Studi kritis definisi sunnah dan hadis perspektif Ilmu logika

(1)

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I)

Oleh:

Miftahul Bari

NIM: 207034000570

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th. I)

Oleh:

Miftahul Bari

NIM: 207034000750

Pembimbing:

Dr.Isa H.A.Salam,MA NIP:195312311986031010

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

i

manusia merupakan awal dari tujuan yang akan didapat, selama penulis menuntut ilmu, tidak ada persediaan yang serius, hanya bermodal paksaan orang tua dan kemauan beliau untuk mempunyai anak yang sholeh, penulis harus berpisah dengan keluarga tercinta semenjak sekolah tingkat dasar kelas empat (MI). Pada waktu itu, penulis tidak ada yang terbesit bagaimana memprogram diri kedepanya? hanya dengan keinginan orang tua dan petunjuk sang guru (kiyai), maka penulis harus mentaatinya, singkatnya penulis harus berada di lingkungan pesantren kurang lebih delapan tahun lebih, secara tidak sadar, penulis telah diberikan kesempatan yang sangat luas untuk mendapatkan pengalaman yang tidak pernah dialami oleh teman-teman sebaya penulis, akhirnya penulis sadar bahwa arahan orang tua selama ini merupakan hal yang terbaik pada pada penulis.

Dengan sebab itulah penulis, ditakdirkan masuk di Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadis, disadari atau tidak, hal tersebut merupakan akumulasi dari sebab akibat yang telah terjadi sebelumnya, jurusan itulah yang menghantarkan penulis ke dunia pemahaman Rasionalisme Radikal. Maskipun pilihan penulis terhadap Jurusan Tafsir Hadis sangat irasional yaitu hanya karena ingin bertemu dengan guru besar Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. Meskipun hingga sekrang ia tidak pernah masuk kelas.


(4)

ii

”Studi Kritis Definisi Sunnah dan HadisPrespektif Ilmu Logika”

Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setingi-tingginya kepada:

1. Drs. Rifqi Mukhtar, MA selaku Sekertaris Jurusan merangkap ketua Jurusan Non-Reguler, Fakultas Ushuluddin, serta Harun Rasyid, MA, selaku mantan ketua program Non.Reguler “Jazakum Allahu al-Khaira al-Jaza’

2. Pembimbing dan Seluruh Tim Penguji; Dr. Isa Salam, Dr. Syamsuri, Harun Rasyid, MA, Maulana, M.Ag, Muslim, S.Th.I

3. Segenap Dosen serta Staf pengajar yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis ucapkan terima kasih atas segala nasehat yang telah diberikannya iringan do‟a selalu penulis persebahkan kepada ayah handa H.Syamsudin serta ibunda tercinta Hj.Kiptiah,”Semoga ibunda dengan ayah selalu diberikan kesehatan jasmani dan rohani dan panjang umur sehingga bunda-ayah bisa

menjalani aktifitas setiap hari, dibawa lindungan Allah Swt, Amin”.

Dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan salam Takdzim kepada Keluarga besar Pondok Pesanteren Al-Hamidiy Banyuanyar, PP. Islamic Center Dar Al-Lughah Ust.Ghazali Salim,MA, PP.Al-Amien Madura, keluarga besar BKPRMI. Madura, P.P Nurul Huda Madura.


(5)

iii

Amil Zakat Nasional, PT.Pertamina Peduli, PT.Takaful Indonesia Peduli, Semoga Allah Swt selalu memberikan kesehatan dan tambahan limpahan Rahmat. Amin

Kepada temen-temen “Mastah” Reza, Wahid, M. Hasyim dan kawan-kawan, serta sahabat Didik Surowardi, Asep, Majid, Baidlowi, Latifani Warda dan temen-temen yang tidak bisa disebutkan satu persatu semoga sehat selalu.

Kepada Sahabat setia Penulis Arif Sabaruddin, Khairus Shaleh, Agus Gunawan, Ummi Hani, Saipul Agna, Abdu Rahman Wahid, Shohep Hujjah, Muhammad Risqi, dan anggota diskusi “Persatuan pesanteren Indonesia”, Forum Komunikasi Islam Indonesia (Fikri), Komunitas Kita Jakarta, dan temen-temen yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, semoga sukses selalu, Dan temen yang merasa tersakiti selama di perkuliahan, penulis mohon ma‟af atas segala keslahan yang disengaja maupun tidak di sengaja,“Ana akhukum fillah”.

Akhirnya, Penulis menyadari banyak pihak yang telah mendorong terselesainya sekripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Saya ucapkan banyak terima kasih, mudah mudahan nama anda muncul di pengantar desertasi saya. Terakhir, semoga Allah Swt membalasnya sebagai kebaikan.

Jakarta, 12 April 2011


(6)

iv

Skripsi ini bersifat pembelaan dan penolakan terhadap hasil formulasi definisi terdahulu, hal ini di lakukan untuk mengetahui relefansi beberapa definisi Sunnah dan Hadis dengan Ilmu Mantik atau logika.

Terkait dengan jenis penelitian ini, termasuk dalam katagori penelitian pustaka (library research) yang menggunakan pendekatan ilmu logika sebagai perangkat analisis. Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui standar pendekatan yang di lakukan para ulama terdahulu dalam pembentukan definisi sunnah dan hadits.

Sumber data penelitain ini di katagorikan menjadi dua jenis, yaitu Pertama. Sumber primer, yaitu berupa pernyataan para ulama terdahulu yang termuat dalam dalam berbagai leteratur ilmu hadis dan Qawaid al-Hadîts. Kedua, sumber sekunder yang berupa data analisis seperti ilmu Mantiq atau logika sebagai prangkat analisa dan kritik. Mengenai tehnik pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode dokumentasi, yaitu meneliti data-data tertulis baik primer maupun sekunder. Selanjutnya, data yang terkumpul diolah dan di analisa dengan cara dibandingkan, dan kritik, hingga terdapat kesimpulan yang komprehensif.

Penelitian ini membuahkan kesimpulan, Pertama, definisi sunnah dan hadits terdapat relevansi dengan ilmu mantik dan logika, karena tehnik pembuatan definesi sebuah objek harus memenuhi kaidah-kaidah mantik. Kedua, sebagian definisi sunnah dan hadis tidak memenuhi standar ilmu logika, namun sebgian yang lain definesi sunnah dan hadis telah memenuhi standar ilmu logika.


(7)

(8)

vi Yang bertandatangan di bawah ini, Nama : Miftahul Bari

Alamat : Dasuk, Sumenep, Jawa timur TTL : Semenep, 12 Agustus, 1986

Status : Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta NIM : 207034000750

Menyatakan bahwa, karya skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, dan bila kelak terbukti hasil karya ini plagiat maka saya akan menerima segala konsekuensi secara akademik.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat, dengan sebenar-benarnya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Wassalamu’alaikum.Wr.Wb.

Jakarta, 12 April 2011 Penulis,


(9)

vii

أ = a ز = z ق = q

= b س = s ك = k

ت = t ش = sy ل = l

ث = ts ص = s م = m

ج = j ض = d ن = n

ح = h ط = t و = w

خ = kh ظ = z ه = h

د = d ع = „ ء = „

ذ = dz غ = gh ي = y

ر = r ف = f

2. Vokal

Vokal (a) panjang = â, contoh: ل ق = Qâla Vokal (i) panjang = î, contoh: لْيق = Qîla Vokal (u) panjang = û, contoh: نْود = Dûna

3. Diftong

ْو = au

ْي = ai

4. Syaddah

Tanda syaddah ditransliterasikan dengan mengulang huruf yang diberi tanda tasydid. Misalnya madda.

5. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, لا. Transliterasinya dibedakan antara huruf syamsiyah dengan qomariyah.

a. Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyah ditransliterasikan sesuai bunyinya, yaitu huruf "L" diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang itu. Misalnya al-Syamsu, al-Nûr.


(10)

viii al-Watan.

5. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksrakan menjadi huruf /h/. Hal yang sama juga berlaku bila ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’at). Namun, jika ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksrakan menjadi huruf /t/.


(11)

ix

ABSTRAK ... iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.LatarBelakangMasalah ... 1

B. Identifikasi, PembatasandanPerumussanMasalah ... 4

1. IdentifikasiMasalah ... 4

2. PembatasanMasalah ... 4

3. PerumusanMasalah ... 5

C.Tujuan Penelitian ... 5

D.ManfaatPenelitian ... 5

E. StudiTerdahulu yang Relevan ... 6

F. MetodologiPenelitian ... 8

1. JenisPenelitian ... 8

2. SifatPenelitian ... 9

3. PendekatanPenelitian ... 9

4. Sumber Data ... 10

G.SistematikaPenulisan ... 12

BABII KAIDAH-KAIDAH PEMBUATAN DEFINISI DALAM PERSPEKTIF ILMU LOGIKA ... 15

A.KaidahPengertian... 15

B. PengertianDefinisi ... 17

C.TujuanDefinisi ... 18


(12)

x

F. TugasDefinisi ... 24

G.Macam-macamDefinisi ... 24

BAB III DEFINISI SUNNAH DAN HADIS ... 26

A.Studi Etimologi Definisi Sunnah dan Hadis ... 26

1. DefinisiSunnahdanHadisPerspektifKamus ... 26

2. Pendapat Para UlamaMengenaiSunnahdanHadis ... 27

3. MaknaSunnahdanHadisdalam al-Qur‟an ... 29

B. KajianTerminologiSunnahdanHadis ... 40

1. DefinisiSunnahPerspektifUlamaSalafi ... 40

2. DefinisiHadisPerspektifUlamaSalafi ... 45

3. DefinisiSunnahPerspektifUlama Modern ... 48

4. DefinisiHadisPerspektifUlama Modern ... 50

BABIV STUDI ANALISIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS PERSPEKTIF ILMU LOGIKA ... 51

A.StudiEtimologiSunnahdanHadis ... 51

1. PengertianSunnah ... 51

2. PengertianHadis ... 52

B. StudiTerminologiSunnahdanHadis ... 53

1. KajianDefinisiSunnah ... 53

2. DefinisiUlamaUsulFikih ... 55

3. DefinisiUlamaFikih ... 55

4. DefinisiUlamaHadis ... 56

5. DefinisiUlama Modern ... 57

BAB V PENUTUP ... 59


(13)

(14)

1

A. Latar Belakang Masalah

Sering dijumpai pada berbagai literatur, bahwa Islam merupakan agama penyempurna dari agama sebelumnya. Allah Swt telah menjadikan Islam sebagai agama yang berlaku untuk semua umat manusia.1 Hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama universal yang berlaku untuk semua kalangan manusia, artinya ajaran Islam sangat tidak terkait dengan waktu dan tempat, Islam selalu hadir kapan pun dan dimana pun dibutuhkan.

Oleh karena itu, Rasulullah Saw diutus untuk semua mahluk di muka bumi dan sebagai rahmat bagi segala ruang dan waktu.2 Karena beliau memiliki budi pekerti yang paling luhur,3sehingga ia pantas menjadi tauladan semua mahluk. Di sisi lain, Rasulullah Saw sebagai manusia biasa, mempunyai umur terbatas, oleh karenanya beliau mewariskan dua perkara penting yaitu “Al-Qur’ân wa Al-Sunnah” untuk dijadikan pedoman hidup manusia bagi generasi berikutnya, dikarenakan tidak akan ada Rasul berikutnya.4:

1

Q.S. Al-Ma'idah (5) ayat: 3

2

Q.S. Al-Anbiyâ‟ (21) ayat: 107

3

Lihat:Q.S. al-Qalam(68) ayat: 04. “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mempunyai ahlaq(budi) yang paling sempurna”. Depag RI, al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Pustaka Dar as-Sunnah, 2002), h. 565

4

M.Suhudi Isma‟il, Hadîts Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:Telaah M’ani al- Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 3-4.


(15)

“Rasulullah saw bersabda: wahai manusia sesungguhnya aku telah meninggalkan dua perkara untuk kalian yaitu al-Qur‟an dan Sunnah, jika kalian berpegang teguh keduanya maka kalian tidak akan tersesat”

Mengingat keterangan di atas, bahwa mempelajari Al-Qur‟an dan Sunnah wajib bagi kaum muslimin sebagai literatur hidup sehari-hari. Akan tetapi mengetahui dua hal tersebut sangat sulit, terkecuali terdapat metodologi yang baik dan benar, salah satunya adalah menentukan objek batasan (definisi) yang sesuai dengan ilmu mantik.

Namun hingga saat ini sunnah belum ada definisi yang kongkrit, artinya definisi yang ada masih terdapat ikhtilaf yang prinsipil, contohnya adalah terminologi yang dirilis oleh ahli hadis dengan ahli usul fiqh, keduanya membatasi sunnah dengan berbeda pandangan, hal ini dapat mengakibatkan hasil yang berbeda pula, baik secara teoritis maupun praktis. Perbedaan hal tersebut juga terjadi dikalangan ilmuan yang lain.

Dalam berbagai literatur, penulis menemukan beberapa perbedaan definisi sunnah dan hadis,6 penulis sadar bahwa hal itu dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan atau pengetahuan yang dialaminya. Namun, yang menjadi persoalan adalah mengapa harus berbeda, padahal tujuannya sama, yaitu menjadikan pedoman hidup masyarakat dan mengetahui sunnah dan hadisdengan kongkrit.

5

Hampir semua praktisi hadis mengutip hadis ini, maskipun bentuk kalimatnya tidak sama. Lihat: Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra lil Baiẖâqi, Juz 10. (T.tp: Mauqiu al-Islâmiah,T.th), h. 114.

6


(16)

Persoalan yang tidak kalah penting adalah apakah definisi para ulama sebagai terminologi yang mutlak adanya, artinya sebagai terminologi yang final.

Berdasarkan persoalan di atas, penulis mengingatkan pada sebuah pernyataan.

“Bahwa orang Islam harus tahu perkembangan adat-istiadat atau budaya setempat dimana ia tinggal, karena hal tersebut akan mempengaruhi pemahaman makna teks keagamaan yang akan difahaminya. Artinya sebuah makna teks benar dan relevan pada masanya dan tidak pada masa yang lain.”Sedangkan ‘Masa’ akan selalu beruba setiap saat, sesuai dengan masa sendiri dan perkembangan pikiran manusia.” 7

Dengan kata lain, makna yang ada pada teks hanya berlaku pada masa tertentu, tapi tidak berlaku pada masa yang lain. Oleh karenanya, hal yang sangat dibutuhkan adalah ilmu pengetahuan yang membahas metode pemahaman sunnah Nabi secara komprehensif. Salah satu metode memahami sunnah dan hadis dengan baik dan benar adalah mengikuti standar ilmu logika, utamanya dalam hal pembentukan definisi, karena benar tidaknya sebuah pemahaman, bila orang yang memahami sebuah objek dapat memenuhi standar definisi dalam ilmu logika.

Inti dari persoalan ini adalah terdapat ketidak saling pahaman antara ulama satu dengan yang lain, utamanya pada ulama fiqih dan ulama hadis dalam mendefinisikan kata ”sunnah dan hadis” sebagai terminologi dalam Islam, artinya mereka tidak mengikuti standar operasional definisi dalam logika.

7

M.Quraish Shihab, “Meningkatkan Pemahaman al-Qur‟an di Era Globalisasi”, Kuliah Umum di Institut Ilmu al-Qur‟an, Jakarta. Hari selasa, 04 Mei 2011.


(17)

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian terhadap

Studi Kritis Definisi Sunnah dan Hadis Prespektif Ilmu Logika” layak untuk diteruskan.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dan untuk memperjelas alur penelitian ini, penulis perlu mengidentifikasi beberapa masalah berikut untuk kemudian diteliti lebih lanjut:

a. Apakah semua para ulama sepakat atas definisi sunnah dan hadis yang telah ada?

b. Apakah definisi sunnah dan hadis yang ada telah memenuhi standar ilmu logika?

c. Adakah relevansi kata sunnah dan hadis dalam al-Qur‟an dengan terminologi para ulama?

d. Apakah kata sunnah dan hadis dalam al-Qur‟an sesuai dengan terminologi para ulama?

e. Bagaimana korelasi definisi hadis dan sunnah dengan ilmu mantik?

2. Pembatasan Masalah

Penelitian ini akan difokuskan pada kajian definisi hadis dan sunnah yang dirilis oleh para ahli: Ahli Hadis, Ahli Ushul Fiqh, Ahli Fiqh, dan Ahli Tafsir modern, karena beberapa pendapat yang lain (selain para ahli di atas) tidak jauh berbeda dengan di atas. Artinya, definisi yang tidak disebutkan dalam penelitian


(18)

ini dapat dipastikan terwakili oleh definisi-definisi yang disebutkan dalam penelitian ini.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

a. Bagaimana korelasi definisi hadis dan sunnah dengan ilmu mantik? b. Apakah definisi sunnah dan hadis telah memenuhi standar ilmu mantik?

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana yang tertuang dalam rumusan masalah sebelumnya, maka tujuan penulis yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Tujuan akademis, yaitu memenuhi salah satu syarat penyelesain studi pada program Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta.

b. Tujuan Non Akademis, yaitu penulis ingin memberikan dukungan atau penolakan terhadap beberapa definisi hadis dan sunnah yang ada (masyhur).

Dengan kata lain, apabila “terminologi” tidak sesuai dengan standar ilmu mantik maka penulis akan menolaknya, dan bila hal tersebut sesuai dengan kaidah ilmu mantik maka penulis harus mendukungnya.

D. Manfaat Penelitian

Terkait dengan manfaat atau signifikasi yang terealisasi, penelitian ini dikelompokkan kedalam dua kategori, yaitu secara teoritis dan praktis:


(19)

Pertama, Pada tatanan teoritis, masyarakat dapat memahami persoalan sunnah dan hadissecara definitif dalam prespektif ilmu logika.

Kedua, Dalam tatanan praktis, hasil penelitian ini sangat diharapkan memberikan sumbangan pemahaman yang lebih luas prihal sunnah dan hadis, dalam prespektif ilmu logika.

E. Studi Terdahulu yang Relevan

Setelah penulis melacak hasil penelitian sebelumnya, baik di perpustakaan maupun dibeberapa situs-situs internet, penulis tidak menemukan hasil penelitian tentang persoalan ini, hampir semua literatur tidak mempertanyakan penetapan definisi para ulama perihal sunnah dan hadis. Namun penulis menemukan tiga literatur dari sekian banyak hasil penelitian yang ada:

Pertama, Buku “Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern” yang ditulis oleh Daniel W. Brawn. Dalam buku ini menjelaskan bahwa sunnah dan hadis mempunyai persoalan yang berbeda, sunnah lebih banyak berperan dalam memberikan keterangan wahyu, sedangkan hadis hanya sebagai atau media untuk menyampaikan sunnah.8

Kedua, Penulis menemukan sebuah buku yang di tulis oleh salah satu guru besar STAIN Purwokerto. Buku terebut berjudul “Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan.9 Dalam buku ini menceritakan dual hal, Pertama, Ia menceritakan sejarah perjalanan hadis. Kedua, Ia menceritakan bagaimana proses

8

Daniel W.Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah: Jaziar Radianti.dkk. (Bandung: Mizan, 2000), h. 26

9

Muhammad Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Porwokerto: Fajar Pustaka, 2010)


(20)

pembukuan hadis Rasulullah Saw. Pada bagian pertama penulis telah memaparkan bukti kongkrit perbedaan sunnah dan hadis, namun ia tidak memformulasikan secara spesifik mengenai dua kata tersebut.

Ketiga, berupa skripsi mahasiswa Tafsir Hadis Jakarta yang berhubungan erat dengan penelitian yang sedang penulis lakukan, hasil penelitian tersebut adalah:

a. Penelitian yang ditulis dengan judul Otentitas Hadis Menurut Imam al-Ghâzalî Studi Analitis,10 Beliau melakukan pembahasan tentang tata cara memahami hadist menurut al-Ghâzalî, secara keseluruhan tidak banyak penulis mendapatkan informasi penting prihal masalah definisi sunnah dan hadis, Namun beliau hanya membedakan kedua definisi tersebut.

b. Penelitian yang berbeda, berjudul “Metode Pemahaman Hadis Tela’ah Historis dan Semantik”.11 Dalam skripsi ini, penulisnya menjelaskan tentang cara memahami hadis Rasulullah Saw. Dalam hal ini, penulis juga tidak banyak mendapatkan informasi. Skripsi ini hanya membahas cara memahami hadis yang benar, padahal untuk memahami sesuatu dengan benar maka harus memahami persoalan definisi dengan benar pula, karena bila tidak demikian, maka dapat di pastikan hasil pemahaman tersebut salah.

Dari beberapa hasil penelitian di atas, penulis tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang sunnah dan hadis yang sedang penulis teliti, oleh

10

Kuswandi Yahdi, “Otentitas Hadis Menurut Imam al-Ghȃzalî: Studi Analitis,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).

11

Nurul Huda, “Metode Pemahaman Hadis Tela‟ah Historis dan Semantik,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002).


(21)

karenanya penulis harus melanjutkan penelitian ini, untuk menyempurnakan pemahaman sunnah dan hadis.

F. MetodologiPenelitian

Metodologi12 yang penulis gunakan dalam penelitian ini, adalah metodologi kualitatif, yaitu Metode penelitian yang berlandaskan pada positifisme, yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah, dan hasil penelitian ini lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi.13

Metode dalam kajian ini mempunyai beberapa prosedur yang harus di tempuh, sebagai sebuah rangkaian keabsahan penelitian sebuah objek.

Adapun Studi ini akan mengikuti prosedur penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini mengikuti prosedur yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis, atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.14 atau dengan ungkapan lain yang menguraikan kata-kata dengan menganalisis satu persatu yang menyangkut pokok permasalahan.

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka15 (Library Research). Setelah masalah dirumuskan, langkah yang dilakukan dalam mencari

12

Artinya adalah Ilmu cara-cara dan langkah-langkah yang tepat untuk menganalisa sesuatu; penjelasan serta penerapan cara. Lihat, Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001), h. 461.

13 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif-kualitatif, (Bandung: al-Fabet, 2009), h. 9 14

Lexy J. Meleong,, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2004), h. 4

15

Adapun yang dimaksud dengan perpustakaan adalah koleksi pustaka; tempat koleksi buku, (Perpustakaan adalah menggunakan buku-buku sebagai bahan penelitian, artinya tidak memakai data eksperimen). Lihat, Pius A. Partanto.dkk. Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,1994),h. 590.


(22)

data tersedia, di mana terdapat hubungan yang ingin dipecahkan. Kerja mencari bahan referensi di perpustakaan merupakan hal yang tidak bisa dihindari.

2. Sifat Penelitian

Ditinjau dari sifatnya, nama penelitian bersifat deskriptif-analistis16 komperatif,17 yaitu suatu penelitian yang berupaya memberikan gambaran secara deskriptif,18 di samping itu, penelitian ini juga berupaya mengeksplorasi secara mendalam yang berhubungan dengan permasalahan ketetapan definisi sunnah dan hadis. Selanjutnya, data tersebut dianalisis dengan pendekatan semantik.

3. Pendekatan Penelitian

Terkait dengan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kausal-komperatif19 dengan tujuan untuk mengkomparasikan persoalan definisi klasik20 dengan kontemporer21 mengenai sunnah dan hadis dan masing-masing pendekatan tersebut digunakan secara bersamaan. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan:

16

Adalah memberikan arti terhadap fenomena (wacana). Dalam prinsip analisis, semua masalah harus dicari yang menyebabkan serta memecahkannya dengan menggunakan analisi yang logis, fakta yang mendukung tidak dibiarrkan sebagaimana adanya, atau hanya dibuat diskripsi saja, Akan tetapi, semua kejadian (di dalam teks) harus dicari sebab akibat dengan menggunakan analisis yang tajam, Lihat: Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, h. 53.

17

Adapun yang dimaksud dengan komperatif adalah membandingkan satu variabel dan sampel besar, Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji teori hingga ditemukan kesamaan dan perbedaan. Lihat, Iskandar, Metodelogi Penelitian Pendidikan dan Sosial; Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: GP Press. 2009), h. 62

18

Yaitu mendeskripsikan sesuatu secara sistematis faktual dan akurat terhadap populasi atau keterangan tertentu, mengenai kerateristik, faktor-faktor, unsur-unsur tertentu; Lihat, Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, h. 36

19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, h. 73 20

Yang dimaksud dengan definisi klasik adalah definisi yang di keluarkan pada awal munculnya ilmu hadîts. Misalkan Imam Syafi‟i. Lihat, Baniel W. Brawn, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Moderen, Penerjemah. Jazair Radianti, dkk, (Bandung: Mizan Media Utama, 2000), h. 19

21

Yang dimaksud dengan definisi kontemporer adalah definisi yang di tetapkan pada era reformasi yaitu masa kritik ilmu hadis, mulai abad delapan belas, tujuh belas hingga sekarang, Lihat. Baniel W. Brawn, Menyoal Relevansi Sunnah, h. 37


(23)

Pertama, penulis mencari kemungkinan adanya sebab akibat yang mendasari ulama yang mendefinisikan hadis dan sunnah. Pencarian kausal tersebut tidak hanya terfokus pada perbandingan para ahli hadis melainkan para Ulama yang lain, baik di Fuqaha maupun di Theologi, utamanya para Mufassir, hal ini dilakukan guna bisa menangkap makna baru yang lebih komperehensif. Kedua, Secara khusus penulis memberikan porsi yang cukup untuk menyelesaikan persoalan ini, yaitu pendekatan kritik teks yang telah dilakukan oleh banyak pakar ilmuan muslim mapun non-muslim, hal ini dilakukan sebagai rangkaian analisis teks dari beberapa definisi masa lalu, dengan harapan bisa memberikan kontribusi keyakinan yang rasional untuk menyeimbangkan antara akal dan wahyu. Untuk mencapai kesempurnaan penelitian ini, penulis juga menggunakan pendekatan ilmu logika (mantik).

4. Sumber Data

Adapun sumber penelitian ini terdapat dua macam: Pertama, Primer22 yaitu sumber utama yang menjadi pembahasa pokok dalam penelitian ini,23 Sumber tersebut diambil dari Ulum Hadîts, Mustâlah Hadîts, Amsthal al-Hadîts, al-Qawâid al-Hadîts dan sumber-sumber dalam ilmu hadis lainnya. Adapun referensi dari rujukan ilmu logika, penulis menggunakan Sidi Gazalba Sistematika Filsafat, Ilmu Mantiq (Logika), Ilmu Mantik: Teknik Dasar Berpikir Logik, dan Dasar-dasar Logika.

22

Pius A Parto, dkk. Kamus Ilmiah Populer, h. 625 23

J.S. Badudu, dkk. Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustakan Sinar Harapan, 1996), h. 1089.


(24)

Kedua, Sekunder,24 yaitu sumber pendukung dari sumber primer,25 Sumber tersebut diambil dari kamus-kamus ilmiah, antara lain: Kamus “Arab Indonesia” hingga kamus “Bahasa Indonesia Ilmiah Populer” dan “Kamus Besar Bahasa Indonesia” yang lain. Kemudian, Al-Qur‟an serta artikel-artikel, Majalah, Buletin yang berhubungan dengan penelitian ini.

a. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal pengumpulan data, penulis menempuh teknik survey kepustakaan dan studi literatur. Survey kepustakaan yaitu menghimpun data dari sejumlah literatur yang diperoleh dari perpustakaan atau dari tempat lain ke dalam sebuah daftar pustaka. Sedangkan studi leteratur adalah mempelajari, menelaah dan mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang sedang penulis teliti.

b. Analisis Data

Analisis data26 dilakukan untuk mencari pola sistematika yang paling tepat dan benar. Analisis ini bersifat induktif, yaitu suatu analisa berdasarkan suatu yang diperoleh, selajutnya dikembangkan menjadi hipotesis, berdasarkan hepotesis yang dirumuskan, kemudian dicarikan data lagi secara berulang-ulang sehingga dapat disimpulkan berdasarkan data yang terkumpul, apakah hal tersebut bisa diterima atau ditolak? dan bila hal tersebut diterima maka hipotesis tersebut berkembang menjadi sebuah teori.27

24

Pius A Parto. dkk. Kamus Ilmiah Populer, h. 625 25

J.S. Badudu. dkk. Kamus Bahasa Indonesia, h. 1246

26

Dalam keterangan lain disebutkan, bahwa Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang di peroleh dari hasil catatan, lapangan, dokumentasi. Lihat, Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 244.


(25)

Terkait dengan data yang ingin ditelaah dalam penelitian ini adalah, segala hal yang terkait dengan pembentukan definisi, yang dalam hal ini digunakan teori ilmu-ilmu maupun logika.28

Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisis tunggal yang fundamental, yaitu menggunakan kaidah ilmu mantik, dalam hal ini dilakukan untuk mengetahui prosedur pembuatan definisi sunnah dan hadis dengan baik dan benar.

Dengan demikian, pendekatan ini mempermudah proses analisis dalam skripsi ini. Sedangkan dalam hal teknik penulisan, penulisan mengacu kepada buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.29

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pembahasan merupakan pengaturan langkah-langkah penulisan penelitian agar runtut, ada keterkaitkan yang erat antara pembahasan pertama dengan pembahasan berikutnya, antara bab satu dengan bab selanjutnya. Untuk mempermudah dalam memberikan pemahaman dan gambaran yang utuh tentang isi penelitian ini, maka sekripsi ini akan disusun dalam sebuah sistematika

28

Ilmu mantiq adalah ilmu tentang kaidah-kaidah berfikir, yang dapat membimbing manusia kearah berfikir secara benar, sehingga ia terhindar dari berfikir keliru yang menghasilkan kesimpulan yang salah. Lihat, Baihaqi. A.k, Ilmu Mantik Tehnik Dasar Berpiki Logis (Jakarta: Darul Ulum Press, 2007), h. 1. Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakanuntuk membedakan penalaran yang betul dengan penalaran yang salah. Lihat, Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 2. Logika dan mantiq pada dasarnya sama, namun logika ilmu tehnik berfikir yang bekerja secara umum, namun mantaq

adalah terjemahan dari ilmu logika barat yang disesuaikan dengan dasar-dasar agama Islam. Lihat, Faris Pari, Ilmu Logika, (Jakarta: Pesantren Ciganjur), h. 2

29

Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; Sekripsi, Tesis dan Desertasi, UIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: Ceqda, Cetakan 11, 2007)


(26)

pembahasan yang teratur. Adapun sistematika penulisan penelitian ini, penulis telah membagi menjadi lima bab:

Bab Pertama, Merupakan bab pendahuluan di dalamnya menjelaskan latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini. Kemudian permasalahan yang muncul dibatasi dan menetapkan permasalahan yang menjadi permasalahan utama, serta arti penting dan mamfaat yang ingin penulis capai dalam penelitian ini bagi masyarakat.

Pada pembahasan terakhir dalam bab pendahuluan ini, penjelasan mengenai sistematika pembahasan ini. Hasil penelitian ini disajikan dalam tiga bab, sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Bab kedua, penulis menginformasikan beberapa metode pembentukan definisi dari berbagai prespektif dalam ilmu logika. Teori inilah disajikan, sebagai bentuk analisa beberapa definisi sunnah dan hadis. Bab ini meliputi pembahasan metode pembentukan pengertian hingga kaidah-kaidah pembentukan definisi.

Bab ketiga, penulis menguraikan beberapa definisi sunnah dan hadis baik secara etimologis maupun terminologis:

Dalam kajian etimologi, penulis ingin menguraikan dua hal: Pertama, penulis menguraikan makna sunnah dan hadis yang terkandung dalam kamus. Kedua, uraian tentang etimologi sunnah dan hadis yang telah diformulasikan para ulama.

Adapun kajian sunnah dan hadis secara terminologi, penulis ingin menguraikan beberapa pendapat yang meliputi: Prespektif ulama hadis, ushul


(27)

fiqh, dan ulama fiqh. Kemudian, penulis menguraikan beberapa pendapat dari ulama kontemporer.

Bab keempat, Penulis menganalisis dari beberapa definisi yang diuraikan dalam bab tiga, dengan metode analisa yang diuraikan para ilmuan, yang telah dikutip dalam Bab ke dua.

Dengan demikian akan ditemukan sebuah kesimpulan yang akan dipaparkan dalam bab lima yang juga merupakan bab penutup.


(28)

A. Kaidah Pengertian

Keobjektifan makna teks akan ditentukan oleh pengertian yang benar, sedangkan pengertian yang benar akan ditentukan oleh pembatasan (definisi) kata yang benar pula,1 persoalannya adalah perkembangan kultur budaya saat ini yang telah mempengaruhi teks-teks keagamaan, sehingga banyak definisi yang ada terduga melanggar asas-asas ilmu logika. Hal ini pula dikhawatirkan terjadi pada definisi sunnah dan hadis.

1. Definisi Pengertian

Pengertian2 adalah abstraksi sebuah objek yang divisualisasikan. Pengertian merupakan kerangka pertama dalam ilmu logika atau asas logika. Dalam pembicaraan sehari-hari sering sekali mempersoalkan pengertian, manakala sesuatu objek tidak jelas, dirpertanyakan lah apa pengertian itu.

2. Metode Pembentukan Pengertian

Metode pembentukan pengertian adalah abstraksi, berarti gambaran, dengan melalukan abstraksi terbentuklah sebuah pengertian, abstraksi tersebut di peroleh dari kejadian khusus yang kongkret.

Kata abstrak berarti sebuah gambaran umum, menjadikan abstrak yaitu memisahkan dalam pikiran, meninggalkan unsur-unsur aksidensi, sehingga yang

1

Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat: Buku Kedua Pengantar Kepada Ilmu Pengetahuan

(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 47. 2


(29)

tinggal adalah esensi, tidak mengindahkan ciri visual yaitu ciri yang dapat dilihat, atau non visual.

Adapun yang dimaksud ciri aksiden: yaitu yang kebetulan, yang pokok, yang khusus, yang ada pada individu. Dengan meninggalkan ciri-ciri yang bukan pokok, khusus terbentuklah objek tersebut menurut hakikatnya yang disebut esensi.

Contoh: Pohon, ia bersifat pribadi, berdiri sendiri, mempunyai kekhususan dari masing-masing pohon, dan yang ada pada masing-masing pohon mempunyai ciri keumuman: tinggi, gembuk, rendah, yang membedakan dengan yang lain, maka hal itulah yang disebut ciri aksidensi3 (ciri umum). Di samping itu, pohon mempunyai ciri khusus, tumbuh, berbatang, dan kalau tidak ada ciri tersebut, tidak akan disebut pohon, contoh berakar, maka hal inilah yang disebut esensi (hakikat4), dengan ciri inilah dibentuk oleh budi (tanggapan), dengan meninggalkan ciri aksiden, hal itulah disebut pengertian.

Kesimpulannya adalah: subjek harus menentukan objek yang akan di gambarkan, dan gambaran yang telah didapatkan akan ditransformasikan kepada penentuan lambang yang bisa dikenal dengan “kata”, kemudian subjek

3

Ada sepuluh kategori ciri-ciri aksidensi, (Seekor) Jumlah, (kuda) Subtansi, (yang gagah) Sifat, (punya ahmad) Hubungan, (sebagai lomba) Sikap, (kemarin) Waktu, (digelanggang bogor) Tempat, (Ikut berpacu) Situasi, (Memperebutkan) Aksi, (Piala gubenur) Pasif.Lihat, Sidi Gazalba,

Sistematika Filsafat, h. 50-51 4

Esensi sebuah objek, menunjuk halnya sebuah objek tersebut, sedangkan ciri aksidensi objek adalah sesuatu yang melekat pada hakikat, seperti jumalah, waktu. Subtansi menunjuk satu hal, sedangkan aksidensi, sifat, aspek secara kebetulan melekat pada subtansi. Lihat, Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 50


(30)

menentuan unsur-unsur yang mengikat pada objek tersebut, dari sinilah subjek menjadikan sebuah abstraksi yang disebut pengertian.

B. Pengertian Definisi

Pengertian5 merupakan kata yang tidak jelas batasnya, maka hal itu disebut

Chaos of Ideas” (ide-ide yang tidak tersusun). Oleh karena itu, hal tersebut harus didefinisikan. Definisi atau definisi secara lugawi adalah memperkenalkan, memberitahu sampai jelas dan terang mengenai sesuatu.6 Secara logika definisi adalah teknik menerangkan baik dengan tulisan maupun lisan, yang dengannya diperoleh pemahaman yang jelas tentang sesuatu yang diterangkan/diperkenalkan.

Definisi adalah pengetahuan yang dibutuhkan. Dalam kehidupan ilmiah maupun kehidupan sehari-hari, seseorang banyak berurusan dengan definisi. Sewaktu orang memasuki pembicaraan permulaan suatu ilmu, ia akan bertemu dengan definisinya. Dalam pembicaraan sehari-hari tidak jarang diminta untuk menjelaskan pengertian kata yang digunakan. Menjelaskan pengertian kata agar tidak terjadi kesimpangsiuran dalam penggunaannya merupakan tugas definisi.7

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi adalah suatu cara dan alat untuk mengenal dan memahami tentang pengertian objek dan untuk mendapatkan gambaran yang sejelas jelasnya terhadap objek tersebut. Artinya mendefinisikan sesuatu adalah mengenalkan sesuatu menurut hakikatnya.8

5

Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, h. 60-63 6

Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2007), h. 47 7

Mundiri, Logika, (Jakarta: Raja Grafindo,1994), h. 37 8


(31)

C. Tujuan Definisi

Tujuan dari definisi secara umum adalah kemampuan untuk menyatakan term-term sesuai dengan kebenaran yang dikandung di dalamnya, di sisi lain untuk menghindarkan pemikiran sesat yang sering terjadi pada pola-pola penalaran yang tidak logis.

Secara rinci dapat dirperjelas dengan beberapa bagian yaitu memperkaya kosa kata, membatasi ambigusitas, menghilangkan makna yang kering, membarikan penjelasan teoretis dan mempengaruhi perilaku.

1. Memperkaya Kosa Kata

Dalam percakapan atau dalam membaca, sering dijumpai kata yang masih asing dan maknanya sulit dipahami, baik sebagai kata secara individual maupun dalam konteksnya. Untuk memahami apa yang dikatakan orang lain atau yang tertulis dalam sebuah teks, kiranya penting untuk diketahui maknanya yang benar dan tepat, Di sini lah dibutuhkan definisi. Dengan definisi pula pada akhirnya akan diperoleh tambahan perbendaharaan makna pada kata-kata yang sudah dipergunakan.

2. Membatasi Ambiguitas

Sangat sering dijumpai bahwa terdapat suatu kata yang mempunyai lebih dari satu makna. Hal tersebut tidak bisa terhindar dari kata tersebut karena itu adalah kenyataan yang ada pada suatu kata. Keadaan seperti itu jelas akan membingungkan seeorang ketika mendengar ataupun membaca kata tersebut, apakah ia bermakna {a} atau bermakna {b} atau malah bermakna {c}. pada akhirnya akan muncul suatu kerancuan makna.


(32)

Dalam keadaan seperti itu sangat perlu menyusun sebuah definisi atas kata yang rancu tadi dengan maksud untuk memilah-milah makna yang berbeda-beda yang terkandung di dalamnya.

Makna bahasa yang bermakna ambigu dapat membawa pada perdebatan verbal, terutama yang berhubungan dengan penggunaan term. Sebagai contoh adalah makna term aman dan terkendali. Term ini dapat mengundang makna rancu, sebab apabila term-term tersebut diucapkan oleh seorang politisi, makna ada kemungkinan akan timbul perbedaan dengan makna bila yang mengucapkan itu adalah warga masyarakat biasa. Jadi, penyusunan definisi itu memang perlu dengan maksud untuk mengatasi ambiguitas kata-kata atau term, frase atau kalimat.

3. Menghilangkan Makna yang Kering

Maksud dari makna yang kering di sini adalah ada suatu kata yang bila digabung dengan kalimat tertentu sangat sulit difahami, tidak semua orang bisa paham maksud kata tersebut. Sedangkan orang yang tidak memahami terhadap kata tersebut menganggap bahwa kata itu adalah kata yang bermakna kering. Maka dari itu dibutuhkan definisi khusus untuk menjelaskan kata itu demi pemahaman orang yang membaca atau mendengarkan.

Contohnya adalah mengembang terkendali yang dihubungkan dengan kondisi ekonomi atau contoh lain pernyataan hak cipta dilindungi undang-undang menjadi kering atau tidak bermakna jika ternyata banyak orang yang masih memfotocopi karya tulis yang dilindungi oleh undang-undang hak cipta.


(33)

4. Memberikan Penjelasan Teoretis

Selain penjelasan di atas, definisi juga bertujuan untuk merumuskan karakteristik yang secara teoritis meyakinkan dan secara ilmiah berguna bagi penjelasan atas objek-objek dimana definisi diterapkan. Sebagai contoh, definisi keadilan sebagai kehendak objek untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya. Definisi ini tidak memberikan pembendaharaan tambahan perbendaharaan kata dan juga tidak membatasi ambiguitas sabab definisi ini hanya dimaksudkan untuk menjelaskna hubungan yang ada diantara konsep adil dengan konsep tentang hak yang dimiliki seseorang.

5. Mempengaruhi Perilaku

Salah satu dari tujuan definisi adalah untuk mengendalikan emosi orang. Suatu contoh seorang telah mengajukan pembalaan atas diri teman yang dituduh telah melakukan tindakan subversive melalui penjualan buku terlarang dengan cara memaparkan netralitas definisi term penjualan dikaitkan dengan profesi seseorang sebagai pedagang atau memaparkan batasan profesi seseorang rohaniwan yang memiliki kewajiban moral membantu umat yang membutuhkan perlindungan spriritual.9

6. Memperkenalkan Makna

Makna dari sebuah objek biasanya tidak tunggal, malainkan mempunyai ragam makna, definisi memilih makna yang relevan untuk objek yang sedang ingin di ketahui. Artinya definisi memperkenalkan makna yang relevan.10

9

E. Sumaryono, Dasar-Dasar Logika (Yogyakarta: IKAPI, 1999), h. 38-40 10


(34)

D. Syarat-syarat Pembentukan Definisi a. Syarat-syarat Positif

Adapun syarat-syarat positif dari pembentukan definisi adalah sebagai berikut:

1. Jami’, berarti mengumpulkan, artinya mengumpulkan semua satuan yang di definisikan kedalam bentuk definisi.

2. Mani’ berarti mencegah, artinya melarang semua satuan hakikat lain dari yang didefinisikan kedalam definisi.11

3. Ma’qul wa Mubin berarti masuk akal dan kongkrit, artinya definisi harus dapat diterima oleh akal manusia, dan definisi harus lebih jelas dari yang di definisikan.12

4. Harus sunyi dari kesalahan-kesalahan kata. Misalnya, menggunakan kata kerja tanpa subjek, menggunkan sifat tanpa mausuf dan yang dianggap salah oleh ahli bahasa.13

5. Definisi harus dapat dibolak-balikkan dengan hal yang didefinisikan. Artinya, luas keduanya harus sama. Contohnya, hewan yang berakal budi harus dapat dibolak-balikkan dengan manusia.

6. Definisi harus sama pengertiannya dengan yang didefinisikan. Contohnya rokok adalah tembakau yang dibungkus dengan kertas yang

11

Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq, h. 51 12

M.Taib Thahir Abd. Mu‟in, Ilmu Mantiq, h. 61 13


(35)

dibakar ujungnya untuk dihisap pada ujung yang lainya dan dihembuskan sebagian asapnya.14

b. Syarat-syarat Negatif

Sedangkan untuk syarat-syarat negatif dari suatu pembentukan definisi adalah sebagai berikut:

1. Definisi tidak boleh lebih luas maknanya dari yang definisikan. Contohnya “Merpati adalah burung yang terbang cepat”.

2. Definisi tidak boleh menggunakan kata yang didefinsikan atau kata yang berulang-ulang. Contoh “Kafir adalah orang yang ingkar”

3. Definisi tidak boleh menggunakan kata yang negatif. Contoh “Benar

adalah sesuatu yang tidak salah”15

4. Ciri-ciri atau unsur yang akan dirumuskan tidak boleh lebih dan kurang dan berlebihan. Contoh, agama Islam lahir di tanah Mekkah-Madinah yang menyebar ke seluruh dunia, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. 5. Definisi tidak boleh memakai kata yang terlalu umum. Contoh agama adalah syari’ah.16

6. Definisi tidak boleh memakai kata majâz tanpa adanya qârinah yang menentukan maksud dari kata yang didefinisikan. Definisi dapat menggunakan kata majâz bila terdapat qârinah yang menentukan maksud dari definisi. Contoh kata dâbbah berarti segala yang merayap di muka bumi. Bila diistilahkan binatang yang mempunyai kaki empat.

14

Baihaqi A.K, Ilmu Mantiq, h. 52-53 15

Mundiri, Logika, h. 39-41 16


(36)

7. Jangan menggunakan kata musytarak, kata yang mengandung makna banyak tanpa ada qorinah yang menentukan salah satu dari makna yang banyak tadi. Contohnya, kata ‘ain yang mengadung beberapa arti di antaranya ialah matahari, mata air, mata manusia, mata uang atau hakikat sesuatu.

8. Definisi tidak boleh menggunakan kata yang garib artinya kata yang tidak terang maknanya atas maksud yang dikehendaki, atau kata yang mengandung arti yang tidak ada hubungannya dengan yang didefinisikan. 9. Definisi tidak boleh mengandung makna yang berakibat kemustahilan atau tasalsul. Seperti berkumpulnya dua hal yang bertentangan.17

E. Pembentukan Definisi

Ilmu pengetahuan pembentukan definisi lazim-nya berpedoman sebagai berikut; memasukkan objek yang didefinisikan ke dalam jenis yang berdekatan, sambil menunjukkan ciri-cirinya khusus, yang membedakan dengan jenis lain. Contoh: al-Qur‟an adalah firman Allah Swt yang tercatat dalam bahasa Arab dangan bahasa paling indah.18

Hal yang sama disebutkan pula bahwa mendefinisikan adalah menyebut sekelompok kerakteristik suatu kata sehingga dapat mengetahui pengertiannya serta dapat membedakan kata lain yang menunjuk objek yang lain pula. Dan yang dimaksud dengan kerakteristik adalah genera (jenis) dan defiferentia (sifat pembeda), jadi mendefinsikan suatu objek adalah menganalisis jenis dan sifat

17

M. Taib Thahir Abd. Mu‟in, Ilmu Mantiq, h. 61-63 18


(37)

pembeda yang dikandungnya,19hal ini hanya sebagai penegasan dari pernyataan sebelumnya.

Artinya, bila objek tidak dapat ditemukan genera dan defiferentia maka objek tersebut tidak dapat didefinisikan, objek tersebut hanya berhenti dipengertiannya saja.

F. Tugas Definisi

Tugas definisi secara global adalah menerangkan. Dengan definisi akan diketahui atau dikenal sesuatu, yang tadinya memang belum diketahui atau dikenal. Kalau ia tidak berhasil maka definisi tersebut gagal. Sebagai sebuah contoh, Apa itu manusia? jawabannya adalah “manusia itu bukan hewan,” definisi ini gagal menjalankan tugasnya, sebab masih belum diketahui apa yang sesungguhnya. Karena yang bukan hewan selain manusia sangat banyak ditemukan.20

G. Macam-macam Definisi

Definisi adalah rumusan pengertian, dan pengertian adalah definisi yang belum selesai. Adapunmacam-macam definisi sebagaimana berikut:

1. Definisi Persamaan Ungkapan

Kata yang diberikan definisi dengan kata sinonim atau kata terjemahan. contoh: sunnah itu tuntunan, atau hadis adalah sabda.

19

Mundiri, Logika, h. 37. 20


(38)

2. Definisi Peragaan

Menerangkan sesuatu dengan cara memperagakan Contoh: anda melihat guru mengajar geografi yang bertemakan pengetahuan peta Arab Saudi, beliau sambil menunjuk sebuah peta bahwa kota Mekkah merupakan tempat kelahiran Nabi Muhammad Saw.

3. Definisi Luas

Menerangkan sesuatu dengan memberikan contohnya sekali. Misalnya: sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah Saw: seperti, perkataannya, perbuatanya, sifatnya, rencana.

4. Definisi Uraian

Menerangkan sesuatu dengan menganalisa bagian-bagiannya satu persatu. Contoh, Islam adalah agama yang paling akhir. Allah swt tidak memaksa hambanya untuk masuk Islam, namun bila seorang hamba masuk Islam maka ia harus mematuhi segala peraturan yang telah diatur dalam Islam.

5. Definisi Lukisan

Menerangkan sesuatu dengan melukiskan sifat-sifatnya. Contoh, Muhammad Saw adalah rasul yang terakhir diutus sebagai pembawa syari‟ah. Ia manusia biasa, tampan dan kalau siang hari sinarnya melebihi matahari yang sedang bersinar.21

Beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa kaidah kaidah definisi di atas dapat berlaku pada semua disiplin ilmu yang dapat dikaji oleh manusia.

21


(39)

BAB III

DEFINISI SUNNAH DAN HADIS

A.Studi Etimologi Definisi Sunnah dan Hadis 1. Definisi Sunnah dan Hadis Prespektif Kamus

Sunnah berasal dari bahasa arab ( ) berarti mengasah atau manajamkan. Namun, kata tersebut tidak hanya mempunyai makna tunggal, melainkan memiliki makna yang sangat luas, ia sangat tergantung pada susunan kalimatnya. Bila kata sunnah disandarkan pada kata (

قي ط ا

) maka ia berarti “berjalan di jalan”, dan bila kata tersebut disandarkan pada manusia maka ia berarti “Mengadakan sunnah untuk mereka,” dan bila kata tersebut diberi syiddah (

س

-

ج

-

س

maka ia berarti “jalan, tabi‟at, peri kehidupan.” Intinya adalah makna kata sunnah sangat dipengaruhi oleh kalimat yang mengikutinya.1 Hal tersebut didukung oleh penulis kamus yang lain seperti kamus al-Munawir,2 kamus Arab-Kontemporer.3

Hal yang sama juga terjadi pada hadis, artinya kata hadis berasal dari bahasa Arab, yaitu

و ح

-

ث حي

-

ث ح

berlaku, terjadi. (

ا ح

-

ث حي

-

ث ح

berarti baru, bilamana kata tersebut ber-syiddah, maka ia berarti menceritakan, memberikan.

1

Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 180 2

Ahmad Warson Munawwar, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap

(Jogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 670 3

Ahmad Zuhdi Muhdior, Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), h. 1092


(40)

Apabila kata tersebut dirubah harkah menjadi (

يد حا

-

ج

-

ي ح

berarti cerita, berita, riwayat dari nabi Muhammad saw.4

2. Pendapat Para Ulama Mengenai Sunnah dan Hadis

a.Etimologi Sunnah

Kebanyakan para ulama dunia Islam menetapkan definisi sunnah secara etimologis adalah:

قي ط او يس ا

يح ق ك سح د ع ا

"Jejak dan jalan yang bersifat kebiasaan baik bagus maupun jelek"

يس ا

يح ق ك سح

"Jalan (yang dijalani) baik terpuji maupun tercelah.5"

قي ط ا

يق س ا

"Jalan yang lurus"atau jalan yang harus ditempuh.6”

Ulama yang berbeda berpendapat, bahwa kata sunnah dapat diartikan “politik” kata tersebut diambil dari bahasa Yunani „politeia’ yang berarti konstitusi atau repulik, secara filosofis ia mempunyai arti tentang keadilan,7 intinya adalah kesatuan negara dan masyarakat, politik merupakan aturan main yang berada di dalamnya.8 Dalam hal ini Rasulullah.saw merupakan seorang

4

Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h.98 5

Nur al-Din 'Atar, Manhâj al-Nâqidi Fî Ulumu al-Hadits (Beirut: Dâr al-Fikr, 1979), h. 27

6

Taqiyuddin al-Nabhani,Penuturan Hidup dalam Islam;idisi Mu'tamadah, Penerjemah. Abu Amin,dkk (Jakarta: HTI Press, 2010), h. 122

7

Deliar Noer, Pemikiran Politik di NegeriBarat (Bandung: Mizan, 1997), h. 7-8 8

Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia: Satu Model Pengantar (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1999), h. 2


(41)

Rasulullah yang merangkap sebagai presiden yang mengatur semua sistem kehidupan masyarakat waktu itu.9

Berdasarkan etimologi di atas, penulis pahami bahwa kata sunnah mempunyai dua unsur atau ciri khusus yaitu, jalan dan perjalanan atau jejak (sejarah). Dua ciri tersebut harus disebutkan dalam terminologi.

b.Etimologi Hadis Secara etimologi,10

kata hadis merupakan serapan dari bahasa arab, yang aslinya berbunyi al-Hadîts. Dalam hal ini para ulama memberikan sikap yang berbeda-beda, maskipun tidak terlalu tajam, artinya hal tersebut masih bisa ditolerir: Berikut beberapa pendapat para ulama perihal etimologi hadis:

1. Menurut al-Fayumiy, telah mengartikan kata hadis dengan:

ي ق لق يو ث ح ي هد جو د ج

“Yang baru keberadaanya, apa yang diceritakan dengannya dan dinukilkan dekat atau menjelang”11

2. Menurut Jamal al-Dîn Muhammad bin Mukarram bin Manzhur, lebih dikenal dengan penggilan Ibn Manzhur , mengartikan hadis sebagai berikut:

ي او لي ق ا ع ي

اء يشاا ي ج ا

“Sesuatu yang baru berupa berita yang datang, baik sedikit atau banyak”

9Abd A‟la al-Maududi,

Khalifah dan Kerajaan, Penerjemah. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 2007), h. 55

10

Penyelidikan mengenai asal-usul kata atau istilah serta pembahasannya, Lihat, Pius A Partanto, dkk, Kamus Ilmiah Populer, h. 162

11

Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Murqiy al-Fayyumiy, al-Misbah al-Munir Fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’iy (Saudi Arabia: Al-Mamlakah, T.th), h. 135


(42)

Selanjutnya dikatakan bahwa kata jamak ialah hadis sebagaimana kata qata’aaqti’ hanya saja kata jamak dengan model seperti ini adalah syadz dan menyalahi qiyas.12

3. Badr al-Dîn Muhammad bin Ibrahim bin Jama‟ah, Mengartikan:

ه يكو

ا لي ق ف ل ع سا قو ي ق ا ض ص ف ي ح ا او

“Adapun asal makna kata al-Hadîts adalah lawan dari kata al-Qadim (terdahulu), dan kadang dipakai untuk makna berita baik yang sedikit maupun banyak”

Pakar ilmu hadis Rasulullah Saw, ‘Ajaj al-Khatib dalam dua bukunya, dengan tegas mengartikan, kata hadis secara etimologi Jadîd) yang baru, (al-Qarib)dekat. Subhi Shaleh menambahkan bahwa makna hadis adalah (al-kalam) pembicaraan,13

secara bahasa hal ini terlihat berseberangan dengan al-Qur’an yang bersifat (Al-Qadim) yang terdahulu.14

Pada literatur yang berbeda disebutkan, bahwa makna kata hadis sangat di tentukan oleh kata yang mengikutinya, bila kata tersebut disandarkan pada Allah Saw maka ia menjadi hadis qudsi.15 Apabila kata tersebut disandarkan pada kata Nabi maka ia menjadi hadis nabawi.

3. Makna Sunnah dan Hadis dalam al-Qur’an

Dalam al-Qur‟an penyebutan sunnah dan hadis tedapat dua macam; Pertama, penyebutan secara langsung. Kedua, penyebutan secara tidak langsung. Penyebutan sunnah secara langsung adalah:

12

Jamal al-Dîn Muhammad bin Mukarram al-Anshariy, Lisân al-Arab,Juz. 11, h. 437. 13

Subhi Shaleh. Ulum al-Hadîth wa Mustalahu, h. 3 14 Muhammad „Ajaj al-Khatib,

Usul al-Hadîts’Ulumuhu wa Mustalahuhu, h.26-27 15


(43)

a. Kata Sunnah dalam al-Qur‟an

Para ulama mengutip, kata sunnah dari al-Qur'an, mereka gunakan dalam artian khusus yaitu: "Cara yang biasa dilakukan dalam pengalaman agama: kata Sunnah dalam awal periode Islam dikenal dengan arti tersebut.16

Kemudian, kata sunnah disebutkan diberbagai tempat, dengan tujuan yang berbeda-beda. Penulis harus menguraikan hal ini, untuk mengetahui perubahan makna sunnah dalam al-Qur‟an, sebagaimana berikut:



“Sebagai suatu sunnatullah (hukum Allah.swt yang telah ditetapkan) yang berlaku, sebelum kamu, dan tiada akan menemukan perubahan bagi Sunnahtullah tersebut.”17





“Kami menetapkan yang demikian sebagai suatu ketetapan terhadap Rasul-rasul Kami yang kami utus sebelumu, dan tiap-tiap ummat yang mengusir Rasul, pasti akan di binasakan Allah.swt. Demikianlah Sunnah (ketetapan Allah.swt) dan tidak akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan kami itu”18







“Sebagai Sunnatullah yang berlaku atas orang-orang sebelum kamu, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada Sunnahtullah”19

16

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, h. 37 17

Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur'an dan Terjemahannya (Madinah al-Munawarah: Mujama' al-Malik Fahd li Thibâ'at al-Mushaf, T.th.) Q.S.Al-Fath (48) ayat: 23.

18 Q.S. Al-Isrâ‟ (17) ayat: 77. 19


(44)









“Maka Iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa kami. Itulah Sunnahtullah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir”20

















“Karena kebohongan mereka di bumi dan arena renacana mereka yang jahat. Rencana itu tidak akan menimpa selain orang yang merencakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) Sunnah kepada orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi Sunnah Allah.swt dan sekali-kali tidak akan menemui penyimpangan bagi Sunnah Allah.swt itu”21







“Dan tidak ada satupun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada tuhannya, kecuali keinginan menanti datangnya hukum Allah.swt yang telah berlaku pada umat-umat yang dahulu atau datannya adzab atas mereka datangnya nyata”22



20

Q.S. Al-Mukmin (Ghafir) (40) ayat: 85 21

Q.S. Fâthir (35) ayat: 43. 22


(45)

“Mereka tidak beriman kepada al-Qur‟an dan sesungguhnya telah berlalu Sunnatullah (membinasakan orang-orang yang mendustakan rasul) terhadap orang-orang dahulu.23







“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, Jika mereka berhenti ingkar, niscaya Allah.swt akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang lalu; dan jika mereka kembali lagi(kembali memerangi nabi), sesungguhnya akan berlaku kepada mereka Sunnahtullah orang-orang terdahulu”24







“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu Sunnah Allah.swt, yang dimaksud dengan Sunnah Allah.swt di sini ialah hukuman-hukuman Allah.swt yang berupa malapetaka, bencana yang ditimpakan kepada orang-orang yang mendustakan Rasul. karena itu berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan(Rasul-rasul)”25













26



“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-kitab (al-Quran) dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya engkaulah yang maha kuasa lagi maha bijaksana”27

23

Q.S. Al-Hijr (15) ayat: 13. 24

Q.S. Al-Anfâl (08) ayat: 38. 25

Q.S. Ali-Imrân (3) ayat: 137. 26

Q.S. Al-Baqarah (2) ayat: 129. 27


(46)

Pada ayat terakhir disebutkan, bahwa yang dimaksud kata al-hikmah adalah Sunnah, dalam tradisi filsafat, kata hikmah diartikan filsafat atau kebenaran,28 para ahli hadis mengistilahkan bahwa kebenaran yang hakiki adalah

sunnah.29

Dalam pemaparan ayat-ayat di atas, dapat penulis pahami bahwa yang di maksud dengan kata sunnah tidak berhubungan langsung dengan Rasulullah.saw, melainkan berhubungan dengan Allah.swt yang telah berlaku, maupun yang akan berlaku.

Makna sunnah dari beberapa ayat di atas, terdapat tiga macam: Pertama, Sunnatullâh, yaitu aturan yang telah ditetapkan-Nya, dan tidak satupun yang bisa menggugatnya. Kedua, Sunnah orang terdahulu (adat-istiadat sejarah). Ketiga, Filsafat.

b. Kata Hadis dalam al-Qur‟an

Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa kata hadis dalam al-Qur‟an menempati beberapa tempat:







“Dan sesungguhnya Allah.swt telah menurunkan Al-Qur‟an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah.swt diingkari dan diperolok-olokkan oleh orang kafir, maka janganlah kamu duduk berserta mereka, sehingga

28

Aksin wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd, Kritik Ideologis- Hermeneutis, (Yogjakarta: PT LKiS Printing Cermerlang, 2009), h.71

29


(1)

58

hasil konsep sunnah, atau sunnah yang terkonsep. Nurcholish Majid berkomentar sama dengan komentar Fazlur Rahman yaitu hadis adalah laporan tentang aktifitas Rasulullah saw.

Menurut ilmu logika beberapa definisi yang dirilis oleh dua ulama modern penulis tidak menemukan pelanggaran, artinya beberapa definisi di atas telah memenuhi standar dalam ilmu logika, maskipun corak definisi tersebut terkesan bersebrangan dengan ulama salaf.


(2)

59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan dua hal: Pertama, Definisi sunnah merupakan prangkat ilmu pengetahuan yang harus mematuhi aturan, yang telah ditetapkan dalam ilmu logika. Sedangkan ilmu logika merupakan seperangkat aturan ilmiah yang dapat di gunakan pada semua objek ilmu pengetahuan, utamanya pada persoalan definisi sunnah dan hadis.

Kedua, Definisi yang dikeluarkan oleh ulama hadis dan ushul fikih menurut Jamhur ulama tidak memenuhi standar ilmu logika, karena mereka mempersoalkan kata taqrîr dalam definisi tersebut. Hal yang sama terjadi pula pada definisi sunnah dari ulama fikih, maskipun alasannya berbeda, pelanggaran yang terjadi pada definisi tersebut adalah mereka memakai kata “nafi” yang dalam ilmu logika sangat dilarang.

Ketiga, Sedangkan definisi hadis pertama dan ketiga dalam perspektif Ilmu Mantik telah memenuhi standar sebagai sebuah definisi yang sempurna. Namun definisi hadis yang kedua, terdapat persoalan sebagaimana yang di persoalan pada definisi sunnah yaitu kata taqrîr.

B. Kritik dan Saran

Hasil penelitian ini hakikatnya hanya sebagai penegasan dan untuk mengembalikan pada terminologi yang semestinya, penulis tidak bermaksud untuk menyalahkan para ulama yang berbeda pendapat dengan hasil penelitian ini,


(3)

60

hanya saja penulis inginkan agar selalu berhati-hati dalam memahami teks agama, sebab bila seseorang salah memahami teks keagamaan dapat dipastikan pula salah dalam mengamalkan agama yang ia anut dan kesalahan terbanyak dalam pemahaman teks keagamaan adalah pada kasus pengertian atau definisi.

Dari beberapa kesimpulan di atas, bahwa tulisan yang ada di tangan pembaca ini, merupakan hasil dari sekian banyak penelitian yang ada. Penulis sadari penelitian ini, masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu diperbaiki, baik dari sistematika penulisan maupun bentuk tulisan. Harapan penulis agar pembaca bisa memberikan sumbangsih pemikiran baik kritik mapun saran untuk kesempurnaan penelitian ini. Terus terang hal ini perlu penelitian lanjutan agar memahami sunnah dan hadis secara komprehensif.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abd Mu‟in, Taib Thahir. Ilmu Mantiq. Yogyakarta: IKAPI, 1995.

Abu Sulaiman, Musthafa. Majmu’âh Risâlah. Beirut: Dâr al-Kitâb al-Ilmiah, T.th. al-Anshari, Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram. Lisan Al-‘Arab. Dâr Li

al-Ta‟lifwa al-Tarjamat, T.th.

'Atar, Nur ad-Din. Manhaj an-Naqidi fi Ulumu Hadits. Beirut: Dâr al-Fikr,1979.

Azami, M.M. Studies in Hadis Methodology and Literater. Terj. Meth Kieraha. Jakarta: Lentera, 2003.

Badudu, J.S. dkk. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustakan Sinar Harapan, 1996.

Baihaqi. Ak. Ilmu Mantik Tehnik Dasar Berpikir Logis. Jakarta: Darul Ulum Press, 2007.

Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, Penerjemah: Jaziar Radianti. dkk. Bandung: Mizan, 2000.

al-Dailamy, Muhammad. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan. Porwokerto: Fajar Pustaka, 2010.

al-Darimiy, Abdullah Bin „Abd al-Rahman Abu Muhammad. Sunan al-Darimi. Juz 10. Beirut: Dâr al-Kutûb, 1407 H.

Depag RI. al-Quran dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra, 1996. E. Sumaryono. Dasar-Dasar Logika. Yogyakarta: IKAPI, 1999. Endang Soetari Ad., Ilmu Hadis. Bandung: Amal Bakti Press, 1994.

al-Fayyumiy, Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Murqiy. al-Misbah al-Munir Fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al-Rafi’iy. Juz 1.Saudi Arabia: Al-Mamlakah, T.th.

Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat: Buku Kedua Pengantar Kepada Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Hamdah, Abbas Mutawali. al-Sunnah al-Nabawiyah Wa Makânatuh Fi al-Tasyri'. Kairo: Dâr al-Qaumiyah, T.th.

Huda, Nurul. “Metode Pemahaman Hadis Tela‟ah Historis dan Semantik.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.


(5)

Ibn Katsir al-Damasqi, Abu al-Fida‟ Ismail ibn Umar. Tafsir al-Qur’an al -‘Adhzim. Juz VI. Damaskus: Dâr-Thayyibah, 1999.

Ibrohim, Syaik. al-Bâjuri. Surabaya: al-Hidayah, 1999.

Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra lil Baiẖâqi, juz 10. T.tp: Mauqiu al-Islamiah, T.th.

Iskandar.Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial: Kualitatif dan Kuantitatif. Jakarta: GP Press.2009.

Isma‟il, M. Suhudi. Hadîts Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:Telaah M’ani al- Hadîts tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 2009.

---,Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah.Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

Kantaprawira, Rusadi. Sistem Politik Indonesia: Satu model pengantar. Bandung: Sinar Baru Algesindo,1999.

Kerajaan Saudi Arabia, Al-Qur'an Dan Terjemahannya. Madinah al-Munawarah: Mujama' al-Malik Fahd li Thiba'at al-Mush-Haf, T.th.

al-Khathib, Muhammad „Ajjaj. Usul Al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr,1989.

Mahmud, Abdul Majid. Amtsal al-Hadits Ma’taqdimatin Fi ulum al-Hadist. Cairo: Dâr al-Turas, T.th.

al-Maududi, Abd. A‟la. Khalifah dan kerajaan, Penerjemah. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 2007.

Meleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004

Muhdior,Ahmad Zuhdi.Kamus Kontemporer: Arab-Indonesia. Yogjakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996.

Munawwar, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Jogjakarta: Pustaka Progresif, 1997.

Mundiri. Logika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

al-Nabhani, Taqiyuddin. Penuturan Hidup dalam Islam;idisi Mu'tamadah, Penerjemah. Abu Amin, dkk. Jakarta: HTI Press, 2010.

Naisaburi, Muhammad „Ajjaj al-Qusyairi. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.

Nasuhi, Hamid. dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis dan Desertasi, UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: Ceqda, Cetakan 11, 2007.


(6)

Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan, 1997. Pari, Faris. Ilmu Logika. Jakarta: Pesantren Ciganjur, 2009.

Partanto, Pius A. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 2001. Rahman, Fazlur. Islam Fazlur Rahman. Bandung: Pustaka, 2000. Ranuwijaya, Untang. Ilmu Hadîts. Jakarta: Gaya Media Press,1996.

al-Siba‟i,Musthafa. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Penerjemah. Nurcholish Majid. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

---,al-Sunnah wa Makânatuha Fi al-Tasyri al-Islâmi. Kairo: Dâr al-Qaumiyah,1949.

Solahuddin, M. Agus. dkk.Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka setia, 2009. Sugiono.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Bandung: al-Fabet, 2009. Syahrur, Muhammad. Kitâb Wa Qur'an: Qira'ah Mua'shirah. Damaskus:

al-Ahli, 1990.

Wijaya, Aksin. Teori Interpretasi Al-Qur’an Ibnu Rusyd, Kritik Ideologis Hermeneutis. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cermerlang, 2009.

Yahdi, Kuswandi.“Otentitas Hadis Menurut Imam al-Ghȃzalî: Studi Analitis. ”Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.

Yunus, Muhammad. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1989. Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar Ibn Ahmad. Tafsir Al-kasyaf.