biasanya tidak memiliki hubungan emosional yang dekat, dibandingkan dengan seorang sahabat. Akan tetapi hubungan antar individu yang ditandai dengan
kepentingan sepihak saja, tidak akan bertahan lama, dan segera mengalami disintegrasi misalnya sikap egois, yakni seseorang akan berteman orang lain, jika
orang itu dianggap dapat memberi keuntungan terhadap dirinya. Sementara itu, seorang sahabat yang sejati akan memiliki kedekatan secara emosional emotional
attachment dengan individu yang dipercayainya. Karena dipercaya, maka seorang sahabat akan mau menjadi tempat pencurahan perasaan baik suka maupun duka dari
sahabatnya, demikian pula sebaliknya. Hubungan akrab tersebut, bukan sekedar basa- basi yang nampak dari sisi luar saja, tetapi keakraban tersebut merupakan cerminan
dari sifat ketulusan kemurnian hati yang paling dalam Dariyo, 2004. Remaja sebagai kelompok cenderung lebih “memilih-milih” dalam mencari
rekan atau teman-teman baik dibandingkan ketika masih kanak-kanak. Oleh karena itu, remaja dengan latar belakang sosial, agama, atau sosial ekonominya berbeda
dianggap kurang disenangi dibandingkan dengan remaja dengan latar belakang yang sama. Bila menghadapi teman-teman yang dianggap kurang cocok ini, ia cenderung
tidak memperdulikan dan tidak menyatakan perasaan superioritasnya sebagaimana dilakukan oleh anak yang lebih besar Hurlock, 2003.
2.4.2 Konformitas
Menurut Kiesler dan Kiesler 1969 dalam Rakhmat 2008, konformitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju norma kelompok sebagai
akibat tekanan kelompok yang real atau yang dibayangkan. Individu mengikuti
Universitas Sumatera Utara
kelompok karena menganggap kelompok sebagai petunjuk untuk memilih alternatif. Pengaruh sosial normatif sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti jejaka
yang menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat calon mertuanya, pelamar kerja yang mengangguk-angguk di depan calon majikan, mahasiswa yang mengiyakan
pendapat dosennya, adalah contoh-contoh pengaruh sosial normatif. Dalam tiap kelompok sebaya, kecenderungan kohesi bertambah dengan
bertambahnya frekuensi interaksi. Dalam kelompok dengan kohesi yang kuat berkembanglah suatu iklim kelompok dan norma-norma kelompok tertentu.
Pemberian norma tingkah laku oleh kelompok sebaya peers group. Norma kelompok dapat berbeda sekali dengan norma yang dibawa remaja dari keluarga
yang sudah lebih dihayatinya karena sudah sejak kecil diajarkan oleh orang tua. Bila norma kelompok lebih baik dari norma keluarga, maka hal tersebut tidak memberikan
masalah apapun, asalkan remaja betul-betul meyakini norma kelompok yang dianutnya. Tetapi justru adanya paksaan dari norma kelompok, menyulitkan bahkan
tidak memungkinkan dicapainya keyakinan diri. Sifat “kolektif”nya akan menguasai tingkah laku individu. Kecenderungan untuk membatasi rasionalitas dan berpikir
rasional ini tidak membantu perkembangan kepribadian yang sebenarnya. Sementara orang menilai konformitas kelompok ini positif sebagai upaya menentukan identitas
diri Monks, 2006. Konformitas kelompok ada hubungannya dengan kontrol eksternal. Remaja
yang kontrol eksternalnya lebih tinggi akan lebih peka terhadap pengaruh kelompok. Lefcourt 1966 dalam Monks 2006 menemukan bahwa remaja yang berasal dari
Universitas Sumatera Utara
kelas sosial lebih rendah mempunyai kecenderungan yang lebih banyak untuk melakukan konformitas dengan kelompoknya. Bila kelompok tersebut dirasa
menguntungkan maka remaja akan berbuat sesuai dengan tuntutan kelompoknya, juga bila tuntutan tadi bertentangan dengan norma-norma yang baik. Di samping itu
perlu disadari bahwa moral dari kelas sosial yang lebih tinggi bukan merupakan moral kelas sosial yang lebih rendah.
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua. Dibanding masa kanak-kanak, remaja lebih banyak
melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstrakurikuler, dan bermain dengan teman. Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman
sangat besar. Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif
yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya.
Kelompok teman sebaya diakui dapat memengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Conger 1991 dan Papalia dan Olds 2001
mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi
remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara
berpakaian yang menarik, musik, film apa yang bagus, dan seks Jahja, 2011.
Besarnya peranan teman sebaya dalam kehidupan sosial remaja mendorong remaja untuk membentuk kelompok-kelompok usia sebaya, kelompok tersebut bisa
merupakan kelompok yang besar karena anggotanya banyak, yang disebut sebagai
Universitas Sumatera Utara
crowd tetapi dapat juga kelompok kecil yang disebut sebagai clique. Kelompok besar biasanya terdiri dari beberapa clique. Karena jumlah anggotanya sedikit, maka clique
mempunyai kohesi kelompok yang lebih tinggi. Di dalam pembentukan kelompok juga akan diikuti juga dengan adanya perilaku konformitas kelompok, dimana remaja
akan berusaha untuk dapat menyesuaikan dan menyatu dengan kelompok agar mereka dapat diterima oleh kelompoknya Soetjiningsih, 2004.
Rakhmat 2008 mengatakan bahwa konformitas merupakan produk interaksi antara faktor-faktor situasional dan faktor-faktor personal. Faktor-faktor situasional
yang menentukan konformitas adalah kejelasan situasi, konteks situasi, cara menyampaikan penilaian, karakteristik sumber pengaruh, ukuran kelompok, dan
tingkat kesepakatan kelompok. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengaruh norma kelompok pada konformitas anggota-anggotanya bergantung pada ukuran
mayoritas anggota kelompok yang menyatakan penilaian. Sampai tingkat tertentu, makin besar ukurannya, makin tinggi tingkat konformitasnya.
2.4.3 Kepemimpinan Kelompok