MANDAILING Penerapan Kearifan Lokal Dalam Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

1. MANDAILING

Mandailing yang merupakan sebuah wilayah geografis di Pulau Sumatera yang secara administratif disebut sebagai Kabupaten Mandailing Natal. Nama Mandailing sudah melekat cukup lama dengan wilayah itu sekurangnya sudah tertera sejak abad ke 14 dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menyebut mandailing sebagai salah satu negara bawahan Majapahit di Sumatera. Di Mandailing banyak terdapat peninggalan purbakala yang menandakan peradaban manusia sudah berkembang disana sejak zaman prasejarah. Masyarakat Mandailing merupakan hasil pembauran dari beragam kelompok sosial yang hidup menetap dan pendatang yang hadir diwilayah itu secara berkesinambungan dari zaman ke zaman dan kelompok kelompok klan yg ada sekarang hanyalah sebagian dari apa yang disebut masyarakat Mandailing 279 Kajian mengenai kearifan lokal di daerah mandailing sangat menarik untuk diamati, dimana masyarakat Mandailing memiliki konsep untuk melindungi sumberdaya alam agar tetap terpelihara baik. Mereka sejak dahulu mengenal istilah yang pas untuk itu, ‘rarangan’ yang secara harfiah bermakna larangan. Khusus untuk kawasan hutan ada yang disebut ‘harangan rarangan’ yaitu hutan larangan. Hutan larangan dalam konsepsi tradisional adalah bagian dari kawasan hutan milik suatu kampung huta yang tidak boleh dibuka untuk . 279 Bina Konsorsium, dari hutan rarangan ketaman nasional potret komunitas lokal disekitar taman nasional batang gadis Medan:USU Press, 2005, hal.5. Universita Sumatera Utara lahan pertanian atau kayunya tidak boleh diambil untuk keperluan perabot rumah. Kawasan demikian biasanya dipercaya juga sebagai tempat yang dihuni oleh mahluk-mahluk halus dan disebut ‘naborgo-borgo’ yang lembab-lembab. Ada kepercayaan bahwa melanggar tabu untuk tidak memasuki tempat-tempat demikian akan mengundang petaka bagi pelakunya. 280 Selain dilingkungan hutan, konsep ‘rarangan’ tersebut juga berlaku untuk suatu kawasan tertentu dibagian aliran sungai. Bagian-bagian yang biasa dipantangkan bagi penduduk untuk menangkap ikan di dalam sungai adalah di lubuk-lubuk yang dalam dan diatasnya terdapat pohon-pohon besar yang berdaun rimbun. Tempat demikian juga dipercaya sebagai tempat ‘naborgo- borgo’ dan terlarang untuk melakukan aktivitas yang bisa mengganggu keberadaan mahluk-mahluk gaib yang mendiaminya. 281 Keberadaan hutan larangan dan lubuk larangan, yang dilembagakan melalui mekanisme tabu dan kepercayaan akan kekuatan-kekuatan supranatural yang ada disekitarnya, dalam kenyataan pada umumnya berada di tempat-tempat yang sangat signifikan bagi pemeliharaan kelestarian lingkungan. Bagian kawasan hutan yang disebut ‘naborgo-borgo’ tadi biasanya berasosiasi dengan sumber-sumber mata air atau daerah resapan air yang vital bagi pemeliharaan dan kesinambungan penataan pasokan air bagi penduduk yang bermukim disekelilingnya. Demikian pula hal nya bagian aliran sungai yang disebut ‘lubuk 280 Ibid , hal.6. 281 Ibid, Universita Sumatera Utara larangan’ juga merupakan tempat-tempat dimana proses pembiakan ikan berlangsung. Oleh karena itu, konsep ‘rarangan’ yang diselimuti suatu kepercayaan akan kekuatan supranatural yang tidak boleh terganggu, pada hakikatnya adalah mekanisme budaya yang mengatur praktik konservasi sumberdaya alam. 282 Keberadaan ‘harangan rarangan’ atau hutan larangan dimasa lalu juga terkait dengan penataan kawasan yang menjadi wilayah dari suatu kampung atau ‘huta’ . Huta adalah satuan pemukiman penduduk sekaligus satuan permerintahan yang bersifat otonom, yang dimasa lalu dipimpin oleh seorang raja yang berkedudukan sebagai ‘Raja Pamusuk’. Konfederasi dari sejumlah ’huta’ yang memiliki ikatan sosio-historis dan genealogis disebut ‘Janjian’, yang membentuk satu kesatuan hukum adat. Hal yang ingin dikemukakan adalah fakta bahwa suatu ‘huta’ yang di masa lalu merupakan satu kerajaan harus memiliki wilayah sendiri, yang tercermin dari ungkapan “ganop-ganop banua martano rura” artinya, setiap wilayah hutabanua harus memiliki wilayah darat dan air sebagai wilayah teritorialnya. Hal ini menyiratkan bahwa setiap huta atau kerajaan harus memiliki sumberdaya alam yang menjadi sumber kehidupan bagi penduduknya. 283 Dalam sebuah laporan penelitian berjudul Sistem Penguasaan Sumberdaya Alam di Mandailing Natal disebutkan bahwa keberadaan sebuah huta atau banua 282 Ibid , 283 Ibid, hal 6-7 Universita Sumatera Utara menurut konsep masyarakat Mandailing harus ditopang oleh adanya sumber air, kawasan hutan, dan juga kawasan tempat pengembalaan. Sumber air diperlukan untuk kebutuhan subsistensi, tepian, mengairi areal persawahan, memelihara ikan, dan berbagai keperluan sosial lainnya. Hampir semua tempat pemukiman huta yang ada di daerah Mandailing berada disekitar sumber-sumber air, baik berupa mata air mual, anak sungai rura maupun sungai aek. Keberadaan sumber air selain untuk mendukung keperluan tersebut diatas juga menopang fungsi religius karena setiap huta harus memiliki masjid, dan biasanya bangunan masjid didirikan ditempat-tempat yang dekat dengan sumber air misalnya di tepi sungai. 284 Selain harus memiliki sumber-sumber air yang menopang berbagai fungsi tersebut diatas, sebuah huta atau banua juga harus mempunya areal jalangan lahan pengembalaan. Lahan pengembalaan itu biasa berada di luar areal pemukiman penduduk, misalnya dikawasan kaki atau lereng bukit yang sesuai didalam wilayah sebuat huta. Hewan ternak yang biasa dipelihara di dalam areal lahan pengembalaan adalah kerbau, karena hewan ini menjadi bagian yang sangat penting peranan nya untuk mendukung penyelenggaraan upacara-upacara adat dalam tradisi Mandailing. Dimasa lalu hewan ternak yang hidup di areal jalangan tidak dipelihara secara khusus, melainkan dibiarkan saja hidup liar disana. Pada waktu-waktu tertentu ketika di huta ada upacara yang 284 Ibid , hal 7 Universita Sumatera Utara mensyaratkan pemotongan kerbau, barulah petugas khusus dari istana raja akan pergi menangkap kerbau liar tersebut. 285 Setiap huta juga harus mempunyai kawasan hutan harangan. Keberadaan hutan bagi sebuah huta terutama adalah untuk mendukung penyelenggaraan kehidupan ekonomi, karena penduduk Mandailing pada umumnya hidup dari aktivitas pertanian. Pembukaan lahan hutan untuk aktivitas pertanian biasanya dimulai dengan membuka ladang auma, lalu kemudian dibiarkan kembali menjadi belukar gasgas, atau ditanami lanjut dengan tanaman keras seperti karet atau kopi disebut kebun. Hutan juga dimanfaatkan untuk areal tempat berburu binatang, misalnya memburu rusa, kijang, kambing hutan bedu, dan beberapa jenis binatang lainnya. Ada aturan tertentu yang harus dipatuhi jika sekelompok orang dari suatu huta atau banua pergi berburu sampai melintasi wilayah huta atau banua lain. Jika binatang buruan yang berhasil ditangkap sudah berada di wilayah huta atau banua lain, maka mereka harus memberikan sebagian hasil nya kepada pimpinan di huta tersebut. Dengan kata lain ada ketentuan untuk membayar semacam “pajak” hutan yang dalam istilah Mandailing disebut ” bungo ni Padang ” bunga lalang. Selain untuk keperluan bertani dan berburu seperti disebutkan diatas, hutan juga dimanfaatkan untuk tempat meramu hasil-hasil hutan seperti jenis damar, madu, dan juga sayur- sayuran yang bisa dikonsumsi, dan meramu bahan bangunanperabot rumah. 286 285 Ibid , 286 Ibid, hal 7-8 Universita Sumatera Utara Secara tradisional orang Mandailing membagi wilayah hutan atas tiga kategori yaitu a rubaton, yaitu kawasan hutan belantara yang jarang dimasuki manusia atau masih berupa hutan perawan, b tombak, yaitu kawasan hutan lebat yang kepadatan nya berada dibawah rubaton, c harangan, yaitu kawasan hutan yang biasa dimasuki manusia dan kepadatan nya berada dibawah tombak. Apabila suatu kawasan hutan sudah dibuka oleh penduduk untuk dijadikan lahan pertanian, maka pada tahap pertama hutan bukaan tersebut berubah kategori menjadi auma, yaitu lahan perladangan. Lahan perladangan kadangkala ditinggalkan setelah beberapa kali musim tanam tanaman padi dan palawija, sehingga lahan tersebut masuk kategori lahan bera, yang dalam istilah Mandailing disebut gasgas, yaitu semak belukar. Apabila semak belukar tersebut terus dibiarkan tanpa diolah kembali maka lahan itu akan berevolusi kembali menjadi hutan sekunder harangan. Lahan ladang auma yang terus diolah dan ditanami dengan tanaman keras akan berubah kategori menjadi kobun, yaitu kebun, misalnya kebun karet, kebun kopi, dan lain-lain. Kadang kala penduduk membuka kebun baru dengan membuka kembali lahan yang sudah pernah dibiarkan gasgas. 287 Bagian dari kawasan hutan yang dilarang untuk dikelola oleh penduduk untuk lahan pertanian disebut ‘harangan rarangan’ atau hutan larangan. Munculnya larangan untuk mengelola sebagian dari kawasan hutan milik suatu huta didasari oleh adanya suatu kesadaran tentang pentingnya mengatur 287 Ibid, hal 8 Universita Sumatera Utara pencadangan lahan bagi anak cucu, sehingga sumberdaya alam yang ada tidak digunakan secara serampangan. Pimpinan komunitas huta yang waktu itu adalah para raja memiliki otoritas untuk menegakkan peraturan mengenai pemanfaatan sumber daya alam yang ada diwilayah kerajaannya sebagaimana digambarkan diatas. Dimasa lalu terdapat aturan-aturan adat yang mengatur akses, hak pemilikan, hak penguasaan dan cara-cara pengalihan hak atas sumberdaya alam khususnya lahan disuatu huta. 288 Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip konservasi hutan yang sudah ada dalam khazanah budaya Mandailing diperkuat dengan pengenalan konsep ‘rintis’, yaitu batas wilayah hutan yang tidak boleh lagi dibuka untuk dikelola menjadi lahan pertanian. Tempat-tempat seperti itu biasanya terletak jauh dari lokasi pemukiman penduduk, berada dikawasan yang secara tradisional disebut oleh orang Mandailing sebagai tombak atau rubotan. Dalam cerita-cerita tradisional Mandailing misalnya Turi-turian ni Raja Gorga di Langit dohot Raja Suasa di Portibi disebutkan bahwa kawasan hutan belantara seperti itu hanya dimasuki oleh orang-orang yang pergi mencari kapur disebut Parkapur, yaitu mereka yang pergi mencari damar atau getah kayu kehutan. Signifikasi keberadaan penduduk yang disebut Parkapur dalam kehidupan masyarakat Mandailing terlihat dari adanya Hata Parkapur sebagai salah satu dari empat ragam bahasa dalam bahasa Mandailing. Hata Parkapur 288 Ibid , hal 8 Universita Sumatera Utara adalah ragam bahasa yang khusus digunakan ketika meramu hasil hutan markapur. 289 Kawasan hutan belantara rubaton yang tidak boleh dibuka penduduk untuk lahan pertanian tesebut, yang kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dikukuhkan sebagai batas ‘rintis’, pada masa sekarang ini kita kenal dengan sebutan hutan register. Kawasan itulah yang sekarang secara resmi berstatus hutan lindung. Dengan demikian, keberadaan hutan lindung sekarang ini didalam wilayah kabupaten Mandailing Natal, yang telah ditetapkan statusnya sejak tahun 1920-an oleh pemerintah kolonial Belanda, pada hakikatnya adalah sebagai kesinambungan dari ‘harangan rarangan’ yang sudah dikenal dalam konsepsi budaya Mandailing dimasa lampau. Kalau dimasa lampau mekanisme penjagaan hutan larangan dilakukan dengan penguatan kepercayaan tentang mahluk-mahluk halus penjaga hutan, di zaman sekarang penegakannya dilakukan melalui aturan formal yang dibuat oleh negara. 290 Seperti disebutkan diatas, dimasa lalu ada kepercayaan bahwa tempat- tempat tertentu dibagian aliran sungai dihuni oleh mahluk-mahluk halus. Anak- anak dipantangkan mandi disungai pada tengah hari ketika matahari beranjak naik, yaitu sekitar pukul 10.00-12.00, karena dipercaya pada waktu-waktu itu para mahluk halus juga sedang mandi. Selain itu, ada bagian-bagian tertentu dari sungai yang dipercaya berpenghuni atau ‘naborgo-borgo’, misalnya dilubuk 289 Ibid, hal 8-9 290 Ibid, hal 9 Universita Sumatera Utara yang dalam dan disekitarnya ditumbuhi pohon-pohon beringi besar berdaun rimbun. Karena dipercaya sebagai tempat ‘naborgo-borgo’ maka orang itu juga enggan untuk menangkap ikan di tempat-tempat itu. Inilah bentuk awal dari lubuk larangan di Mandailing Natal. 291 Sampai dengan tahun 1970-an, dibeberapa desa yang ada di Kecamatan Muara Sipongi, misalnya, terdapat lubuk-lubuk larangan yang sumber daya ikannya terpelihara karena adanya kepercayaan bahwa ikan-ikan dilubuk tersebut adalah peliharaan mahluk-mahluk halus. Contoh-contoh seperti itu juga terdapat didaerah-daerah lainnya di Mandailing Natal. Kepercayaan demikian fungsional untuk menjaga terpeliharanya kesinambungan reproduksi ikan sungai, sehingga hal itu juga dapat digolongkan sebagai praktik konservasi sumber daya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kepercayaan demikian lambat laun memudar dan bahkan hilang. Lalu, pengelolaan sungai mulai beralih kepola eksploitatif. 292 Dalam konsepsi tradisional tentang sistem penguasaan sumberdaya, sungai di konsepsikan sebagai sumber daya akses bebas open access, dan setiap orang berhak untuk mengambil manfaat darinya. Khusus dalam konteks pemanfaatan ikan sungai, masyarakat Mandailing mengenal banyak teknik penangkapan ikan, diantaranya yang dikenal dengan istilah mandehe, maninggang, mangkail, marsambotik, mametok, marlukah, atau marbubu, mandurung, manjala, 291 Ibid, hal 9 292 Ibid, hal 9 Universita Sumatera Utara marsulambo, martahalak, mangarsik, manuba dan manyetrum. Cara-cara penangkapan ikan demikian jauh berkurang sejak 1980-an terutama setelah adanya pengelolaan lubuk larangan versi baru dihampir semua DAS besar yang ada di Madina. 293 Pada tahun 1980-an terjadi suatu perubahan besar dalam sistem pengelolaan sungai didaerah Mandailing Natal. Komunitas-komunitas desa yang berada didekat aliran sungai besar mulai menerapkan model pengelolaan lubuk larangan, suatu model yang di adopsi dari praktik-praktik serupa yang berkembang di wilayah Pasaman, Propinsi Sumatera Barat. Bagian-bagian tertentu dari aliran sungai yang menjadi wilayah suatu desa ditetapkan sebagai lokasi lubuk larangan. Beberapa desa yang bertetangga dan aliran sungainya satu, menerapkan pengelolaan lubuk larangan didesa masing-masing dengan membuat batas fisik antar desa maupun batas kawasan terlarang dan tidak terlarang untuk menangkap ikan. Pengelolaan lubuk larangan ini ditangani oleh suatu panitia yang dibentuk melalui musyawarah desa, dan jangka waktu pelarangan untuk menangkap ikan di lokasi lubuk larangan biasa berlaku selama satu tahun. Masa pembukaan lubuk larangan dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri atau hari-hari besar lainnya, dan segera setelah hari pembukaan, lokasi akan ditutup kembali, dalam arti terlarang untuk menangkap ikan untuk jangka waktu satu tahun berikutnya. 294 293 Ibid, hal 9-10 294 Ibid , hal 10 Universita Sumatera Utara Pada hakikatnya lubuk larangan yang tumbuh pesat pada tahun 1980-an, adalah sebuah praktik membangun kolam ikan tobat didalam sungai. Di beberapa desa pengelola lubuk larangan bahkan istilah tobat digunakan juga untuk menyebut lubuk larangan yang ada didesanya. Tradisi memelihara ikan diempang atau kolam sudah lama dikenal oleh orang Mandailing. Mereka membuat empang dipekarangan rumah, atau secara bergilir disawah, bahkan di Desa Manambin kecamatan Kotanopan penduduk juga membuat kolam ikan dibawah kolong rumah dibagian dapur. Memelihara ikan adalah bagian dari tradisi penduduk untuk pasokan protein hewani, dan juga dimanfaatkan sewaktu- waktu untuk menjamu tamu. Bahkan sebuah kolam besar yang disebut tobat bolak menjadi suatu perangkat logistik yang mutlak ada dalam sebuah kerajaan di Mandailing. Kolam raya yang menjadi inventaris kerajaan juga berfungsi untuk menyediakan pasokan protein hewani, dan juga untuk menjamu tamu kerajaan. Setahun sekali kolam raya itu dibuka untuk umum, sehingga rakyat bisa mendapatkan hak menangkap ikan disana. 295 Gagasan dasar tobat bolak sebagai inventaris kerajaan kemudian beralih wujud kedalam bentuk pengelolaan lubuk larangan ditahun 1980-an. Lubuk larangan dimaknai sebagai aset desa, yang hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan desa. Hasil lubuk larangan adalah berupa uang tunai hasil penjualan tiket masuk ketika dilakukan pesta pembukaan lubuk larangan. Setiap orang yang akan ikut dalam pesta pembukaan, dikenakan biaya tiket masuk sesuai 295 Ibid, Universita Sumatera Utara dengan jenis alat tangkap ikan yang digunakan. Uang tunai yang diperoleh dari hasil penjualan tiket tersebut dikumpulkan oleh panitia dan digunakan untuk keperluan pembangunan desa, misalnya perbaikan jalan, masjid, madrasah, honor guru madrasah, santunan anak yatim, dan lain sebagainya sesuai kesepakatan warga desa. Hasil penelitian tentang pengelolaan lubuk larangan di Mandailing memperlihatkan bahwa sampai tahun 2000 terdapat sekitar 70-an desa di Mandailing Natal yang pernah atau masih mempraktikkan model ini, 50- an diantaranya masih berjalan. Pengelolaan lubuk larangan memberikan kontribusi yang sangat besar untuk mendukung pembangunan desa. 296 Pelajaran penting dari pengelolaan lubuk larangan yang ingin dikemukakan disini adalah adanya kemampuan warga komunitas untuk mengelola sumberdaya alam yang mereka miliki dengan arif sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu, lubuk larangan yang tumbuh pesat sejak 1980-an, termasuk karena dukungan dari mantan Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan A. Rasyid Nasution, SH, antara lain dengan membuat payung hukum berupa peraturan daerah Perda No 19 Tahun 1988 tentang pengelolaan lubuk larangan, memperlihatkan corak yang berbeda dari konsep lubuk larangan sebelumnya. Pengelolaan lubuk larangan sejak 1980-an lebih rasional, terorganisasi baik, memiliki aturan-aturan dan sanksi pelanggaran yang jelas hasil kesepakatan bersama, dan tujuan pengelolaan yang dirumuskan bersama. Lubuk larangan menjadi contoh kemampuan warga desa membiakkan modal sosial diantara 296 Ibid, hal 10-11 Universita Sumatera Utara mereka, antara lain berupa prinsip saling percaya, partisipasi, dan transparansi sehingga pengelolaan bisa langgeng sampai sekarang. 297 Pengelolaan lubuk larangan juga dapat dilihat sebagai fase antara atau lanjutan dari model konservasi sumberdaya alam yang dikenal sebelumnya, yang lebih bercorak irasional ke corak konservasi yang lebih rasional. Dari model konservasi yang tidak punya tujuan yang jelas kecuali yang bersifat tacita tau implisit ke model konservasi yang tujuannya jelas dan dirumuskan bersama- sama oleh warga komunitas. Lubuk larangan juga menjadi awal tumbuhnya model konservasi berbasis komunitas desa dengan struktur organisasi, pelaksana dan pihak penerima manfaat yang tegas batas-batasnya. Selain itu, lubuk larangan juga memberi contoh bahwa sebuah komunitas bisa merevolusi sistem penguasaan sumberdaya mereka yang semula akses terbuka open access resource menjadi sumber daya yang dikuasai oleh suatu komunitas communally owned resources. 298 Lubuk larangan juga memberikan bentuk-bentuk modifikasi baru dalam pelaksanaannya sesuai dengan karakter lokal dan kebutuhan komunitas desa yang mengelolanya, sehingga tidak terjadi pembakuan sistem pengelolaan yang bersifat seragam disemua desa. Kemampuan menata sendiri model pengelolaan sungai yang cocok untuk kebutuhan suatu komunitas, merupakan salah satu kunci kebertahanan lubuk larangan sebagai sebuah model konservasi berbasis 297 Ibid, hal 11 298 Ibid, Universita Sumatera Utara komunitas. Oleh karena itu, dapat juga dikatakan bahwa lubuk larangan berfungsi sebagai ‘jembatan budaya’ yang bisa digunakan untuk menghubungkan konsep konservasi tradisional ‘rarangan’ menuju konsep konservasi modern ‘taman nasional’. 299 Komunitas-komunitas desa yang ada disekitar kawasan TNBG masih menyisakan berbagai sekuen kehidupan yang mencerminkan adanya kearifan warganya dalam mengelola sumberdaya alam maupun dalam menata kehidupan sosial. Sebagian besar dari kearifan itu adalah warisan budaya masa lalu yang terus dipertahankan. Tetapi ada juga kearifan yang merupakan inovasi warga masyarakat yang hidup dimasa kini. Contoh-contoh dibawah ini hanya cuplikan dari beberapa kearifan yang terlihat di beberapa desa. 300 Kesadaran tentang pentingnya memelihara kelestarian hutan dibagian- bagian hulu sungai atau ditempat-tempat dimana terdapat mata air masih cukup tinggi di tengah masyarakat, khususnya di beberapa desa. Warga di Simpang Duhu Dolok misalnya, masih menaati larangan untuk menebang kayu dikawasan yang sudah termasuk ‘rintis’ dan hanya mengambil kayu untuk keperluan perabot rumah tangga, itupun terbatas pada jenis-jenis tertentu dan aktivitas penebangan dilakukan dengan alat-alat yang tegolong masih sederhana. Selain 299 Ibid, hal 11 300 Ibid , hal 42 Universita Sumatera Utara itu, ada pula kebiasaan dari penduduk desa ini untuk menanam bambu dilereng- lereng, di pinggir kebun atau di dekat sumber mata air. 301 Hal yang hampir sama berlaku di Batahan. Warga desa ini mempunyai aturan tak tertulis yang melarang warganya membuka lahan pertanian dibagian hulu-hulu sungai. Salah satu tempat yang hingga kini mereka lindungi adalah bukit Tor Asollu, karena perkampungan penduduk berada di kaki bukit ini. Dari mata air yang bersumber di bukit itulah mereka memenuhi kebutuhan air minum, MCK dan juga untuk pengairan sawah. Di Desa Sibanggor Julu ada pantangan untuk menebang pohon ‘sampinur’ ketika membuka hutan, sejenis pohon yang diyakini banyak menyimpan air. Disini juga berlaku larangan untuk membuka hutan di bagian-bagian hulu sungai agar tidak mengganggu pasokan air untuk menyangga kehidupan masyarakat. Di Sipotinjak juga ada aturan tak tertulis untuk melindungi hutan yang ada di bukit Tor Marogung dan sumber air yang terdapat di Tor Putusan atau Saba Baru, karena dari sanalah pasokan air untuk warga desa bersumber. 302 Sementara itu, di Roburan Dolok tidak ditemukan lagi suatu pranata lokal yang efektif untuk menjaga kelestarian sumber daya alam. Warganya juga sudah banyak yang membuka lahan melampaui batas ‘rintis’ yang ada diwilayah mereka. Namun demikian sebagian warga masih menyimpan khazanah pengetahuan tentang cara-cara mengenali arah mata angin di dalam hutan dan 301 Ibid, hal 43 302 Ibid , hal 43 Universita Sumatera Utara juga cara mudah untuk menemukan sumber-sumber air di dalam hutan. Misalnya, untuk mengenali arah mata angin di tengah hutan dapat dilihat dari arah belitan pertama dari tumbuhan menjalar seperti andor tumbuhan liar, yang menunjukkan arah timur. Untuk mengenali dengan mudah tempat-tempat yang memiliki sumber mata air di hutan, dapat diketahui dengan memperhatikan embun yang menyelimuti hutan di pagi hari. Kumpulan embun yang paling bawah atau yang paling terakhir naik menandakan bahwa disekitar itu ada mata air. 303

2. SUMATERA SELATAN