17
Jadi pembatalan perkawinan mengangap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah atau diangap tidak pernah ada. Dengan begitu
perkawinan tersebut cacat menurut hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
B. Sebab Jatuhnya Fasakh Dalam Perkawinan
Ada beberapa hal yang menyebabkan perkawinan dapat rusak atau difasakhkan, dengan fasakh tersebut akad perkawinanya tidak berlaku lagi
Sebab-sebab itu antara lain: 1.
Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan atau sebaliknya. Misalnya seorang laki-laki mandul, maka si perempuan atau laki-laki berhak
mengajukan Fasakh manakala dia memngetahui, kecuali bila ia memilih untuk tetap menjadi suami atau istri dan Ridha digauli. Umar bin Khatab berkata
kepada laki-laki yang mandul dan akan mengawini seorang perempuan: “
Beritahukan padanya bahwa kamu mandul, biarkan dia memilih “.
2. Seseorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan yang mengaku perawan
tetapi ternyata janda, maka laki-laki tersebut berhak minta ganti rugi maharnya sebanyak sekitar mahar seorang gadis atau janda.
3. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, kemudian kedapatan bahwa
si istri cacat tidak dapat di campuri. Misalnya selalu ishtihadhah atau selalu keluar darah dari rahimnya, Istihadhah adalah aib, karena itu ia dapat
menyebabkan fasakh dan merusakan nikah.
18
4. Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tetapi di tubuh perempuan ada
penghalang yang menyebabkan si istri tidak dapat di gauli, misalnya kemaluanya tersumbat, tubuh daging atau robek, atau ada tulangnya, suami
boleh mengajukan fasakh dan membatalkan akadnya. 5.
Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi perempuan itu mengidap penyakit atau cacat seperti supak, kusta atau gila.
8
Wanita boleh dikembalikan lagi kepada keluarganya karena mengidap salah satu dari lima cacat, yaitu: gila, lepra, sopak, lubang kemaluan mampat
rataq ataupun terdapat didalamnya tulang qarn yang menggangu persetubuhan.
9
Sebaliknya, laki-laki pun boleh ditolak dengan lima cacat: gila, lepra, sopak, batang zakar putus ataupun tidak berdaya impoten. Karena dengan
pernikahan dimaksudkan agar hubungan bisa langeng, sedangkan dengan adanya penyakit-penyakit tersebut kesenangan bersama tak bisa dicapai. Maka disini
diperbolehkan memilih, apakah perkawinan akan diteruskan atau tidak, agar memimbulkan bahaya pada kedua belah pihak yang tiada berkesudahan. Karena
Islam tentu tidak menghendaki baha apapun hal-hal yang menimbulkan bahaya:
َو َرَرَض َا َا
َرَرِض
dalam keadaan darurat tidak apa-apa jika tidak melakukan suatu kewajiban.
8
Alhamdani H.SA, alih bahasa Drs. Agus Salim, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam Jakarta: Pustaka Amani, 1989, hal. 52
9
Syaikh Kamil Muhamad’Uwaidah, Fikih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998, hal. 433
19
Demikianlah hal-hal yang berkaitan dengan cacat yang menyebabkan laki- laki dan perempuan berhak membatalkan akadnya apabila salah satu pihak
mempunyai cacat yang tidak diketahui pada waktu akad di langsungkan. Maka suami berhak mengajukan fasakh dan membatalkan perkawinanya, maka si
perempuan juga berhak mengajukan fasakh apabila suami mempunyai cacat yang menyebabkan ia lari dari suaminya.
10
Fasakh juga dapat terjadi ketika seorang suami atau istri terbukti melangar syarat-syarat pernikahan yang sebelumnya telah disepakati oleh kedua belah
pihak ketika terjadinya akad pernikahan dan dihadiri oleh hakim misalnya ketika seseorang calon suami atau istri mengajukan syarat seperti merdeka, cakap, kaya,
perawan atau perjaka, terbebas dari aib seperti: “ saya nikahkan kamu dengan syarat bahwa kamu perawan atau merdeka ”. Ketika telah terjadi pernikahan dan
diketahui istrinya didapati tidak perawan karena sebab zina maka pernikahan tersebut akan fasakh dengan sendirinya. Hal ini dapat terjadi karena adanya salah
satu syarat yang tidak terpenuhi atau telah mengingkari syarat nikah dan juga adanya salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Namun ketika tidak adanya syarat yang disebutkan dalam akad pernikahan dan didapati istrinya sudah tidak perawan maka suami dapat memilih antara
mempertahankan pernikahan atau membatalkanya, ini semua berdasarkan yang telah dijabarkan oleh Sayyid Ad-Dimyati dalam kitabnya
I’anatu Tholibin.
11
10
Syaikh Kamil Muhamad’Uwaidah, Fikih Wanita,. hal.434
11
Ad-Dimyati, I’anatut Thalibin, ttp. Kerjasama Syirkahal-Ma’arif Lithobi an-Nashr dengan
Syirkah Nurul Tsaqofahal-Islamiyyah , Juz 3,tth. hal. 336-337
20
ا
Artinya: “Dan diperbolehkan atas suami dan istri untuk memilih dengan berbagai
syarat yang telah terjadi ketika akad bukan sebelum akad. Seperti syarat pada salah satu suami atau istri adalah merdeka atau memiliki
keturunan yang baik atau kecakapan atau keperawanan atau keperjakaan atau bersih dari aib-aib seperti saya menikahkan engkau
dengan syarat bahwasanya kamu masih gadis atau merdeka. Maka jika telah jelas dengan apa-apa yang telah disyaratkan maka jatuhlah
fasakh sekalipun tanpa ada qadhi hakim seperti telah disyaratkan sebuah kegadisan akan tetapi diketahui bahwa ia tidak gadis maka
diperbolehkanya kepergiannya
wanita atas keinginan suami dan ia telah mengingkari sebuah kejujuran. Atau telah hilang keperjakaan
maka perempuan berhak untuk meningalkanya kerena ia telah mengingkari syarat nikah. Maka berdasarkan pendapat ulama
semua adalah hak istri untuk menfasakhnya juga. Akan tetapi
berdasarkan pendapat yang dibenarkan bahwa bagi istri untuk mengembalikan
mahar jika di thalaq sebelum dukhul ”.
Mengenai sebab merasa tertipu oleh pihak lawan berakad maka dapat memohon kepada pihak Pengadilan Agama karena terdapat hal-hal yang tidak
mungkin mendatangkan ketentraman dalam pergaulan hidup berumah tangga mereka. Misalnya ada pengakuan sebagai anak kandung dan ternyata anak asuh
saja, atau istri mengaku gadis tetapi ternyata tidak gadis dan sebagainya.
12
12
Achma Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1995, cet ke-1, hal. 143
21
Maka disini telah terjadi unsur penipuan atau pembohongan dari pihak perempuan yang dilarang oleh syari’at, aib yang ada pada diri perempuan telah di
tutup-tutupinya atau oleh keluarganya. Padahal pernikahan itu harus bersendikan kejujuran dan ketulusan, untuk mencapai tujuan pernikahan dan apabila terjadi
penipuan maka tujuan tersebut tidak akan tercapai dengan baik.
C. Batalnya Perkawinan Dalam Perspektif UU No.1 Tahun 1974