi dengan akan
digunakannya hak angket yang dipelopori PPP untuk kasus Bulog dan bantuan Sultan Bolkiah.
74
Dalam keadaan politik yang tidak kondusif pada waktu itu menyebabkan PKB tidak berdaya harus berhadapan dengan desakan poros
tengah, yang awalnya sebagai partai pendukung pemerintah. Ditambah lagi dengan tidak solidnya PKB menambah lemahnya dukungan pemerintahan
Gus Dur. Sehingga pada tanggal 30 Mei 2001, melalui Sidang Istimewa MPR, Gus Dur harus merelakan kursi kekuasaannya diduduki oleh Megawati.
Bersamaan dengan turunnya Gus Dur dari kekuasaan pada tanggal 30 Juli 2001, Rapat Pleno DPP PKB yang dihadiri anggota FKB MPR,
74
Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia Jakarta: Republika, 2004, Cet. I, h. 117.
memutuskan untuk menghentikan Matori Abdul Djalil dari jabatannya sebagai Ketua Umum PKB. Dan sekaligus menetapkan Alwi Shihab sebagai
pejabat sementara Ketua Umum DPP PKB. Keputusan ini diambil karena Matori dianggap secara sengaja tidak menjalankan kewajibannya sebagai
anggota Partai dan melanggar disiplin Partai. Paling tidak terdapat tiga tindakan indisipliner Matori yang
menyebabkan ia harus diberhentikan dan dikeluarkan dari Partai.
75
Pertama, Matori Abdul Djalil hadir dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 1 Februari
2001 yang menjatuhkan Memo I terhadap K.H. Abdurrahman Wahid. Padahal, dalam rapat gabungan DPP PKB dan FKB DPR sebelumnya yang
juga dihadiri Matori, diputuskan bahwa seluruh anggota FKB akan walk out apabila Sidang Paripurna menjatuhkan Memo I. Matori yang menolak hasil
rapat dan menyatakan tidak akan hadir dalam Sidang Paripurna DPR, ternyata hadir.
Kedua, Matori menghadiri Sidang Paripurna DPR tanggal 30 Mei 2001 yang memutuskan menggelar Sidang Istimewa. Kembali, Matori
menolak keputusan rapat FKB sebelumnya, yang memutuskan untuk walk out dan menyatakan tidak bertanggung jawab atas keputusan DPR.
Ketiga, berpuncak pada Sidang Istimewa tanggal 21 Juli 2001 yang menggulingkan Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan. Meskipun FKB
MPR menginstruksikan anggotanya untuk tidak hadir dalam SI itu, namun Matori hadir dan menyetujui hasil SI.
75
Bambang Setiawan dan Bestian Nainggolan, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009 Jakarta: Kompas, 2004, Cet. I, h. 256.
Babak baru PKB dimulai. Konflik yang berujung pada dualisme kepemimpinan di PKB tidak dapat dihindari. Masyarakat mengenal dua
macam PKB, yaitu PKB Kuningan yang dipimpin Alwi Shihab dan PKB Batutulis pimpinan Matori Abdul Djalil. Perang ‘urat Syaraf’ kedua kubu
semakin meruncing. Jalur musyawarah tidak dapat mempertemukan keduanya. Akhirnya, jalur hukum ditempuh untuk membuktikan siapa yang
paling berhak menjadi pimpinan PKB. Selama proses hukum itulah terjadi saling klaim dan fenomena
tandingan pun muncul. PKB Matori mengadakan Muktamar Luar Biasa MLB tanggal 14 – 16 Januari 2002, di Jakarta. Sementara itu, kubu Alwi
Shihab menggelar Muktamar Luar Biasa MLB di Yogyakarta, pada tanggal 17 – 19 Januari 2002. Kedua MLB mengesahkan pimpinan kubu masing-
masing.
76
MLB Jakarta menetapkan Matori Abdul Jalil sebagai Ketua Umum, dan MLB Yogyakarta menetapkan Alwi Shihab sebagai Ketua Umum DPP
PKB dengan Gus Dur sebagai Dewan Syura-nya. Dalam situasi dualisme ini Gus Dur, dengan sumberdaya yang ada
dalam dirinya dan dengan kedekatannya dengan para Kiai Langitan NU, meminta Kiai Langitan untuk mendukung kepengurusan Alwi dan dirinya di
PKB. Selanjutnya, Forum Kiai Langitan, sebagai forum kiai berpengaruh di NU, menyerukan Nahdhiyyin untuk mendukung pengurus PKB yang
dipimpin K.H. Abdurrahman Wahid dan Alwi Shihab. Hampir dua tahun konflik internal PKB berlangsung. Tepatnya bulan
76
Bambang dan Nainggolan, Partai-partai Politik Indonesia, h. 256-257.
Juni 2003, Mahkamah Agung MA memenangkan PKB Kuningan yang dipimpin oleh Gus Dur dan Alwi Shihab. Konflik yang selama ini terjadi
ternyata tidak berpengaruh terhadap dukungan warga Nahdhiyyin kepada PKB. Hal ini, lebih disebabkan oleh ketokohan, Kharisma, dan kedekatan
Gus Dur yang mampu meraup dukungan dari Kiai Langitan di NU. Ini dapat dibuktikan pada hasil Pemilu 2004.
J. Gus Dur, PKB, dan Pemilu 2004