Respon Budaya Masyarakat Atas Konversi Minyak Tanah Ke Gas Elpiji.

(1)

RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI

MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI

(Studi Kasus Terhadap Masyarakat Penerima Kompor Gas Elpiji

di Kelurahan Bintara, Bekasi Barat ).

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Antropologi

Disusun Oleh: CORY ESTER PRATINI

040905027

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2009


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan Oleh:

Nama : Cory Ester Pratini Nim : 040905027

Departeman : Antropologi

Judul : RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI (Studi Kasus Terhadap Masyarakat Penerima Kompor Gas Elpiji di Kelurahan Bintara, Bekasi Barat)

Medan,

Pembimbing Skripsi Ketua Departemen

(Drs. Ermansyah, M.Hum) (Drs.Zulkifli Lubis,MA) NIP. 196603041992031002 NIP. 19640123190031001

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena pertolongan, bimbingan dan karunia-Nya yang memampukan penulis menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI” Studi Kasus Terhadap Masyarakat Peneriman Kompor Gas Elpiji di Kelurahan Bintara, Bekasi Barat.

Penulis menyadari dengan usaha, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki penulis, skripsi ini masih jauh kesempurnaan. Tidak lupa penulis mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan untuk kesempurnaan skripsi ini dari semua pihak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak memperoleh bantuan, dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak. Sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih atas semua itu. Pada kesempatan ini, dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku Pembantu Dekan I atas fasilitas yang telah diberikan kepada penulis.

3. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku Ketua Departeman Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Drs. Ermansyah, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing skripsi saya yang telah bersedia membantu penulis dalam membimbing, mengarahkan serta menyempurnakan di dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Tjut Syahriani, M.Soc., selaku Penasehat Akademik yang memberikan perhatian dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membekali penulis dengan ilmu.

7. Lurah dan karyawan Kelurahan Bintara, Bekasi Barat atas kerja samanya dalam pemberian data kepada peneliti.

8. Penghargaan besar dan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua saya yang tercinta Papa M. Rajagukguk dan Mama R. R. Saragi Napitu atas semua nasehat, kasih sayang, menyemangati saya dalam menulis skripsi ini dan perjuangannya dalam mewujudkan cita-cita anak-anaknya.

9. Adikku satu-satunya yang kusayang: Citra Ermas Victoria Rhoito Dormatua Rajagukguk atas perhatian dan dukungan doa kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

10.Spesial kepada Leonald Nainggolan yang tiada henti-hentinya memberikan semangat dan mengingatkan penulis untuk mengerjakan skripsi ini hingga selesai.


(5)

11.Kepada teman-temanku Hertauli Monalysa Marpaung, Latifa Yusman Panggabean, Frishayanie Nasution, Dina Rianti Gultom dan teman-temanku stambuk 2004 yang selalu memberikan semangat dan kecerian dalam keseharian penulis.

12.Kepada kerabat Antropologi yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih.

Akhir kata atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis mendoakan semoga Tuhan selalu memberikan kasih karunia-Nya kepada kita semua. Penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Medan, Oktober 2009


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN...i

HALAMAN PENGESAHAN...ii

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...vi

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR GAMBAR...ix

ABSTRAK...x

BAB I. PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Perumusan Masalah...5

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

1.4. Lokasi Penelitian...6

1.5. Tinjauan Pustaka...7

1.6. Metode Penelitian ...16

1.6.1. Tipe Penelitian...16

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ...16

1.7. Analisa Data...18

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN, PENDUDUK DAN INFORMAN...19

2.1. Letak Lokasi dan Keadaan Geografis...19

2.2. Keadaan Penduduk...21

2.2.1. Tingkat Pendidikan...24

2.2.2. Mata Pencaharian dan Pendapatan...26

2.2.3. Pola Pemukiman...27

2.2.4. Sistem Religi...30

2.3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial...32


(7)

BAB III. KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS...38

3.1. Dasar dan Tujuan dari Konversi Minyak tanah ke Gas...38

3.2. Kriteria Masyarakat Penerima Kompor dan Tabung Gas...41

3.3. Proses Pendistribusian...44

3.4. Proses Sosialisasi Pemerintah Kepada Masyarakat...50

3.4.1. Sosialisasi Pemerintah Tentang Kebijakan Tersebut...50

3.4.2. Sosialisasi Dalam Penggunaan Kompor Gas di Bintara...53

BAB IV. RESPON MASYARAKAT BETAWI ATAS PENERAPAN KOMPOR GAS...56

4.1. Respon Budaya yang Berwujud Ideasional...56

4.1.1. Pengetahuan...56

4.1.2. Nilai-Nilai Budaya...65

4.2. Respon Budaya yang Berwujud Perilaku...68

4.2.1. Hubungan Sosial Masyarakat Sebelum dan Setelah Adanya Konversi Minyak Tanah ke Gas...70

4.2.2. Struktur Sosial Masyarakat Betawi di Bintara...72

BAB V. KESIMPULAN...75

DAFTAR PUSTAKA...82 LAMPIRAN

1. Daftar Interview Guide dan Observasi 2. Daftar Informan

3. Daftar Istilah 4. Surat Penelitian


(8)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Rekapitulasi Penduduk Bintara Berdasarkan Kelompok Umur 2. Tabel 2. Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik

3. Tabel 3. Rekapitulasi Keluarga Menurut Status Pendidikan 4. Tabel 4. Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian 5. Tabel 5. Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Agama

6. Bagan 1. Bagan Garis Keturunan Bilateral


(9)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1. Pola Pemukiman di Bintara Dulunya Berkelompok

2. Gambar 2. Pola Pemukiman Saat Ini mengikuti Jalan Raya dan Rel Kereta Api 3. Gambar 3. Proses Pendistribusian

4. Gambar 4. Pembagian Kompor yang Berlebih

5. Gambar 5. Nenek Saini Memasak Menggunakan Kayu Bakar

6. Gambar 6. Kayu Untuk dijadikan Sebagai Bahan Bakar Dalam Memasak

7. Gambar 7. Masyarakat yang Masih Menggunakan Serbuk Kayu Untuk Memasak

8. Gambar 8.Serbuk Kayu yang Digunakan Sebagai Bahan Bakar Untuk Memasak 9. Gambar 9. Kompor Minyak Tanah yang Digunakan Ibu Perni Untuk Memasak 10. Gambar 10. Kompor yang Dibagikan Kepada Masyarakat Salah Satunya


(10)

ABSTRAK

Cory Ester Pratini Rajagukguk 2009, judul “RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI”. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 83 halaman, 5 tabel, 2 bagan, 10 gambar, 13 daftar pustaka dan sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar wawancara, daftar informan serta ditambah lampiran surat penelitian.

Pembangunan yang sedang berjalan saat ini di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Akan tetapi membawa perubahan-perubahan dalam budaya masyarakatnya seperti pada etnis Betawi sendiri di daerah Bintara, Bekasi Barat. Pembangunan yang dimaksudkan adalah berupa sebuah kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji. Hal tersebut dikarenakan semakin menipisnya pasokan minyak bumi dan juga meningkatnya harga minyak dunia, sehingga pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengkonversi minyak tanah ke gas. Namun hal tersebut membawa respon budaya pada masyarakat terutama di daerah yang pertama kali menjadi sasaran yaitu di daerah Bintara, Bekasi Barat.

Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana respon budaya masyarakat terhadap pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah peralihan minyak tanah ke gas elpiji. Penelitian ini bertipekan ekplorasi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa konversi minyak tanah ke gas elpiji yang dijalankan pemerintah secara umum berjalan dengan lancar. Namun hal tersebut juga banyak menimbulkan respon dari masyarakat dalam hal ini yang berkaitan dengan budaya. Respon yang diberikan masyarakat ada yang positif maupun negatif, sehingga dalam beberapa hal proses konversi juga mengalami kendala seperti dalam proses pendistribusian yang tidak merata dan tepat sasaran. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada nilai-nilai budaya, pengetahuan, hubungan sosial dan struktur sosial mereka pada masyarakat Betawi. Kesimpulan penelitian bahwa konversi menimbulkan respon budaya yang bervariasi dari masyarakat. Hal tesebut terlihat karena ada yang berubah dan ada yang tidak berubah hal yang berubah disini adalah pengetahuan mereka yang semakin bertambah dalam cara menggunakan kompor gas dan yang tidak berubah adalah struktur sosial masyarakatnya dimana dalam penelitian ini justru semakin mempertegas atau memperjelas tingkatan dalam struktur sosial mereka. Dengan kata lain respon budaya masyarakat atas konversi ini dapat dikatakan cukup baik.


(11)

ABSTRAK

Cory Ester Pratini Rajagukguk 2009, judul “RESPON BUDAYA MASYARAKAT ATAS KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS ELPIJI”. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 83 halaman, 5 tabel, 2 bagan, 10 gambar, 13 daftar pustaka dan sumber lain yang berasal dari internet dan surat kabar serta lampiran daftar wawancara, daftar informan serta ditambah lampiran surat penelitian.

Pembangunan yang sedang berjalan saat ini di Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh. Akan tetapi membawa perubahan-perubahan dalam budaya masyarakatnya seperti pada etnis Betawi sendiri di daerah Bintara, Bekasi Barat. Pembangunan yang dimaksudkan adalah berupa sebuah kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji. Hal tersebut dikarenakan semakin menipisnya pasokan minyak bumi dan juga meningkatnya harga minyak dunia, sehingga pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan untuk mengkonversi minyak tanah ke gas. Namun hal tersebut membawa respon budaya pada masyarakat terutama di daerah yang pertama kali menjadi sasaran yaitu di daerah Bintara, Bekasi Barat.

Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana respon budaya masyarakat terhadap pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah peralihan minyak tanah ke gas elpiji. Penelitian ini bertipekan ekplorasi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik observasi, wawancara mendalam dan studi kepustakaan.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa konversi minyak tanah ke gas elpiji yang dijalankan pemerintah secara umum berjalan dengan lancar. Namun hal tersebut juga banyak menimbulkan respon dari masyarakat dalam hal ini yang berkaitan dengan budaya. Respon yang diberikan masyarakat ada yang positif maupun negatif, sehingga dalam beberapa hal proses konversi juga mengalami kendala seperti dalam proses pendistribusian yang tidak merata dan tepat sasaran. Hal ini terjadi karena adanya perubahan pada nilai-nilai budaya, pengetahuan, hubungan sosial dan struktur sosial mereka pada masyarakat Betawi. Kesimpulan penelitian bahwa konversi menimbulkan respon budaya yang bervariasi dari masyarakat. Hal tesebut terlihat karena ada yang berubah dan ada yang tidak berubah hal yang berubah disini adalah pengetahuan mereka yang semakin bertambah dalam cara menggunakan kompor gas dan yang tidak berubah adalah struktur sosial masyarakatnya dimana dalam penelitian ini justru semakin mempertegas atau memperjelas tingkatan dalam struktur sosial mereka. Dengan kata lain respon budaya masyarakat atas konversi ini dapat dikatakan cukup baik.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Pembangunan nasional bangsa Indonesia yang sedang berjalan sekarang ini, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Hal ini berarti meningkatkan kesejahteraan yang mengarah pada kualitas hidup manusianya. Tujuan nasional tersebut juga untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, seperti: pangan, sandang, perumahan dan lain-lain. Dalam hal pelaksanaannya di lapangan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, harus disadari adanya berbagai hambatan dalam pencapaiannya.

Untuk itu keberhasilan pembangunan suatu negara tentunya harus di dukung dengan keikutsertaan penduduk itu sendiri dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini penduduk sangat diharapkan partisipasi aktifnya dalam segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan. Dengan adanya partisipasi dari masyarakat maka sebuah pembangunan pun akan berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan dari masyarakat sendiri.

Berbagai kendala tentunya banyak dihadapi oleh pelaku pembangunan itu sendiri yaitu pemerintah. Berbagai terobosan baru yang dilakukan oleh pemerintah dalam berbagai bidang telah dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari berbagai krisis yang terjadi di dunia dan lebih khususnya lagi di Indonesia. Salah satu krisis yang sekarang melanda negeri Indonesia adalah krisis energi. Ketersedian energi di Indonesia yang semakin hari semakin berkurang


(13)

telah menyebabkan terjadinya krisis. Saat ini Indonesia memang dikenal sebagai negara penghasil minyak, akan tetapi keanehan yang terjadi adalah kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Untuk itu pemerintah mengembangkan kebijakan baru untuk mengatasi krisis energi ini.

Ada beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah seperti pengembangan biodiesel, pengurangan pasokan, penarikan subsidi untuk BBM dan juga pengkonversian minyak tanah ke gas. Dalam pengkonversian minyak tanah ke gas ini dinilai sebagai suatu solusi dan inovasi baru. Hal ini berdasarkan ketersedian bahan bakar gas (BBG) yang lebih banyak dari pada bahan bakar minyak (BBM).

Pengkonversian minyak tanah ke gas ini merupakan kebijakan yang dinilai tepat oleh pemerintah. Berbagai pertimbangan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti; ketersediaan bahan bakar gas yang lebih banyak, penghematan biaya dari minyak tanah dibandingkan dengan gas, keefisienan dan keefektifan gas dalam hal penggunaan gas. Untuk itu, kebijakan tersebut menjadi solusi bagi krisis yang dihadapi Negara.

Lebih lanjut Dirjen Industri Mesin Logam Tekstil dan Aneka Departemen Perindustrian (Depperin), Ansari Bukhari, pada seminar "Peran Tabung Baja Dalam Mendukung Program Diversifikasi Minyak Tanah ke LPG", di Jakarta, Jumat (29/8) menjelaskan bahwa konsumsi minyak tanah per tahun mencapai 10 juta kilo liter (KL) dan jika harga per liter mencapai Rp 6.000 hingga Rp 7.000 maka pengeluaran untuk minyak tanah dapat mencapai 60 triliun. Oleh sebab itu, jika dihitung secara makro jumlah uang yang hilang sangat besar. Dengan


(14)

berbagai kekhawatiran itulah, maka pemerintah mengambil tindakan yang tegas dalam hal konversi minyak tanah ke gas (www.jurnalnasional.com).

Namun, menurut Siswanto Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) program konversi minyak tanah ke gas seharusnya sudah selesai akhir tahun ini. Secara bertahap penyaluran minyak tanah dikurangi dan pada bulan Desember nanti agen tidak akan lagi mendapatkan pasokan. Siswanto juga menambahkan meski sudah tak menyalurkan lagi ke dua wilayah tersebut, yaitu di Sleman dan Yogyakarta, PT Pertamina diharapkan tetap menyediakan minyak tanah untuk melayani permintaan masyarakat kecil (www.jurnalnasional.com).

Keberadaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tanpa memperhatikan apa yang dirasakan oleh masyarakat dengan pemaksaan kebijakan, telah berdampak kepada masyarakat. Baik itu secara material maupun inmaterial seperti perubahan budaya dan respon/tanggapan masyarakat tentang diberlakukannya kebijakan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas. Dengan lahirnya kebijakan baru maka berbagai kendala yang dihadapi dalam pengkonversian minyak tanah ke gas, saat ini menimbulkan berbagai masalah budaya yang disebabkan oleh konversi tersebut.

Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa ada beberapa kasus yang muncul akibat dari program konversi minyak tanah ke gas elpiji. Dalam hal ini kasus yang terlihat adalah menghilangnya tabung gas dari masyarakat yang disebabkan karena kurangnya pasokan yang diberikan oleh pihak pertamina. Hal tersebut terjadi karena, banyaknya permintaan dari konsumen atau pun distributor


(15)

sehingga dalam pembuatan tabung gas tersebut pun belum bisa memadai dari permintaan pasar (www.okezone.com).

Demikian halnya yang terjadi di daerah Jakarta. Persoalan distribusi kompor dan tabung gas menjadi sebuah masalah yang belum terpecahkan. Hal ini dikarenakan, kurangnya koordinasi terhadap masyarakat penerima kompor dan tabung gas yang diakibatkan oleh kurangnya kerjasama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setempat, sehingga distribusi kompor dan tabung gas menjadi tidak maksimal atau tidak tepat sasaran. Berkenaan dengan hal tersebut Ketua Tim Terpadu Distribusi BBM. Slamet Singgih mengatakan kelangkaan itu sebagai akibat tidak adanya penelitian terlebih dahulu dari BP Migas mengenai kebutuhan nyata di masyarakat. Beliau juga mengatakan PT Pertamina tidak melakukan pengawasan pendistribusian secara semestinya. Sementara itu, ketua BP Migas sendiri mengatakan bahwa kelangkaan itu diakibatkan oleh penggunaan di luar fungsinnya yaitu untuk penerangan, pompa air di musim kemarau, campuran BBM untuk transportasi, penjualan ke industri dan penyelundupan (Acara “Wanted” yang ditayangkan Anteve pada hari Senin 23 April 2007).

Selain kasus di atas beberapa kasus yang muncul di berbagai media massa seperti; meledaknya tabung gas elpiji hasil dari subsidi di Jakarta Utara, kelangkaan gas isi ulang sehingga tabung-tabung gas dibuang oleh masyarakat, adanya kerugian pedagang minyak keliling dan pangkalan minyak tanah akibat konversi tersebut dan berubahnya sebuah kebiasaan baru atau budaya baru di masyarakat yang di wujudkan melalui kompor dan tabung gas. Hal tersebut


(16)

menyebabkan munculnya berbagai masalah yang timbul di masyarakat, ini merupakan pengaruh dari kebijakan pemerintah. Pengaruh ini ditimbulkan oleh ketidaksesuaian budaya, karena kebijakan pemerintah belum tentu mendapat respon yang positif yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan belum tentu sesuai dengan yang sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.

Berdasarkan kenyataan di atas penting kiranya mengkaji respon masyarakat, dalam hal ini respon budaya, khususnya dalam hal konversi minyak tanah ke gas elpiji. Hal ini dapat menunjukkan kebijakan pemerintah yang sesuai ataupun tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan juga apakah sudah sesuai dengan budaya masyarakat jika diterapkannya konversi minyak tanah ke gas elpiji.

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka masalah penelitian yang diajukan adalah bagaimana respon budaya masyarakat, khususnya masyarakat Betawi, atas penerapan kompor gas dalam program konversi minyak tanah ke gas elpiji ? Perumusan masalah tersebut diuraikan ke dalam 5 (lima) pertanyaan penelitian yakni:

1. Apa dasar dan tujuan diberlakukannya program konversi minyak tanah ke gas elpiji ?


(17)

3. Bagaimana sosialisasi dan pendistribusian kompor gas oleh pemerintah atas program konversi minyak tanah ke gas pada masyarakat ?

4. Bagaimana pengetahuan dan nilai-nilai budaya masyarakat Betawi atas penerapan kompor gas ?

5. Bagaimana hubungan sosial dan struktur sosial yang terjalin dalam masyarakat Betawi setelah adanya penerapan kompor gas dimasyarakat ?

1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang respon budaya masyarakat atas konversi minyak tanah ke gas elpiji sebagai suatu program pembangunan untuk penghematan energi (sumber daya alam). Secara akademis, penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan, khususnya Antropologi, tentang penerapan salah satu program pemerintah dalam hal konversi minyak tanah ke gas elpiji dalam rumah tangga. Secara praktis dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak berkepentingan khususnya pemerintah dalam hal mensosialisasikan dan menerapkan suatu program pembangunan bagi masyarakat.

1.4.Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah Bekasi Barat tepatnya di Kelurahan Bintara. Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena Daerah ini merupakan salah satu daerah yang menjadi sasaran program pemerintah atas konversi minyak tanah ke gas elpiji. Selain itu juga, daerah Kelurahan Bintara dihuni oleh masyarakat


(18)

dengan dari berbagai macam status sosialnya. Lokasi penelitian merupakan daerah yang didominasi oleh mayoritas orang Betawi asli atau Kampung Betawi.

1.5.Tinjauan Pustaka

Setiap negara tentunya akan menjalankan berbagai program pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Kebanyakan dari program pembangunan yang dijalankan pemerintah, seperti halnya pemerataan kompor gas tentunya bersifat top-down. Bagi pemerintah sendiri, hal tersebut dijalankan dengan berbagai pertimbangan tertentu. Dalam hal ini berbagai program pembangunan dapat diwujudkan melalui inovasi yang diperluas melalui difusi, untuk keperluan seluruh masyarakatnya.

Suatu gejala penting yang seringkali menyebabkan terjadinya inovasi adalah penemuan baru dalam bidang teknologi. Untuk itu kita perlu mengerti dahulu arti dari kata inovasi tersebut. Secara universal kata inovasi dapat diartikan sebagai “proses” atau “hasil” pengembangan, pemanfaatan pengetahuan keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk (barang atau jasa), proses atau sistem yang baru, yang memberikan nilai yang berarti atau secara signifikan (terutama ekonomi dan sosial) (http://id.wikipedia.org/wiki/Inovasi). Dengan demikian inovasi tersebut merupakan sebuah penemuan baru yang dapat berupa sebuah kompor dan tabung gas elpiji ataupun sebuah gagasan atau ide-ide baru, yang dapat menyebabkan sebuah perubahan pada masyarakat.


(19)

Pada masyarakat khususnya di negara berkembang, penyebarluasan inovasi terjadi terus menerus dari suatu tempat ke tempat lain, dari bidang tertentu ke bidang lain. Penyebarluasan inovasi menyebabkan masyarakat menjadi berubah, menimbulkan berbagai respon sosial budaya dan merangsang orang untuk menemukan dan menyebarkan hal-hal baru. Masuknya inovasi ke tengah-tengah masyarakat disebabkan terjadinya interaksi antar anggota masyarakat. Sebelum inovasi tersebut diterima masyarakat, baik inovasi itu berupa alat atau ide yang diciptakan dalam masyarakat maka disebut dengan discovery. Setelah diterima dan diakui penemuan baru tersebut barulah disebut dengan inovasi (Linton dalam Koentjaraningrat 1990:109).

Salah satu inovasi yang dapat dijadikan contoh di atas adalah program pemerintah tentang konversi minyak tanah ke gas elpiji di Indonesia saat ini. Inovasi tersebut sebenarnya sudah ada akan tetapi baru diterapkan dan disebarkan saat ini, yang dikarenakan oleh pasokan minyak bumi yang sudah mulai menipis dan tingginya harga minyak mentah dunia yang menyebabkan perekonomian Indonesia saat ini merosot dan mengharuskan masyarakat untuk dapat menerima inovasi tersebut untuk keberlangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pemerintah membuat sebuah kebijakan tentang konversi minyak tanah ke gas.

Rogers dan Shoemaker (1981) mengatakan bahwa penerapan inovasi kepada suatu masyarakat tentunya tidak dapat berjalan mulus. Hal ini dikarenakan masyarakat juga memiliki nilai-nilai tersendiri di dalam hal yang baru. Berbagai alasan akan lahir dari masyarakat yang menjadi objek dari penerapan inovasi tersebut. Ada masyarakat yang setuju dengan inovasi yang baru dikarenakan


(20)

cocok dengan nilai yang dianutnya pada saat itu. Ada juga masyarakat yang masih meragukan akan inovasi baru yang dikarenakan sebagian nilainya cocok dengan inovasi tersebut dan sebagian nilai lagi tidak. Ada pula masyarakat yang benar-benar menolak inovasi tersebut dikarenakan inovasi tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tersebut.

Kesuksesan dan kegagalan terhadap penerapan inovasi yang berhubungan dengan konversi minyak tanah ke gas telah banyak dipublikasikan di media massa. Tidak hanya itu berbagai kasus yang adapun telah banyak ditulis oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu maupun pemerintah. Baik itu mengenai kegagalan konversi, perubahan budaya, respon masyarakat, keberhasilan konversi, dan masalah-masalah lain yang ditimbulkannya.

Sebagai contoh, keberhasilan konversi minyak tanah ke gas yang terjadi di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Dalam pemberitaan tersebut dikatakan bahwa Pemerintah Kota Pekalongan, Jawa Tengah, meminta agar konversi minyak tanah ke gas segera dilaksanakan. Mengingat kelangkaan minyak tanah di Kota Pekalongan dan sekitarnya kerap terjadi hingga menyulitkan warga, terutama warga miskin yang mencapai 22.000 keluarga. Jadi dengan adanya konversi minyak tanah ke gas ini telah memberikan kemudahan bagi warga miskin dalam memperoleh bahan bakar. Selain itu masyarakat juga mengusulkan kepada pemerintah dapat menambah daerah gerak konversi yang telah ada (http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=20571).

Selain itu, keberhasilan ini juga dirasakan oleh pemerintahan Kota Tambun, Jawa Barat. Hasjim mengatakan seiring digulirkannnya kebijakan


(21)

pemerintah yaitu pengembangan energi alternatif, telah membuat berbagai fasilitasi pendukungan untuk kelangsungan program tersebut. Fasilitas tersebut baik berupa program-program unggulan maupun rekomendasi teknis atas langkah pengembangan energi alternatif1.

Kebijakan tersebut, dari sisi bahan baku yang dikembangkan yaitu gas sangat relevan karena potensi gas di Indonesia tersebar di beberapa daerah dan jumlahnya cukup besar. Keadaan tersebut juga nampak di Jawa Barat sebab mempunyai potensi gas alam dalam jumlah yang cukup besar. Perhatian Jawa Barat terhadap kebutuhan energi bagi masyarakat miskin sudah direalisasikan melalui berbagai program pengembangan energi alternatif. Di beberapa tempat telah dikembangkan beberapa jenis energi alternatif antara lain: biogas, mikro hidro dan energi surya. Program-program tersebut diharapkan secara bertahap dapat membantu memenuhi kebutuhan energi masyarakat miskin yang jumlahnya di Jawa Barat mencapai lebih dari 10 juta orang. Program tersebut, di sisi lain diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan BBM (www.jabar.go.id).

Di samping adanya keberhasilan pemerintah dalam pengembangan konversi minyak tanah ke gas, terdapat juga banyak kegagalan pemerintah dalam penyaluran konversi minyak tanah ke gas. Banyak masyarakat yang tidak mau menerima perubahan tersebut sehubungan dengan budaya yang mereka miliki. Berbagai alasan terlontar dari mulut masyarakat Indonesia, seperti beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

1


(22)

Sebagai contoh, kasus yang terjadi di Jawa Tengah Kabupaten Kendal. Pemerintah diminta meninjau ulang program konversi minyak tanah ke bahan bakar gas atau LPG (liquefied petroleum gas). Hal ini dikarenakan masyarakatnya yang belum sepenuhnya menerima program konversi minyak tanah ke gas elpiji yang disebabkan karena, masyarakatnya masih ragu, takut dan kurangnya sosialisasi untuk menggunakan kompor dan tabung gas yang diberikan secara gratis. Hal tersebut karena, tingkat kualitas keamanan kompor gas yang diberikan pada masyarakat kurang menjamin pada masyarakat. Hal tersebut perlu dilakukan karena pengetahuan masyarakat hanya baru sebatas penggunaan kompor minyak tanah, sehingga pemerintah perlu lagi menerapkan cara penggunaan kompor gas elpiji (http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=141801).

Kasus yang lain juga terjadi di Jakarta. Konversi minyak tanah ke LPG (liquefied petroleum gas) ternyata justru jadi polemik tersendiri bagi warga, karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Sementara minyak tanah masih sangat dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas. Memang masyarakat telah mendapatkan tabung gas gratis dalam kemasan 3 kilogram, namun pemerintah seharusnya mengetahui bahwa masyarakat Indonesia tidak semuanya siap untuk menggunakan gas elpiji dalam kehidupan sehari-hari. Belum lagi dalam kenyataan, pasokan gas LPG di beberapa wilayah yang jadi target konversi justru pengirimannya tidak lancar, sehingga banyak agen LPG yang mengalami kekosongan dan sudah bisa dipastikan hal ini tentunya sangat menyulitkan bagi warga yang akan membeli atau mendapatkan gas LPG.


(23)

Rencana konversi dari minyak tanah ke gas LPG terkesan terburu-buru dan tidak terencana. Padahal konversi tersebut melibatkan Pertamina, Departemen Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan lembaga pelaksana di daerah," ungkap Suharto, Direktur Pusat Pengkajian Ekonomi (PPE) (http://www.jawapos.co.id).

Untuk itu pemerintah tidak cukup dalam melakukan sosialisasi. Demikian juga dalam penyiapan kondisi masyarakat untuk siap kepada budaya baru dalam menggunakan energi. Suharto juga mengatakan bahwa Pemerintah belum dapat menjamin jika terjadi konversi minyak tanah ke gas tersebut tidak ada kelangkaan gas, ternyata pemerintah pun belum dapat menjaminnya. Kenyataan di lapangan memperlihatkan kelangkaan BBM mengakibatkan terjadinya praktik pengoplosan, penimbunan BBM oleh oknum pedagang atau distributor serta naiknya harga secara prematur (terlalu dini) dan kenaikan juga terjadi sebelum waktu yang diprediksikan, seperti lebaran, tahun baru dan natal.

Implikasi atau kesimpulan yang muncul dari adanya kebijakan terburu-buru ini akan menimbulkan problem sosial-ekonomi yang tinggi. Penolakan oleh masyarakat dimungkinkan karena secara teknis tidak mudah mengubah budaya memakai kompor minyak tanah ke kompor gas. Semestinya pemerintah menunda dulu dan membutuhkan waktu untuk transisi. Kenyataannya pemerintah hanya menghitung nilai konversi subsidi yang terkurangi tanpa memperhitungkan resiko intangible (hal-hal yang tidak dapat diraba) seperti hilangnya pekerjaan pedagang minyak tanah dan lainnya.


(24)

Selain itu, bagi penerima kompor dan gas elpiji pun memunculkan sebuah respon yang bersifat kultural atau yang disebut sebagai respon budaya. Untuk menjelaskan pengertian respon budaya maka terlebih dahulu didefinisikan apa yang dimaksud dengan respon dan budaya. Respon adalah tanggapan atau perilaku yang muncul dikarenakan adanya rangsang dari lingkungan, seperti halnya yang terjadi saat ini tentang inovasi yaitu pemakaian kompor dan gas elpiji yang telah menimbulkan banyaknya tanggapan masyarakat baik berupa ekonomi maupun budaya. Jika rangsangan dan respon dipasangkan atau dikondisikan maka akan membentuk tingkah laku baru terhadap rangsang yang dikondisikan (http://id.wikipedia.org/wiki/Respon).

Sedangkan budaya atau kebudayaan adalah merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan serta hasil karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengan demikian semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Hal tersebut karena, jumlah kegiatan dalam kehidupan masyarakat yang dibiasakannya dengan belajar tidak terbatas (Koentjaraningrat, 1996).

Lebih lanjut dijelaskan Koentjaraningrat bahwa kebudayaan menempati posisi sentral dalam sebuah tatanan hidup manusia. Tidak ada manusia yang dapat hidup di luar ruang lingkup kebudayaan. Kebudayaanlah yang memberi nilai dan makna pada hidup manusia. Seluruh bangunan hidup manusia dan masyarakat berdiri diatas landasan kebudayaan. Dengan kebudayaan yang dimilikinya akan mengatur perilaku mereka dalam hubungan dengan lingkungan dan interaksi


(25)

sosial. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi dari kepribadian suatu masyarakat.

Kebudayaan terwujud dalam tiga bentuk yaitu:

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam bermasyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud Ideel dari kebudayaan bersifat abstrak, karena tidak dapat diraba dan difoto sehingga hanya dapat dipahami oleh masyarakat karena berada dalam alam pikiran manusia. Lapisan paling abstrak adalah sistem nilai budaya karena terdiri dari konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang dinilai penting oleh masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan lapisan yang konkret adalah sistem norma atau hukum, seperti pendidikan, kesenian, ekonomi dan sebagainya.

Wujud tindakan masyarakat bersifat konkret, bisa dilihat dan difoto, karena terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berhubungan dan saling berinteraksi satu dengan yang lain berdasarkan tata kelakuan. Wujud yang terakhir adalah hasil karya manusia yang bersifat konkret, karena merupakan hasil karya manusia dari aktivitasnya sehingga dapat dilihat, diraba dan difoto. Ketiga wujud kebudayaan tersebut memiliki keterkaitan satu sama lainnya, sehingga tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan ideel dan adat istiadatlah yang mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia.


(26)

Berkenaan dengan definisi respon dan budaya yang dijelaskan di atas maka respon budaya adalah tanggapan terhadap perubahan yang terkait dengan wujud ideel, aktivitas dan artefak pada suatu kebudayaan masyarakat. Respon budaya yang terkait dengan wujud ideel dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai budaya, ide-ide atau gagasan serta pandangan masyarakat yang bersifat abstrak dan dapat menimbulkan reaksi dari masyarakat jika wujud ideel itu berubah di dalam masyarakat. Respon budaya yang terkait dengan aktifitas dapat berupa pola perilaku masyarakat, hubungan sosial dan struktur sosial masyarakat yang dapat dilihat dari kebiasaan yang masyarakat lakukan sehari-hari. Hal tersebut dapat menimbulkan tanggapan jika terjadi suatu perubahan dari kebiasaan mereka sehari-hari. Sedangkan respon budaya yang terkait dengan artefak dapat berupa penggunaan kompor gas pada masyarakat yang menyebabkan perubahan dalam pola pengetahuan mereka yang sebelumnya masyarakat masih menggunakan kompor minyak tanah lalu digantikan dengan kompor gas, sehingga hal ini dapat menimbulkan tanggapan atau pun respon masyarakat yang menjadi sasaran program.

Dari berbagai respon budaya tersebut maka, yang menjadi kajian penelitian adalah respon budaya yang terkait dengan wujud ideel dan wujud aktifitas dimana dari kedua wujud budaya tersebut memiliki cakupan yang berbeda-beda. Wujud ideel sendiri mencakup pengetahuan, nilai-nilai budaya masyarakat. Sedangkan, wujud aktifitas yang terkait dengan hubungan sosial dan struktur sosial masyarakat setelah diberlakukannya konversi minyak tanah ke gas elpiji.


(27)

1.6.Metode Penelitian 1.6.1. Tipe Penelitan

Penelitian ini menggunakan tipe eksploratif deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan menggambarkan bagaimana respon atau tanggapan masyarakat penerima program tersebut. Dalam hal ini mengkaji pengetahuan, nilai-nilai budaya dan pola perilaku yang terjalin dalam masyarakat setelah adanya konversi minyak tanah ke gas. Selain itu juga, untuk melihat bagaimana proses pendistribusian dan pembagian kompor gas sebagai sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemeintah.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Data dapat dikategorikan atas 2 (dua) bentuk yakni data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang diperoleh melalui teknik observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari lapangan dan berbagai buku, jurnal dan lainnya sebagai kelengkapan data primer. Buku, jurnal dan yang lainnya diarahkan untuk mendapatkan gambaran-gambaran mengenai data kependudukan yang menjadi sasaran porgram, teori-teori yang mendukung masalah penelitian, dan lainnya.

Adapun hal yang diobservasi adalah proses pendistribusian kompor gas kepada masyarakat, pola tingkah laku atau hubungan sosial masyarakat setelah dijalankannya konversi minyak tanah ke gas elpiji dan cara masyarakat dalam mengggunakan kompor gas yang telah dibagikan. Observasi juga dilengkapi


(28)

dengan kamera foto digunakan sebagai bukti dari penelitian dan untuk mengabadikan hal-hal yang tidak terobservasi peneliti di lapangan

Wawancara mendalam dilakukan dengan bantuan pedoman wawancara. Wawancara dilakukan terhadap informan kunci dan informan biasa. Informan kunci merupakan orang-orang yang berperan dan memahami masalah penelitian. Dalam hal ini informan kunci adalah pihak Pertamina, Lurah, Ketua RT (rukun tetangga) / RW (rukun warga), tokoh masyarakat dan lainnya. Sedangkan, informan biasa merupakan orang-orang yang memberikan informasi mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuannya dan bukan ahlinya. Dalam penelitian ini yang menjadi informan biasa adalah masyarakat penerima program konversi yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan kompor dan gas elpiji tersebut di sekitar lokasi penelitian.

Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposif atau bertujuan dalam arti bahwa orang-orang yang akan dipilih menjadi informan sudah diketahui oleh peneliti. Penentuan informan biasa didasarkan atas kriteria masyarakat penerima program yang menggunakan maupun yang tidak menggunakan kompor gas, jenis kelamin, status sosial, lama tinggal dan lainnya. Dalam penelitian ini jumlah informan disesuaikan dengan kebutuhan data.

Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan kunci yaitu mengenai dasar diberlakukannya program konversi minyak tanah ke gas, proses pendistribusian, sosialisasi pemerintah kepada masyarakat atas program konversi tersebut, dan kriteria masyarakat yang patut mendapatkan kompor dan gas elpiji dari pemerintah. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan biasa


(29)

yaitu mengenai pengetahuan, nilai-nilai budaya masyarakat atas penerapan dalam penggunaan kompor gas, struktur dan hubungan sosial dalam hal ini pola perilaku masyarakat yang terjalin serta pandangan masyarakat dengan adanya penerapan kompor gas. Wawancara mendalam yang dilakukan menggunakan Tape Recorder sebagai alat bantu karena daya ingat peneliti yang terbatas, sehingga hal-hal yang terlupakan dapat dicatat kembali oleh peneliti.

1.7.Analisa Data

Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan kualitatif. Data dan informasi yang didapat dari lapangan nantinya akan diteliti kembali. Hal tersebut dilakukan untuk melihat kelengkapan hasil dari observasi dan wawancara kepada informan ( sesuai daftar interview guide yang dibuat peneliti). Setelah semua selesai lalu disusun menurut kelompoknya dan secara sistematis berdasarkan kategori yang dibuat peneliti.

Akhirnya seluruh data dilihat kaitannya satu dengan yang lain dan diinterpretasikan secara kualitatif. Sedangkan, data yang bersifat kuantitatif2 hanya melengkapi analisa data kualitatif. Analisa data dilakukan mulai pada saat meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung hingga penulisan laporan penelitian.

2

Kuantitatif adalah data angka statistik, dan data ini diperoleh dari kelurahan ataupun perangkat desa diwilayah tersebut.


(30)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENLITIAN, PENDUDUK DAN INFORMAN

2.1. Letak Lokasi dan Keadaan Geografis

Bintara merupakan salah satu daerah yang terletak di wilayah Bekasi Barat dan sudah termasuk daerah ibu kota Propinsi Jawa Barat. Bintara merupakan daerah yang terletak tidak jauh dari Kecamatan Bekasi Barat yaitu kira-kira berjarak 8 km dari Kelurahan Bintara berjarak sekitar 1 km dari lokasi penelitian. Jarak Bintara ke ibu Kotamadya Bekasi kira-kira 15 km, sedangkan jarak Bintara ke ibu kota Propinsi Jawa Barat 160 km. Bintara juga merupakan daerah perbatasan wilayah Cakung, Jakarta Timur. Oleh karena itu, Bintara merupakan daerah maju dan daerah yang mudah dijangkau dengan transportasi.

Di tahun 1990-an daerah Bintara masih merupakan areal persawahaan dan perkebunan. Adapun rumah penduduk di wilayah Bintara ini masih terbilang sedikit dan rata-rata penduduknya adalah orang etnis Betawi. Dengan berkembangnya jaman dan semakin pesatnya pembangunan maka daerah Bintara berubah menjadi daerah perumahan dan pertokoan.

Data yang diperoleh dari kantor Kelurahan Bekasi Barat luas wilayah daerah Bintara sekitar 328,02 Ha. Wilayah Bintara ini dimanfaatkan sebagai Ruko (rumah toko), tempat perbelanjaan atau pasar, tempat ibadah, puskesmas, sekolah, dan selebihnya pemukiman penduduk. Hal di atas menyebabkan masyarakat asli yang ada di Bintara dalam hal ini masyarakat Betawi menjadi sedikit tersingkir


(31)

dari pendatang baru karena telah banyak terjadi perkembangan yang disebabkan oleh banyaknya pemabangunan yang ada.

Wilayah Bintara yang luasnya sekitar 328,02 Ha dibagi menjadi delapan (8) bagian yang disebut dengan Bintara I (satu) hingga Bintara VIII (delapan). Disetiap wilayah yang ada di Bintara mempunyai 15 (lima belas) Rukun Warga (Rw) dan 142 (seratus empat puluh dua) Rukun Tetangga (RT). Masing-masing wilayah yang ada di Kelurahan Bintara dipimpin oleh kepala RW dibantu dengan kepala RT yang berfungsi mempercepat proses administrasi di daerah Kelurahan Bintara.

Secara administratif Bintara berbatasan dengan wilayah lain yakni: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kel. Kota Baru

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kel. Pondok Kopi (DKI Jakarta) - Sebelah Timur berbatasan dengan Kel. Bintara Jaya

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kel Kranji

Bintara merupakan daerah yang cukup startegis, karena daerahnya yang terletak di tengah-tengah wilayah Jawa Barat dan Jakarta, dan daerah ini dibuat menjadi daerah perbatasan. Selain itu, masyarakatnya yang dulu masih hidup dari penghasilan dengan berkebun, sekarang mereka juga menghidupi dirinya sebagai pedagang dan pegawai negeri maupun swasta. Hal ini dikarenakan sudah banyak pendatang yang berdomisili di Bintara tersebut, sehingga sosialisasi masyarakat ke arah pengetahuan menjadi tambah lebih maju.


(32)

2.2. Keadaan Penduduk

Masyarakat di daerah Bintara memiliki jumlah penduduk sebanyak 48.745 jiwa, dan 11.695 Kepala Keluarga. Berikut adalah tabel jumlah Kelurahan Bintara berdasarkan umur.

Tabel. 1.

Rekapitulasi Penduduk Bintara Berdasarkan Kelompok Umur

NO. UMUR JUMLAH

1. 0-4 5969

2. 5-9 4873

3. 10-14 4331

4. 15-19 3736

5. 20-24 3747

6. 25-29 3694

7. 30-34 3672

8. 35-39 3388

9. 40-44 3169

10. 45-49 2964

11. 50-54 2651

12. 55-59 2617

13. 60-64 2334

14. 65 keatas 1600

JUMLAH 48.745 jiwa

Sumber : Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

Dari data di atas dapat dilihat bahwa pertumbuhan masyarakat yang ada di Bintara sangat pesat terlihat dari masih banyaknya anak-anak umur usia 0-4 tahun mencapai 5969 jiwa dan 5-9 tahun mencapai 4873 jiwa. Hal ini berarti menunjukan tingkat reproduksi masyarakatnya yang sangat pesat. Selain itu, masyarakat di Bintara tersebut terlihat lebih banyak masyarakatnya yang dapat dikatakan melihat dari golongan umurnya yang masih Produktif sekitar 81% dibandingkan dengan umur yang tidak produktif lagi sekitar 19%. Oleh sebab itu,


(33)

dapat dikatakan masyarakat yang berada di Bintara ini seharusnya kehidupan ekonominya harus lebih baik, karena masih lebih banyak masyarakat yang produktif dibandingkan masyarakat yang tidak produktif lagi.

Namun, hal tersebut lain faktanya yang terjadi bahwa masyarakat yang ada di Bintara terutama etnis Betawinya kehidupan ekonomi tidak seluruhnya baik. Hal tersebut karena, masyarakat yang masih produktif tidak semuanya mempunyai pekerjaan yang layak karena, rata-rata karyawan yang bekerja di daerah sekitar Bintara tersebut adalah masyarakat yang bukan setempat akan tetapi masyarakat yang dari daerah lain. Untuk itu mereka menghidupi dirinya sehari-hari dengan hanya berjualan kelontong atau warung dan sebagai tukang ojek (pengendara motor), sehingga untuk mencukupi kebutuhannya pun kurang. Untuk itu produktifitas masyarakat di Bintara tidak begitu baik.

Masyarakat yang berada di Bintara terdiri dari beberapa suku seperti Betawi, Batak, Jawa, Sunda dan suku lainnya. Setiap suku yang ada di Bintara juga memiliki bahasa sendiri. Namun, dalam pergaulan hidup sehari-hari masyarakat yang ada yang ada di Bintara menggunakan bahasa Indonesia meskipun ada beberapa masyarakat yang menggunakan bahasa daerahnya apabila bertemu dengan orang yang sesuku dengannya.

Mayoritas masyarakat Bintara pada umumnya adalah masyarakat Betawi. Betawi sendiri terbagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu Betawi Kota dan Betawi Ora. Betawi Kota adalah masyarakat Betawi yang telah banyak menerima pengaruh dari etnis lain, sehingga cara hidup mereka dan budaya mereka pun sudah bercampur dengan tradisi di luar Betawi. Sedangkan, Betawi Ora adalah


(34)

masyarakat asli Kota Jakarta dan mereka secara ketat dan konsisten menyandang tradisi Betawi dan tidak banyak menerima pengaruh dari budaya di luar Betawi.

Selain menurut pengertiannya Betawi juga dibedakan menurut lokasi persebarannya yaitu Betawi Tengah, Betawi Udik dan Betawi Pinggiran3.

Masyarakat Betawi yang ada di Bintara adalah masyarakat Betawi yang disebut Betawi Udik. Hal ini karena, selain masyarakatnya yang di pengaruhi oleh kebudayaan sunda dan juga karena umumnya ekonomi mereka yang rendah yang hanya bertumpu pada sektor pertanian. Selebihnya masyarakat yang tinggal di Bintara adalah etnis lain.

Dengan semakin berkembangnnya daerah tersebut menyebabkan masyarakat asli (Betawi) secara otomatis interaksi antara etnis yang satu dengan etnis lain pun terjadi sehingga masyarakat Betawi sendiri mulai tergeser dari daerah mereka. Walaupun demikian sosialisasi dan interaksi mereka dengan etnis lain terjalin cukup baik hingga sekarang. Berikut adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan kelompok etnik.

3

. Betawi Tengah merupakan penduduk asli Betawi dan terletak di bagian tengah kota Jakarta yang dulu merupakan keresidenan Batavia dan sekarang termasuk Jakarta Pusat. Akan tetapi, tingkat perkawinan campur mereka cukup tinggi dibandingkan dengan orang Betawi yang lain. Berdasarkan tingkat ekonomi dan pendidikannya pun mereka termasuk yang paling tinggi karena, tidak hanya dalam negeri saja mereka bersekolah bahkan banyak juga anak mereka yang bersekolah di luar negeri.

Betawi Udik merupakan penduduk asli Betawi dan ada dua (2) tipe Betawi udik, yaitu mereka yang tinggal di daerah utara dan barat bagian Jakarta maupun tangerang dan mereka sangat dipengaruhi oleh kebudayaan cina dan lainnya adalah mereka yang tinggal di sebelah timur maupun selatan Jakarta. Secara ekonomi pada umumnya Betawi Udik berasal dari ekonomi bawah dibandingkan dengan Betawi Tengah dan Pinggir, dimana sebagian besar mereka bertumpu pada bidang pertanian. Dari segi tingkat pendidikan Betawi Udik masih tergolong rendah dibandingkan dengan taraf pendidikan Betawi Tengah dan Pinggir. Walaupun demikian mereka sangat menjunjung pendidikan agamanya.

Betawi pinggir merupakan penduduk Betawi yang dalam beberapa aspek seperti aspek ekonomi tergolong ekonomi menengah. Namun dalam hal keagamaan, Betawi Pinggir jauh lebih mendalami bidang keagamaan dibandingkan dengan Betawi lainnya. Hal ini terlihat dari


(35)

Tabel. 2.

Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik

NO. KELOMPOK ETNIK JUMLAH JIWA

1. Betawi 15183

2. Jawa 10329

3. Batak 6852

4. Sunda 7912

5. Dll 8469

JUMLAH ETNIS 48745 Jiwa

Sumber : Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

2.2.1. Tingkat Pendidikan

Secara Umum

Tingkat pendidikan di Bintara ini sudah dapat dikatakan baik. Hal ini dikarenakan sudah banyak kemajuan teknologi yang terjadi di daerah Bintara tersebut. Dari data yang di dapat dari Kelurahan Bintara bahwa tingkat pendidikan di daerah ini rata-rata mengenyam pendidikan mulai dari tingkat sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi sudah lebih banyak hingga mencapai 98 % di bandingkan dengan yang belum mengenyam pendidikan yaitu sekitar 2 %. Hal ini disebabkan karena tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan sudah semakin meningkat. Selain itu juga untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan juga status sosial yang lebih baik di masyarakat.


(36)

Rekapitulasi Keluarga Menurut Status Pendidikan

NO

RUKUN WARGA

(RW)

JUMLAH KELUARGA MENURUT STATUS PENDIDIKAN

Belum Sekolah Tamat SD-SLTP Tamat SLTA Tamat AK/PT Jumlah

1. 01 46 244 420 53 763

2. 02 88 468 805 102 1463

3. 03 69 367 631 80 1147

4. 04 45 240 413 53 751

5. 05 36 189 326 41 592

6. 06 49 259 446 57 810

7. 07 40 214 369 47 670

8. 08 40 216 371 47 674

9. 09 36 190 327 42 595

10. 10 46 247 425 54 772

11. 11 50 267 458 58 833

12. 12 34 183 315 40 572

13. 13 58 309 531 68 966

14. 14 34 183 315 40 572

15. 15 31 165 283 36 515

JUMLAH 702 3742 6432 819 11695

Sumber: Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

Secara Khusus.

Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan mengenai tingkat pendidikan para informan khusus dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan dikalangan informan masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah keseluruhan dari informan yang mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTP hanya mencapai sekitar 30 % dari keseluruhan informan. Dengan demikian persentase tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan bukanlah menjadi sesuatu yang sangat penting di kalangan informan.

Adapun yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor ekonomi, karena kurangnnya dana untuk membiayai anak sekolah yang disebabkan mata pencaharian yang


(37)

sangat minim yang hanya bekerja sebagai buruh atau pun pedagang yang menjual sayur-sayuran ataupun buah-buahan. Selain itu faktor gender juga sangat memberi pengaruh yang cukup kuat, dimana sebagian dari para informan berpikir bahwa seorang wanita tidak perlu sekolah tinggi karena setelah lulus mereka tetap akan menjadi seorang ibu rumah tangga yang bekerja hanya di rumah saja. Oleh karena itu pendidikan yang sangat minim dikalangan informan sangat mempengaruhi pengetahuan mereka juga.

2.2.2. Mata Pencaharian dan Pendapatan

Secara Umum

Adapun mata pencaharian masyarakat di kelurahan Bintara pada umumnya adalah pegawai baik negeri maupun swasta, buruh lepas, wiraswasta serta pedagang. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan tentang keadaan mata pencaharian penduduk di Kelurahan Bintara.

Pada tabel di bawah menunjukkan bahwa produktifitas masyarakat yang bekerja di daerah Bintara sangat banyak sekitar 95 % di bandingkan dengan masyarakat yang tidak bekerja sekitar 5 % dari total seluruh masyarakat yang ada di Bintara. Hal ini disebabkan karena pembangunan daerah atau pun lapangan pekerjaan yang ada di daerah tersebut sangat berkembang pesat, sehingga dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di Bintara.


(38)

Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

NO JENIS MATA PENCAHARIAN JUMLAH JIWA

1. Buruh 9970

2. Pegawai negeri 6595

3. Pegawai swasta 9941

4. Wiraswasta 6745

5. Pedagang 9725

JUMLAH 42.976 Jiwa

Sumber: Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

Secara Khusus

Secara khusus mata pencaharian para informan khusus yang ada di Bintara adalah didominasi oleh buruh dan pedagang. Namun disamping itu ada sebagian kecil dari mereka yang bekerja sebagai pegawai baik negeri maupun swasta. Hal yang menyebabkan pekerjaan mereka yang paling mendimonasi adalah berdagang atau buruh karena pengetahuan mereka tentang teknologi yang mereka tahu masih minim. Adapun informan khusus yang menjadi perhatian penulis adalah masyarakat pribumi dalam hal ini masyarakat Betawi yang ada di Bintara.

2.2.3. Pola Pemukiman

Pola pemukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan melakukan kegiatan atau pun aktivitas sehari-harinya. Permukiman dapat diartikan sebagai suatu tempat (ruang) atau suatu daerah dimana penduduk terkonsentrasi dan hidup bersama menggunakan lingkungan


(39)

setempat, untuk mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan hidupnya.

Pola pemukiman merupakan sifat persebaran, dan lebih banyak berkaitan dengan akibat faktor-faktor ekonomi, sejarah dan faktor budaya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola pemukiman penduduk adalah bentuk persebaran tempat tinggal penduduk berdasarkan kondisi alam dan aktivitas penduduknya. Selain berdasarkan kondisi alam dan aktivitas penduduknya pola pemukiman yang ada di Bintara sudah menjadi ciri khas masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Secara umum masyarakat yang berada di Bintara mempunyai pola pemukiman yang berkelompok dimana pada masyarakat dahulu lebih cenderung rumah mereka berdekatan dengan keluarga mereka sendiri, dan selebihnya lahan kosong di daerah lainnya dan 10 meter hingga lebih adalah lahan kosong, sehingga hal ini masih membuat pola pemukiman mereka berkelompok. Seiring berkembangnya jaman di daerah pemukiman mereka pun semakin banyak berubah. Hal ini disebabkan karena telah banyak terjadi pembangunan seperti ruko (rumah toko), perumahan elite, jalan-jalan alternatif atau jalan tol, tempat perbelanjaan (supermarket dan mall). Oleh karena itu, pola pemukiman yang berada di Bintara berubah menjadi pola pemukiman yang menyebar dan pola pemukimannya pun mengikuti jalan raya, rel kereta api, dan lainnya.

Namun semenjak semakin sulitnya dan meningkatnya taraf kehidupan di kota besar sepeti di Bintara menyebabkan banyaknya rumah-rumah liar dibangun


(40)

di atas tanah pemerintah yang seharus bukan untuk dibangun menjadi tempat tinggal. Dapat dilihat di bawah jembatan jalan tol (jalan alternative) yang berada di Bintara banyak sekali terdapat rumah-rumah kumuh yang dibangun dan warung-warung nasi atau warung kelontong. Dengan demikian, pola pemukiman yang ada di Bintara menjadi berubah tidak tertata rapi yang diakibatkan karena total

Gambar 1.

Pola Pemukiman di Bintara dulunya Berkelompok

Pola pemukiman berkelompok biasanya terdapat di dataran rendah dah biasanya terdapat di daerah-daerah pedesaan. Kondisi ini berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah dan kondisi alam daerah tersebut. Selain itu kondisi ini akan berpengaruh pada pola pemukiman penduduk di daerah itu, sperti di daerah panas pemukiman penduduknya cenderung lebih terbuka dan agak terpencar.


(41)

Gambar 2.

Pola Pemukiman Saat Ini Mengikuti Jalan dan Rel Kereta Api

2.2.4. Sistem Religi

Masyarakat Betawi umumnya mayoritas beragama Islam. Pengaruh Islam yang kuat ini disebabkan oleh sejarah kota Jakarta yang dulunya merupakan pelabuhan yang banyak didatangi oleh pedagang dari Arab dan Gujarat yang membawa agama Islam. Hal ini juga terlihat pada masyarakat Betawi di Bintara umumnya mayoritas beragama Islam sebagian kecil lainnya beragama Kristen. Adapun suku Betawi yang beragama Kristen dan katholik mereka menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis.

Di wilayah Bintara terdapat bangunan tempat ibadah yaitu mesjid sebanyak 18 buah dan mushola sebanyak 48 buah. Gereja terdapat 1 buah saja, sedangkan tempat ibadah umat Budha yaitu vihara tidak ada sama sekali. Berikut ini tabel penduduk Bintara menurut agama yang dianutnya.


(42)

Tabel 5

Rekapitulasi Penduduk Berdasarkan Agama

NO. AGAMA JUMLAH

1. ISLAM 29438

2. KRISTEN PROTESTAN 8942

3. KATHOLIK 6706

4. BUDHA 2422

5. HINDU 1237

JUMLAH 48745 Jiwa

Sumber: Data Kelurahan Bintara Tahun 2008

Masyarakat Bintara ini hidup rukun beragama dengan toleransi yang cukup tinggi, mereka tidak mengindahkan perbedaan agama. Masyarakat lebih cenderung pada hubungan saling membantu dan akrab satu sama lain mereka pun saling tolong menolong jika ada diantara umat beragama tersebut mengadakan sebuah acara keagamaan atau hari-hari besar agama. Mereka juga menjaga keamanan dan kenyamanan bersama dan saling bertenggang rasa jika ada salah satu agama sedang beribadah.

Di samping itu, pada hari-hari besar seperti hari Raya Idul Fitri, umat Islam memberikan kue kepada tetangganya yang beragama lain dan begitu juga sebaliknya. Terdapat juga organisasi pemuda-pemudi dari berbagai agama yang ada di daerah tersebut seperti Karang Taruna. Selain itu juga, pada acara-acara seperti pernikahan, kematian, sunatan, ulang tahun dan lain sebagainya masyarakat di Bintara juga saling membantu dan saling mengundang tanpa ada membedakan agama.

Organisasi yang dijalankan oleh pemuda-pemudi dari berbagai agama yaitu Karang Taruna yang terdapat di Bintara setiap setahun sekali pada saat acara


(43)

17 Agustus mereka beramai-ramai bekerja sama untuk membuat acara ataupun menghiasi wilayah yang ada di Bintara seperti membuat bendera di sepanjang jalanan umum atau pun bergotong royong membersihkan lingkungannya masing-masing. Tidak hanya dalam acara hari-hari kenegaraan atau pun acara hari-hari besar keagamaan saja, tetapi mereka juga bergerak dalam bidang kemanusiaan seperti jika terjadi banjir atau pun ada salah satu masyarakat yang mengadakan hajatan atau dirundung kesedihan (kematian).

Organisasi yang di gerakkan oleh pemuda/pemudi karang taruna ini sangat bermanfaat untuk melatih generasi baru dalam melatih kreatifitas mereka sendiri. Dapat terlihat pada masyarakat di wilayah Bintara di RW 06 mereka menamai karang taruna mereka dengan nama Rhumba. Mereka membuat tempat untuk pencuci mobil dan motor yang terbuka untuk umum, dan dana yang mereka dapatkan nanti digunakan untuk kegiatan mereka seperti membuat parade musik atau pun kegiatan lainnya.

2.3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial.

Kesatuan kekerabatan yang terkenal pada masyarakat Betawi adalah keluarga batih4, yang terdiri dari suami dan isteri, serta anak-anak yang di dapat dari perkawinan atau adopsi. Dalam keluarga ini sering juga terdapat anggota keluarga lain seperti ibu mertua atau keponakan pihak laki-laki atau pun perempuan. Keluarga batih ini terbentuk melalui perkawinan, dimana setiap pengantin yang baru menikah biasanya sementara waktu menetap di kediaman si

4

Keluarga batih merupakan nama lain dari keluarga inti, yang terdiri dari bapak, ibu dan anak-anaknya tanpa keluarga yang lainnya


(44)

suami atau sering disebut dengan virilokal5. Selanjutnya, mereka pindah dan

menetap di tempat tinggal yang baru atau disebut dengan neolokal6, tidak ke pihak laki-laki maupun pihak perempuan.

Lain hal dengan masyarakat Betawi yang berada di Bintara kebanyakan dari meraka menetap atau bertempat tinggal dengan keluarga laki-laki meskipun kehidupan ekonomi mereka berkecukupan. Hal ini dikarenakan menurut mereka kebersamaan dengan keluarga lebih baik dan mereka dapat saling tolong menolong satu sama lain dan dapat lebih erat lagi hubungan persaudaraan mereka. Selain itu, disebabkan karena tanah yang mereka tempati masih tanah warisan nenek moyang mereka atau pun orang tua mereka. Hal ini seperti yang dikatakan oleh salah satu informan masyarakat asli Betawi yang dijumpai di Bintara yakni ;

“Saya tinggal bersebelahan dengan orang tua saya biar bisa bantu-bantu orang tua dan saudara saya karena orang tua saya sudah tua dan juga lebih enak dekat dengan orang yang sudah lama kita kenal. Selain itu juga, karena wilayah yang kami tempati juga masih tanah warisan nenek moyang kami” (Wawancara tanggal 10 Januari 2009).

Masyarakat Betawi juga merupakan salah satu dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia yang manganut sistem kekerabatan bilineal. Asas bilateral menunjukan bahwa hubungan kekerabatan disusun berdasarkan garis keturunan dihitung dari dua belah pihak ayah dan ibu atau dihitung melalui orang tua laki-laki maupun wanita. Namun adat Betawi tidak membedakan antara anak laki-laki-laki-laki dan anak perempuan.

5

Virilokal yang dipraktikkan berulang-ulang generasi demi generasi menciptakan kelompok kerabat patrilineal lokal yang berpusat pada laki. Untuk itu peneliti menganalisa bahwa hal ini juga salah satu faktor adanya garis keturunan yang diambil dari laki-laki.

6


(45)

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Betawi tidak ada klen/marga (seperti pada masyarakat Batak Toba). Sistem kekerabatan orang Betawi dipengaruhi oleh adat dan agama Islam. Perkawinan pada masyarakat Betawi umumnya dilakukan secara adat dan agama Islam, tampak sekali ketika upacara akad nikah atau ijab kabul dilakukan. Namun ada juga yang melakukan upacara perkawinan secara agama Kristen karena ada juga sebagian kecil dari masyarakat Betawi yang beragama Kristen.

Masyarakat Betawi yang beragama Kristen tersebut adalah merupakan campuran dari penduduk lokal dan keturunan Portugis. Bagan di bawah ini menujukkan bahwa masyarakat Betawi garis keturunannya berdasarkan dari dua garis keturunan dari ayah dan ibu dan garis keturunan mereka ini sama dengan garis keturunan etnis Jawa. Di bawah ini adalah bagan garis keturunan bilateral menurut masyarakat Betawi.


(46)

Bagan 1

Bagan Garis Keturunan Bilateral

Sumber : Buku Pengantar Antropologi Koentjaraningrat.

Dalam mencari jodoh, baik pemuda maupun pemudi bebas memilih teman hidup mereka sendiri. Kesempatan untuk bertemu dengan calon kawan hidup itu tidak terbatas dalam desanya, maka banyak perkawinan pemuda pemudi desa tersebut dengan orang dari lain desa. Namun demikian, persetujuan orang tua kedua belah pihak sangat penting, karena orang tualah yang akan membantu terlaksananya perkawinan tersebut.

Adat masyarakat Betawi pun tidak ada perkawinan yang dilarang (tabu) atau incest taboo, karena dalam masyarakat Betawi mereka tidak mengenal klen atau marga dalam sistem kekerabatan mereka sehingga dalam pencarian jodoh pun bebas kecuali perkawinan sedarah, adik dengan kakak kandung dengan satu orang tua yang sama.

= Laki-laki

= Perempuan

= Garis Keturunan


(47)

Dalam masyarakat Betawi sendiri yang berada di Bintara maupun di wilayah lain memiliki satu sistem organisasi yang dinamakan dengan Forum Betawi Rempug (FBR) yang didirikan pada tanggal 29 Juli 2001. Organisasi ini merupakan sebuah perkumpulan bukan hanya untuk para pemuda-pemudi Betawi tetapi juga seluruh masyarakat yang asli orang Betawi. Organisasi ini dibangun untuk mempererat kekerabatan dan terjalinnya silahturahmi satu sama lain antara masyarakat Betawi sendiri.

Selain itu, tujuan didirikannya FBR tersebut adalah untuk memajukan masyarakat Betawi sendiri agar mereka tidak tersingkir dari pesatnya pembangunan di ibu kota. Organisasi ini memiliki asas yang berlandaskan pada hukum Islam sehingga mereka kadang kala membuat suatu acara akbar seperti pengajian yang dibuat di tempat terbuka atau pun di tempat yang telah ditentukan. Selain itu juga tujuan dari dibuatnya lembaga FBR tersebut adalah untuk menggambarkan secara lengkap gambaran dari etnis Betawi tersebut.

2.4. Nilai-Nilai Budaya di Masyarakat Betawi

Pada masyarakat Betawi nilai-nilai budaya sangat mereka jaga dan dihargai terutama pluralisme, saling toleransi antar masyarakat dan melestarikan kebudayaan yang mereka miliki. Sebagai contoh apabila di etnis Betawi mengadakan suatu acara seperti perkawinan, khitanan dan lain sebagainya, sangat terlihat rasa toleransi dan kerjasama yang kuat antara sesama masyarakat Betawi. mereka juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai hukum-hukum keagamaan yang mereka anut.


(48)

Sejalan dengan berkembangnya jaman dan terjadinya banyak interaksi dengan masyarakat dari suku yang berbeda maka nilai-nilai yang terkandung dalam adat istiadat kebudayaan masyarakat Betawi lambat laun mengalami banyak perubahan. Hal-hal yang berubah dapat kita lihat seperti dalam bidang kesenian maupun dalam upacara perkawinan.

Namun dalam menyikapi hal tersebut masyarakat Betawi juga menyadari bahwa, lambat laun seiring dengan berkembangnya jaman maka tidak menutup kemungkinan nilai-nilai budaya Betawi semakin lama semakin pudar. Untuk itu, masyarakat Betawi membuat suatu komunitas dengan nama FBR (Forum Betawi Rempug) yang diharapkan dapat menjadi suatu wadah guna pelestarian budaya Betawi. Hal ini juga dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat umum bahwa asumsi-asumsi yang timbul tentang etnis Betawi yang negatif dapat dirubah.


(49)

BAB III

KONVERSI MINYAK TANAH KE GAS

3.1. Dasar dan Tujuan Konversi Minyak Tanah ke Gas

Program konversi minyak tanah ke elpiji secara resmi diluncurkan oleh Wakil Presiden M. Yusuf Kalla didampingi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro pada 8 Mei 20077. Program tersebut diluncurkan karena merupakan sebuah jalan keluar yang tepat dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi. Selain, di Indonesia juga terjadi di negara-negara penghasil minyak lainnya. Hal ini dikarenakan melambungnya harga minyak bumi di pasaran dunia internasional sekitar 90% dari harga ecerannya pada masyarakat yang dulunya sekitar Rp.3500,00 menjadi Rp.10.000,00 hingga Rp.12.000,00. Hal ini membuat pemerintah Indonesia pun menjadi kewalahan atau kebingungan dalam mencari solusi supaya dana APBN untuk subsidi BBM tidak melambung tinggi. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia terutama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral meluncurkan sebuah kebijakan baru untuk masyarakat dengan menggantikan penggunaan kompor minyak tanah ke kompor gas karena harga gas yang masih stabil atau masih terjangkau oleh negara Indonesia.

Melihat kenyataan tersebut, maka kebijakan pemerintah untuk melakukan konversi pemakaian bahan bakar dari minyak tanah ke gas elpiji sangat logis. Hal ini dikarenakan harga minyak mentah international sudah melonjak sangat tajam.

7


(50)

Pada awal bulan mei 2008 sudah menembus angka US$ 120 per barel. Apabila harga minyak tanah dalam negeri hendak dipertahankan, maka pemerintah harus mengeluarkan dana APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) yang begitu besar untuk mensubsidi terutama BBM (bahan bakar minyak) yang harus ditanggung setiap tahunnya. Oleh karena itulah, pemerintah bersama DPR telah bersepakat untuk menghapuskan subsidi BBM secara bertahap seperti tertuang dalam UU No.25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil8.

Ada hal lain yang menjadi dasar diberlakukannya konversi tersebut yaitu cadangan minyak bumi di Indonesia sekarang sudah semakin menipis. Sejak tahun 2003, Indonesia sebenarnya sudah menjadi negara net importer9 bahan bakar minyak dan juga sebagai negara penghasil minyak sendiri. Tetapi Indonesia tidak bisa mengolah dengan baik dan juga tidak bisa menjaga sumber daya alam yang terbatas tersebut, sehingga menyebabkan minyak bumi yang ada di Indonesia semakin menipis. Akan tetapi biar pun cadangan minyak bumi yang mulai menipis pemerintah tetap mensubsidi.

Sementara dalam kenyataannya subsidi minyak tanah dalam dua tahun terakhir di tahun 2007-2008 masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam

8

.http://kolom.pacific.net.id/ind/eddy_satriya/artikel_eddy_satriya/menyoal_konversi_mi nyak_tanah_ke_gas.hmtl

9

Net importer adalah negara yang sudah tidak dapat menghasilkan lagi sebagai pengimport sumber daya alam seperti minyak bumi, akan tetapi dia sebagai penerima suplaian minyak bumi ke negara yang tidak menghasilkan dari negara penghasil minyak bumi atau sumber


(51)

managemen energi nasional. Kondisi ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran USD 50-60 per barel di tahun 2008. Oleh karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN (rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara).

Di lain pihak, potensi atau sumber daya alam gas diperut bumi Indonesia masih melimpah atau setidaknya jauh lebih besar jika dibandingkan cadangan minyak bumi yang ada. Selain itu, penggunaan gas elpiji sebagai bahan bakar relatif lebih bersih dan polusinya pun lebih ringan jika di bandingkan bahan bakar minyak tanah. Untuk itu pemerintah dalam hal ini Wakil Presiden Indonesia Bapak Jusuf Kalla membuat terobosan yang sebenarnya dapat dikatakan tidak baru lagi karena sebagian masyarakat sudah ada yang menggunakannya yaitu menggunakan kompor gas. Akan tetapi, sebagian masyarakat yang lainnya ada juga yang belum mengetahui dan mengerti cara menggunakannya.

Oleh sebab itu, tujuan kebijakan dari konversi minyak tanah ke gas sangat jelas bahwa pemerintah melakukan hal tersebut untuk menghemat dan mengurangi pengeluaran belanja negara, agar dapat memperbaharui sumber daya alam seperti minyak yang sudah mulai menipis dan sekaligus untuk mengurangi tingkat polusi yang ada di Indonesia. Tujuan dari kebijakan tersebut sebenarnya baik karena dapat menghemat belanja subsidi BBM di APBN kira-kira sekitar Rp.30 triliun, seperti yang dikatakan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (2004-2009) dalam wawancara yang dilakukan salah satu stasiun televisi Indonesia. Oleh


(52)

karena itu, jika hal ini berhasil maka untuk tahun yang akan mendatang beban subsidi pemerintah akan berkurang kira-kira mencapai Rp 23 triliun. Pemakaian minyak tanah akan dapat dikurangkan dan belanja negara tidak akan memberatkan negara Indonesia sendiri dalam mengeluarkan anggaran belanja negara.

3.2. Kriteria dan Sasaran Masyarakat Penerima Kompor dan Tabung Gas Dalam program konversi minyak tanah ke gas elpiji, maka yang menjadi sasaran program atau pun target dari program ini adalah masyarakat Indonesia sendiri. Program konversi ini diterapkan kepada masyarakat, selain untuk menghematnya sumber daya alam yang mulai menipis juga penghematan biaya anggaran belanja negara. Program ini juga untuk memajukan masyarakatnya dalam bidang teknologi yang lebih canggih.

Dengan dijalankannya program tersebut maka pemerintah melakukan penghentian penyaluran minyak tanah bersubsidi kepada wilayah yang sudah ditentukan oleh pemerintah terlebih dahulu. Wilayah yang menjadi sasaran untuk dilakukannya program konversi minyak tanah ke gas pertama kali adalah seluruh wilayah Jakarta termasuk wilayah Bekasi. Sedangkan, wilayah yang belum dan masyarakatnya masih membutuhkan minyak tanah maka disediakan dengan harga non-subsidi10. Wilayah Bekasi sendiri terbagi menjadi 4 (empat) bagian yaitu ; barat, timur, selatan, utara dan yang menjadi tempat penelitian adalah di Daerah Bekasi Barat Kelurahan Bintara. Kelurahan Bintara sendiri, mayoritas etnis yang

10

Maksud dari harga non-subsidi diatas dimana harga minyak tanah yang biasanya murah dan terjangkau untuk dibeli menjadi tinggi harga penjualannya. Hal ini disebabkan, karena pemerintah tidak memberikan lagi anggaran belanja untuk minyak tanah sehingga harga untuk di


(53)

tinggal di daerah tersebut adalah etnis Betawi. Secara umum ekonomi masyarakat Betawi yang tinggal di daerah Bintara tergolong menengah ke bawah, sehingga daerah tersebut merupakan salah satu daerah yang cocok sebagai sasaran program konversi

Kriteria masyarakat yang menjadi sasaran program adalah masyarakat yang perekonomiannya rendah atau yang dianggap tidak mampu untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Kriteria di atas merupakan tujuan pertama dari pemerintah dan pertamina karena masyarakat bawah paling banyak yang mengkonsumsi minyak tanah, maka yang menjadi sasaran pertama pemerintah dan pertamina adalah masyarakat yang kurang mampu dalam material. Selain itu yang diutamakan adalah masyarakat yang belum menggunakan kompor gas sebelumnya. Sementara dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang menerima bantuan melalui konversi akan tetapi perekonomiannya mencukupi. Bahkan mereka pun mempunyai kompor gas tersebut, seperti yang diungkapkan Bapak Warsainin, salah satu masyarakat Betawi yang ada di Bintara yang mengatakan sebagai berikut ;

“Saya herannya, kok warga yang mampu juga dapat paket gas dan kompor 3 (tiga) kg ini. Padahal di rumah mereka sudah menggunakan kompor gas sebelumnya," (Wawancara 10 Januari 2009).

Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa terjadi kejanggalan dan ketidakjelasan siapa sebenarnya yang berhak mendapatkan dan menjadi sasaran dari pemerintah sendiri. Hal di atas dapat terjadi karena beberapa faktor yang ditemui di wilayah penelitian atau di Bintara, yaitu:


(54)

 Faktor pendataan tidak cermatnya, hal ini disebabkan karena dalam proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah banyak data yang tidak sesuai dengan jumlah warga yang berhak untuk mendapatkan kompor gas.

 Faktor nepotisme, dimana warga yang memiliki hubungan keluarga dengan petugas walaupun tidak terdata namun mereka mendapatkan kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg tersebut. Meskipun keluarga yang mendapatkan kompor dan tabung gas tersebut tergolong mampu dan juga sudah memiliki kompor dan gas tersebut.

Dengan demikian dalam kenyataannya pembagian ini tidak sesuai sasaran karena bisa jadi hanya menggunakan data yang diambil dari kelurahan tanpa melakukan survey ulang, sehingga data yang ada langsung dipergunakan untuk menyalurkan tabung gas dan kompor gas gratis. Oleh karena itu, pemerintah harus bijak dalam melihat masyarakat dan menetapkan kriterianya seperti apa yang patut mendapatkan kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg. Hal ini dikarenakan semakin bertambah banyaknya masyakarat Indonesia yang di bawah garis kemiskinan.

Untuk itu perlu dibentuk sebuah tim terpadu yang cermat dalam menentukan lapisan masyarakat yang akan menjadi sasaran program konversi tersebut. Hal ini dibuat mengingat tingkat kesulitan dalam menentukan sasaran penerima kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg tersebut dapat dilihat pada kota-kota besar seperti Jakarta, Bekasi dan lokasi yang menjadi sasaran program konversi yang masyarakatnya heterogenitas status sosialnya. Hal tersebut juga dilakukan guna mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya permasalahan baru


(55)

banyak penerima kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg yang tidak tepat sasaran, seperti yang kita lihat di Bintara masih ada masyarakatnya yang meneriman kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg tersebut akan tetapi masyarakat tersebut tergolong masyarakat mampu atau dapat dikatakan masyarakat dengan ekonomi menengah keatas.

3.3. Proses Pendistribusian

Setelah pemerintah mencanangkan program konversi minyak tanah ke gas elpiji tersebut dan menentukan siapa yang menjadi sasaran penerima program tersebut maka, pemerintah melanjutkan pada proses pendistribusian kompor dan tabung gas kepada masyarakat seperti yang dilakukan di Bintara dan wilayah-wilayah lainnya sebagai penerima program konversi tersebut. Setelah semua program yang telah diterima masyarakat berjalan dengan lancar maka pertamina akan terus memperluas wilayah cakupan penyebaran distribusi kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg gratis ke seluruh propinsi. Untuk itu pemerintah harus menyiapkan rencana untuk memperbanyak kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg untuk masyarakat. Hal tersebut dilakukan agar dalam proses pendistribusian kepada masyarakat pemerintah tidak mendapatkan kesulitan dalam pembagian kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg tersebut.

Adapun proses pendistribusian yang sudah ditentukan pemerintah dan pihak pertamin secara garis besar adalah sebagai berikut :


(56)

Bagan 2.

Proses Pembagian Paket Kompor Gas dan Tabung Elpiji 3 (tiga) kg

Bagan di atas menjelaskan bahwa pihak pertamina akan menentukan daerah yang akan dikonversi, berdasarkan kesiapan infrastruktur (sarana dan prasarananya). Setelah pertamina menentukan daerah yang akan dikonversi selanjutnya pertamina berkoordinasi dengan Pemda (pemerintah daerah) setempat mengenai pelaksanaannya dan melakukan sosialisasi dengan agen dan pangkalan minyak tanah di daerah yang akan dikonversi. Jika Agen minyak tanah sendiri ingin menjadi agen elpiji, maka harus mengajukan permohonan menjadi agen elpiji 3 (tiga) kg ke pertamina dan harus dilengkapi administrasi dan daftar pangkalannya yang akan menjadi pangkalan elpiji 3 (tiga) kg.

Setelah semua proses pendistribusian dari pertamina ke agen-agen elpiji telah siap, maka langkah yang akan diambil selanjutnya adalah peran konsultan11 dalam memberikan jadwal pelaksanaan kapan dibagikan kompor dan tabung gas elpiji 3 (tiga) kg dalam bentuk pencacahan. Setelah adanya jadwal pembagian


(57)

maka penyaluran kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg akan disalurkan ke tempat-tempat yang telah ditentukan oleh pihak pertamina.

Pihak pertaminalah yang berhak memberikan persetujuan pengangkatan yang dapat menjadi agen elpiji 3 (tiga) kg untuk sementara waktu dan menyetujui jadwal yang telah di buat konsultan dalam penyaluran kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg kepada masyarakat. Akan tetapi apabila para agen sampai dengan H+10 setelah distribusi belum mengajukan permohonan menjadi agen elpiji, maka yang menjadi agen tersebut tidak akan disetujui lagi menjadi agen elpiji. Dalam proses pendistribusiannya kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg ke masyarakat, pihak pertamina tidak memungut biaya.

Hal di atas merupakan proses distribusi yang telah dibuat oleh pihak pertamina untuk masyarakat yang disalurkan melalui agen. Dengan melalui agen yang telah dipilih pihak pertamina ini maka masyarakat dengan mudah mendapatkan kompor dan tabung gas tersebut, Akan tetapi hal yang terjadi adalah masih banyak masyarakat yang belum dapat atau pun tidak mendapatkan kompor dan tabung gas tersebut.

Untuk itu dalam proses pendistribusian kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg untuk masyarakat, pertamina dibantu oleh lembaga independen yang melakukan pencacahan pada masyarakat yang berhak secara gratis. Hal itu dilakukan supaya dapat dilihat masyarakat yang bagaimana yang harus benar-benar mendapatkan kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg gratis tersebut. Dengan demikian proses pendistribusian yang dilakukan kepada masyarakat terbagi secara merata.


(58)

Demikian halnya proses pendistribusian yang dijalankan di daerah Bintara juga berjalan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan, dimana masyarakat yang telah didata oleh pihak pemerintah setempat sebagai penerima kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg terlebih dahulu dikumpulkan di Kantor Rw guna mendapatkan penyuluhan dan sosialisasi pihak pertamina mengenai program tersebut. Penyuluhan dan sosialisasi yang dilakukan oleh pihak pertamina berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan cara penggunaan dan keuntungan serta efisiensi yang di dapatkan dengan menggunakan kompor gas.

Setelah proses penyuluhan dan sosialisasi berlangsung maka proses selanjutnya adalah pendistribusian kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg yang dibawa dari pertamina kepihak kelurahan dibawa menggunakan mobil bak terbuka, kemudian pendistribusian dilanjutkan kepihak Rw. Dalam proses pembawaan kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg menuju tempat tujuan dibantu oleh 4 (empat) orang dari pihak pertamina sendiri. Ketika kompor dan tabung gas elpiji 3 (tiga) kg telah diserah kepihak Rw langkah selanjutnya pihak Rw mengumumkan kepada warga yang telah terdata sebelumnya, bahwa warga sudah dapat mengambil kompor dan tabung gas elpiji 3 (tiga) kg di kantor Rw dengan syarat warga harus membawa KK (kartu keluarga) beserta KTP (kartu tanda penduduk) daerah setempat. Dalam pembagian kompor dan tabung gas elpiji 3 (tiga) kg warga dikenakan biaya sebesar Rp.10.000 sebagai biaya transportasi.

Pada dasarnya proses pendistribusian berjalan sesuai dengan yang ditetapkan oleh pihak pertamina dan pemerintah. Hanya saja dalam kenyataan di


(59)

lapangan, ada hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan pertamina dan pemerintah bahwa masyarakat yang mendapatkan kompor dan tabung gas 3 kg gratis tersebut tidak akan dipungut biaya. Namun kenyataan yang di dapat di lapangan bahwa masyarakat yang menerima kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg tersebut justru dipungut biaya.

Gambar 3.

Proses Pendistribusian yang warganya mengeluh tentang bayaran untuk mengambil gas.

Banyak masyarakat yang tidak mengerti untuk apa biaya yang dikenakan tersebut. Dalam hal ini, masyarakat yang ada di Bintara juga dikenakan biaya sebesar Rp. 10.000. Ada yang mengatakan mereka tidak tahu untuk apa uang tersebut. Ada dari mereka pun tidak memperdulikan hal tersebut, sebab yang


(60)

terpenting mereka mendapatkan kompor dan tabung gas 3 (tiga) kg tersebut dengan harga murah. Meskipun mereka tahu bahwa seharusnya kompor dan tabung gas tersebut gratis diberikan kepada mereka. Hal ini terlihat melalui wawancara kepada seorang penerima kompor dan tabung gas elpiji tersebut, yaitu Ibu Saidah yang mengatakan bahwa ;

“Waktu saya diberi kompor dan tabung gasnya memang saya di pungut biaya Rp10.000, tapi saya tidak tahu untuk apa uang tersebut yang saya tahu uang tersebut katanya untuk uang transportasi untuk membawa kompor dan tabung gas tersebut” (Wawancara 10 Januari 2009).

Dari wawancara yang dilakukan oleh peneliti terlihat jelas bahwa masyarakat yang menerima kompor dan tabung gas elpiji dipungut biaya sebesar Rp10.000 dengan alasan untuk biaya transpotasi angkut kompor dan tabung tersebut. Seharusnya masyarakat tidak sedikit pun membayar atau dipungut biaya apa pun karena, pemerintah sendiri sudah mengatakan bahwa kompor dan tabung gas tersebut gratis dan tidak dipungut biaya apa pun sebab program ini adalah untuk membantu orang yang tidak mampu.

Biar pun dalam prakteknya di lapangan masyarakat dikenakan biaya, seperti halnya pada masyarakat yang ada di Bintara akan tetapi mereka tetap menerima. Meskipun sebagian masyarakat yang ada di Bintara tidak menerima kebijakan pemerintah tentang program konversi minyak tanah ke gas elpiji tersebut. Seperti yang terjadi pada Bapak Warsainin yang sebenarnya dia tidak setuju dengan program tersebut, akan tetapi ia menerima dan tetap membayar walaupun dalam kenyataan yang sebenarnya ia tidak menyetujuinya. Hal ini dapat dilihat dalam wawancara yang telah dilakukan sebagai berikut :


(1)

yang tidak berubah adalah struktur sosial mereka dimana setelah adanya konversi minyak tanah ke gas elpiji ini justru semakin mempertegas tentang adanya tingkatkan yang ada dalam struktur sosial pada masyarakat Betawi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa respon budaya masyarakat atas konversi minyak tanah ke gas elpiji pada masyarakat Betawi khususnya yang ada di Kelurahan Bintara dapat dikatakan cukup baik dan dapat diterima oleh masyarakat.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Ghalia Indonesia; Ciawi-Bogor.

Bungin, Burhan H.M. 2007. Penelitian Kualitatif. PT. Kencana; Jakarta.

Fatchurochman, Much. 2008. Konversi ke Gas Elpiji Sukses Pasokan

Minyak Tanah Dikurangi.Jum'at, 17 Okt 2008, 07:45

wib.Yogyakarta. www.jurnalnasional.com

Ida. 2007. Konvensi Minyak Tanah ke Elpiji: Lihat dulu perekonomian

masyarakat bawah. hot topic Senin, 27 Augustus 2007, 11:47wib.

http://cybernews.cbn.net.id.

Koentjaraningrat, 1996. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. PT.

Gramedia; Jakarta.

---, 1990. Sejarah Teori Antropologi II. UI-Press; Jakarta.

Maran, Rafael Raga 2000. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspektif

Umum Budaya Dasar. PT. Rineka Cipta; Jakarta.

Marzali, Amri 2005. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Kencana;

Jakarta.

Rogers, Everett M dan F Floyd, Shoemaker.1981. Memasyarakatkan

Ide-Ide Baru, Usaha Nasional : Surabaya


(3)

Suharto. 2007. Kliping Berita > Sebaiknya Ditinjau Ulang ; Program

Konversi Minyak Tanah ke Gas Terburu-buru,

http://www.jawapos.co.id.

Syani, Abdul. 2002. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara;

Jakarta

Sumber-sumber lain:

(http://www.indomedia.com/bpost/112006/10/ekbis/ekbis7.htm).

(http://www.media-indonesia.com/berita.asp?id=141801)

http://www.jabar.go.id/public/0/berita_detail.htm?id=79652

www.okezone.com/index.php?option=com

http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/news/artikel.php?aid=20571

http://id.wikipedia.org/wiki/Inovasi, Update terakhir: 11:27 wib, Rabu, 3

dec 2008

Acara “Wanted” yang ditayangkan Anteve pada hari Senin 23 April

2007

http://3gplus.wordpress.com/2008/04/09/klasifikasi-masyarakat-betawi/

tanggal 23 Maret 2008

http://www.pertamina.com/konversi/program.php

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 1994. Halaman 833.

Penerbit; Balai Pustaka.Jakarta

………, 1994. Halaman 1172. Penerbit; Balai

Pustaka.Jakarta.


(4)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Warsainin Umur : 37 tahun Pekerjaan : Tukang Ojek Alamat : Bintara IV Rt.03

2. Nama : Saidah Komariah Umur : 32 Tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga Alamat : Bintara 6 Rt.04

3. Nama : Hj. Rohini Umur : 69 Tahun

Pekerjaan : Ibu rumah Tangga Alamat : Bintara 6 Rt.04

4. Nama : Cici Umur : 23 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga Alamat : Bintara 6 Rt.04

5. Nama : Tutiah Umur : 32 Tahun

Pekerjaan : Pembantu rumah tangga Alamat : Bintara 6 Rt.03

6. Nama : Nenek Saini Umur : 73 Tahun


(5)

7. Nama : Perni Umur : 38 Tahun

Pekerjaan : Pembantu rumah tangga (tukang cuci) Alamat : Bintara 6 Rt.04

8. Nama : Sriyati Umur : 34 Tahun

Pekerjaan : Pembantu rumah tangga (tukang cuci) Alamat : Bintara 6 Rt.05

9. Nama : Zuki sulaiman Umur : 66 Tahun Pekerjaan : Tukang ojek Alamat : Bintara 6 Rt.02

10.Nama : Rohima Umur : 43 Tahun Pekerjaan : Buruh PT Alamat : Bintara 6 Rt.05

11.Nama : Pak Rhobi Umur : 60 Tahun

Pekerjaan : Pedagang Ayam Alamat : Bintara 6 Rt.04

12.Nama : Pasuluy Subur Umur : 47 Tahun

Pekerjaan : Sekertaris Lurah Alamat : Jl. Alexindo


(6)

13.Nama : Apek Umur : 37 Tahun Pekerjaan : Pegawai Lurah Alamat : Kranji Baru

14.Nama : Pak Eko Umur : 50 Tahun Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Bintara 6 Rt.04

15.Nama : Ibu Roida Umur : 43 Tahun Pekerjaan : Pedagang Alamat : Bintara 6 Rt.02

16.Nama : Rohaya Komariah Umur : 30 Tahun

Pekerjaan : Guru Pengajian Alamat : Bintara 6 Rt.02