Riwayat Hidup dan Pendidikan

BAB II SELAYANG PANDANG TENTANG ABDURRAHMAN WAHID

A. Riwayat Hidup dan Pendidikan

Abdurrahman, kata yang sering kita dengar, dan tidak jarang setiap orang yang memakai nama itu tergolong orang-orang yang tumbuh dengan kebesaran dan keagungan. Di antaranya, Syaikh Abdurrahm ān al-Akhdori, pengarang kitab klasik Jauh ār al-Maknūn, Abdurrahmān al-Dakkhil penakluk kota Spanyol seorang Khalifah Islam di Andalusia, Spanyol, dan mungkin masih banyak lagi. 8 Dan, tidak berbeda pula dengan kiai yang satu ini, Abdurrahman Wahid Gus Dur, yang lahir pada bulan Sya‘ban, bulan kedelapan. Tepatnya 4 Sya‘ban 1940 atau 7 September. Akan tetapi, ulang tahunnya sendiri lebih sering dirayakan pada tanggal 4 Agustus. Gus Dur dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang, Jawa Timur, dalam rumah pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri. Kedua kakek Gus Dur, yakni Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Hasyim Asy‘ari adalah ulama yang sangat berpengaruh dan dihormati. Keduanya adalah tokoh pendiri NU. 9 Kiai Hasyim Asy‘ari, kakek Gus Dur dari pihak ayah, merupakan tokoh pendiri NU pada tahun 1926. Sebagai seorang pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan yang tradisional, beliau juga dikenal sebagai seorang Nasionalis yang teguh pendirian. Banyak dari temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka 8 Achmad Mufid A.R., Ada Apa Dengan Gus Dur,Yogyakarta: Kutub, 2005, h. 3. 9 Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2004, h. 26-27. gerakan Nasionalis pada periode sebelum perang. Setelah NU didirikan, kakek Gus Dur ini diangkat sebagai Ra’is Akbar yang secara harfiah berarti Ketua Agung. Dalam posisi ini, beliau menjadi Kepala Penasihat Agama dalam organisasi NU. Gelar lain dari kakek Gus Dur ini adalah Guru Agung atau Hadrat al-Syaikh. 10 Sedangkan kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri, juga merupakan tokoh kunci organisasi NU bersama dengan Kiai Hasyim Asy‘ari. Selain itu beliau juga aktif dalam pergerakan nasional. Ayah Gus Dur, Wahid Hasyim, tumbuh besar dan belajar di madrasah ayahnya, Hasyim Asy‘ari. Sedangkan ibu dari Wahid Hasyim nenek Gus Dur adalah puteri dari keluarga ningrat Jawa. Wahid Hasyim dibesarkan dengan perlengkapan untuk menjadi bagian dari masyarakat elit perkotaan. Setelah mengenyam dua tahun pendidikan di Mekah, Wahid Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengembangkan gagasannya, yakni mengawinkan pendidikan modern dengan pengajaran Islam klasik di Tebuireng. Pada tahun 1938, Wahid Hasyim mulai bergabung dalam organisasi NU untuk menyalurkan hasratnya ikut ambil bagian dalam kancah politik serta gerakan Nasionalis. 11 Ibu kandung Gus Dur bernama Solichah. Ayah Gus Dur menikahi ibunya saat usianya baru menginjak enam belas tahun. Karena usianya yang masih begitu muda saat menikah, maka Solichah tidak mengenyam banyak pendidikan, akan tetapi ia selalu ingin tahu dan memiliki pikiran aktif dan keinginan kuat. Solichah 10 Barton, Biografi Gus Dur, h. 26-28. 11 Barton, Biografi Gus Dur, h. 31. muda mengenyam banyak pendidikan di madrasah milik ayahnya Kiai Bisri Syansuri. Setelah menikah Solichah mendapatkan bimbingan dari suaminya. Sebagaimana kebiasan santri Jawa dan kaum muslim ortodoks, Gus Dur menggunakan nama ayahnya setelah namanya sendiri, yakni menjadi Abdurrahman Wahid Abdurrahman putera Wahid. Akan tetapi, nama resminya lain lagi, yakni Abdurrahman ad-Dakhil. Gus Dur adalah anak pertama dari Wahid Hasyim dan Solichah. 12 Pada akhir tahun 1944, Gus Dur yang baru berusia empat tahun diajak ayahnya untuk menetap di Jakarta, sedangkan ibu dan adik-adiknya tetap berada di Jombang. Gus Dur bersama dengan ayahnya menetap di Menteng, Jakarta Pusat, yang saat itu merupakan tempat bermukimnya para pengusaha terkemuka, para profesional, dan politikus. Daerah Menteng saat itu merupakan pusat kegiatan sehingga dengan mudah Wahid Hasyim dan putera sulungnya setelah selesai melaksanakan ibadah salat di masjid Matraman, secara teratur dapat bertemu dengan pemimpin-pemimpin Nasionalis seperti Moh. Hatta. Ayah Gus Dur juga membina hubungan baik dengan bagian-bagian masyarakat lainnya, termasuk Tan Malaka. Bahkan menurut ingatan Gus Dur, seorang laki-laki asing sering berkunjung untuk menemui ayahnya dan bercakap-cakap berjam-jam lamanya. Atas permintaan orang asing tersebut Gus Dur memanggilnya Paman Husein. Setelah beberapa tahun kemudian Gus Dur kecil baru tahu bahwa tamu asing tersebut adalah Tan Malaka, seorang tokoh Komunis. 13 12 Barton, Biografi Gus Dur, h. 33. 13 Barton, Biografi Gus Dur, h. 35. Pada tahun 1949, Gus Dur beserta seluruh keluarganya pindah ke Jakarta, ayahnya memangku jabatan Menteri Agama. Wahid Hasyim menduduki jabatan selama lima kabinet dan baru melepaskan jabatan pada tahun 1952. Pada tahap ini pendidikan Gus Dur bersifat sekuler. Gus Dur memulai sekolah dasarnya di SD KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga, kemudian di kelas empat. Lalu pindah ke SD Matraman Perwari, yang terletak dekat dengan rumah keluarganya yang baru di Matraman, Jakarta Pusat. Di rumahnya, di Jakarta Pusat tersebut, Gus Dur banyak berjumpa dengan tamu-tamu asing yang datang untuk menemui ayahnya, berbicara dalam berbagai bahasa. Di rumah ini pula banyak terdapat buku, majalah dan koran dalam jumlah yang besar. Dalam tahun-tahun di Jakarta ini pula Gus Dur sering menemani ayahnya pergi ke pertemuan- pertemuan, hingga ia dapat menyaksikan bagaimana ayahnya hidup dalam dunianya dengan cara yang sederhana. 14 Pada tanggal 18 April 1953, kecelakaan mobil yang terjadi di jalan antara Cimahi dan Bandung merenggut nyawa Wahid Hasyim, ayah Gus Dur. Saat kecelakaan terjadi Gus Dur ikut dalam mobil ayahnya tersebut. Besarnya kecintaan dan penghormatan masyarakat terhadap ayahnya yang ditunjukkan dengan kesabaran orang-orang yang menunggu untuk menyaksikan perjalanan terakhir seorang Wahid Hasyim ke Jawa Timur, baik di Jakarta maupun di desa, menyadarkan Gus Dur betapa masyarakat mencintai dan menghormati ayahnya. Hal ini menjadi titik tolak bagi Gus Dur untuk memahami “Apa yang mungkin 14 Barton, Biografi Gus Dur, h. 37-41. dapat dilakukan oleh seorang manusia sehingga rakyat sangat mencintainya? Apakah ada prestasi yang lebih baik dari pada hal ini dalam hidup?” 15 Pada Tahun 1953 – 1957, Gus Dur belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama SMEP di Yogya. 16 Ia tinggal di rumah K.H. Junaid, beliau adalah seorang ulama yang terlibat dalam gerakan Muhammadiyah, posisinya adalah sebagai anggota Majelis Tarjih atau Dewan Penasihat. 17 Untuk melengkapi pendidikan Gus Dur, maka diatur pula agar ia pergi ke Pesantren Al-Munawwir di Krapyak, tiga kali seminggu. Pesantren ini terletak sedikit di luar Yogyakarta. Gus Dur belajar bahasa Arab di sini dengan Kiai Haji Ali Ma‘shum. Kiai Haji Ali Ma‘syum memiliki pergaulan yang luas, baik dengan pejabat pemerintah, pemimpin-pemimpin Muhammadiyah, serta kerabat keraton Yogyakarta. Yogyakarta saat itu telah menjadi kota universitas, banyak tokoh- tokoh yang menjual buku yang semakin merangsang dan mengembangkan kecintaan membaca. 18 Gus Dur menamatkan Sekolah Menengah Ekonomi Pertama SMEP di Yogyakarta, tahun 1957. Sejak saat itu, ia mulai mengikuti pelajaran di pesantren secara penuh. Hingga tahun 1959, Gus Dur bergabung dengan Pesantren Tegalrejo di Magelang di bawah bimbingan Kiai Khudhori, yang merupakan salah satu pemuka NU. Di saat yang sama, Gus Dur juga belajar di Pesantren Denanyar 15 Barton, Biografi Gus Dur, h. 42-44. 16 Mufid A.R., Ada Apa Dengan Gus Dur, h. 9. 17 Barton, Biografi Gus Dur, h. 47. 18 Barton, Biografi Gus Dur, h. 49. di Jombang dengan kakeknya Kiai Bisri Syansuri. Kemudian, di tahun ini pula, Gus Dur pindah ke Jombang dan belajar secara penuh di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan Kiai Wahab Khasbullah, hingga tahun 1963. Pada saat itu, Gus Dur sangat tertarik pada sisi sufistik dan mistik dari kebudayaan Islam tradisional, dan juga telah membiasakan diri untuk secara teratur berziarah ke makam-makam untuk berdoa dan meditasi pada tengah malam. Pada masa ini juga Gus Dur mengalami konsolidasi dalam studi formalnya tentang Islam dan sastra Arab klasik. 19 Sejak di Yogyakarta Gus Dur sangat menggandrungi wayang kulit, film- film di bioskop, dan cerita silat. Ketika ia pindah dari Yogyakarta ke Magelang, yakni memasuki usia remaja, ia mulai serius memasuki dua macam dunia bacaan: pikiran sosial Eropa dan novel-novel besar Inggris, Prancis, dan Rusia. Di Magelang, ia mulai membaca tulisan-tulisan ahli-ahli teori sosial Eropa yang terkemuka. Di masa remajanya, Gus Dur juga sudah mulai memahami tulisan- tulisan Plato dan Aristoteles, Das Kapital oleh Marx, dan What is to be done Apa yang Harus Dikerjakan oleh Lenin. Gus Dur juga banyak tertarik pada ide Lenin tentang keterlibatan sosial secara radikal seperti dalam Infantile Communism Kekiri-kirian Penyakit Kekanak-kanakan dan dalam Little Red Book-Mao Kutipan Kata-Kata Ketua Mao. Tetapi, dari apa yang dibacanya bukan politik dan filsafat yang menarik perhatiannya, melainkan bagaimana mempunyai sifat yang manusiawi. 20 19 Barton, Biografi Gus Dur, h. 49-50. 20 Barton, Biografi Gus Dur, h. 51-54. Walaupun Gus Dur memiliki ketertarikan akan ide-ide baru dan minat yang besar akan teori sosial Barat liberal juga ide-ide menarik dalam pikiran kaum Marxis, ia tetap merasa terganggu dengan antagonisme Marxisme dengan agama. Gus Dur berharap bahwa dalam Islam ia dapat memperoleh jawaban bagi masalah-masalah ketidakadilan, kemiskinan, dan penindasan. Maka, Gus Dur mulai membaca karya-karya Sayyid Qutb, Sa‘id Ramadan, Hasan al-Banna serta ide-ide di balik organisasi Islam terkemuka di dunia Arab, seperti Ikhwanul Muslimin, dengan harapan dapat memperoleh visi politik yang komprehensif dan padu. 21 Tahun 1963 sampai dengan 1971, Gus Dur menghabiskan waktunya di luar negeri. Kota pertama yang menjadi tempat pembelajarannya yang pertama adalah Kairo. Di sana, Gus Dur menempuh studinya di Al-Azhar. Akan tetapi, studi formal Gus Dur mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan metode perkuliahan yang dirasakannya membosankan membuatnya jarang masuk kelas, hal ini mempengaruhi nilai-nilainya. Karena prestasinya yang tidak baik di Al- Azhar, Gus Dur kembali menerima beasiswa untuk studinya di Baghdad. Di sini menjadi tempat berkembangnya intelektual Gus Dur secara mantap. Universitas Baghdad telah menjadi lingkungan yang membuat Gus Dur tumbuh subur sebagai cendikiawan. 22 Pertengahan tahun 1970-an, Gus Dur menyelesaikan studi empat tahunnya di Universitas Baghdad dan pindah ke Eropa. Karena ijazah dari 21 Barton, Biografi Gus Dur, h. 54-55. 22 Barton, Biografi Gus Dur, h. 83-99. Universitas Baghdad hampir tidak memperoleh pengakuan di Eropa, maka Gus Dur menghabiskan waktunya di Eropa tanpa menjalankan studi formal dan kembali ke Jawa, tahun 1971. 23 Gus Dur yang asli orang Jawa memang berwatak kalem. Di samping itu, Gus Dur punya kebiasaan mendengarkan musik klasik Beethoven, yang mungkin di kalangan para kiai termasuk hobi yang nyeleneh. Dalam segi perjuangan, Gus Dur menggunakan jalan kultural dengan semangat membumikan nilai-nilai Islam, karena dalam pandangan pemikirannya yang pokok untuk ditanamkan bukanlah simbol-simbol Islam melainkan nilai-nilai yang terkandung dalam Islam itu sendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika partai yang dideklarasikannya tidak berasaskan Islam melainkan Pancasila, karena Pancasila merupakan cerminan dari nilai-nilai keislaman. 24

B. Latar Belakang dan Aktivitas Sosial Politik