Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid

Dan terakhir, ia mendeklarasikan diri sebagai Capres 2009, namun lagi-lagi keinginan itu harus kembali surut dengan munculnya kasus dualisme kepengurusan di tubuh PKB. Walaupun belakangan prestasi politiknya tidak begitu memuaskan, paling tidak Gus Dur telah menunjukkan kepiawaianya dalam berpolitik. Dengan segala sepak terjangnya sering dianggap “nyeleneh” dan kontroversial itu, Gus Dur benar-benar menjadi sosok kiai yang mewarnai panggung politik sekaligus langit intelektual bebas di tanah air. Selama ini, ia memang telah memerankan dirinya sebagai aktor kritis terhadap negara. Tidak heran jika kemudian ia dianggap sebagai satu-satunya kekuatan sosial-politik paling independen di Indonesia.

C. Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid, sejak 1980-an, merupakan tokoh yang paling populer di kalangan NU, Indonesia, bahkan dunia internasional karena pertumbuhan dan perkembangan pemikirannya yang unik dan sering kontroversial. Pemikiran politik Gus Dur mulai berkembang pada awal 1980-an yang bukan hanya disebabkan oleh faktor bacaan ilmu politiknya yang cukup luas, melainkan juga pergaulannya yang baik dan fleksibel dengan berbagai kalangan pejabat negara maupun para aktivis pergerakan. Kedekatannya dengan pemerintah dan kelompok-kelompok agama minoritas semakin menguatkan citra Gus Dur sebagai tokoh Islam yang paling akomodatif terhadap negara disamping menguatnya citra pluralisme dan humanisme yang menghantarkan Gus Dur mewacanakan akan pentingnya terselenggara kehidupan negara yang demokratis serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Islam dan Wacana Negara Salah satu persoalan krusial yang telah cukup lama memancing debat dan kontroversi baik di dalam literatur-literatur pemikiran keislaman sendiri maupun dalam kajian politik mengenai Islam dalam dinamika kekuasaan adalah yang berkaitan dengan hubungan antara agama dan politik. Paling tidak dalam isu politik Islam Indonesia terdapat dua kelompok, walaupun dalam kenyataannya nanti akan berkembang varian-varian yang beragam dan seringkali berlawanan. Dua kelompok itu adalah kelompok simbolik dan kelompok substantif. Kalangan Islam politik simbolik meyakini bahwa Islam harus diwujudkan secara simbolik dalam politik dengan melegalformalkan Islam sebagai sebuah negara. Golongan ini berpendapat bahwa Islam adalah agama yang integratif, Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, antara dunia dan akhirat dan pemisahan dalam bentuk apa pun. Sedangkan kelompok substantif adalah golongan yang menolak seluruh bentuk perjuangan yang hendak melegalformalkan Islam dalam politik. Bagi kelompok ini, usaha simbolisasi syariat akan mengancam integrasi dan sekaligus mencemarkan makna hakiki agama. Pencampuran antara agama dengan politik, tidak saja keliru dan salah tetapi juga agama hanya sekedar dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik kaum elit. 34 34 Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khalifah, Masyarakat Madani dan Demokrasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 199-200. Peta persoalan semacam ini, oleh kalangan intelektual muslim, coba diamati, dikaji, dan disikapi sesuai dengan perspektif keislaman mereka masing- masing. Abdurrahman Wahid Gus Dur adalah salah satu intelektual muslim yang juga terus berupaya mencari pijakan-pijakan teologis; Bagaimana sesunguhnya Islam bisa “dibumikan” sebagai ajaran moral yang mampu memberikan makna di dalam proses perubahan sosial-politik yang tengah berlangsung dalam dinamika politik bangsa. Salah satu isu pokok yang menjadi wacana discourse yang menarik adalah, bagaimana kaitan Islam dengan negara; dan bagaimana konsep Islam tentang negara? Dalam pandangan Gus Dur, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mengatakan bahwa “Dalam Islam, Negara itu adalah hukum, al-hukmu, dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara.” Bagi Gus Dur tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah “Negara Islam.” Tetapi, ada perintah dalam Alquran untuk membentuk suatu masyarakat yang mengacu pada nilai-nilai keutamaan viruies yang menjalankan amar ma‘r ūf membangun kebaikan dan nah ī munkar mencegah keburukan, untuk menegakkan iman dan keadilan di muka bumi. Karena itu, Islam tidak boleh direduksi menjadi negara Islam, melainkan dikembalikan sebagai agama. Yang penting bagi Islam adalah etika kemasyarakatan dan komunitas, alasannya, ialah karena Islam tidak mengenal konsep pemerintah yang difenitif. Dalam persoalan pokok, misalnya, suksesi kekuasaan, ternyata Islam tidak konsinten; terkadang memakai ikhtilaf, baiat dan terkadang ahl halli wal ‘aqdi. 35 35 Pahrurroji M. Bulkhori, Membebaskan Agama dari Negara: Pemikiran Abdurrahman “Kita tidak usah mencari-cari negara yang ideal karena memang tidak ada yang ideal. Islam tidak menyebutkan tentang soal negara ideal, dan juga tidak mengharuskan. Allah meridhai Islam sebagai agamamu, bukan sebagai sistem pemerintahan. Islam menjadi besar kalau ia tidak menampakkan wajah politik melainkan mengutamakan wajah moralnya. Atau dengan kata lain Islam mengutamakan politik sebagai institusi. Saya lebih melihat kepada pencapaian cita-cita Islam yang sebenarnya, yakni keadilan dan kemakmuran; kesamaan di antara semua umat manusia. Kalau kita masih berpikiran bahwa Islam harus lebih dari yang lain, itu tidaklah islami. Justru bertentangan dengan Islam.” 36 Bahkan lebih jauh lagi Gus Dur menyatakan, para teoritas politik besar dalam Islam –dengan merujuk pada pandangan Munawir Syadzali– bukanlah mencari pola idealisasi bentuk kenegaraan yang “Islami,” melainkan justru menekankan penggunaan bentuk kenegaraan yang sudah ada. Selama kaum muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran. Atas dasar kerangka berpikir inilah, dibawah aksi politik yang dimotori Gus Dur dengan mendapat “persetujuan” hierarkial keulamaan dalam organisasi yang dipimpinnya, tak heran NU secara sadar menerima Asas Tunggal Pancasila. Gus Dur sendiri berpendapat bahwa pemerintahan yang berideologi Pancasila termasuk “negara damai” d ār al-sulh yang harus dipertahankan, karena umat Islam masih bisa melaksanakan syariah –dalam bentuk hukum agamafiqih atau etika masyarakat– sekalipun hal itu tidak diikuti dengan upaya legislasi dalam bentuk undang- undang negara. Bila etika masyarakat Islam bisa dijalankan, di dalam pemerintahan yang beriedologi Pancasila, maka tidak ada alasan lain lagi bagi umat Islam selain mempertahankan sebagai kewajiban agama. Dari sanalah, Wahid dan Ali Abd ar-Raziq Bantul: Pondok Edukasi, 2003, h. 113. 36 Abdurrahman Wahid, Tabayyun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural Yogyakarta: LkiS, 1998, h. 235. menurut Gus Dur, timbulnya keharusan untuk taat kepada pemerintah. Dan atas dasar itulah Gus Dur menerima sepenuhnya Pancasila sebagai dasar negara. 37 “Negara kita mengakui legitimasi peranan agama dalam kehidupan masyarakat, kalau perlu melalui jalur pemerintahan. Secara eksplisit Pancasila tidak menyebutkan landasan keagamaan dalam kehidupan bernegara, tetapi secara implisit ia mendukung pemerintahan yang menunjang kehidupan beragama.” 38 F. Demokrasi, Civil Society, dan Pluralisme Dalam konteks kebangsaan, persoalan mendesak yang harus segera dijawab adalah bagaimana melakukan upaya untuk mencari bentuk kenegaraan yang lebih pasti akan memberikan tempat kepada agama tetapi tidak mematikan yang lain. Pada umumnya jawaban terhadap persoalan ini sangat vulgar. Namun dalam perjalanan terakhir telah tercapai bentuk yang sangat baik, yaitu proses demokratisasi. Isu demokratisasi inilah yang dapat mempersatukan baragam arah dan kecenderungan kekuatan-kekuatan bangsa. Ia dapat mengubah keterceraiberaian arah masing-masing kelompok menjadi sebuah kekuatan menuju arah kedewasaan, kemajuan, dan integrasi bangsa. 39 Dalam pandangan Gus Dur, Demokrasi adalah keadaan tertentu yang memiliki beberapa ciri, antara lain harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama pada semua warga negara di hadapan undang- undang. Ini harus ditunjang oleh kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir dan 37 Lihat kata pengantar Abdurrahman Wahid dalam buku Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, Jakarta: Sinar Harapan, 1989, h. 10. 38 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, Yogyakarta: LkiS, 1999, h. 94. 39 Abdurrahman Wahid, “NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang”, dalam M. Imam Aziz, dkk, ed., Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1993, h. 224-225. sikap menghormati pluralitas pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan memelihara dan melindungi hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, semua hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu kepentingan bersama sebagai bangsa dan negara. 40 Dengan demikian, menurut Gus Dur, demokrasi yang dimaksud bukan demokrasi proporsional yang melihat, misalnya, karena orang Islam mayoritas, maka kursi untuk orang Islam harus mayoritas. Tetapi betul-betul demokrasi yang berdasarkan pada prinsip kesamaan egalitarianisme, rule of law supremasi hukum, accountability pertanggungjawaban, dan lain sebagainya. 41 Dalam studi kontemporer tentang demokrasi, faktor penunjang akan tumbuh dan berkembangnya demokrasi adalah ada-tidaknya “civil society”. Civil society sendiri memiliki peristilahan yang beragam seperti masyarakat madani, masyarakat warga, masyarakat sipil dan masyarakat kewargaan. Secara umum, civil society diartikan sebagai pengelompokan masyarakat yang mandiri, mematuhi aturan dan memiliki daya tawar ketika berhadapan dengan negara. Menurut Gus Dur, Civil Society sebenarnya telah terbentuk di kalangan masyrakat Indonesia, yaitu dengan lahirnya paguyuban-paguyuban yang ada di tengah-tengah masyarakat. Khususnya di kalangan umat Islam, secara embrional kelahiran Muhammadiyah, Syarikat Islam, NU, dan berbagai pergerakan Islam di tingkat lokal itu adalah bentuk civil society yang cair, yakni memperkuat posisi rakyat terhadap negara. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara 40 Abdurrahman Wahid, “Demokrasi dan Demokratisasi Indonesia”, diakses 31 Oktober 2008 dari http:www.GusDur.Net . 41 Tim INCReS, Beyond The Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur Bandung: INCReS dan PT. Remaja Rosdakarya, 2000, h. 134. negara dan masyarakat civil society. Karena dalam pandangan Gus Dur, posisi imbang itu yang dapat mencegah terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang. Dalam pengertian demikian, civil society mempunyai relasi yang saling melengkapi dengan demokrasi. Sebab, civil society hanya bisa berkembang dalam iklim negara yang demokratis. 42 Di samping itu, dalam kehidupan yang demokratis perlu adanya kesadaran tentang pentingnya Pluralisme yang didasarkan pada pandangan dan kenyataan bahwa manusia lahir dan hadir dalam suatu tatanan dunia yang sebut dengan “Negara” dalam kondisi yang berbeda-beda, baik itu beda suku, budaya, agama, maupun warna kulit. Hanya saja dalam wacana pluralisme, perbedaan antar komunitas tersebut bukan untuk saling merugikan, melainkan agar perbedaan tersebut bisa menjadi potensi untuk merealisasikan kebajikan. Kenyataan akan akan adanya perbedaan suku, budaya, agama, ras, dan golongan tersebut justru harus dikemas dalam bingkai saling menghormati, menghargai, dan saling menolong guna terciptanya masyarakat yang aman dan sejahtera. Islam sendiri memberikan jaminan dan toleransinya dalam memelihara hubungan bersama dengan meletakkan nilai-nilai universal, seperti prinsip-prinsip keadilan, kebersamaan, dan kejujuran dalam upaya mempertahankan kehidupan bersama dengan tidak mengingkari adanya perbedaan. Dalam wawasan demikian, tata hubungan dalam ikatan kebangsaan dan kenegaraan harus meliputi hal-hal yang bersifat kemasyarakatan, dimana sebagai sesama warga negara memiliki kesamaan derajat dan tanggung jawab untuk mengupayakan kesejahteraan dalam 42 Gus Dur, “NU tidak Menghendaki Status Quo,” dalam Kompas, Senin, 24 November 1997. kehidupan bersama tanpa memandang asal-usul agama, ras, etnis, bahasa, dan jenis kelamin. Konsekuensinya, menurut Gus Dur, politik umat Islam di indonesia pun terikat dengan komitmen tersebut. Segala bentuk eksklusivisme, sektarianisme, dan privilege-privilege politik harus dijauhi. Termasuk ide pembentukan masyarakat dan negara Islam, karena tuntutan-tuntutan semacam ini jelas berlawanan dengan asas kesetaraan egalitarianism bagi warga negara. 43 Menurut Gus Dur, umat Islam Indonesia, sebagai rakyat yang beragama Islam, sebetulnya sudah lama hidup dalam tradisi yang sejalan dengan nilai-nilai pluralisme. Tapi para pemimpinnya tidak bisa menangkap isyarat itu, sehingga yang dilakukan justru membuat isu yang sebetulnya berwawasan sempit, tidak melebarkan wawasan umat Islam. Karena itu wajar jika sementara orang menyatakan bahwa pertumbuhan Islam kini menuju kepada “kelompok” yang sektarian. Menjadi sesuatu yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Isu semacam pri-nonpri maupun kristenisasi, sebenarnya muncul dari semangat sektarianisme. Padahal mereka hidup dalam pluralisme. Pluralisme akan terjaga jika ada demokrasi. Bangsa ini kaya dan kuat karena menjaga jiwa pluralisme. 44 Dengan demikian, bagi Gus Dur, bentuk negara Indonesia yang demokratis dengan berasaskan Pancasila adalah suatu bentuk negara yang final. Karena ideologi Pancasila sejalan dengan nilai-nilai universalisme Islam dengan memberikan lima jaminan dasar bagi semua masyarakat Indonesia, baik 43 Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society Jakarta: Erlangga, 2000, h. 164. 44 Abdurrahman Wahid, “NU, Pluralisme, dan Demokratisasi Jangka Panjang”, h. 225-226. perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan itu adalah; keselamatan fisik masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, keselamatan keluarga dan keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar prosedur hukum, dan keselamatan profesi Abdurrahman Wahid, 1998 Tidak heran jika kemudian dalam aksi-aksi politiknya Gus Dur terkadang bersebrangan tidak hanya dengan para aktivis elit dan politisi Islam yang menginginkan agama dijadikan sebagai institusi formal kenegaraan, bahkan dengan tokoh-tokoh di kalangan NU sendiri pun terkadang ia dianggap sebagai musuh dan rival politik. Hal ini terbukti ketika Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa PKB yang bersifat terbuka dengan berasaskan Pancasila, banyak kalangan tokoh NU yang menolak PKB dan mendirikan partai lain yang berasaskan Islam. Akan tetapi, terlepas dari itu, konsistensi pemikiran semacam inilah yang menempatkan Gus Dur sebagai tokoh Demokrasi dan Bapak Pluralisme di negeri ini.

BAB III MENGENAL PARTAI KEBANGKITAN BANGSA PKB