SULAWESI SELATAN Penerapan Kearifan Lokal Dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

5. Menjagamengawasi agar pohon-pohon ditepi pantai jangan ditebang, karena ikan akan menjauh ketengah laut perlu disesuaikan dengan kondisi dan situasi daerah setempat. 6. Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan Panglima Laot dengan Panglima Laot lainnya. 7. Meningkatkan taraf kehidupan nelayan pesisir pantai. Keputusan Musyawarah Panglima Laot tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat-Istiadat Daerah Istimewa Aceh mengatur tentang Organisasi Panglima Laot, Cara Berpayang Dilaut, Masalah Meletakkan Tuas Dilaut, Masalah Memotong Tuas dan Unjam, Masalah ikan Dituasan kapal lain, Penangkapan Benur dan Nener, Tata Cara Persidangan , Sanksi Hukum, Pengaturan Keuangan LPHAL, serta Pasal Tambahan. Dengan adanya keputusan musyawarah panglima laot , maka setiap tindakan yang terjadi dilaut dapat lebih teratur sehingga setiap sengketa dan tindakan yang melanggar hukum dapat dijatuhi sanksi dan dapat diselesaikan dengan lebih baik.dengan adanya keputusan musyawarah ini juga maka ekosistem dilaut dapat lebih terjaga dan kelestarian lingkungan pasti terjamin akibat adanya sanksi yang akan diterima apabila terjadi kelalaian.

4. SULAWESI SELATAN

Hampir sama dengan kearifan lokal masyarakat Aceh, masyarakat Sulawesi Selatan juga memiliki nilai budaya dan ideologi yang tetap terjaga untuk Universita Sumatera Utara melindungi lautnya dari kerusakan. Beberapa jenis kearifan lokal tersebut antara lain : 1 . Panglima Menteng di Rajuni sebagai sebuah kelembagaan komunalism di Masa lalu hingga awal 1950-an. Pemanfaatan sumberdaya laut dikelola dengan sistem kepemimpinan tradisional. Laut dan sumberdaya dikandungnya bukanlah milik dan dimanfaatkan oleh semua seperti yang dipahami dan dipraktikkan penduduk nelayan kemudian. 311 Pada masa kolonial, wilayah kawasan Taka Bonerate adalah milik masyarakat penduduk kawasan sendiri. Mereka pada umumnya adalah orang keturunan Bajo atau peranakan Bajo-Bugis, Bajo-Selayar Makasar, dan sebagainya. Sistem ekonomi perikanan yang merupakan mata pencaharian pokok, berada dibawah pengaturan para ponggawa laut yang mengatur tentang jenis-jenis sumberdaya laut yang diambil, jadwal waktu-waktu pengambilan, alat yang digunakan, lokasi-lokasi operasi, dan lain-lain. 312 Misalnya periode bulan 7-8 nelayan mengambil kimia dan jenis-jenis kerang lainnya, bulan 9-12 sebagian besar nelayan memancing, sebagian menggunakan pukat dan jaring, bulan 11-12 hanya 1 bulan adalah musim 311 Munsi Lampe ,menggali kearifan lokal disulawesi selatan,belajar dari kasus komunitas petani dan nelayan tradisional, makalah disampaikan pada loka karya menggali kearifan lokal lingkungan nelayan pada lab antropologi bekerjasama dengan pusat pengelolaan lingkungan hidup regional sulawesi,maluku dan papua,makasar, 10 agustus 2006., hal.4 312 Ibid Universita Sumatera Utara pancaroba, waktu mana kondisi laut bergoncang tak henti-hentinya yang sangat berbahaya, sehingga nelayan pada umumnya tinggal di darat memperbaiki alat- alat tangkap. Hasil tangkapan nelayan oleh ponggawa laut diserahkan kepada ponggawa lolo yang dapat dianalogikan dengan pengelolaan koperasi pada masa sekarang. Oleh ponggawa lolo hasil-hasil laut tersebut dibagi-bagikan kepada pedagang lokal yang seharusnya mereka jual ke luar, seperti ke Bulukumba, Bantaeng, dan tempat-tempat lainnya 313 Penunjukan orangpedagang lokal juga biasanya berdasarkan kesepatakan antar ponggawa lolo, ponggawa laut, kepala-kepala kampong berkedudukan seorang kepala pemerintahan puncak, yang bergelar “Panglima Menteng” yang dapat disederajatkan dengan presiden sekarang ini. Barang siapa yang melanggar, khususnya berkaitan dengan sistem penangkapan dan pemasaran hasil-hasil laut, akan diberikan sanksi berupa teguran, denda dan sebagainya, tetapi pada kenyataannya jarang sekali terjadi kasus-kasus pelanggaran . 314 Sistem pengelolaan sumberdaya laut kawasan karang taka - taka dalam istilah Bugis dan Makasar di bawah kepemimpinan tradisional Panglima Menteng yang berpusat di Rajuni mengandung sekurang-kurangnya delapan ciri komunalisme, yaitu 1 kelembagaan kepemilikan komunal atas wilayah perikanan, 2 pembagian bidang-bidang kegiatan sosial ekonomi dan politik . 313 Ibid 314 Ibid Universita Sumatera Utara secara kolektif, 3 akses keterlibatan masyarakat secara meluas, termasuk wanita, dalam pemanfaatan sumberdaya laut, 4 pengaturan jadwal kegiatan eksploitasi jenis-jenis sumberdaya perikanan menurut musik, jadi mengandung juga sistem kuota, 5 pengaturan mengenai tipe teknologi produksi yang digunakan, 6 aspek kelembagaan pemasarankoperasi nelayan, 7 ciri ekonomi subsistem dan 8 menguatnya jiwa dan ketaatan kolektif pada adat dan norma. Tatanan komunalisme lokal seperti ini secara relatif menjamin keseimbangan ekologiekosistem, pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan, dan integrasi masyarakat komunal yang stabil dalam kawasan Taka Bonerate, khususnya Rajuni. 315

2. Rumpon dan Bagang sebagai Institusi Penguasaan Lokasi Perikanan