Pengertian Sunnah Pengertian Hadis:

BAB IV STUDI ANALISIS DEFINISI SUNNAH DAN HADIS

PERSPEKTIF ILMU LOGIKA Definisi sunnah dan hadis mempunyai relevansi yang sangat kuat dengan ilmu logika mantik, ilmu mantik adalah metode tentang undang-undang berfikir ilmiah. 1 Adapun bagian dari hal tersebut adalah definisi atau t a’rif, hal ini untuk para pekerja ilmu pengetahuan para ilmuan, 2 sedangkan definisi sunnah dan hadis bagian dari cara kerja ilmiah yang wajib mengikuti standar prosedur ilmu logika, untuk mendapatkan legitimasi kebenaran dari ilmu pengetahuan. Mengacu pada pembahasan pada bab II, dalam bab ini penulis berupaya menganalisis beberapa definisi sunnah dan hadis yang ada, dengan ilmu mantik atau logika. Objek kajian tersebut meliputi kajian etimologi hingga pada terminologi.

A. Studi Etimologi Sunnah dan Hadis

1. Pengertian Sunnah

Secara etimologi sunnah adalah sebagai berikut : قي ط او يس ا يح ق ك سح د ع ا يس ا يح ق ك سح . 3 قي ط ا يق س ا . 4 1 M. Taib Thahir Abd. Mu‟in, Ilmu Mantiq.Jakarta;Widjaya.1995.h.16 2 M. Taib Thahir Abd. Mu‟in, Ilmu Mantiq, h. 63 3 Nur al-Din Atar, Manhaj al-Naqidi fi Ulmu al-Hadits, Beirut: Dâr al-Fikr, 1979, h. 27 Mengacu pada kaidah-kaidah ilmu logika yang telah di sebutkan sebelumnya, penulis melihat bahwa tiga definisi etimologi telah memenuhi standar ilmu logika yang telah disepakati para ulama mantik. Karena telah memenuhi dua kriteria yaitu. Pertama, Memenuhi tujuan definisi. Kedua, Memenuhi seluruh persyaratan dalam ilmu logika.

2. Pengertian Hadis:

ي ق لق يو ث ح ي هد جو د ج 5 Pada definisi secara kebahasaan tidak terdapat masalah, namun dalam prespektif ilmu logika terdapat pelanggaran yang serius, yaitu pembuat definisi menggunakan kata yang definisikan yaitu kata hadits, padahal kata itu sangat di larang dalam aturan pembuatan definisi prespektif ilmu logika. ي او لي ق ا ع ي اء يشاا ي ج ا 6 ه يكو ا لي ق ف ل ع سا قو ي ق ا ض ص ف ي ح ا او 7 Dua etimologi hadis ini tidak terdapat pelanggaran baik secara kebahasaan maupun ilmu logika, artinya dua definisi ini cukup sempurna secara etimologis. Dari beberapa definisi di atas sementara penulis simpulkan, bahwa secara ilmu logika, etemologis sunnah dan hadis mayoritas telah memenuhi standar ilmu logika terkecuali pada etemologi hadis yang pertama 4 Taqiyuddin al-Nabhani, Penuturan Hidup Dalam Islamidisi Mutamadah, Penerjemah: Abu Amin, dkk. Jakarta: HTI Press, 2010, h.122. 5 Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Murqiy al-Fayyumiy, al-Misbah al-Munir Fi Gharib al-Syarh al-Kabir li al- Rafi’iy Saudi Arabia: Al-Mamlakah, T.th, Juz 1, h. 135 6 Jamal al-Din Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan Al-‘Arab, Dâr Li al-Ta‟lif wa al-Tarjamat, T.th, Juz II, h.437. 7 Muhamma d „Ajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Dâr al-Fikr; Beirut Libanon.1981, cek.I, h.20

B. Studi Terminologi Sunnah dan Hadis

1. Kajian Definisi Sunnah Adapun definisi sunnah dapat disebut sebagai berikut: ءا س ييس وا يق خ فص وا ي ق وا لعفوا ل ق ي اا ع ا لك ن ك ع وا ع ا ل ق ك ذ Secara bahasa penulis melihat dua kelemahan dalam definisi ini, yaitu Pertama, kata ي ا ع kata lebih sempit dari kata Rasul, Nabi dan Rasul merupakan dua kata yang berbeda, bila seseorang menyebut maka Nabi maka tidak berarti ia bermakna Rasul, namun bila ia menyebut kata Rasul maka dapat dipastikan bermakna Nabi. 9 Kedua, kata taqrîr yang bermakna persetujuan, kata ini seharusnya tidak disebutkan karena ia sudah termasuk kedalam makna Qaul wa Fi’lun yaitu perkataan dan pekerjaan, artinya perkataan atau pekerjaan Rasulullah saw mewujudkan sebuah persetujuan. 10 Mengacu pada kaidah ilmu logika yang telah disebutkan dalam bab kedua, penulis melihat bahwa definisi di atas bermasalah pada dua hal: Pertama, Pembuat definisi ini menggunakan kata yang mutasil dan Tasalsul, yaitu berkumpulnya dua makna kata yang berseberangan. Contohnya kata taqrîr, kata tersebut merupakan masdar dari kata qarara, dalam kamus 8 Abbas Mutawali Hamdah, Al-Sunnah al-Nabawiyah Wa Makanatuh Fi al-Tasyri. Kairo: Dâr al-Qaumiyah, h.23. 9 Syaik Ibrohim, Al-Bâjuri, Surabaya: al-Hidayah, 1999, h. 15 10 M. Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis;Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah Jakarta: Bulan Bintang, 2005, h. 26. bahasa arab, berarti penetapan, pengakuan, persetujuan. 11 Dalam literatur yang berbeda disebutkan bahwa kata taqrîr berarti ketetapan dan kenyataan. Sedangkan kata yang berarti pengakuan adalah kata aqarra, yuqirru. 12 Artinya, bila kata taqrîr diartikan pengakuan, sangat tidak cocok, disebabkan berbeda wazan meskipun dalam akar katanya sama. Menurut penulis kata „pengakuan‟ atau „persetujuan‟ bahkan „penetapan‟ harus melalui ucapan dari subjek atau seorang yang menyetujui, mengakui tentang sesuatu. Contoh kasus: Rasulullah saw bila ia diam terhadap sebuah peristiwa yang dilakukan para sahabat, kemungkinan terbesar adalah belum turunnya wahyu, karena ia tidak mungkin melakukan sesuatu tanpa adanya wahyu 13 dan penyampaian wahyu harus dilakukan dengan lisan. Apabila para ulama menyatakan bahwa taqrîr yang berarti persetujuan masuk dalam katagori hadis Rasulullah saw, hanya penafsiran para sahabat pada sebuah peristiwa, yang menurut logika hal tersebut mustahil. Kedua, sebagian para ulama menyatakan bahwa kata taqrîr, termasuk atau bagian dari kata a fa’l pekerjaan kata taqrîr dinyatakan secara eksplisit, maka rumusan definisi akan menjadi gharu m ani’. 14 Artinya bilamana kata taqrîr dipaksakan masuk kedalam unsur definisi maka ia definisi tersebut cacat secara hukum logika. Karena hukum logika sebuah definisi harus m ani’. 11 Muhammad bin Mukran bin Mansur, Lisan al-‘Arâb, Mesir: Dâr Al-Misriyyah, T.th Juz VI, h. 394. 12 Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia Jakarta: Hidakarya Agung, 1972, h. 334- 335. 13 Q.S. al-Najm:532-3 14 M.Suhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, h. 26

2. Definisi Ulama Usul Fikih