III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1. Teori Produksi
Produksi merupakan kegiatan untuk menghasilkan barang atau jasa. Barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi disebut sebagai input dan
produk yang dihasilkan disebut sebagai output. Input dan output merupakan suatu gabungan untuk menghasilkan keuntungan dari setiap produksi yang dijalankan.
Teori produksi dilakukan untuk melihat adanya hubungan antara kedua input dan output. Hubungan antara input dan output disebut sebagai fungsi produksi. Secara
umum fungsi produksi menunjukkan bahwa jumlah barang produksi tergantung dari jumlah faktor produksi yang digunakan. Menurut Hernanto 1991 faktor
produksi terdiri dari tanah, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Ketiga faktor produksi kecuali pengelolaan merupakan syarat yang penting dalam dalam suatu
proses produksi, proses menghasilkan produk yang diinginkan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal kepemilikan dan penguasaan.
Tanah merupakan faktor produksi yang penting karena merupakan tempat berlangsungnya suatu usaha. Faktor produksi ini terdiri dari faktor alam lainnya
seperti udara, air, sinar matahari, kimia tanah, temperatur, dan lainnya. Semua faktor produksi ini akan menentukan keputusan pada hasil produksi yang
diharapkan. Tenaga kerja merupakan faktor produksi yang kedua dalam proses produksi. Jumlah tenaga kerja dan curahan waktu yang diberikan pada suatu
proses produksi akan mempengaruhi output produksi yang dihasilkan. Dalam pengukuran produksi potensi tenaga kerja, biasanya dilakukan konversi tenaga
kerja yaitu menyetarakan jenis-jenis penggunaan tenaga kerja ke dalam tenaga kerja pria. Penggunaaan tenaga kerja dalam produksi sifatnya tidak tetap karena
harus disesuaikan dengan tahapan proses produksi.
Modal merupakan hasil gabungan dari faktor produksi lahan dan tenaga kerja. Modal yang tinggi diantara faktor produksi yang lain yaitu modal
operasional. Modal operasional yang dimaksudkan adalah modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi dan
tenaga kerja, bahkan untuk pembiayaan pengolahan. Menurut sifatnya modal dibedakan menjadi dua yaitu: 1 modal tetap yaitu modal yang tidak habis dalam
satu proses produksi seperti lahan, peralatan pertanian, bangunan, dan lainnya, 2 modal lancar yaitu modal yang habis dalam satu proses produksi seperti bibit,
pupuk, obat-obatan, tenaga kerja. 3.1.2.
Konsep Usahatani
Usahatani merupakan setiap organisasi dari alam, tenaga kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Pelaksanaan organisasi itu
sendiri diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang-orang. Dari batasan definisi tersebut dapat diketahui bahwa usahatani terdiri atas manusia petani
beserta keluarganya, tanah beserta fasilitas yang ada diatasnya seperti bangunan- bangunan atau saluran air serta tanaman ataupun hewan ternak Soeharjo dan
Patong, 1973.
Menurut Soekartawi 1986 menyatakan bahwa ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dana memadukan sumber
daya yang ada seperti lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengelolaan
manajemen yang terbatas ketersediaanya untuk mencapai tujuannya. Sedangkan Suratiyah 2009 mendefinisikan usahatani sebagai ilmu yang mempelajari
bagaimana seorang mengusahakan serta mengoordinir faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga dapat memberikan
manfaat sebaik-baiknya. Pengertian lain bahwa ilmu usahatani merupakan ilmu yang didalamnya mempelajari bagaimana seseorang dapat mengalokasikan
sumberdaya yang dimilkinya secara efektif dan efisien agar mencapai tujuan dan memperoleh keuntungan yang tinggi.
Kegiatan usahatani dapat berjalan jika didalamnya terdapat manajemen yang baik dari adanya peran petani sehingga petani dapat dikatakan sebagai
manajer. Petani dengan kreatifitas yang tinggi akan lebih mampu mengelola usahataninya dengan lebih baik. Hasil akhir yang dicapai dari adanya pengelolaan
yang baik ini adalah jumlah produksi yang meningkat dan keberhasilan usahatani. Sebagai manajer untuk usahataninya sendiri, petani harus mampu mengatasi
permasalahan dan mengambil keputusan dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Dalam kegiatannya
usahatani dibedakan
menjadi dua
yaitu memaksimumkan
keuntungan dan
meminimumkan biaya.
Konsep memaksimumkan keuntungan adalah mengalokasikan sumber daya dengan
jumlah tertentu untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, sedangkan konsep meminimumkan biaya yaitu dengan menekan biaya produksi sekecil-
kecilnya untuk mencapai tingkat produksi tertentu Soekartawi, 1986. 3.1.3.
Penerimaan Usahatani
Penerimaan tunai usahatani dapat didefinisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani Soekartawi, 1986. Pinjaman dalam
usahatani tidak termasuk ke dalam penerimaan tunai begitu pula dengan bunga pinjaman dan jumlah pokok pinjaman. Penerimaan tunai usahatani yang didapat
akan mendorong petani untuk dapat mengalokasikannya dalam berbagai kegunaan atau keperluan petani seperti untuk biaya produksi berikutnya, tabungan, dan
pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani.
Bentuk penerimaan tunai usahatani dapat menggambarkan tingkat kemajuan ekonomi usahatani dalam spesialisasi dan pembagian kerja. Besarnya
proporsi penerimaan tunai dari total penerimaan termasuk natura dapat digunakan sebagai perbandingan keberhasilan petani satu terhadap petani yang lain
Hernanto, 1991. 3.1.4.
Pengeluaran Usahatani
Pengeluaran usahatani secara umum meliputi pengeluaran tunai dan tidak tunai atau biaya diperhitungkan. Selain kedua jenis pengeluaran diatas, terdapat
pula pengeluaran usahatani total yang terdiri dari biaya tetap fixed cost dan biaya tidak tetap variable cost. Perhitungan kedua biaya tersebut harus dipisahkan
karena akan berkaitan dengan kegiatan produksi dimana kedua biaya tersebut digunakan untuk alokasi faktor produksi yang berbeda. Disamping itu besarnya
jumlah biaya dan frekuensi pengeluarannya juga berbeda dimana biaya tetap umumnya sudah tertentu baik jumlah dan jangka waktu pengeluaran, sementara
biaya variabel tidak pasti dan sering berubah.
Pengeluaran tunai atau biaya tunai merupakan sejumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani baik secara tunai
maupun kredit, sedangkan pengeluaran tidak tunai atau biaya diperhitungkan adalah pengeluaran berupa nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang
dibayar dengan benda, seperti halnya jika usahatani menggunakan mesin-mesin, maka nilai penyusutan dari mesin tersebut harus dimasukkan ke dalam biaya
pengeluaran tidak tunai dan digunakan untuk menghitung pendapatan kerja petani jika bunga modal dan nilai tenaga kerja keluarga diperhitungkan.
Adapun pengeluaran tidak tetap variable cost dapat didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh, sedangkan
pengeluaran tetap fixed cost didefinisikan sebagai pengeluaran atau biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan meskipun produksi yang diperoleh
jumlahnya sedikit, sehingga biaya ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh. Sedangkan pengeluaran total usahatani dapat
didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi.
3.1.5.
Pendapatan Usahatani
Kegiatan usahatani sebagai satu kegiatan untuk memperoleh produksi di lahan pertanian, akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang
diperoleh. Selisih keduanya merupakan pendapatan dari kegiatan usahatani. Petani dalam kegiatan ini bertindak sebagai pengelola, pekerja, sekaligus penanam
modal dalam usahanya, sehingga dapat digambarkan balas jasa dari kerjasama faktor-faktor produksi Soeharjo dan Patong, 1973.
Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Terdapat dua tujuan utama dari analisis pendapatan yaitu
1 menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha, 2 menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Bagi petani analisis
pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahataninya pada saat ini berhasil atau tidak Soeharjo dan Patong, 1973. Berdasarkan analisis
pendapatan
usahatani, petani
akan terdorong
untuk mengalokasikan
pendapatannya untuk berbagai pemenuhan kebutuhan, seperti biaya produksi periode berikutnya, tabungan, serta pengeluaran lain untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga petani.
Menurut Soeharjo dan Patong 1973, suatu kegiatan usahatani dikatakan sukses apabila situasi pendapatannya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi, termasuk biaya angkutan dan biaya administrasinya.
2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan termasuk pembayaran sewa tanah dan pembayaran dana depresiasi modal.
3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar tunai atau bentuk- bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah.
3.1.6.
Ukuran Pendapatan Usahatani
Kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai dapat diiukur oleh adanya pendapatan tunai usahatani. Pendapatan tunai usahatani merupakan selisih
antara penerimaan tunai usahatani dengan pengeluaran usahatani. Pendapatan usahatani juga meliputi pendapatan kotor dan pendapatan bersih. Pendapatan
kotor usahatani merupakan ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani, sedangkan pendapatan bersih merupakan selisih
antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani Soekartawi, 1986.
Pendapatan kotor usahatani dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan kotor tunai dan pendapatan kotor tidak tunai. Pendapatan kotor tunai didefinisikan
sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani yang tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani yang berbentuk benda dan
yang dikonsumsi. Sedangkan pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang, seperti hasil panen yang dikonsumsi atau pembayaran
yang dilakukan dalam bentuk benda.
Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan total pengeluaran usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani ini
mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani akibat dari penggunaan faktor- faktor produksi. Pendapatan bersih usahatani ini merupakan ukuran keuntungan
usahatani yang dapat digunakan untuk menilai dan membandingkan beberapa usahatani lainnya. Ukuran yang digunakan untuk menilai usahatani adalah dengan
penghasilan bersih usahatani yang merupakan pengurangan antara pendapatan bersih usahatani dengan bunga pinjaman, biaya yang diperhitungkan, dan
penyusutan. 3.1.7.
Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Kinerja Kelembagaan Kemitraan Usahatani Sayuran
Kinerja sebuah kelembagaan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang juga merupakan refleksi kinerja peran pelaku yang terlibat dalam kelembagaan
kemitraan tersebut. Secara umum faktor yang mempengaruhi efektifitas kelembagaan kemitraan dapat dikelompokkan menjadi empat faktor yaitu teknis,
ekonomis, sosial kelembagaan dan kebijakan Saptana, et al, 2006. Faktor Teknis
Dalam hubungannya dengan efektifitas kelembagaan kemitraan usaha, faktor teknis lebih terkait dengan upaya penjaminan akan kuantitas, kualitas, dan
kontinyuitas pasokan suatu komoditas. Aspek ini merupakan entry point bagi kelangsungan sebuah kerja diantara pelaku kemitraan. Beberapa butir penting
yang harus mendapat perhatian adalah: 1 kemampuan petani atau kelompok tani untuk memproduksi bibit bermutu sendiri atau jika belum mampu maka bibit atau
benih harus tersedia dengan harga terjangkau, 2 intensifikasi usahatani serta penerapan pola tanam yang optimal, 3 kemampuan penyediaan saprodi oleh
kelompok, 4 dibangun sistem panen dan pascapanen yang baik, serta 5 pembinaan secara lebih intensif dan profesional dari PPL, peneliti dan akademisi
menyangkut budidaya sampai pemasaran. Faktor Ekonomis
Dari aspek ekonomis, efektifitas kelembagaan kemitraan dipengaruhi oleh adanya sistem insentif yang menarik sehingga para pelaku yang terlibat dalam
kemitraan mendapat keuntungan dan akhirnya tetap bertahan dalam sebuah ikatan kelembagaan kemitraan. Faktor ekonomi yang dianggap cukup penting
diantaranya: 1 bantuan permodalan untuk simpan pinjam sehingga petani atau kelompok tani dapat memenuhi kebutuhan modal usahataninya. Bantuan modal
juga diperlukan agar kelompok tani dapat bersaing dengan tengkulak. 2
Pemasaran komoditas dilakukan secara bersama dengan harapan dapat memperkuat bargaining position petani atau kelompok tani. 3 Fasilitas sarana
pemasaran ditingkat kelompok, dan 4 kepastian pasar dan harga. Faktor Sosial Kelembagaan
Kelembagan yang tumbuh secara alamiah dapat dipandang efektif, karena kelembagaan ini tumbuh sesuai kebutuhan pelakunya, walaupun belum tentu
efisien bagi para pelakunya dilihat dari sisi manfaat yang diperolehnya. Aturan main dibuat secara konsensus oleh para pelaku yang berinteraksi, sehingga
ketaatan terhadap aturan main diantara pelakunya cukup kuat. Penyimpangan terhadap aturan main yang telah disepakati relatif jarang terjadi, walaupun ada
pelaku yang merasa kurang diuntungkan dalam interaksi yang sedang berlangsung. Kelembagaan yang tumbuh secara alamiah tumbuh secara perlahan-
lahan dalam waktu yang cukup lama, dan terjalin ikatan-ikatan dengan pola yang jelas antar pelaku. Proses sosial yang berlangsung dalam kelembagaan yang
terbentuk secara alamiah berlangsung secara informal, sifatnya personal dan sederhana, sesuai dengan budaya masyarakat pendukungnya. Hubungan personal
yang terjalin dalam kurun waktu yang lama menumbuhkan kepercayaan trust yang kuat antar pelaku yang berinteraksi.
Pelaku yang mendukung kelembagaan tersebut pada umumnya masuk menjadi bagian kelembagaan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Namun demikian ikatan yang terjalin antarpelaku tidak saja terjadi karena faktor ekonomi semata, tetapi juga diperkuat dengan ikatan-ikatan sosial seperti
kekerabatan yang saling bantu di luar kegiatan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk mencapai tujuan ekonomi didukung pula dengan modal sosial
dari pelaku yang menjadi alat pengikat antarpelaku.
Kelompok tani, Gapoktan, dan asosiasi petani merupakan suatu bentuk organisasi baru yang diintroduksikan dalam masyarakat dengan kelembagaan
yang sudah ada. Kehadiran pelaku baru harus jelas posisi dan peran yang akan dijalani. Apakah merupakan suatu posisi dan peran yang sama sekali baru atau
menggantikan posisi dan peran dari pelaku yang sudah ada. Pada umumnya petani ditempatkan pada posisi yang baru dengan peran yang baru pula yaitu sebagai
wadah untuk belajar bagi petani, sebagai media antara bagi petani dengan pihak luar perusahaan, instansi pemerintah. Selain itu, khusus dalam pemasaran hasil
pertanian, kelompok tani, Gapoktan, atau asosiasi petani sedang berupaya menggantikan setidaknya mengambil sebagian peran pedagang. Akan tetapi,
dalam menjalankan peran ini, kelompok tani, Gapoktan, asosiasi petani masih menghadapi beberapa kendala. Modal dan sarana pendukung yang masih terbatas,
menyebabkan kelompok tani, Gapoktan, atau asosiasi petani masih sulit bersaing dengan pedagang yang memiliki kekuatan modal lebih besar untuk menjalankan
peran baik dalam fungsi pemasaran dan terlebih lagi dalam berperan sebagai penyedia modal. Aspek sosial kelembagaan diperlukan untuk menciptakan
suasana yang kondusif serta memperkuat ikatan pihak yang turut serta dalam kelembagaan tersebut.
Faktor Kebijakan
Kebijakan terkait dengan posisi dan peran pemerintah dalam kelembagaan yang sudah ada maupun dalam merancang kelembagaan baru. Sebuah kebijakan
baik yang diberlakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah dapat mempengaruhi kondisi makro perekonomian suatu wilayah. Kebijakan yang tepat
dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi kinerja kelembagaan kemitraan usaha. Beberapa isu kebijakan yang diperlukan adalah: 1 kebijakan
pengembangan bibit berkualitas, 2 kebijakan subsidi pupuk masih perlu dilanjutkan, 3 bantuan kredit bunga lunak, 4 kebijakan pembangunan irigasi di
sentra hortikultura, dan 5 keberlanjutan program pengembangan agribisnis hortikultura.
Berdasarkan penjelasan mengenai keempat faktor yang mempengaruhi efektifitas kelembagaan kemitraan yaitu faktor teknis, ekonomis, sosial
kelembagaan dan kebijakan, dapat ditarik suatu kesimpulan yang apabila keempat faktor tersebut diaplikasikan oleh sebuah kelembagaan pertanian dalam
menjalankan
kegiatannya bersama
anggota ataupun
kelompok mitra,
menggambarkan sebuah kegiatan manajerial yang meliputi kegiatan perencanaan planing, organisasipengorganisasian organizing, pelaksanaan actuating, dan
pengontrolanpengendalian controlling.
Kegiatan perencanaan merupakan implementasi dari faktor teknis yang berkaitan dengan persiapan kegiatan usahatani sayuran, baik persiapan input-input
produksi, pola tanam yang diaplikasikan, serta peralatan pertanian yang dibutuhkan. Kegiatan pengorganisasian dilihat dari dua sudut pandang yaitu sudut
pandang petani sebagai pelaku usahatani, dan Gapoktan sebagai kelembagaan mitra. Dari sudut pandang petani, pengorganisasian lebih dimaksudkan bagaimana
petani bertindak sebagai manajer bagi kegiatan usahataninya dengan melakukan pengelolaan yang baik terhadap proses budidaya atau produksi mulai dari
perencanaan hingga pasca panen, serta penentuan dan pengambilan sikap terhadap proses-proses yang terjadi didalamnya. Sementara dari sudut pandang Gapoktan,
pengorganisasian lebih dimaksudkan bagaimana Gapoktan mengambil sikap dan mengelola kegiatan kemitraan secara terorganisir dengan penerapan win-win
principle dan saling menguntungkan, serta kegiatan administratif yang baik dan memudahkan bagi anggota mitra. Bagaimana peran Gapoktan dalam memberikan
arahan dan pembinaan terhadap kegiatan usahatani yang dilakukan anggota dengan teratur, sistematis, dan menyeluruh terhadap keseluruhan proses usahatani,
serta sikap Gapoktan dalam mengatasi masalah yang dihadapi anggota baik berkaitan dengan kegiatan usahatani maupun hubungan dengan lingkungan sekitar
lingkungan sosial kemasyarakatan. Kegiatan ini merupakan cerminan dari faktor sosial kelembagaan, faktor teknis, dan juga faktor kebijakan.
Pelaksanaan usahatani sepenuhnya dilaksanakan oleh masing-masing petani anggota dengan pilihan komoditi, teknis budidaya, penggunaan input-input
pertanian, peralatan, pola tanam, dan proses budidaya yang semuanya diserahkan kepada masing-masing petani. Akan tetapi, Gapoktan memiliki kewajiban dalam
menjamin kelancaran kegiatan usahatani serta hasil yang diharapkan jauh lebih maksimal dibandingkan dengan sebelum menjalankan kemitraan, sehingga
menguntungkan bagi kedua belah pihak. Output atau hasil produksi petani anggota akan menjadi input bagi kegiatan yang dilakukan oleh Gapoktan yaitu
penjualan sayuran ke lembaga pemasaran lebih lanjut. Apabila sayuran yang dihasilkan petani dari segi kuantitas dan kualitas rendah, maka Gapoktan juga
akan menerima hasil yang sama. Oleh karena itu, Gapoktan harus mampu menjamin kelancaran usahatani agar Gapoktan juga mendapatkan keuntungan
maksimal dengan memenuhi kebutuhan petani terhadap input-input pertanian, modal usahatani, serta jaminan pasar dan harga bagi sayuran hasil panen petani.
Sedangkan dari segi pengendalian atau pengontrolan yang berkaitan dengan faktor teknis adalah fungsi Gapoktan dalam memantau dan memastikan
berlangsungnnya kegiatan usahatani dan kemitraan agar sesuai dengan tujuan dan kesepakatan yang menjadi harapan bersama antara Gapoktan dengan petani. Dari
segi teknis, kontrol atau kendali meliputi arahan-arahan teknis budidaya seperti penggunaan jenis faktor-faktor produksi dan anjuran penggunaannya termasuk
penentuan jenis sayuran yang ditanam, pola tanam dan sistem budidaya yang diterapkan, penggunaan dan pemilihan teknologi terapan, arahan dalam penentuan
waktu tanam dan waktu panen, kontrol kualitas tanaman selama proses budidaya seperti pencegahan dan penanggulangan terhadap serangan hama dan penyakit,
serta kontrol pasca panen meliputi perlakuan pasca panen dan kontrol terhadap pasar dan harga sayuran. Apabila kondisi ini terpenuhi, dapat dipastikan kedua
belah pihak baik petani maupun Gapoktan sama-sama menerima keuntungan dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. Kontrol terhadap pasar dan harga ini
merupakan faktor ekonomi yang harus diperhatikan Gapoktan dalam pelaksanaan kemitraan karena merupakan determinan yang cukup penting bagi suksesnya
sebuah pelaksanaan kemitraan. 3.1.8.
Evaluasi Kelembagaan Kemitraan Usaha Hortikultura
Berdasarkan kajian di lapang dan diperkaya hasil studi Saptana, dkk. 2004 dengan mencermati rancangan dan pelaksanaan berbagai program
pembangunan pertanian, tercakup didalamnya pengembangan kelembagaan kemitraan usaha hortikultura di Kawasan Agribisnis Hortikultura Sumatera
KAHS, program agropolitan, pengembangan infrastruktur penanganan pasca panen dan pemasaran, diperoleh gambaran sebagai berikut:
1 Tujuan pembentukan kelembagaan di tingkat petani oleh pemerintah masih
terfokus pada upaya peningkatan produksi pertanian jangka pendek, dan tekanan kegiatan di lapangan adalah pada penerapan teknologi produksi.
2 Pembentukan kelembagaan lebih ditekankan untuk memperkuat ikatan-ikatan horizontal daripada memperkuat ikatan vertikal, seperti kelembagaan
kelompok tani, dan asosiasi pedagang. 3 Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan
memudahkan aparat pemerintah mengontrol pelaksanaan program di lapangan, dan bukan ditekankan untuk peningkatan peran aktif masyarakat
perdesaan.
4 Bentuk kelembagaan yang dikembangkan bersifat seragam dan terlalu bias pada pola kelembagaan usaha padi sawah.
5 Pembinaan untuk kelembagaan yang telah terbentuk cenderung individual, misalnya dengan memfokuskan pembinaan kepada kontak-kontak tani. Hal
ini sesuai dengan prinsip trickle down effect dalam penyebaran informasi yang dianut dalam kegiatan penyuluhan pertanian, sehingga menyebabkan
lemahnya konsolidasi kelembagaan di tingkat petani.
6 Pengembangan kelembagaan cenderung sangat menggunakan pendekatan struktural daripada pendekatan kultural. Dengan membangun struktur
diharapkan perilaku atau tindakan masyarakat akan mengikutinya.
7 Introduksi inovasi lebih menekankan pada pendekatan budaya material dibanding nonmaterial atau kelembagaan. Hal ini misalnya terlihat dalam
pengembangan infrastruktur pemasaran seperti STA, TA, pasar petani, cool storage, dan pasar lelang.
8 Introduksi kelembagaan baru umumnya telah merusak kelembagaan lokal yang telah ada sebelumnya. Kerusakan tersebut dirasakan pada semakin
lemahnya ikatan-ikatan horizontal antarpelaku sosial dan eknomi di pedesaan, seperti lemahnya konsolidasi kelembagaan kelompok tani. Salah satu
penyebabnya adalah karena kegiatan proyek pemerintah umumnya bersifat sektoral dan antar tahun bersifat diskontinu.
9 Pengembangan kelembagaan melalui jalur program pemerintah umumnya masih sarat dengan slogan dan jargon politik daripada upaya nyata
pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan sesuai kenyataan yang berkembang di lapangan.
10 Aspek teknologi masih dijadikan alat klasik perancang kebijakan pemerintah untuk memecahkan masalah marjinalisasi ekonomi masyarakat pedesaan dan
kurang memperhatikan aspek kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat petani.
11 Kelembagaan pendukung belum dikembangkan dengan baik, karena pelaksanaan pembangunan terjebak dalam pendekatan sektoral.
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional