D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran terhadap data judul skripsi yang ada di Perpustakaan Fakultas, tidak ditemukan satu judul pun yang sama dengan judul
skripsi ini, “Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi Studi Kasus
Eksekusi Mati Dukun AS”
.
Kalaupun ada yang sama, hanya hal yang umum saja tidak sampai kepada hal yang spesifik mengenai studi kasus. Dengan demikian
skripsi ini dapt dikatakan “ASLI” dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Grasi
Pengertian Grasi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
1
Istilah grasi oleh banyak penulis buku hukum pidana dirumuskan sebagai hak Kepala Negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang
Grasi yaitu ampunan yg diberikan oleh Kepala Negara kepada orang yg telah dijatuhi
hukuman; sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menyebutkan Grasi adalah
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm 284.
Universitas Sumatera Utara
dipidana.
2
Dalam arti umum, grasi sebenarnya merupakan suatu pernyataan dari Kepala Negara yang meniadakan sebagian atau seluruh akibat hukum pidana.
Ataupun sebagai hak prerogatif dari Raja untuk memberikan pengampunan kepada orang yang dipidana, tanpa menyadari bahwa mereka itu
sebenarnya sedang membicarakan masalah hukum tatausaha negara.
Apa yang disebut pengampunan oleh Kepala Negara itu tidaklah selalu berkenaan dengan ditiadakannya pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim, yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap in kracht van gewijsde saja, melainkan juga dapat berkenaan dengan:
a. Perubahan dari jenis pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim bagi seorang
terpidana. Misalnya: perubahan dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup atau menjadi pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun;
b. Pengurangan dari lamanya pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan
atau pidana kurungan sebagai pengganti denda atau karena telah dapat menyerahkan sesuatu ‘benda’ yang telah dinyatakan sebagai disita untuk
kepentingan negara, seperti yang telah diputuskan oleh hakim, dan c.
Pengurangan dari besarnya uang denda seperti telah diputuskan oleh hakim bagi seorang terpidana.
Satochid Kartanegara
3
2
Ditjen Hukum dan Perundang-undangan, Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan tentang Grasi Jakarta: Departemen Kehakiman, 1983, hlm 11.
mengutip pendapat Simons, Vos dan Jonkers sebagai berikut:
3
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Dua Tanpa tempat: Balai Letur Mahasiswa, tanpa tahun, hlm 245-247
Universitas Sumatera Utara
SIMONS: “Hak grasi dimasukkan dalam art. 68 Undang-undang Dasar Kerajaan
Belanda, yang meliputi hukuman atas dasar keputusan pengadilan. Penggunaan terhadap hak ini adalah hak untuk terhadap hukuman yang
dijatuhkan, secara keseluruhan atau sebagian ditiadakan. Sekarang ini pelaksanaan hak grasi bukan lagi merupakan suatu yang
bersifat kemurahan dari kerajaan, akan tetapi merupakan suatu alat untuk menghindarkan terhadap hukum yang sedang berlaku, akan tetapi yang
kurang adil bagi suatu peristiwa-peristiwa khusus. Ketidakadilan itu harus dihindarkan, bila terdapat alasan-alasan dan demi kepentingan
negara sendiri untuk menghindarkan pelaksanaan hukuman. Sifat dari grasi bukan merupakan suatu kemurahan yang ditujukan
kepada terhukum, akan tetapi merupakan suatu tindakan hukum, dan selanjutnya grasi dapat diberikan tanpa dinyatakan terlebih dahulu dan
tidak dapat ditolak. Hak grasi juga dapat merupakan perubahan-perubahan dalam bentuk
hukuman. Umpamanya hukuman denda sebagai pengganti hukuman vriheiddestraf, hukuman kurungan sebagai pengganti hukuman penjara,
dan sebagainya. Untuk menetapkan hukuman yang lebih berat tidak dimungkinkan.”
Vos: “Mengenai grasi dan bangunan-bangunan semacamnya. Dahulu grasi
merupakan suatu kemurahan hati Raja, sekarang lebih ditujukan kepada sifat-sifat korektif terhadap keputusan hakim. Dipandang dari kebebasan
hakim dalam menentukan besarnya hukuman, serta adanya lembaga untuk mengadakan pemeriksaan ulang, maka bangunan ini adalah
kurang diperlukan. Walaupun demikian terdapat pula dasar-dasar untuk tetap perlunya bangunan ini, umpamanya bagi terhukum yang
menunjukkan kelakuan yang baik di dalam penjara. Grasi di dalam peristiwa-peristiwa perayaan yang bersifat nasional juga
tidak dianggap sebagai suatu kemurahan; itu adalah merupakan ungkapan perasaan umum manusia terhadap yang berbuat kejahatan, di
mana seakan-akan pembebasan terhadap segala perbuatannya diperlunak.
Grasi sebagai kemurahan hati yang bersifat pribadi dari Raja tidak lagi berlaku. Karena kini grasi itu sebagian besar adalah di bawah
pertanggungjawaban pemerintah. Dan karenanya grasi bukan lagi bersifat sebagai suatu kemurahan, karenanya terhukum juga tidak dapat
menolaknya.”
Universitas Sumatera Utara
Jonkers: “Hak Grasi. Arti kekuasaan kehakiman terletak pada kebebasannya, dan
dengan sendirinya kebebasan itu adalah dalam arti relatif bukan absolut. Demikian juga hakim, dalam undang-undang untuk alasan-alasan
tersebut dapat digeserkan. Perbedaan hak antara pejabat biasa dan hakim, yang juga tergolong
pejabat, bahwa hakim atas pertimbangan sendiri melakukan undang- undang; pemerintah atau administrasi tidak dapat memberikan instruksi-
instruksi kepadanya, terhadap tanggapan hakim untuk sesuatu peraturan hukum. Bila itu terjadi, sifat kebendaan yudikatif disamping kekuasaan
administratif tidak mungkin ada, yang ada dengan demikian hanya satu kekuasaan saja yaitu kekuasaan administratif.
Salah satu karakteristik dari susunan pemerintah negeri Belanda ialah, bahwa segala ikut campur pemerintah kedalam masalah kehakiman
dilarang art. 157 I.S.. Hanya untuk beberapa hal, pemerintah mempunyai hak di dalam masalah kehakiman. Salah satu contoh
diantaranya ialah, hak grasi, yang menurut art. 70 Undang-undang Dasar, dilimpahkan kepada Raja.
Grasi meniadakan akibat-akibat suatu hukuman, dan bukan terhadap hukumannya sendiri. Bila terhukum pada sewaktu-waktu melakukan
kejahatan semacam dan harus dituntut, maka hal itu mempunyai dasar sebagai recidive.
Hak grasi dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Suatu hukum dapat sebagian atau seluruhnya ditiadakan suatu bentuk hukuman kepada
bentuk hukuman lain, umpamanya, hukuman penjara menjadi hukuman kurungan, menjadi hukuman denda, dan sebagainya.”
2. Pengertian Pemidanaan dan Pidana Mati
Rudy Satriyo Mukantardjo, dalam tulisannya, menyebutkan bahwa Pemidanaan merupakan suatu upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk
mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang melalui proses peradilan pidana yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana.
Pemidanaan, atau yang dimaksud sebagai pengenaanpemberianpenjatuhan pidana lebih berkonotasi pada proses penjatuhan pidana dan proses menjalankan
pidana.
Universitas Sumatera Utara
Pemidanaan berasal dari kata pidana yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman.
Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan.
Sementara untuk pidana mati, tidak ada sarjana yang secara spesifik memberikan definisi. Hanya saja dalam lalu lintas terminologi, para akademisi
maupun para praktisi hukum tidak jarang secara bergantian menggunakan istilah hukuman mati untuk pidana mati. Dalam kajian istilah asing pidana mati sering
disebut pula dengan istilah death penalty yang memiliki arti sama dengan hukuman mati. Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kajiannya untuk mencari tahu
hubungan antara hukuman mati dengan angka pembunuhan antara 1988-2002 memberi istilah capital punishment untuk hukuman mati. Catatan KontraS untuk
pelaksanaan hukuman mati di dunia. Dalam konteks akademis para sarjana lebih sering memberikan
pandangan-pandangan terhadap pidana mati. Dalam hal ini pandangan itu terbagi atas pandangan yuridis dan pandangan kriminologis. Pandangan yuridis terhadap
pidana mati disini adalah suatu pandangan yang melihat pidana khususnya pidana mati berdasarkan teori absolut dari aspek pembalasannya dan teori relatif dari
aspek menakutkannya yang bertujuan untuk melindungi masyarakat. Dengan istilah lain, dapat dikatakan suatu pandangan yang melihat pidana khususnya
pidana mati hanya dari conseptual abstraction belaka.
4
4
Djoko Prakoso, Hukum Pidana II, Sinar Grafika, Jakarta, 1995. hal 52
Universitas Sumatera Utara
Berbeda dengan pandangan yuridis yang conseptual abstraction, maka pandangan kriminologis lebih melihat pidana sebagai suatu kenyataan. Hal ini
dikarenakan para sarjana kriminologi tidak berbicara dengan bahasa transendental, mereka berbicara secara konkrit.
5
Di lain hal salah satu ensiklopedia elektronik mencatat bahwa hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan atau tanpa
pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
6
3. Sejarah Pidana Mati di Indonesia
Berkaitan dengan kata sejarah, tak pelak harus menelusuri keberadaan pidana mati baik dari aspek pengaturannya dalam suatu ketentuan hukum maupun
dari aspek pelaksanaanya jauh ke belakang sejauh mata memandang. Dalam hal ini Sejarah Pidana Mati yang akan dipaparkan oleh penulis terkait dengan
penerapannya pada masa lampau sebelum pendudukan kolonial Belanda dan Jepang, pada masa pendudukan kolonial Belanda dan Jepang, pasca proklamasi
kemerdekaan hingga saat ini. Sejarah Pidana Mati dalam penerapannya sebelum pendudukan kolonial
Belanda dan Jepang dapat ditelusuri dari sejarah hukum adat Indonesia. Menurut Plakat tertanggal 22 April 1808 pengadilan diperkenankan menjatuhkan pidana:
7
5
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Alumni Bandung, 1979, hal. 173
6
http:id.wikipedia.orgwikiHukuman_mati diakses pada hari rabu, tanggal 20 Oktober 2010, Pkl
08.49 WIB
7
Andi Hamzah, A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
1. Dibakar hidup-hidup pada suatu tiang,
2. Dimatikan dengan menggunakan keris,
3. Dicap bakar,
4. Dipukul,
5. Kerja paksa pada pekerjaan umum.
Ternyata hukum adat dahulu mengenal pidana mati. Dengan eksekusi yang kejam seperti di Aceh, seorang istri yang berzinah dibunuh. Ketika Sultan
berkuasa disana, dapat dijatuhkan lima 5 macam pidana yang utama:
8
1. tangan dipotong pencuri,
2. dibunuh dengan lembing,
3. dipalang di pohon,
4. dipotong daging dari badan terpidana sajab,
5. ditumbuk kepala terpidana di lesung
Di Sulawesi Selatan, ketika Aru Palaka berkuasa, terpidana yang menurut pandangan Aru Palaka membahayakan kekuasaannya seperti La Sunni
dipancung kepalanya. Kemudian kepala itu diletakkan di atas baki dan diperhadapkan kepada Aru Palaka sebagai bukti eksekusi telah dilaksanakan.
9
Sistem pemidanaan tersebut dalam plakat masih berlangsung hingga tahun 1848 dengan keluarnya peraturan hukum pidana yang terkenal dengan nama
Intermaire Straf Bepalingen LNHB 1848 No. 6 Pasal 1. Peraturan ini meneruskan keadaan hukum pidana yang sudah ada sebelum 1848, terkecuali beberapa
perubahan dalam hukum penitensier; yang penting diantaranya ialah pidana mati
8
Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta: Universitas Nijheft, 1981, hal. 243
9
Leonard Y. Anday, The Heritage of Aru Palaka, The Hagues: Martinus, 1960, hal. 20
Universitas Sumatera Utara
tidak lagi dilaksanakan dengan cara yang ganas seperti menurut plakat 22 April 1808 itu, tetapi dengan pidana gantung.
10
Setelah Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP 1915 diberlakukan, maka hakim pidana pada pengadilan negara tidak dapat memakai
hukum pidana adat dan istiadat sebagai strafbaar dapat dipidana, tetapi sebagai strafmaat ukuran pidana boleh karena ia terikat pasal 1 ayat 1 KUHP.
11
Sementara pada masa pendudukan Kolonial Belanda maupun Jepang ada beberapa ketentuan pidana mati sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum adat
setempat masih dipertahankan, walaupun ada beberapa daerah tertentu dimana cara pengeksekusiannya disesuaikan dengan ketentuan para penjajah. Namun
secara umum terkait cara pengeksekusiannya, kebanyakan eksekusi pidana mati dilaksanakan dengan menggantung si penjahat pada tempat penting di tengah-
tengah alun-alun dengan dipertontonkan di muka umum. Hal ini dimaksudkan supaya sebanyak mungkin orang yang melihatnya dan menjadi takut untuk
melakukan kejahatan.
12
Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP tahun 1915, Pasal 11 berbunyi, “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan
menggunakan jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang gantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.”
13
10
Schepper, Het Nederlands Indisch Strafstelsel, 1952, hal. 51
11
Andi Hamzah, A. Sumangelipu, op. cit. hal. 48
12
Ibid., hal. 79
13
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Menurut Prof. Sutan Muhammad, sejarah di Indonesia sebelum perang ada seorang algojo yang bernama Bapak Tere, tinggal di Kebun Sirih, Jakarta.
Bapak Tere ini satu-satunya algojo di Indonesia pada saat itu. Sedangkan pada masa pendudukan Jepang ada dua peraturan yang
dijalankan, yaitu Pasal 11 KUHP
14
dan satu peraturan baru yang diundangkan oleh pemerintah Jepang yang menghendaki pidana mati dilaksanakan dengan
tembakan mati artikel 6 dari Ozamu Gunrei No. 1 pada tanggal 2 Maret dengan artikel 5 dari Gunrei Keizirei, yaitu kode kriminal dari pemerintah pendudukan
Jepang.
15
Pada tanggal 29 September 1958 Badan Legislatif menetapkan Undang- undang 1958 No. 73 untuk mencapai kesatuan dalam menetapkan hukum pidana
dengan mengumumkan Undang-undang 1946 No. 1 untuk mengikat seluruh Indonesia. Akan tetapi Undang-undang 1946 No. 1 itu adalah hukum pidana dan
pada umumnya kedua-duanya hukum pidana yang telah diundangkan dan hukum pidana di luar kode kriminal. Akibatnya ialah, bahwa undang-undang itu
mempunyai juga efek pada peraturan dari Lembaran Negara 1945 No. 123. Pasal 1 Undang-undang 1946 No. 1 menetapkan bahwa peraturan-peraturan pidana
yang mengikat sekarang ialah peraturan hukum pidana dari 8 Maret 1942. Dari sejak sekarang semua peraturan di Jakarta Raya, Sumatera Timur, Kalimantan,
Namun setelah kesatuan Republik Indonesia tercapai, pidana mati kembali dilakukan dengan pidana gantung.
14
KUHP berlaku pada masa pendudukan Jepang, berdasarkan Aturan Peralihan dari Pemerintah Militer Jepang
15
Han Bing Siong, Tjara Melaksanakan Pidana Mati pada Waktu Sekarang dan pada Waktu Lampau, ceramah radio dari 24 Februari s.d. 15 Juli 1960
Universitas Sumatera Utara
dan Indonesia Timur yang diterbitkan sesudah tanggal itu mesti dianggap batal, termasuk peraturan-peraturan dari Staatblad 1945 No. 123.
16
Suatu penetapan baru tentang pelaksanaan pidana mati ialah penetapan Presiden Republik Indonesia Tahun 1964 No. 2 yang menetapkan bahwa
pelaksanaan pidana mati, baik yang dijatuhkan di lingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati.
17
4. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
18
Persiapan Pidana Mati Pidana mati dilaksanakan di suatu tempat di daerah hukum pengadilan
yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama Pengadilan Negeri, dilaksanakan tidak di muka umum oleh karena itu tidak boleh diliput media dan
dengan cara sesederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. Pidana mati yang dijatuhkan atas beberapa orang di dalam satu putusan perkara,
dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali ditentukan lain.
Dengan masukan dari Jaksa, Kapolda dimana Pengadilan Negeri tersebut berada menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. Untuk
pelaksanaan pidana mati Kapolda membentuk sebuah regu Penembak yang terdiri dari seorang Bintara, dua belas orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang
16
Andi Hamzah, A. Sumangelipu, op. cit. hal. 91
17
Ibid., hal. 94
18
UU No 2Pnps1964 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Ma ti
Universitas Sumatera Utara
Perwira, semuanya dari Brigade Mobile Brimob. Selama pelaksanaan pidana mati mereka dibawah perintah Jaksa.
Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana di tahan dalam penjara atau tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa. Tiga kali 24 jam sebelum saat
pelaksanaan pidana mati, Jaksa memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut.
Apabila terpidana hendak mengemukakan sesuatu keinginanpesan terakhir, maka dapat disampaikan kepada Jaksa tersebut. Apabila terpidana
hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan 40 hari setelah anaknya dilahirkan.
Pelaksanaan Pidana Mati Terpidana dibawa ke tempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan
polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib, biasanya dengan pakaian yang
sudah disediakan. Dimana ada sasaran target di baju tersebut di jantung. Setibanya di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal
menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau
berlutut. Jika dipandang perlu, terpidana dapat diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Misalnya diikat pada tiang
atau kursi.
Universitas Sumatera Utara
Setelah terpidana sudah berada dalam posisinya, maka Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang ditentukan. Jarak antara
terpidana dengan Regu Penembak antara 5 sampai 10 meter. Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa memerintahkan untuk memulai pelaksanaan
pidana mati. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu
Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan Regunya untuk membidik pada jantung
terpidana dan dengan menyentakkan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak.
Apabila masih terlihat tanda-tanda kehidupan, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk menembak
terpidana menggunakan pistol tepat di atas telinga terpidana. Kemudian dokter memeriksa terpidana untuk memastikan kematiannya.
F. Metode Penelitian
1. Jenisspesifikasi Penelitian
Penelitian skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang
berhubungan dengan permasalahan skripsi. 2.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini
adalah penelitian kepustakaan Library Research. Yaitu penelitian terhadap
Universitas Sumatera Utara
literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoretis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam
penulisan skripsi. Tujuan penelitian kepustakaan Library Research ini adalah untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peraturan
perundang-undangan, buku, situs internet, putusan pengadilan, maupun bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
3. Analisis Data
Yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan.
G. Sistematika Penulisan
Gambaran isi dari tulisan ini diuraikan secara sistematis dalam bentuk sistematika bab-bab yang permasalahannya diuraikan secara tersendiri, tetapi
antara satu dengan yang lain mempunyai keterkaitan Komprehensif. Berdasarkan sistematika penulisan yang baku, skripsi ini dibagi dalam
Lima Bab yaitu:
BAB I Pendahuluan
Bab ini merupakan pendahuluan skripsi yang berisi latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan pemanfaatan tulisan, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan gambaran isi.
BAB II Prosedur Pengajuan Grasi kepada Presiden baik Tahap I maupun Tahap II
Pada Bab ini dijelaskan bagaimana prosedur pengajuan grasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku UU No. 22 Tahun 2002
Universitas Sumatera Utara
Tentang Grasi. Didahului dengan pemaparan mengenai sejarah penerapan grasi, bagaimana eksistensi grasi saat ini dan bagaimana atau apa ketentuan yang
dipenuhi sebagai standar baku permohonan grasi dikabulkan.
BAB III Kajian Terhadap Prosedur Pengeksekusian Terpidana Mati
Bab ini membahas mengenai tahap lanjutan bilamana semua upaya hukum telah dilakukan, yaitu pengeksekusian terpidana mati. Bagaimana seorang
terpidana mati dapat segera dieksekusi dan bagaimana bila upaya hukumnya masih berlangsung, dapatkah segera dilakukan pengeksekusian oleh eksekutor.
Dan akhirnya bagaimana dengan pidana mati itu sendiri dengan tujuan pidana mati itu diterapkan, daya tekannya untuk menimnbulkan efek jera bagi pelaku
tindak pidana.
BAB IV Analisis Kasus Grasi dalam Eksekusi Terpidana Mati Dukun AS
Bab ini memuat analisis penulis terhadap kasus grasi dalam eksekusi terpidana mati Dukun A.S. Dengan membandingkan pertimbangan-pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan vonis pada putusan pidana mati dukun A.S dan upaya hukum yang dilakukan pihak Dukun A.S.
BAB V Penutup : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang merumuskan suatu kesimpulan dari penulis dari pembahasan permasalahan yang ada. Kemudian terhadap
permasalahan tersebut dan kalau terjadi di masa yang akan datang penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang
berguna bagi para pembaca baik secara teori maupun dalam praktiknya.
Universitas Sumatera Utara
BAB II Prosedur Pengajuan Grasi Kepada Presiden Baik Tahap I
Maupun Tahap II
A. Sejarah Penerapan Grasi