Kajian Potensi Wisata Kota Tapaktuan, Berbasis Masyarakat Lokal

(1)

0

KAJIAN POTENSI WISATA KOTA TAPAKTUAN

BERBASIS MASYARAKAT LOKAL

TESIS

Oleh

RESKY RUSNANDA

117020003/AR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik Dalam Program Studi Teknik Arsitektur Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

RESKY RUSNANDA

117020003

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

0

PERNYATAAN

KAJIAN POTENSI WISATA KOTA TAPAKTUAN

BERBASIS MASYARAKAT LOKAL

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 12 Agustus 2014


(4)

LOKAL

NAMA MAHASISWA : RESKY RUSNANDA

NOMOR POKOK : 117020003

PROGRAM STUDI : ARSITEKTUR

BIDANG KEKHUSUSAN : MANAJEMEN PEMBANGUNAN KOTA

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, PhD) (Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, PhD) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Ir.Dwira Nirfalini Aulia, M.Sc) (Prof. Dr. Ir. Bustami Syam, MSME)


(5)

0 Telah di uji pada

Tanggal : 12 Agustus 2014

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, PhD Anggota : 1. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, PhD

2. Ir. Morida Siagian, MURP, PhD

3. Dr. Achmad Delianur Nasution, ST, MT, IAI 4. Salmina Ginting, ST, MT


(6)

pariwisata mampu mendorong masyarakat untuk terlibat secara aktif. Kota Tapaktuan dilihat dari potensi alamnya, sektor pariwisata sangat produktif untuk dikembangkan, ditambah lagi dengan kultur masyarakat lokalnya yang kental dan ramah. Hanya saja permasalahan yang terjadi saat ini adalah pengembangan pariwisata di Tapaktuan yang belum optimal, adanya ketimpang tindihan dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata di setiap objek wisata, menyebabkan objek wisata yang memiliki potensi tinggi menjadi terabaikkan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi objek wisata manakah yang paling berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata andalan yang berbasis masyarakat lokal (Community Based Tourism). Adapun objek wisata yang diteliti adalah objek wisata yang ada di Tapaktuan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran, dengan cara observasi lapangan terhdapa objek wisata, Wawancara mendalam kepada informan yang terkait, dan kuisioner yang di bagikan kepada masyarakat lokal dan pengunjung objek wisata. Hasil dari penelitian ini adalah dari 5 (lima) obyek wisata yang diteliti dengan mengunakkan konsep Community Based Tourism, dapat disimpulkan bahwa obyek wisata Pantai Pasir Putih memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sesuai dengan konsep Community Based Tourism, yang memperhatikan prinsip-prinsip sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik. Dari segi sosial peningkatan kebanggaan komuitas terhadap objek wisata ini sangat tinggi, dari segi ekonomi dengan adanya objek wisata ini dapat meningkatkan dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal, segi budaya masyarakat dapat memperkenalkan budaya lokal kepada pengunjung, segi lingkungan masyarakat lokal masih mempertahankan keaslian daerah sekitar, dan dari segi politik adanya pembagian hasil yang adil antara pemerintah dan masyarakat lokal.


(7)

ii

ABTRACT

The success in tourism is related to its own potency in which tourism is able to encourage people to be actively involved in it. Viewed from it natural potency, Tapaktuan has productive tourism sector which can be developed; besides that, its local people are very friendly. However, the problem is that tourism development at Tapaktuan is not optimal because there is an overlapping in the management and development of tourism in every tourism object which causes tourism object which has high potency to be neglected. The objective of the research was ti identify which tourism object that had high potency to be developed as reliable tourism object, based on Community Based Tourism. The population was tourism objects at Tapaktuan.

The research use mix method by conducting field observation on tourism objects an in-depth interviews whit related information, and distributing questionnaires to the local people and the tourists. The result of the research showed that of the five tourism objects which werw analyzed by using Community Based Tourism, Pantai Pasir Putih tourism object had high potency by considering social, it was found that the local people’s pride of tourism object was very high; from the economy aspect, they could increase their field of employment; from the cultural aspect, the could introduce the local culture to visitors; from the environmental aspect, the could maintan the originality of their neighborhood; and from the political aspect, there were equal profit sharing between the government anda the local people.


(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat Hidayah-Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan Judul “Kajian Potensi Wisata Kota Tapaktuan, Berbasis Masyarakat Lokal”. yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan dan menempuh studi pada Magister Teknik Arsitektur Bidang Kekhususan Manajemen Pembangunan Kota, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari penyelesaian tesis ini banyak melibatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang memberikan sumbangan saran dan pemikiran, pada kesempatan ini penulis menghaturkan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada pembimbing tesis Bapak Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, PhD dan Ibu DR. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc yang telah membimbing, memberikan saran serta kritik kepada penulis dalam menyelesaikkan tesis ini. Kepada Ibu Dr. Dwira Nirfalini Aulia, M,Sc dan Ibu Beny O.Y Marpaung, ST, MT, PhD selaku Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi yang telah memberikan penulis izin untuk menyelesaikkan tesis ini. Kepada ibu penguji Ir. Morida Siagian, MURP, PhD, DR. Achmad Delianur Nasution,ST, MT, IAI, dan Salmina Ginting, ST, MT, yang telah menguji penulis sehingga mengetahui dimana letak kesalahan dan memberikan saran dan kritik kepada penulis.


(9)

iv

Terkhusus kepada yang penulis cintai Ayahnda Rusnan, SH dan Ibunda Hj. Rostianti, SE terima kasih atas doa, kepercayaan, moril dan materil serta kerja keras ayahnda dan ibunda kepada penulis sehingga terpenuhi segala keinginan dan kebutuhan penulis, serta kepada kedua adinda Ronny Rusnanda, ST dan Rully Rusnanda, SE terima kasih telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Dan tak lupa pula kepada teman-teman seperjuangan mahasiswa Manajemen Pembangunan Kota angkatan 2011 terima kasih atas kerja samanya, dan kepada seluruh pihak yang ikut membantu penulis dalam menyelesaikkan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis juga menyadari bahwa di dalam tesis ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu penulis masih mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Terimakasih.

Medan, 12 Agustus 2014 Penulis,


(10)

Nama : Resky Rusnanda

Alamat : Jl. T. Chik Ditiro No. 5A Kp.Hulu Tapaktuan

Aceh Selatan.

Tempat Tanggal Lahir : Tapaktuan, 15 Juni 1988 Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Warga Negara : Indonesia Anak Ke : Ke-1 dari 3 bersaudara

Nama Ayah : Rusnan, SH

Nama Ibu : Hj. Rostianti, SE Nama Saudara Kandung : 1. Ronny Rusnanda, ST

2. Rully Rusnanda, SE

Pendidikan Formal : 1. SD Negeri 1 Tapaktuan (2000) 2. SLTP Negeri 1 Tapaktuan (2003) 3. SMA Negeri 1 Tapaktuan (2006)


(11)

vi

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR... ... x

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.1 Pembangunan kota dan pengembangan pariwisata. ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Ruang Lingkup... ... 5

1.5.1 Ruang lingkup wilayah penelitian... ... 5

1.5.2 Ruang lingkup kajian ... 5

1.6 Kerangka Pemikiran ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Pariwisata ... 8


(12)

2.2.1 Ciri-ciri Community Based Tourism ... 19

2.2.2 Prinsip-prinsip Community Based Tourism. ... 20

2.3 Wisata Kota sebagai Alternatif Pembangunan Kota... ... 26

2.4 Penelitian Terdahulu... ... 30

2.5 Kesimpulan Kajian pustaka... ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

3.1 Jenis Penelitian ... 33

3.2 Variabel Penelitian ... 34

3.3 Populasi dan Sampel ... 36

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 39

3.5 Metoda Analisa Data... ... 41

3.6 Kerangka Metode Analisis... ... 45

BAB IV GAMBARAN UMUM KAWASAN ... 47

4.1 Kawasan Penelitian ... 47

4.1.1 Geografis dan administrasi Kota Tapaktuan ... 48

4.1.2 Topografi dan klimatologi ... 50

4.1.3 Demografi ... 51


(13)

viii

4.2 Potensi Wisata di Tapaktuan ... 56

4.3 Rangkuman... ... 71

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 76

5.1 Karakteristik Responden ... 76

5.2 Hasil Penelitian ... 78

5.2.1 Analisis CBT berdasarkan dimensi ekonomi ... 78

5.2.1.1 Analisis hubungan dimensi ekonomi dengan variabel atraksi ... 81

5.2.1.2 Analisis hubungan dimensi ekonomi dengan variabel aksesibilitas... ... 86

5.2.1.3 Analisis hubungan dimensi ekonomi dengan variabel amenitas... ... 91

5.2.2 Analisis CBT Berdasarkan Dimensi Sosial... ... 95

5.2.2.1 Analisis hubungan dimensi sosial dengan variabel atraksi... ... 98

5.2.2.2 Analisis hubungan dimensi sosial dengan variabel aksesibilitas ... 103

5.2.2.3 Analisis hubungan dimensi sosial dengan variabel amenitas ... 106

5.2.3 Analisis CBT Berdasarkan Dimensi Budaya ... 109

5.2.3.1 Analisis hubungan dimensi budaya dengan variabel atraksi ... 113


(14)

5.2.3.3 Analisis hubungan dimensi budaya dengan

variabel amenitas ... 121 5.2.4 Analisis CBT Berdasarkan Dimensi Lingkungan ... 124 5.2.4.1 Analisis hubungan dimensi lingkungan dengan

variabel atraksi ... 127 5.2.4.2 Analisis hubungan dimensi lingkungan dengan

variabel aksesibilitas ... 130 5.2.4.3 Analisis hubungan dimensi lingkungan dengan

variabel amenitas ... 134 5.2.5 Analisis CBT Berdasarkan Dimensi Politik ... 137

5.2.5.1 Analisis hubungan dimensi politik dengan

variabel atraksi ... 141 5.2.5.2 Analisis hubungan dimensi politik dengan

variabel aksesibilitas ... 146 5.2.5.3 Analisis hubungan dimensi politik dengan

variabel amenitas... ... 149 5.3 Temuan Penelitian.... ... 153


(15)

x

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 158

6.1 Kesimpulan ... 158

6.2 Rekomendasi ... 159

DAFTAR PUSTAKA ... 163 LAMPIRAN


(16)

Nomor Judul Hal

1.1. Kerangka Pemikiran ... 7

2.1 Kerangkan Teori ... 32

3.1 Kerangka Analisis ... 46

4.1 Tapaktuan Ditempuh Melalui Banda Aceh ... 47

4.2 Tapaktuan Ditempuh Melalui Medan ... 48

4.3 Administrasi Kabupaten Aceh Selatan ... 49

4.4 Topografi Kota Tapaktuan Melalui Citra satelit quik bird ... 51

4.5 Lokasi Ke Lima Objek Wisata ... 59

4.6 Tapak Kaki Tuan Tapa dan Makam Tuan Tapa ... 60

4.7 Akses menuju Gunung Lampu Tuan Tapa ... 61

4.8 Warung makan disekitar gunung lampu tuan tapa ... 62

4.9 Pemandian Air Terjun Tingkat tujuh ... 63

4.10 Kondisi jalan menuju Air Terjun Tingkat Tujuh ... 63

4.11 Pantai Rindu Alam ... 64

4.12 Kondisi jalan dan cafe pantai rindu alam ... 65

4.13 Pantai Pasir Putih ... 65


(17)

xii

4.15 Kolam buatan pantai pasir putih ... 67

4.16 Kondisi aksesibilitas dan amenitas objek wisata pantai pasir putih ... 69

4.17 Pantai Pasir Putih dilihat dari citra spot ... 70

4.18 Objek wisata pemandian ie seujuk ... 71

5.1 Persepsi Responden Tentang CBT Variabel Ekonomi ... 81

5.2 Persepsi Responden Tentang AnalisisCBT Variabel Sosial ... 98

5.3 Persepsi Responden Tentang Analisis CBT Variabel Budaya ... 113

5.4 Persepsi Responden Tentang Analisis CBT Variabel Lingkungan .... 127

5.5 Persepsi Responden Tentang Analisis CBT Variabel Politik ... 141


(18)

Nomor Judul Hal

2.1 Komponen Objek Wisata ... 15

2.2 Komponen Objek dan Daya Tarik Wisata ... 16

2.3 Prinsip-prinsip Community Based Tourism (CBT) ... 24

2.3 Prinsip-prinsip (lanjutan) ... 25

2.4 Prinsip-prinsip CBT yang digunakan dalam penelitian ... 25

2.5 Penelitian Terdahulu ... 31

3.1 Variabel Community Based Tourism (CBT) ... 35

3.2 Variabel Objek Daya Tarik Wisata ... 35

3.3 Jumlah Kuisioner Berdasarkan Karakteristik Sampel ... 38

3.4 Karakteristik Sampel dan Jumlah Responden ... 39

3.5 Data Sekunder yang Digunakan Dalam Penelitian ... 41

3.6 Variabel dan indikator Community Based Tourism ... 42


(19)

xiv

3.6 Variabel dan indikator (lanjutan) ... 44

4.1 Nama, Luas Wilayah Per-kecamatan, Jumlah Desa dan Penduduk .. 49

4.1 Nama, Luas Wilayah Per-kecamatan, Jumlah Desa dan Penduduk (lanjutan) ... 50

4.2 Persebaran Suku Bangsa di Tapak Tuan ... 52

4.3 Objek dan Jenis Wisata di Kabupaten Aceh Selatan ... 57

4.4 Jumlah Wisatawan ... 58

4.5 Atraksi Wisata ... 72

4.6 Atraksi Budaya ... 73

4.7 Kondisi Aksesibilitas ... 74

4.8 Keanekaragaman Amenitas ... 75

5.1 Karakteristik Responden Penelitian ... 76

5.2 Persepsi Responden Tentang variabel Ekonomi ... 79

5.3 Persepsi responden Tentang Variabel Sosial ... 96

5.4 Persepsi Responden tentang Variabel Budaya ... 111

5.5 Persepsi Responden Tentang Variabel Lingkungan ... 125

5.6 Persepsi Responden Tentang Variabel Politik ... 139


(20)

pariwisata mampu mendorong masyarakat untuk terlibat secara aktif. Kota Tapaktuan dilihat dari potensi alamnya, sektor pariwisata sangat produktif untuk dikembangkan, ditambah lagi dengan kultur masyarakat lokalnya yang kental dan ramah. Hanya saja permasalahan yang terjadi saat ini adalah pengembangan pariwisata di Tapaktuan yang belum optimal, adanya ketimpang tindihan dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata di setiap objek wisata, menyebabkan objek wisata yang memiliki potensi tinggi menjadi terabaikkan. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi objek wisata manakah yang paling berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata andalan yang berbasis masyarakat lokal (Community Based Tourism). Adapun objek wisata yang diteliti adalah objek wisata yang ada di Tapaktuan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran, dengan cara observasi lapangan terhdapa objek wisata, Wawancara mendalam kepada informan yang terkait, dan kuisioner yang di bagikan kepada masyarakat lokal dan pengunjung objek wisata. Hasil dari penelitian ini adalah dari 5 (lima) obyek wisata yang diteliti dengan mengunakkan konsep Community Based Tourism, dapat disimpulkan bahwa obyek wisata Pantai Pasir Putih memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sesuai dengan konsep Community Based Tourism, yang memperhatikan prinsip-prinsip sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan politik. Dari segi sosial peningkatan kebanggaan komuitas terhadap objek wisata ini sangat tinggi, dari segi ekonomi dengan adanya objek wisata ini dapat meningkatkan dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal, segi budaya masyarakat dapat memperkenalkan budaya lokal kepada pengunjung, segi lingkungan masyarakat lokal masih mempertahankan keaslian daerah sekitar, dan dari segi politik adanya pembagian hasil yang adil antara pemerintah dan masyarakat lokal.


(21)

ii

ABTRACT

The success in tourism is related to its own potency in which tourism is able to encourage people to be actively involved in it. Viewed from it natural potency, Tapaktuan has productive tourism sector which can be developed; besides that, its local people are very friendly. However, the problem is that tourism development at Tapaktuan is not optimal because there is an overlapping in the management and development of tourism in every tourism object which causes tourism object which has high potency to be neglected. The objective of the research was ti identify which tourism object that had high potency to be developed as reliable tourism object, based on Community Based Tourism. The population was tourism objects at Tapaktuan.

The research use mix method by conducting field observation on tourism objects an in-depth interviews whit related information, and distributing questionnaires to the local people and the tourists. The result of the research showed that of the five tourism objects which werw analyzed by using Community Based Tourism, Pantai Pasir Putih tourism object had high potency by considering social, it was found that the local people’s pride of tourism object was very high; from the economy aspect, they could increase their field of employment; from the cultural aspect, the could introduce the local culture to visitors; from the environmental aspect, the could maintan the originality of their neighborhood; and from the political aspect, there were equal profit sharing between the government anda the local people.


(22)

1.1 Latar Belakang

1.1.1 Pembangunan kota dan pengembangan pariwisata

Pembangunan sebagai proses perubahan yang terencana ke arah kondisi yang lebih baik dapat diartikan pula sebagai proses perbaikkan material maupun sosio-kultural dan usaha memajukkan kehidupan spiritual suatu masyarakat. Pembangunan daerah perkotaan tidak lepas dari defenisi pembangunan yang mencangkup pembangunan disektor lain yang dominan pada kota tersebut. Apabila pembangunan sektor pariwisata menjadi ukuran keberhasilan adalah pada besarnya pendapatan daerah, banyaknya jumlah hotel, dan taman rekreasi serta besarnya angka kunjungan wisatawan, tentu saja parameter keberhasilan tujuan industri pariwisata tidak dapat diukur dari sisi kuantitatif. Keberhasilan pariwisata dikaitkan dengan potensi pariwisata itu sendiri, dimana pariwisata mampu mendorong masyarakat terlibat secara aktif dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan, salah satunya penghasil utama devisa daerah (Murti Nugroho, Agung. 2004)

Kepariwisataan merupakan suatu kegiatan yang sangat komplek, bergerak begitu dinamis. Kegiatan pariwisata juga memiliki multiplier efect yang cukup besar, artinya, keberhasilan pembangunan sektor pariwisata akan memacu dan mendorong sektor lain untuk berkembang cepat seperti, sektor prindustrian, perdagangan, dan


(23)

2

sektor tenaga kerja. Oleh karena itu meningkatnya perkembangan pariwisata akan membantu meningkatkan pembangunan kota.

Pariwisata merupakan salah satu potensi yang dapat mendukung kemajuan sebuah kota. Kota yang memiliki potensi pariwisata yang baik, serta memaksimalkan potensi tersebut, maka dapat menyerap manfaatnya salah satunya sebagai alat penarik invetasi, serta sebagai sumber daya ekonomi yang potensial untuk pembangunan kota yang lebih baik.

Kabupaten Aceh Selatan khususnya di kota Tapaktuan dilihat dari potensi alamnya, sektor pariwisata sangat produktif untuk dikembangkan, karena didukung oleh letak geografisnya, ditambah lagi dengan kultur masyarakatnya lokal yang kental dan ramah, hanya saja pengembangan pariwisata di Tapaktuan belum optimal.

Dalam pengembangan wisata selama ini, Tapaktuan cukup dikenal dengan objek wisata Tapak Kaki Tuan Tapa yang merupakan simbul dari Kota Tapaktuan dan juga bukti sejarah akan legenda Tapaktuan. Sedangkan objek wisata lain banyak yang belum dikenal sehingga belum dikembangkan secara optimal, padahal beberapa objek wisata di kota Tapaktuan mempunyai potensi wisata yang cukup besar. Dengan potensi wisata yang cukup besar tersebut, sebenarnya Tapaktuan memiliki kesempatan untuk mengembangkannya sehingga dapat meningkatkan ekonomi daerah terutama peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Dalam rangka pembangunan dan peningkatan pendapatan daerah di Tapaktuan, salah satunya melalui pengembangan pariwisata, maka diperlukan sebuah konsep pengembangan wisata ke depan yang terpadu, integratif dan komprehensif,


(24)

yang dimaksudkan untuk mengoptimalkan kembali pemanfaatan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada.

Berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2011, salah satu wilayah wisata Kabupaten Aceh Selatan adalah Kecamatan Tapaktuan. Hal tersebut didasari oleh pertimbangan sejarah, potensi alam yang mendukung, dan karakteristik masyarakatnya. Ada beberapa titik yang menjadi fokus pengembangan pariwisata, diantaranya Gunung Lampu Tuan Tapa, Air Terjun Tingkat Tujuh, Taman Wisata Ie Seujuk, Pantai Rindu Alam dan Pantai Pasir Putih. Pemerintah telah menetapkan objek-objek wisata tersebut sebagai objek wisata yang memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Tapaktuan.

Pengembangan pariwisata di Tapaktuan banyak mengalami hambatan. Faktor adat dan budaya serta tradisi masyarakat lokal yang berpegang teguh pada syariat Islam menjadi persoalan tersendiri dalam peningkatan kinerja pariwisata di Tapaktuan. Padahal banyak sekali yang dapat kita manfaatkan dari pontensi masyarakat lokal salah satunya budaya yang ada serta tradisi masyarakat sekitar, yang dapat menjadi salah satu faktor untuk menarik wisatawan dan meningkatkan kegiatan pariwisata.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji objek wisata mana yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata andalan di Tapaktuan yang berbasis masyarakat lokal, sehingga pembangunan pariwisata dapat berkembang dengan baik dan masyarakat lokal dapat dilibatkan dalam pembangun tersebut, sehinga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.


(25)

4

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan pertanyaan penelitian (reseacrh questioner) yakni, diantara objek wisata yang ada, manakah objek wisata yang paling berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata andalan di kota Tapaktuan yang berbasis masyarakat lokal.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan permasalahan sebagaimana tersebut di atas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menemukan objek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata andalan di kota Tapaktuan yang berbasis masyarakat lokal.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada: Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan umumnya dan Dinas Pariwisata khususnya, penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam perencanaan pariwisata yang berbasis masyarakat lokal di kota Tapaktuan khususnya, Kabupaten Aceh Selatan umumnya.

Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat tentang pentingnya peranan masyarakat lokal dalam perencanaan pariwisata di Tapaktuan. Bagi Program Studi Magister Teknik Arsitektur Bidang Kekhususan


(26)

Manajemen Pembangunan Kota Universitas Sumatera Utara, akan melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan.

1.5 Ruang Lingkup

1.5.1 Ruang lingkup wilayah penelitian

Adapun yang menjadi wilayah penelitian adalah objek wisata yang ada di Kota Tapaktuan, namun objek wisata yang dijadikan wilayah penelitian hanya 5 (lima) objek wisata dari 24 (dua puluh empat) objek wisata andalan yang ada di Tapaktuan. Ke 5 (lima) objek wisata tersebut adalah objek wisata Gunung Lampu Tuan Tapa, Air Terjun Tingkat Tujuh, Pantai Pasir Putih, Pantai Rindu Alam, dan Ie Seujuk.

1.5.2 Ruang lingkup kajian

Adapun yang menjadi landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian mengenai identifikasi potensi ke 5 (lima) objek wisata menggunakan konsep Community Based Tourism (CBT). CBT adalah sebuah konsep pariwisata yang berbasis masyarakat lokal, dimana CBT memiliki 5 (lima) prinsip yaitu ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan politik. Selain penilaian berdasarkan konsep CBT juga dikaitkan dengan konsep objek daya tarik wisata yang memperhatikan aktraksi, aksesibilitas, dan amenitas.


(27)

6

1.6 Kerangka Pemikiran

Pengembangan pariwisata di Tapaktuan belumlah optimal, banyaknya objek wisata yang potensial terabaikan, tidak subyektif dalam memilih objek wisata yang akan dikembangkan merupakan salah satu faktor kurang berkembangnya objek wisata yang lainnya, masyarakat lokal juga tidak menjadi pertimbangan dalam pengembangan pariwisata. padahal masyarakat lokal sangat berpengaruh dalam perkembangan pariwisata karena keunikkan dan budaya yang ada di masyarakat menjadi salah satu faktor untuk menarik wisatawan. Sehingga masyarakat lokal dapat menikmati dampak dari pariwisata tersebut.

Maka penelitian ini ingin menemukan manakah objek wisata yang memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai objek wisata andalan di kota Tapaktuan yang berbasis masyarakat lokal.

Konsep atau teori yang digunakan pada penelitian ini adalah Pariwisata dan Comunnity Based Tourism dimana teori ini sangat mendukung penelitian ini. Dengan menggunakan metode campuran (mix methode) diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih signifikan lagi, dan nantinya hasil penelitian ini akan menghasilkan satu objek wisata yang berpotensi yang dilihat dari segi komponen pariwisata dan prinsip-prinsip dari Community Based Tourism sehingga tujuan untuk mendapatkan potensi wisata yang berbasis masyarakat lokal dapat terpenuhi. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 1.1.


(28)

Latar Belakang

− Melihat dari banyaknya objek wisata di tapaktuan serta masyarakatnya yang memiliki keunikkan dan kebudayaan yang kuat, seharusnya pengembangan pariwisata di tapaktuan terus meningkat. Namun sayangnya, adanya timpang tindih dalam pengembangan pariwisata antara satu objek dengan objek wisata lainnya, sehingga objek wisata yang memiliki potensi tinggi menjadi terabaikkan.

Rumusan Masalah

− Manakah objek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan di antara objek -objek wisata yang ada di Tapaktuan yang berbasis masyarakat lokal?

Kajian Literatur

− Komponen Pariwisata

− Konsep CBT (Community Based Tourism) − Perencanaan Pariwisata

Analisis

− Identifikasi objek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai objek wisata andalan di Tapaktuan sesuai dengan konsep CBT (Community Based Tourism) dan dikaitkan dengan Objek Daya Tarik Wisata (ODTW)

Metode Analisi Data

Metode Tabulasi dan Analisis SPSS

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Kajian Literatur

− Pariwisata

− Konsep CBT (Community Based Tourism) − Pembangunan Kota

Metode Penelitian

− Metode Campuran (Mix Methode)

Hasil Analisis


(29)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pariwisata

Kajian tentang pariwisata belakangan ini sudah dilakukan oleh para peneliti yang mencermati hal-hal yang layak untuk diteliti. Beberapa kajian yang telah dilakukan telah dapat memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah untuk menunjang khasanah kepariwisataan dan keilmuan. Aspek yang diteliti juga mencerminkan hal-hal yang bervariasi atau melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang dan berbagai disiplin ilmu.

Perkataan pariwisata berasal dari bahasa sansekerta dengan rangkaian suku kata “pari” = banyak, ditambah dengan “wis“ = melihat, dan “ata” = tempat. Jadi, pariwisata merupakan terjemahan dari “melihat banyak tempat”. Indonesia pada awalnya mengenal pariwisata dengan mempergunakan bahasa asing yaitu “tourism”. Perubahan istilah ”tourism” menjadi ”pariwisata” dipopulerkan ketika dilangsungkan Musyawarah Nasional (Darmaji, 1992).

Pengertian pariwisata juga dijelaskan oleh beberapa ahli wisata, diantaranya: pariwisata adalah kegiatan manusia yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di daerah tujuan di luar lingkungan kesehariannya(WTO, dalam Richardson & Flucker, 2004). Sedangkan menurut Matheison & Wall yang dikutip oleh Chris Cooper 2005 mengatakan bahwa pariwisata adalah perjalanan sementara ke destinasi di luar rumah


(30)

dan tempat kerja, aktivitas yang dilakukan selama tinggal di tempat tersebut dengan menggunakan fasilitas yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan turis.

Pariwisata terdiri dari kegiatan orang, bepergian ke dan tinggal di tempat di luar lingkungan biasa mereka selama tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk bersantai, bisnis dan tujuan lain.(UNWTO, 1995, dikutip dari Richardson dan Fluker, 2004). Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan mendefenisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka wantu sementara. Sedangkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung sebagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah.

Dari beberapa definisi tentang pariwisata, Darmaji berbependapat bahwa dari definisi yang dikemukaan oleh para ahli wisata dapat diambil unsur-unsur dari pariwisata itu sendiri, dan unsur-unsur tersebut adalah adanya kegiatan mengunjungi suatu tempat, bersifat sementara, ada sesuatu yang ingin dilihat dan dinikmati, dilakukan perseorangan atau kelompok, mencari kesenagan, dan adanya fasilitas di tempat wisata (Darmaji,1992).

Berbicara masalah pariwisata tentu tidak lepas dari yang namanya pengunjung tempat wisata atau wisatawan, menurut WTO jenis wisatawan dapat di golongkan menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) Pertama, traveller yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih lokalitas; (2) Kedua, visitor yaitu orang yang melakukan


(31)

10

perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan, dan penghidupan di suatu tempat tujuan; (3) Ketiga, tourist yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi (WTO, dalam Pitana: 2009).

2.1.1 Kawasan pariwisata

Berdasarkan UU No.9 Tahun 1990 dijelaskan bahwa pengertian kawasan wisata adalah suatu kawasan yang mempunyai luas tertentu yang dibangun dan disediakan untuk kegiatan pariwisata. Apabila dikaitkan dengan pariwisata air, pengertian tersebut berarti suatu kawasan yang disediakan untuk kegiatan pariwisata dengan mengandalkan obyek atau daya tarik kawasan perairan. Pengertian kawasan pariwisata ini juga diungkapkan oleh seorang ahli yaitu Inskeep (1991) sebagai area yang dikembangkan dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan lengkap (untuk rekreasi/relaksasi, pendalaman suatu pengalaman/kesehatan).

Kawasan pariwisata merupakan salah satu bagian dari kawasan budidaya yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, manusia, warisan budaya dan sumber daya buatan. Adapun kriteria kawasan pariwisata menurut Sandy adalah: (1) Pertama, kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk kegiatan pariwisata, tidak menganggu kelestarian budaya, keindahan alam dan lingkungan; (2) Kedua, kawasan yang apabila digunakan untuk kegiatan pariwisata, secara ruang dapat memberikan manfaat, antara lain:


(32)

meningkatkan devisa dari pariwisata dan mendayagunakan investasi yang ada disekitarnya dan mendorong kegiatan lain yang ada disekitarnya; (3) Ketiga, memiliki kemampuan untuk tetap melestarikan nilai warisan budaya, adat istiadat, kesenian dan mutu keindahan lingkungan alam; (4) Keempat, memiliki kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi (multiplier effect) dan sosial budaya; (5) Kelima, memiliki kemampuan berkembang sesuai segmen pasar mancanegara atau domestik (Sandy dalam Sastropoetro 1998).

2.1.2 Potensi dan daya tarik wisata

Potensi dan daya tarik wisata adalah salah satu yang menjadi faktor utama dalam pengembangan pariwisata. Pendit (2002) menerangkan bahwa potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang terdapat disebuah daerah tertentu yang bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lainnya.

Sedangkan menurut pendapat Yoeti (2002) Daya tarik atau atraksi wisata adalah segala sesuatu yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata, seperti: atraksi alam (landscape, pemandangan laut, pantai, iklim dan fitur geografis lain dari tujuan), daya tarik budaya (sejarah dan cerita rakyat, agama, seni dan acara khusus, festival), atraksi sosial (cara hidup, populasi penduduk, bahasa, peluang untuk pertemuan sosial), dan daya tarik bangunan (bangunan, arsitektur bersejarah dan modern, monumen, taman, kebun, marina).


(33)

12

Pengertian daya tarik wisata menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Bab I, pasal 5, juga mengemukakan pengertian dari daya tarik wisata yaitu daya tarik wisata” adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Sementara dalam Bab I, pasal 10, disebutkan kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

Sedangkan menurut Cooper terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimiliki oleh sebuah daya tarik wisata yaitu: (1) Pertama, atraksi (attractions), seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukkan; (2) Kedua, aksesibilitas (accessibilities), seperti transportasi lokal dan adanya terminal; (3) Ketiga, amenitas atau fasilitas (amenities), seperti tersedianya akomodasi, rumah makan, dan agen perjalanan; (4) Keempat, ancillary services yaitu organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk pelayanan wisatawan seperti organisasi manajemen pemasaran wisata(Cooper, 2005)

Kemudian Yoeti (2002) berpendapat bahwa berhasilnya suatu tempat wisata hingga tercapainya kawasan wisata sangat tergantung pada 3A yaitu atraksi (attraction), mudah dicapai (accessibility), dan fasilitas (amenities). Sedangkan Middleton (2001) memberikan pengertian produk wisata lebih dalam yaitu produk


(34)

wisata dianggap sebagai campuran dari tiga komponen utama daya tarik, fasilitas ditempat tujuan dan aksesibilitas tujuan, yaitu:

Pertama, atraksi: elemen-elemen didalam suatu atraksi wisata yang secara luas menentukan pilihan konsumen dan mempengaruhi motivasi calon-calon pembeli diantaranya: atraksi wisata alam (meliputi bentang alam, pantai, iklim dan bentukan geografis lain dari suatu destinasi dan sumber daya alam lainnya), atraksi wisata buatan/binaan manusia (meliputi bangunan dan infrastruktur pariwisata termasuk arsitektur bersejarah dan modern, monument, trotoar jalan, taman dan kebun, pusat konvensi, marina, ski, tempat kepurbakalaan, lapangan golf, toko-toko khusus dan daerah yang bertema), atraksi wisata budaya, (meliputi sejarah dan cerita rakyat (legenda), agama dan seni, teater musik, tari dan pertunjukkan lain, museum dan beberapa dari hal tersebut dapat dikembangankan menjadi even khusus, festival, dan karnaval), atraksi wisata sosial, meliputi pandangan hidup suatu daerah, penduduk asli, bahasa, dan kegiatan-kegiatan pertemuan sosial.

Kedua, amenitas/fasilitas: terdapat unsur-unsur didalam suatu atraksi atau berkenaan dengan suatu atraksi yang memungkinkan pengunjung untuk menginap dan dengan kata lain untuk menikmati dan berpatisipasi didalam suatu atraksi wisata. Hal tersebut meliputi: akomodasi (hotel, desa wisata, apartment, villa, caravan, hostel, guest house), restoran, transportasi (taksi, bus, penyewaan sepeda dan alat ski diatraksi yang bersalju), aktivitas (sekolah ski, sekolah berlayar dan klub golf), fasilitas-fasilitas lain (pusat-pusat bahasa dan kursus keterampilan), retail outlet (toko, agen perjalanan, souvenir, produsen camping), pelayanan-pelayanan lain (salon


(35)

14

kecantikan, pelayanan informasi, penyewaan perlengkapan dan kebijaksanaan pariwisata).

Ketiga, aksesibilitas: elemen-elemen ini adalah yang mempengaruhi biaya, kelancaran dan kenyamanan terhadap seorang wisatawan yang akan menempuh suatu atraksi, seperti infrastruktur, Jalan, bandara, jalur kereta api, pelabuhan laut, perlengkapan (ukuran, kecepatan, jangkauan dari sarana transportasi umum), faktor-faktor operasional seperti jalur/rute operasi, frekuensi pelayanan, dan harga yang dikenakan, peraturan pemerintah yang meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan transportasi.

Walaupun beberapa ahli di atas menyebutkan ada tiga produk atau komponen wisata yang harus dimiliki, namun Direktorat Jendral Pariwisata Republik Indonesia yang menyebutkan perkembangan produk wisata dikaitkan atas 4 faktor yaitu: (1) Pertama, attractions (daya tarik): site attractions (tempat-tempat bersejarah, tempat dengan iklim yang baik, pemandangan indah), event attractions (kejadian atau peristiwa misalnya kongres, pameran, atau peristiwa lainnya); (2) Kedua, amenities (fasilitas) tersedia fasilitas yaitu: tempat penginapan, restoran, transport lokal yang memungkinkan wisatawan berpergian, alat-alat komunikasi; (3) Ketiga, accsesibility (aksesibilitas) adalah tempatnya tidak terlalu jauh, tersedia transportasi ke lokasi, murah, aman, dan nyaman; (4) Keempat, tourist organization untuk menyusun kerangka pengembangan pariwisata, mengatur industri pariwisata dan mempromosikan daerah sehingga dikenal banyak orang.


(36)

Keseluruhan teori dari para hali wisata tentang produk atau komponen pariwisata dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komponen Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW)

No Nama Komponen Indikator

1 Cooper Atraksi Alam yang menarik, Kebudayaan, Seni Pertunjukan

Aksesibilitas Transportasi lokal

Amenitas Rumah makan Akomodasdi, Agen Perjalanan Ancilary Organisasi Kepariwisataan

2 Yoeti Attraction Ekonomi yang berkelanjutan. Accessibility Keberlanjutan ekologi.

Amenities Akomodasi, hotel, transportasi 3 Middleton Attraction Bentang alam, iklim, seni, bahasa

Amenitas Akomodasi, hotel, transportasi Aksesibilitas Infrastruktur, Jalan, Bandara, sarana

transportasi 4 Direktorat

Jenderal Pariwisata Indonesia

Attraction Tempat bersejarah, pemandangan, pameran Amenities Penginapan, restoran, .

Accessibility Tempat, Transportasi Touris

Organization

Lembaga yang mengatur Pariwisata 5 Mason

(dalam Poerwanto)

Attraction Bentang alam, iklim, seni, bahasa Amenitas Akomodasi, hotel, transportasi Aksesibilitas Infrastruktur, Jalan, Bandara, sarana

transportasi 6 Sugiyanto Daya Tarik

Obyek Wisata

Tingkat Keunikan, Nilai Obyek, Ketersediaan Lahan, Kondisi Fisik Obyek Wisata

Aksesibilitas Jarak dari jalan raya, Kondisi jalan, Kendaraan Menuju obyek

Amenitas Fasilitas Dasar (Watung Makan, MCK, Akomodasi) dan Fasilitas Pendukung (Listrik, Tempat Ibadah, Akses Komunikasi dan Tempat Parkir

Sumber: Cooper (2005), Yoeti (2002), Middleton (2001), Dirjen Pariwisata, dan Mason (2004), Sugiyanto (2004).


(37)

16

Namun dalam penelitian ini, produk atau komponen pariwisata yang digunakan adalah berdasarkan teori Yoeti (2002), Middleton (2001), dan Peter Mason (di kutip dalam Purwanto, 2004) bahwa komponen produk wisata tetap berdasarkan atas tiga komponen utama yaitu daya tarik (attraction), fasilitas wisata (amenities), dan akses (aksesibilitas), seperti pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Komponen Objek Daya Tarik Wisata (ODTW)

No Variabel Indikator

1 Atraksi (Cooper, 2005), (Yoeti,2002),

(Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter

Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004)

1. Tempat Bersejarah (Dirjen Pariwisata) 2. Pemandangan(Cooper, 2005) dan

(Dirjen Pariwisata Indonesia). 3. Kebudayaan (Cooper, 2005),

(Middleton,2001), (Peter Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004)

2 Aksesibilitas

(Cooper, 2005), (Yoeti,2002), (Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter

Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004)

1. Transportasi Lokal Cooper, 2005), (Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004).

2. Kondisi Jalan (Peter Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004).

3. Infrastuktur (Middleton,2001).

3 Amenitas

(Cooper, 2005), (Yoeti,2002), (Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter

Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004)

1. Losmen / Hotel (Yoeti,2002),

(Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter Mason, 2004). 2. Rumah Makan (Cooper, 2005), (Dirjen

Pariwisata Indonesia), dan (Sugiyanto, 2004)

3. Fasilitas Dasar (Sugiyanto, 2004) a. MCK

b. Tempat Ibadah c. Souvenir


(38)

2.2 Community Based Tourism

Community Based Tourism (CBT) yaitu konsep pengembangan suatu destinasi wisata melalui pemberdayaan masyarakat lokal, dimana masyarakat turut andil dalam perencanaan, pengelolaan, dan pemberian suara berupa keputusan dalam pembangunannya (Murphy, 2004). Sedangkan menurut Baskoro, BRA (2008) Community Based Tourism (CBT) adalah konsep yang menekankan kepada pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih memahami nila-nilai dan aset yang mereka milki, seperti kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup. Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas tersebut menjadi daya tarik utama bagi pengalaman berwisata.

Sama halnya dengan Anstrand (2006) mendefinisikan Community Based Tourism (CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan dan menempatkan keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya, diatur dan dimiliki oleh komunitas, untuk komunitas. Anstrand mencoba melihat Community Based Tourism (CBT) bukan dari aspek ekonomi terlebih dahulu melainkan aspek pengembangan kapasitas komunitas dan lingkungan, sementara aspek ekonomi menjadi suatu dampak yang dihasilkan dari aspek sosial, budaya dan lingkungan.

Sedangkan menurut Suansri (2003) menguatkan definisi Community Based Tourism (CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya dalam komunitas. CBT merupakan alat bagi pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan.


(39)

18

Pantin dan Francis (2005) menyusun definisi CBT sebagai integrasi dan kolaborasi antara pendekatan dan alat (tool) untuk pemberdayaan ekonomi komunitas, melalui assessment, pengembangan dan pemasaran sumber daya alam dan sumber daya budaya komunitas.

Salah satu bentuk perencanaan yang partisipatif dalam pembangunan pariwisata adalah dengan menerapkan CBT sebagai pendekatan pembangunan. Seperti yang dikemukakan oleh Hausler (2005), menjelaskan gagasan tentang definisi dari CBT yaitu: (1) Pertama, bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata; (2) Kedua, masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha pariwisata juga mendapat keuntungan; (3) Ketiga, menuntut pemberdayaan secara politis dan demokratisasi dan distribusi keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di pedesaan.

Dengan demikian dalam pandangan Hausler, Community Based Tourism (CBT) merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwisata yang berujung pada pemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegiatan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal. Hausler juga menyampaikan gagasan tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada


(40)

pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata.

2.2.1 Ciri- ciri Community Based Tourism

Community Based Tourism (CBT) bukan hanya sebagai sebuah harapan bagi negara-negara di dunia melainkan juga sebagai sebuah peluang, Community Based Tourism (CBT) memiliki ciri-ciri unik seperti yang dikemukakan oleh Nasikun yaitu, oleh karena karakternya yang lebih mudah diorganisasi di dalam skala yang kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata yang bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang berskala massif.

Pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil, oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal, menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima oleh masyarakat. Serta berkaitan sangat erat dan sebagai konsekuensi dari keduanya, lebih dari pariwisata konvensional yang bersifat massif, pariwisata alternatif yang berbasis komunitas memberikan peluang yang lebih besar bagi partisipasi komunitas lokal untuk melibatkan diri di dalam proses pengambilan keputusan dan didalam menikmati keuntungan perkembangan industri pariwisata, maka dari itu lebih memberdayakan masyarakat (Nasikun, 2001).


(41)

20

Pariwisata alternatif berbasis komunitas tidak hanya memberikan tekanan pada pentingnya keberlanjutan kultural (cultural sustainability), akan tetapi secara aktif bahkan berupaya membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal, antara lain melalui pendidikan dan pengembangan organisasi wisatawan.

Ciri-ciri khusus dari Community Based Tourism CBT juga dikemukkan oleh Hudson (dalam Timothy, 1999) yakni yang berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dan adanya upaya perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal, antara lain kelompok memiliki ketertarikan/minat, yang memberi kontrol lebih besar dalam proses sosial untuk mewujudkan kesejahteraan.

2.2.2 Prinsip-prinsip Community Based Tourism

Prinsip-prinsip dasar dari Community Based Tourism (CBT) juga dijelaskan oleh beberapa ahli. Menurut UNEP dan WTO (2005) ada sepuluh prinsip dasar dari Community Based Tourism (CBT) yaitu: (1) pertama, mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata; (2) Kedua, mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek; (3) Ketiga, mengembangkan kebanggaan komunitas; (4) Keempat, mengembangkan kualitas hidup komunitas; (5) Kelima, menjamin keberlanjutan lingkungan; (6) Keenam, mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area local; (7) Ketujuh, membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas; (8) Kedelapan, menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia; (9) Kesembilan,


(42)

mendistribusikan keuntungan secara adil kepada anggota komunitas; (10) Kesepuluh, berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan) dalam proyek-proyek yang ada dikomunitas.

Sementara itu menurut Hatton (1999) prinsip-prinsip dasar dari Community Based Tourism (CBT) dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu: pertama, prinsip sosial yaitu berkaitan otorisasi kepada komunitas untuk memberi ijin, mendukung, membangun dan mengoperasikan kegiatan wisata yang ada di wilayahnya. Prinsip ekonomi berkaitan dengan sistem pembagian keuntungan yang timbul dari pengembangan industry pariwisata. budaya dan politik.

Kedua, prinsip ekonomi yaitu terdapat dalam tiga bentuk: (1) Pertama, joint venture dalam usaha pariwisata dimana dari keuntungan yang diperoleh wajib menyisihkan keuntungan bagi komunitas (berupa CSR atau dana bagi hasil); (2) Kedua, asosiasi yang dibentuk komunitas untuk mengelola kegiatan wisata dimana keuntungannya juga dibagikan kepada komunitas; dan (3) Ketiga usaha kecil/menengah yang merekrut tenaga kerja dari komunitas. Hatton tidak merekomendasikan usaha individu dalam Community Based Tourism (CBT) karena dikhawatirkan keuntungan kegiatan pariwisata hanya dirasakan oleh anggota komunitas yang terlibat sedangkan yang tidak terlibat dalam usaha/kegiatan pariwisata tidak mendapat keuntungan.

Ketiga, Prinsip budaya mensyaratkan adanya upaya menghargai budaya lokal, heritage dan tradisi dalam kegiatan pariwisata. Community Based Tourism (CBT)


(43)

22

harus dapat memperkuat dan melestarikan budaya lokal, heritage dan tradisi komunitas.

Keempat, prinsip politik berkaitan dengan peran pemerintah lokal dan regional diantaranya dalam membuat kebijakan sehingga prinsip sosial ekonomi, budaya dan dapat terlaksana.

Sedangkan menurut Nederland Development Organisation (SNV) mengemukakan empat prinsip Community Based Tourism (CBT) yaitu: ekonomi yang berkelanjutan, keberlanjutan ekologi, kelembagaan yang bersatu, keadilan pada distribusi biaya dan keuntungan pada seluruh komunitas (www.caribro.com). Prinsip keberlanjutan ekonomi berkaitan dengan adanya jaminan bahwa CBT mampu menciptakan mekanisme yang dapat menjaga perekonomian tetap sehat dan berkesinambungan sehingga pariwisata dapat diandalkan untuk meningkatkan pendapatan/kesejahteraan komunitas. Prinsip keberlanjutan ekologi berkaitan dengan upaya untuk menjaga agar kualitas lingkungan dapat dipertahankan. Penguatan kelembagaan salah satu prinsip penting karena kelembagaan adalah alat bagi seluruh anggota komunitas untuk mendapatkan akses untuk menjadi pemegang keputusan.

Dengan mengacu pada prinsip dasar Community Based Tourism (CBT) dari UNEP dan WTO (2005), Suansri mengembangkan lima prinsip yang merupakan aspek utama dalam pengembangan Community Based Tourism (CBT) yaitu: Prinsip ekonomi dengan indikator timbulnya dana untuk pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan disektor pariwisata dan timbulnya pendapatan masyarakat lokal. Prinsip sosial dengan indikator terdapat peningkatan kualitas


(44)

hidup, adanya peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian peran yang adil antara laki-laki perempuan, generasi muda dan tua dan terdapat mekanisme penguatan organisasi komunitas. Prinsip budaya dengan indikator mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda, mendorong berkembangnya pertukaran budaya dan adanya budaya pembangunan yang melekat erat dalam budaya lokal. Prinsip lingkungan dengan indikator pengembangan carryng capacity area, terdapat sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan dan adanya kepedulian tentang pentingnya konservasi. Prinsip politik dengan indikator terdapat upaya peningkatan partisipasi dari penduduk lokal, terdapat upaya untuk meningkatkan kekuasaan komunitas yang lebih luas dan terdapat makanisme yang menjamin hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA (Suansri, 2003). Kelima prinsip tersebut menurut Suansri merupakan wujud terlaksananya pariwisata yang berkelanjutan. Keseluruhan prinsip-prinsip dasar Community Based Tourism (CBT) dari beberapa ahli dan organisasi dunia, dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Prinsip -prinsip Community Based Tourism(CBT)

No Nama Prinsip Indikator

1 UNEP dan WTO (2005)

Sosial 1. Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek

Budaya 1. Mengembangkan kebanggaan komunitas 2. Mengembangkan kualitas hidup komunitas Ekonomi 1. Mengakui, mendukung dan mengembangkan

2. Kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata

3. Mempertahankan keunikan karakter dan budaya


(45)

24

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Nama Prinsip Indikator

Lingkungan

4. Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukuran budaya pada komunitas

1. Menjamin keberlanjutan pada komunitas

1 UNEP dan WTO (2005)

Politik 1. Berperan dalam menentukan persentase pendapatan (pendistribusian pendapatan).

2 Hatton (1999)

Sosial 1. Kegiatan pariwisata dibangun dan

dioperasikan, didukung, dan diizinkan oleh komunitas lokal

Ekonomi 1. Pembagian keuntungan dapat

dipertanggung jawabkan

Budaya 1. Menghargai budaya lokal, heritage, dan tradisi

Politik 1. Peranan pemerintah lokal dan regional 2.

3 SNV(2005) Ekonomi 1. Ekonomi yang berkelanjutan lingkungan 1. Keberlanjutan ekologi Pengelolaan 1. Kelembagaan yang bersatu

2. Keadilan pada distribusi biaya dan keuntungan pada seluruh komunitas 4 Suansri

(2003)

Ekonomi 1. Terciptanya lapangan pekerjaan sektor pariwisata

Sosial 1. Peningkatan kualitas hidup

2. Peningkatan kebanggan komuniatas 3. Pembagian peran yang adil (gender, usia) 4. Mekanisme penguatan organisasi

komunitas

Budaya 1. Mendorong masyarakat menghormati

budaya lain

2. Mendorong pertukaran budaya 3. Budaya pembangunan

Politik 1. Peningkatan partisipasi penduduk lokal 2. Peningkatan kekuasaan komuntas luas 3. Mekanisme yang menjamin hak


(46)

Tabel 2.3 (Lanjutan)

No Nama Prinsip Indikator

Lingkungan 1. Pengembangan carrying capacity

2. Pembuangan sampah yang ramah lingkungan 3. Kepedulian pada konservasi

Sumber: UNEP dan WTO (2005), Hatton (1999), SNV (2005), dan Suansri (2003)

Namun dalam penelitian ini, prinsip-prinsip dari Community Based Tourism (CBT) yang digunakan adalah berdasarkan teori dari Suansri (2003) yang mengemukakan bahwa ada lima prinsip Community Based Tourism (CBT) yang merupakan aspek utama yaitu prinsip ekonomi, prinsip sosial, prinsip budaya, prinsip lingkungan, dan prinsip politik. Serta indikator dari setiap prinsip berdasarkan yang dikemukakan oleh berdasarkan UNEP & WTO (2005), SNV (2005), dan Hatton (1999), seperti terlihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Prinsip Community Based Tourism (CBT) yang digunakan

No Prinsip Indikator

1.

Ekonomi Adanya dana untuk pengembangan wisata berbasis masyarakat

Terciptanya lapangan pekerjaan

Timbulnya pendapatan masyarakat lokal 2.

Sosial Peningkatan kualitas hidup

Peningkatan kebanggaan komunitas Kesediaan dan kesiapan masyarakat 3.

Budaya Membantu berkembangnya pertukaran budaya Mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda


(47)

26

Tabel 2.4 (Lanjutan)

No Prinsip Indikator

4.

Lingkungan Kepedulian akan perlunya konservasi Mengatur pembuangan sampah dan limbah Ketersediaan air bersih

5.

Politik Meningkatkan partisipasi dari penduduk lokal Peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas Menjamin hak-hak dalam pengelolaan SDA

2.3 Wisata Kota sebagai Alternatif Pembangunan Kota

Pengertian wisata kota dapat mengacu pada fasilitas yang disediakan, kegiatan yang dilakukan, budaya maupun kehidupan masyarakat yang ada. Bila dilihat dari fasilitas yang disediakan, kota wisata dapat dilihat sebagai suatu pemukiman dengan fasilitas lingkungan yang sesuai dengan tuntutan wisatawan untuk menikmati, mengenal dan menghayati/mempelajari kekhasan kota dengan segala daya tariknya, dan tuntutan kegiatan hidup masyarakatnya (kegiatan hunian, interaksi sosial, kegiatan adat setempat dan sebagainya), sehingga dapat terwujud suatu lingkungan yang harmonis, yaitu rekreatif dan terpadu dengan lingkungannya (Nugroho, 2004).

Dipandang dari perspektif kehidupan masyarakatnya, pariwisata perkotaan merupakan suatu bentuk pariwisata dengan objek dan daya tarik berupa kehidupan kota yang memiliki ciri-ciri khusus dalam masyarakatnya, lingkungan fisik dan budayanya, sehingga mempunyai peluang untuk dijadikan komoditi bagi wisatawan, khususnya wisatawan asing.


(48)

Model wisata kota dalam konteks pembangunan pariwisata memiliki nilai pemanfaatan lingkungan sosial, pelestarian kebudayaan masyarakat serta memiliki semangat pemberdayaan komunitas lokal. Secara sosiologis maupun antropolis, bentuk pariwisata perkotaan lebih meletakkan masyarakat sebagai subyek, atau pelaku pariwisata itu sendiri.

Strategi pengembangan wisata kota sebagai alternatif pembangunan kota dengan terus menerus dan secara kreatif mengembangkan identitas atau ciri khas yang ada disuatu daerah untuk memenuhi dua tujuan berikut (Nungroho, 2004) yaitu membantu menentukan daerah tujuan wisata baru dan menarik perhatian agar dikunjungi, dan untuk mengembangkan citra hijau yang sesuai dengan lingkungan daerah tersebut.

Lebih dari sekedar itu, pengembangan strategi pariwisata yang berdasar kepada berbagai warisan sejarah yang unik, serta ciri khas tempat lainnya, merupakan elemen-elemen yang dapat menjamin keunggulan bersaing suatu proyek pariwisata pedesaan. Agar pembangunan pariwisata kota dapat efektif berjalan dengan baik, maka pandangan dan harapan masyarakat setempat perlu selalu dipertimbangakan.

Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat memiliki hak veto, tetapi pembangunan pariwisata perkotaan tidak akan dapat berkembang dalam situasi dimana penduduk setempat merasa dieksploitasi, terancam, dan dilanda oleh kegiatan pariwisata tersebut.

Nungroho (2004) juga menjelaskan tentang strategi melibatkan peran serta masyarakat setempat dapat dilakukan antara lain dengan menginformasikan kepada


(49)

28

penduduk setempat tentang apa yang akan terjadi jika pariwisata perkotaan masuk dalam lingkungan mereka, menjaga dialog dengan dan diantara mereka, menghargai pendapat dan melibatkan masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan, meningkatkan kesadaran pariwisata serta dampaknya terhadap daerah setempat, mendorong hubungan antar wisata dan penduduk setempat, dan melindungi masyarakat setempat dari melimpahnya kegiatan pariwisata.

Pendapat lain juga dikemukakkan oleh Gunawan (2005) yang berpendapat bahwa sama halnya dengan kota, pariwisata memiliki dimensi yang bersifat fisik dan tangible, tetapi juga sarat dengan dimensi non fisik dan intagible. Arti pariwisata yang intangibles, antara lain adalah kebanggan yang diciptakan terhadap kota yang banyak dikunjungi masyarakat dari luar. Kota yang dikenal dan terkenal menjadi suatu kebanggaan bagi warga maupun pemerintah kota. Arti penting pariwisata bagi pembangunan kota bisa dilihat dari segi politik, sosial-budaya, dan ekonomi (Gunawan, 2005).

Secara politik, jumlah kunjungan wisatawan mempunyai arti penting sebagai tolak ukur keberhasilan pariwisata yang dapat dipahami oleh masyarakat luas maupun oleh legislatif dengan mudah. Di dalam sistem kepemerintahan otonomi yang sekarang berlaku di Indonesia, jumlah kunjungan ini mempunyai arti penting untuk mempengaruhi keputusan dan persetujuan anggaran untuk sektor pariwisata. Makin banyak kunjungan, makin besar anggaran akan dialokasikan bagi sektor pariwisata.


(50)

Aspek sosial-budaya, pariwisata juga memiliki arti penting. Dalam banyak kasus, kunjungan ke kota secara signifikan juga diwarnai dengan kunjungan kekeluargaan dan pertemanan sebagai ekspresi sosial-budaya.

Dari aspek ekonomi, saat ini makin banyak negara-negara berkembang mengandalkan pariwisata sebagai sumber pendapatan, didasarkan kepada kecenderungan global yang menunjukkan pergeseran kunjungan pariwisata international ke negara-negara berkembang. Dalam konteks nasional makin banyak juga kota-kota yang menyadari bagaimana pariwisata telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perekonomian kota. Kontribusi ini diperoleh sejogyanya bukan dari perijinan, namun dari kegiatan ekonomi yang ditimbulkan serta pajak usaha serta retribusi.

Salah satu strategi untuk mengembangkan pariwisata perkotaan yang sejalan dengan pembangunan kota adalah membangun sarana khusus untuk fungsi-fungsi pelayanan tertentu yang potensial untuk mengundang kunjungan secara langsung maupun tidak langsung. Pariwisata telah berkembang sedemikian rupa menjadi bagian dari kebutuhan dasar sesudah kebutuhan pokok, sandang, pangan, dan papan serta kebutuhan pendidikan dan kesehatan.

Pendekatan pariwisata dalam pembangunan kota hendaknya juga diartikan sebagai pemanfaatan fungsi pariwisata untuk mengarahakan pengembangan dan bukan hanya untuk memanfaatkan apa yang ada bagi pariwisata. Namun perlu diingat, agar pariwisata yang diukur dengan jumlah kunjungan tidak menjadi tujuan


(51)

30

akhir, tetapi menjadi kendaraan untuk mencapai perkembangan kota yamg diinginkan, berkelanjutan dan mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.

2.4 Penelitian Terdahulu

Gambaran ringkas tentang beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang kajian pariwisata berdasarkan konsep Community Based Tourism dan objek daya tarik wisata, dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Dari setiap penelitian terdahulu menggambarkan keberhasilan penerapan Community Based Tourism diberbagai daerah dan negara. Peneliti mengambil referensi berupa teori, metode, dan kerangka berfikir.

Tabel 2.5 Penelitian Terdahulu

No Penulis Judul Masalah Metode Kesimpulan

1 Sukawi, 2008. Mencari Potensi Wisata Kota Lama Semarang Semarang sebuah kota peninggalan Kolonial yang penuh sejarah, semestinya Kota lama semarang ini mampu

mendukung pariwisata di Kota Ini untuk kemajuan kota khususnya dibidang

pariwisata. Lalu pertanyaannya adakah potensi wisata di Kota Semarang? Deskriptis – kualitatif Stelah dianalisa melalui teori pariwisata maka ditemukan dua tempat yang secara garis besar memenuhi kriteria sebagai objek wisata.


(52)

Tabel 2.5 (Lanjutan)

No Penulis Judul Masalah Metode Kesimpulan

2 BRA Baskoro dan Cecep Rukendi. 2008 Membangunpa riwisata Berbasis Komunitas: suatu kajian Teori Bagaimana menerapkan teoriCBT terhadap perencanaan pariwisata

Deskriptif Bahwa teori CBT ini sangat cocok untuk diterapkan pada kawasan pariwisata yang berbasis masyarakat lokal. 3 Etsuko Okazaki. 2008. A Community-based Tourism Model: Its Conception and Use

How this model can be used to assess

participation level in a study site, and suggest further action required. Qualitative and quantitativ e The model identifies the current situation of the project and provides suggestions for improvement. 4 Noel B.

Salazar. 2012. Community – Based Tpurism: issues, threays and opportunities

How local uides hamdle their role as ambassador of communal cultural heritage and how community members react to their narrative. Mix Methode Findings reveal multiple complex issues of power and resistance that ilustrate many community based tourism.

2.5 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai teori-teori tentang Pariwisata dan Community Based Touris (CBT), hubungan antara masing-masing variabel, maka dapat digambarkan pada Gambar 2.1.


(53)

32

Gambar 2.1 Kerangka Teori Teori Pariwisata dan CBT

Pariwisata Community Based Touris

(CBT) Variabel ODTW

1. Attraction (atraksi)

2. Accsesibility (aksesibilitas) 3. Amenities (amenitas)

Variabel CBT 1. Ekonomi 2. Sosial 3. Budaya 4. Lingkungan 5. politik

Menghubungkan antara konsep CBT dengan konsep ODTW


(54)

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah mixed methods, yaitu gabungan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penggabungan kedua metode digunakan sebagai satu cara proses triangulasi penelitian, dengan asumsi bahwa bias yang disebabkan oleh sumber data, asumsi peneliti, dan metode yang digunakan pada salah satu jenis metode penelitian, diharapkan dapat dinetralisir melalui metode lainnya. Kedua metode diterapkan baik dalam proses pengumpulan dan analisis data penelitian. (Abbas and Charles, 2003)

Metode penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang terjadi pada kasus penelitian ini. Penelitian ini bersifat deskriptif yang hanya berisikan situasi atau peristiwa dan tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Penelitian deskriptif ini, tujuannya untuk menggambarkan tentang karakteristik (ciri-ciri) individu, situasi atau kelompok tertentu (Moleong, 2005).

Selanjutnya digunakan metode deskriptif yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Arikunto, 2002). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.


(55)

34

Dari 24 obyek wisata andalan yang ada di kota Tapaktuan, hanya 5 obyek wisata yang akan peneliti jadikan bahan penelitian yaitu Obyek Wisata Gunung Lampu Tuan Tapa, Air Terjun Tingkat Tujuh, Pantai Rindu Alam, Pantai Pasir Putih dan Taman Wisata Ie Sejuk.

3.2 Variabel penelitian

Pengertian variabel penelitian dijelaskan oleh beberapa ahli, diantaranya Nazir (1999) menjelaskan bahwa variabel adalah konsep yang mempunyai bermacam-macam nilai. Sedangkan menurut Sugiyono (2009) mendefinisikan variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

Berdasarkan definisi tersebut, ada dua variabel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu variabel Community Based Tourism (CBT) dan Variabel Objek Daya Tarik Wisata. Variabel CBT digunakan untuk menilai tingkat partisipasi masyarakat lokal pada sektor pariwisata dengan mengacu kepada indikator-indikator yang telah ditentukan sesuai dengan prinsip ekonomi, prinsip sosial, prinsip budaya, prinsip lingkungan, dan prinsip politik. Sedangkan variabel objek daya tarik Wisata digunakan untuk menilai sejauh mana sarana dan prasarana yang ada disekitar objek wisata dan bagaimana kondisi dari komponen objek daya tarik wisata apakah. Keseluruhan variabel CBT dan variabel ODTW seperti pada Tabel 3.1 dan 3.2.


(56)

Tabel 3.1 Variabel Community Based Tourism (CBT)

No Variabel Indikator

1. Ekonomi Adanya dana untuk pengembangan wisata berbasis masyarakat Terciptanya lapangan pekerjaan

Timbulnya pendapatan masyarakat lokal 2. Sosial Peningkatan kualitas hidup

Peningkatan kebanggaan komunitas Kesediaan dan kesiapan masyarakat

3. Budaya Membantu berkembangnya pertukaran budaya Mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda

Mengenalkan budaya lokal

4. Lingkungan Kepedulian akan perlunya konservasi Mengatur pembuangan sampah dan limbah Ketersediaan air bersih

5. Politik Meningkatkan partisipasi dari penduduk lokal Peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas Menjamin hak-hak dalam pengelolaan SDA

Tabel 3.2 Variabel Objek Daya Tarik Wisata

No Variabel Indikator

1 Atraksi

1. Tempat Bersejarah 2. Pemandangan 3. Kebudayaan 2 Aksesibilitas

1. Transportasi Lokal 2. Kondisi Jalan 3. Infrastuktur

3 Amenitas

1. Losmen/Hotel 2. Rumah Makan 3. Fasilitas Dasar

a. MCK

b. Tempat Ibadah c. Souvenir


(57)

36

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi adalah kumpulan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan (Nazir, 1999). Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi, sehingga apa yang dipelajari sampel tersebut kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi, untuk itu sampel yang diambil harus representatif/mewakili populasi (Sugiyono, 2009).

Untuk mengambil sampel digunakan rumus Yamane (Riduwan, 2005): n = N

N x d2 + 1 ... (3.1) Keterangan:

n = Jumlah Sampel. N = Jumlah Populasi.

d = Derajat kecermataan (level of significance), nilai derajat kecermataan yang diambil adalah sebesar 10% sehingga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan studi sebesar 90%.

Berdasarkan rumus di atas, maka jumlah sample pada penelitian ini adalah: n = Jumlah sampel pada penelitian ini.

N = Jumlah populasi, dalam hal ini akumulasi jumlah penduduk Tapaktuan. d = Nilai kecermatan studi yang diharapkan 10%.

Sebelum menentukan jumlah sampel dari penduduk, maka perlu diketahui terlebih dahulu jumlah penduduk yang yang berada di kota Tapaktuan. Menurut BPS Aceh Selatan 2012 jumlah penduduk di Tapaktuan mencapai 205.023 jiwa.


(58)

Berdasarkan asumsi di atas, maka jumlah sampel yang akan diambil adalah sebesar:

n = N

= 205.023 = 99,5 = 100 ... (3.2) N x d2 + 1 205, 023

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 responden seperti terlihat pada Tabel 3.3. Responden merupakan masyarakat kota Tapaktuan dan pengunjung obyek wisata. Dalam penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling dan random sampling.

Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini, misalnya orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2012). Sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan paling mengetahui kondisi obyek wisata dan juga sebagai pengambil kebijakan dalam bidang pengembangan obyek wisata adalah pihak Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olah Raga Kabupaten Aceh Selatan, Anggota DPRD yang mewakili daerah sekitar obyek wisata, kepala desa, tokoh masyarakat serta pelaku bisnis disekitar obyek wisata.

Random sampling adalah teknik pengambilan sampling secara acak, karena populasi di wilayah penelitian dianggap homogen, dimana populasinya tidak tersebar dan secara geografis populasi relatif tidak besar, seperti pada Tabel 3.3.


(59)

38

Tabel 3.3 Jumlah Kuesioner Berdasarkan Karakteristik Sampel Penelitian

No Karakteristik Sampel Jumlah

Responden

Pengumpulan Data

1 Masyarakat lokal Tapaktuan 50 Kuisioner

2 Pengunjung objek wisata 50 Kuisioner

Jumlah 100 100

Karakteristik sampel terdiri dari jenis kelamin wanita/pria, dengan usia berkisar

antara 20 tahun dan di atas 40 tahun, pendidikan terakhir SD-Sarjana, pendapatan di bawah

Rp500.000 dan di atas Rp 1.500.000.

Masyarakat lokal Tapaktuan dipilih dengan asumsi bahwa masyarakat tersebut dapat

memberikan penilaian yang objektif dari ke 5 (lima) objek wisata yang diteliti, apabila

sampel adalah masyarakat lokal dari objek wisata maka dikhawatirkan masyarakat tersebut

akan memilih objek wisata di daerah mereka. Sedangkan untuk pengunjung objek wisata,

dipilih secara acak pada saat melakukan penelitian di objek wisata tersebut.

Sedangkan untuk jumlah responden yang diminta pendapatnya melalui metode wawancara mendalam sebanyak 17 orang, yakni 1 orang dari institusi pemerintahan yaitu Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Aceh Selatan, 1 orang dari anggota DPRD Kabupaten Aceh Selatan, 5 orang dari kepala desa disekitar obyek penelitian, 5 orang dari tokoh masyarakat yang mewakili masyarakat lokal sekitar objek wisata dan 5 orang dari pelaku bisnis sekitar objek penelitian. Semua nara sumber tersebut dipilih karena pertimbangan sudah mewakili dari segala unsur yang ada, ada pun ke enam tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.4.


(60)

Tabel 3.4 Karakteristik Sampel dan Jumlah Responden Wawancara Mendalam

No Karakteristik Sampel Jumlah

Responden

Pengumpulan Data 1 Kepala Dinas Kebudayaan

Pariwisata dan Olah Raga 1 Wawancara

2 Anggota DPRD Kab. Aceh Selatan 1 Wawancara

3 Kepala Desa di setiap objek wisata 5 Wawancara

4 Tokoh Masyarakat 5 Wawancara

5 Pelaku bisnis sekitar objek wisata 5 Wawancara

Jumlah 17 17

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat didefinisikan sebagai suatu proses untuk mendapatkan data empiris melalui responden dengan menggunakan metode tertentu. Bukti atau data untuk keperluan studi kasus bisa berasal dari enam sumber, yaitu: dokumen, rekaman arsip, wawancara, pengamatan langsung, observasi dan perangkat-perangkat fisik (Yin, 2009).

Metode pengumpulan data ditujukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan sebagai bahan masukan untuk setiap tahap analisis berikutnya. Dalam pengumpulan data pada penelitian ini terdapat 2 (dua) cara yaitu:

1. Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer merupakan pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti secara langsung kepada objek penelitian di


(61)

40

lapangan, baik melalui pengamatan langsung (observasi), penyebaran angket/kuisioner, maupun wawancara mendalam.

Pada penelitian ini teknik pengumpulan data primer terdiri atas:

a. Observasi lapangan, pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian secara sistematika (Sugiyono, 2009). Observasi dalam hal ini adalah peneliti mengamati karakteristik dari setiap obyek wisata seperti, aksesibilitas, atraksi wisata. kemudaian hasil observasi akan dinarasikan untuk mendapatkan gambaran tentang objek wisata.

b. Penyebaran kuesioner, penyebaran kuisioner dilakukan pada lokasi objek wisata dengan tujuan untuk pencarian informasi mengenai aspek Communty Based Tourism yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, lingkungan. Hasil penyebaran kuesioner ini kemudian ditabulasi dan dilakukan pengskoran untuk mengambil kesimpulan.

c. Wawancara mendalam, wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan tertentu. Wawancara dilakukan untuk mendapat berbagai informasi menyangkut masalah yang diajukan dalam penelitian. Wawancara dilakukan kepada responden yang dianggap menguasai masalah penelitian. (Chaedar, 2002). Dalam penelitian ini wawancara mendalam


(62)

dilakukan dengan cara merekam semua hasil wawancara terhadap 6 orang responden. Hasil wawancara tersebut kemudian dikutip dan dipaparkan.

2. Pengmpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan peneliti dengan cara tidak langsung ke daerah objek penelitian, tetapi melalui penelitian terhadap dokumen-dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian (Singarimbun,1995). Data sekunder diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Aceh Selatan berupa peta administrasi Kabupaten Aceh selatan, Dokumen RTRW Kabupaten Aceh Selatan, BPS Kabupaten Aceh Selatan berupa Data Jumlah penduduk, klimatologi, dan demografi, seperti Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Data Sekunder yang Digunakan Dalam Penelitian

No Jenis Data Sumber Data

1 Peta Kabupaten Aceh Selatan BAPPEDA

Kabupaten Aceh Selatan 2 Jumlah Penduduk BPS Kabupaten aceh Selatan 3 Klimatologi BPS Kabupaten Aceh Selatan

4 Demografi BPS Kabupaten Aceh Selatan

5 Objek Wisata Dinas Pariwisata Kabupaten Aceh Selatan

3.5 Metoda Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan konsep Community Based Tourism (CBT). Penilaian kesiapan pengembangan CBT mengikuti rancangan standarisari CBT yang


(63)

42

dikembangkan UNEP dan WTO (2005), Hatton (1999), SNV (2005), dan Suansri (2003) dengan memperhatikan lima aspek yaitu aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan politik.

Semua aspek dijabarkan menjadi beberapa kriteria dan indikator yang lebih spesifik. Masing-masing indikator dilakukan skoring dan disusun ranking untuk mendapatkan gambaran obyek wisata dengan potensi tinggi dalam penerapan konsep Community Based Tourism (CBT). Seperti pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6 Variabel dan Indikator Community Based Tourism (CBT )

No Variabel Indikator Kriteria Nilai

1. Ekonomi Adanya dana untuk pengembangan wisata berbasis masyarakat

1. Tidak tersedianya dana untuk pembangunan berbasis masyarakat

2.Tersedianya dana untuk pembangunan berbasis masyarakat 0 1 Terciptanya lapangan pekerjaan

1. Tidak mampu

menciptakan/membuka peluang lapangan pekerjaan

2. Mampu menciptakan/membuka peluang lapangan pekerjaan

0

1 Timbulnya

pendapatan masyarakat lokal

1. Tidak mampu mendatangkan pendapatan bagi masyarakat lokal

2. Mampu mendatangkan pendapatan bagi masyarakat lokal

0 1


(1)

160

untuk lebih mandiri secara ekonomi dengan membangun adanya koperasi desa yang dananya dari pemerintah, dengan membangun pasar rakyat agar rakyat dapat berjualan untuk medukung kegiatan pariwisata, dengan dibangunnya suatu hotel/resort yang nantinya masyarakat dapat terlibat dalam kegiatan nya seperti menjadi pekerja dihotel/resort tersebut, dan lain- lain.

Dari aspek sosial hendaknya pemerintah juga ikut dalam mempromosikan objek wisata serta keunikkan masyarakat lokal sehingga bukan hanya atraksi objek wisata saja tetapi keunikkan masyarakat lokal dengan segala peraturan syariat Islam yang ada didalamnya juga dapat dikenal oleh wisatawan.

Dari budaya seharusnya pemerintah ikut serta dalam mempromosikan budaya yang ada dimasyarakat setempat juga melakukan kegiatan-kegiatan khususnya dan pagelaran yang menampilakan budaya-budaya yang ada, dari aspek lingkungan di harapakan masyarakat untuk lebih sadar lagi menjaga kebersihan lingkungan, dan tidak segan-segan untuk memberikan himbuan kepada pengunjung untuk tetap menjaga kebersihan, dan dari aspek politik hal ini dapat memberikan anggaran lebih untuk objek wisata ini untuk mengembangkan dan melengkapi sarana dan prasarana yang kurang.

Merubah opini masyarakat yang beranggapan bahwa objek wisata itu identik dengan maksiat, yaitu salah satunya dengan cara mengembangkan objek-objek wisata alam Aceh Selatan yang berbasiskan syariat Islam. Dimana setiap penikmat wisata Aceh Selatan diharuskan mamatuhi dan memperhatikan etika-etika adat istiadat yang sesuai dengan aturan Islam.


(2)

Model pariwisata yang direkomendasikan adalah model “Wisata Syariah”, model wisata ini sangat cocok untuk diterapkan diobjek wisata Pantai Pasir Putih khususnya dan objek-objek wisata lainnya, karena mengacu kepada penerapan syariat Islam yang berlaku di Aceh Selatan. Seperti, adanya pembedaan antara kolam pria dengan kolam wanita, adanya hotel atau penginapan yang melarang yang bukan suami istri berada dalam satu kamar, adanya larangan untuk tidak menjual, membawa minuman keras, dan lainya. Azas dan landasan kebudayaan Islam di Aceh, sama dengan dasar dan kebudayaan Islam dimana saja.

Hal ini disimpulkan dalam sebuah Hadih maja yang merupakan jalan hidup orang Aceh semenjak berabad-abad yang lalu, berbunyi “adat bak po teumeureuhoom, hukoom bak syahkuala. Hukom ngon adat lage zat ngon sifet.”

yang artinya adat berasal dari pemangku kekuasaan, hukum/budaya Islam berasal dari ulama-ulama. Adat dan hukum Islam seperti zat dengan sifatnya. Ini menggambarkan bahwa setiap peraturan harus berdasarkan oleh syariat Islam. Jadi, secara sederhana wisata syariah berarti sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan wisata, bersenang-senang atau liburan yang masih dalam koridor Islam.

Tersedianya makanan dan minuman yang halal, hotel syariah, dan tata cara melakukan kegiatan wisata yang berlandaskan oleh syariat Islam. Model wisata ini menyuguhkan karakteristik yang unik dari daerah wisata, dimana adat-istiadat yang turun-temurun masih tetap dilakukan dan budaya Islami yang ditonjolkan menjadikan salah satu daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung di daerah objek wisata ini.


(3)

162

Melakukan promosi-promosi yang menggambarkan suatu keadaan dimana Aceh Selatan memiliki masyarakat yang sangat bersahabat dan menerima pendatang-pendatang serta mengembangkan asumsi bagi calon pengunjung wisata bahwa Aceh Selatan merupakan daerah yang aman.

Semestinya juga pemerintah daerah khususnya Dinas Pariwisata Kabupaten Aceh Selatan menampung ide-ide yang kreatif dari segala lapisan masyarakat, seperti organisasi atau komunitas-komunitas pemerhati wisata sehingga ide-ide atau konsep yang mereka miliki dapat menjadi masukkan bagi dinas terkait dalam memajukan pariwisata.

Dinas terkait diharapkan sangat aktif dalam menjaring ide dari lapisan masyarakat, karena kegiatan pariwisata tidak lepas dari masyarakat sehingga apa yang diinginkan oleh masyarakat dapat terakomodir oleh dinas terkait dan nantinya dengan melibatkan masyarakat, organisasi/komunitas yang ada dapat menciptakan kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat sehingga pembangunan pariwisata terlaksana sesuai aturan dan keinginan masyarakat.


(4)

Anstrand, M. 2006. “Community-Based Tourism and Socio-Culture Aspects Relating to Tourism a Case Study of a Swedish Student Excursion to Babati (Tanzania”). Laporan. Tidak diterbitkan.

Ardika, I Wayan. 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Refleksi dan Harapan di Tengah Perkembangan Global. Denpasar. Universitas Program Studi Magister Kajian Pariwisata. Program PascasarjanaUniversitas Udayana.

BRA, Baskoro, dan Cecep Rukendi. 2008. Membangun Kota Pariwisata Berbasis Komunitas: Suatu Kajian Teoritis. Jurnal Kepariwisataan Vol 3 No 1.

Cooper, et. al. 2005. Tourism Principle and Practice, 3nd ed. Prentice Hall, Newyork.

Darmaji, R.S. 1992. Istilah-Istilah Dunia Pariwisata. Jakarta. PT. Pradnya.

Davidson, Rob and Maitland, R. 1997. Tourism Destinations, Hodder & Stoughton, London

Eagles, Paul F. J. and McCool, Stephen F. 2002. Tourism in National Parks and Protected Areas; Planningand Management, CABI Publishing, UK

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Garrod, Brian, Local Partisipation in the Planning and Management of Eco-tourism: A Revised Model Approach (Bristol: University of the West of Eng-

Land, 2001)

Hall, M.C. Dan Page J. 1999. The Geography of Tourism and Recreation Environment, Place and Space. London: Routledge

Hausler, N. 2005. “Definition of Community Based Tourism “ Tourism Forum International at the Reisepavillon. Hanover 6 Pebruari 2005.

Hatton, M.J. 1999. Community Based Tourism in the Asia-Pacific, Canada: School of Media Studies a at Humber College.

Inskeep, Edward. 1991. Tourism Planning: An Integrated and sustainable Approach.

Van Nostrand Reinhold. New York, Inc.

Muller, T.E. and O’Cass, A. 2001. Targeting the young at heart: seeing senior vacationers the way they see themselves. Journal of Vacation Marketing 7. Murphy, P.E. 1985. Tourism A Community Approach. London and New York: Longman

Nasikun. 2001. Bahan Kuliah ; Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister Administrasi Publik. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.


(5)

164

Natori, Masahito. 2001. A Gudebook For Tourism Based Community Development. Aptec Osaka-Japan.

Nugroho, Agung Murti. 2004. Elemen Desain Tanggap Iklim pada Arsitektur

Kolonial di Malang. Penelitian, Jurusan Arsitektur Universitas Brawijaya Malang.

Pantin, D dan Francis, J. 2005. Community Based Sustainable Tourism. UK: UWISEDU.

Pendit, Nyoman S. 2002. Ilmu Pariwisata, Jakarta. Pt. Pradnya Paramita.

Pitana, I Gede. 2009. Sosiologi Pariwisata, Kajian sosiologis terhadap struktur, sistem, dan dampak-dampak pariwisata. Yogyakarta. Andi Offset

Poerwanto. 2004. Geografi Pariwisata dalam Diktat Kuliah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Universitas Jember.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataa.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Richardson, John and Martin Fluker. 2004. Understanding and Managing Tourism. Australia: Person Education

Sastropoetro. Santoso. 1998. Partisipasi, Komunikasi Dan Persuasi Dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Bandung. Alumni

Sharpley, A.N. 2000. Agriculture and Phosphorus Management: the Chesapeaks Bay. CRC Press LLc. Boca Raton

SNV and University of Hawaii. 2005. A Toolkit for Monitoring and Managing Community-Based Tourism

Soin, H. 2012. Potensi Ekowisata Pantai Kabori Distrik Manokwari Selatan

Kabupaten Manokwari. (tidak di terbitkan).

Spillane, James.1993. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan prospeknya.Yogyakarta. Kanisius.

Suansri, Potjana. 2003. Community Based Tourism Handbook. Thailand : REST Project

Suwantoro, G. 2004. Dasar-Dasar Pariwisata. ANDI. Yogyakarta.

Timothy, D.J. 1999. Participatory Planning a View of Tourism in Indonesia. Annuals Review of Tourism Research.


(6)

Timothy, D. J. and Boyd, S. W. 2003. Heritage Tourism, Pearson Education, England

United Nation. 2002. The Johannesburg Declaration of Sustainable Development. Word Summit on Sustainable Development.

United Nation-World Tourism Organization. 2005. Tourism Highlight 2005,

UN-WTO, Madrid

UNEP and WTO. 2005. Making Tourism More Sustainable: a Guide for Policy Makers, tidak diterbitkan.

World Tourism Organization .1999.Tourism Market Trends. Madrid:WTO.

Yaman, Amat Ramsa & A. Mohd, “Community -based Ecotourism: New Proposition for Sustainable Development and Environment Conservation in Malaysia, dalam Journal of Applied Sciences IV (4), 2004:583-589.

Yoeti, Oka. 2002. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta. PT Pradnya Paramita.