Konteks Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki

pribadi yang dimiliki dan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan harga lahan pada saat itu. Unit pemukiman Transmigran UPT Simpang Nungki dibuka pada tahun 2005. Peserta program transmigrasi datang dalam tiga tahap yakni pada tahun 2005 sebanyak 150 kepala keluarga, tahun 2006 sebanyak 100 kepala keluarga, dan pada tahun 2007 sebanyak 75 kepala keluarga. Peserta transmigrasi mendapatkan fasilitas pertanian berupa saprodi, bibit, dan lain-lain untuk menunjang kegiatan pertaniannya. Oleh karena itu, jenis komoditas masyarakat pun hampir sama yakni padi, palawija, dan sayur-sayuran seperti benih-benih yang dibagikan oleh Dinas Transmigrasi. Kondisi tersebut mulai berubah setelah satu tahun penempatan, karena transmigran lokal mulai kembali ke daerah asal setelah jatah hidup tidak lagi diberikan oleh Dinas Transmigrasi. Transmigran lokal lebih memilih untuk tinggal di rumah sendiri karena sarana dan prasarana yang tersedia lebih memadai dibandingkan di Unit Pemukiman Transmigran UPT. Transmigran lain yang berasal dari luar Kalimantan Selatan juga mulai meninggalkan lokasi transmigrasi untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Beberapa transmigran memilih untuk pulang kembali ke daerah asalnya seperti Jawa dan Lombok. Hal ini sesuai dengan penuturan SRI 46 tahun di bawah ini. 8 “Masyarakat lokal tertarik mengikuti program transmigrasi karena mendapatkan jadup selama setahun. Setelah jadup habis, ya mereka kembali lagi ke rumah mereka. Transmigran asal Jawa dan Lombok juga banyak yang kembali ke daerah asal karena tidak tahan. Sebagian besar lahan ditinggalkan begitu saja. Ada juga yang masih sering ke sini cuma untuk melihat lahan dan rumahnya saja.”

5.1.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Tenurial System

Transmigran Simpang Nungki mendapatkan lahan dari program transmigrasi. Masing-masing kepala keluarga mendapatkan lahan seluas 1,5 hektar dengan rincian 0,5 hektar lahan pekarangan dan satu hektar lahan usaha. Kepemilikan lahan pada awal kedatangan transmigran masih sama, kecuali transmigran lokal yang telah memiliki lahan pribadi sebelum mengikuti program 8 Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 19 April 2011 transmigrasi. Transmigran berhak untuk menggarap lahan usaha dan menempati lahan pekarangan. Bukti kepemilikan tanah sertifikat akan diserahkan setelah lima tahun menempati dan menggarap lahan tersebut sesuai dengan ketentuan program transmigrasi. Hal tersebut berbeda dengan masyarakat lokal yang umumnya hanya memiliki Surat Keterangan Tanah SKT sebagai bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala padang. Program pembuatan sertifikat gratis oleh pemerintah daerah Kabupaten Barito Kuala sedang berlangsung, namun masyarakat Desa Simpang Nungki harus menunggu giliran. Masyarakat harus mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk pembuatan sertifikat tersebut. Pengajuan permohonan dilakukan oleh pemerintah desa terkait. Namun banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran tentang pentingnya sertifikat tanah. Sehingga pemerintah desa harus berusaha untuk memberikan pengertian kepada masyarakat. Seluruh rumah tangga yang ada di Desa Simpang Nungki khususnya transmigran memiliki lahan pertanian. Namun, pada masa ini telah terbentuk beberapa lapisan status sosial masyarakat. Hal tersebut dikarenakan transmigran juga menggarap lahan masyarakat lokal melalui sistem bagi hasil dan juga menjadi buruh pertanian untuk menambah penghasilan. Saat ini status sosial masyarakat terdiferensiasi dalam beberapa lapisan atau kategori yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan majemuk. Lapisan status tersebut adalah sebagai berikut: 1. petani pemilik, yakni petani yang menguasai lahan melalui pola pemilikan tetap; 2. pemilik+penggarap, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara mengusahakan lahan orang lain melalui sistem bagi hasil; 3. pemilik+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan melalui pemilikan tetap. Selain itu, petani ini juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan perkebunan besar swasta untuk menambah penghasilan; dan 4. pemilik+penggarap+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga sementara menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil. Petani yang hanya memiliki status tunggal sebagai petani pemilik umumnya memiliki mata pencaharian lain selain sebagai petani seperti pedagang, pegawai pemerintah, wiraswasta, dan sebagainya. Petani yang berstatus sebagai penggarap umumnya menggarap lahan yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang berada di luar kompleks lahan transmigran. Buruh tani adalah salah satu pilihan bagi para transmigran untuk menambah pendapatan rumah tangga. Masyarakat lebih tertarik untuk menjadi buruh tani karena resiko yang ditanggung lebih kecil dibandingkan dengan menjadi penggarap yang membutuhkan modal lebih besar. Pemindahan kepemilikan lahan transmigran dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun atau setidaknya sebelum sertifikat lahan turun adalah hal yang melanggar hukum. Proses transfer kepemilikan lahan pada masa awal penempatan masih sangat jarang terjadi. Harga tanah juga masih rendah. Harga tanah kapling bukan lahan transmigran tahun 2005 sekitar Rp 300.000,- sampai Rp 500.000,- per hektar. Sedangkan tanah transmigran yang telah bersertifikat sekitar Rp 1.500.000,- sampai Rp 2.000.000,- per kapling lahan usaha dua hektar. Pada masa ini transfer kepemilikan melalui ganti rugi banyak terjadi pada kasus tanah kapling yang dimiliki masyarakat lokal. Lahan kapling adalah lahan yang dibuka oleh masyarakat lokal, sebagian besar belum memiliki sertifikat dan hanya memiliki SKT Surat Keterangan Tanah. Lahan kapling terletak di luar kompleks pemukiman warga sekitar satu sampai tiga kilometer. Hal ini sebagaimana di jelaskan oleh SHT 45 tahun 9 . “Sebelum tahun 2007, proses jual beli banyak terjadi pada lahan kapling, karena harganya murah dan memiliki SKT. Harganya cuma 300-500 ribu rupiah. Kalau lahan transmigran kan masih belum bersertifikat dan dilarang untuk digantirugikan.” Sistem transfer kepemilikan lain yang ada di Unit Pemukiman Transmigran Simpang Nungki adalah pemindahan hak kepemilikan lahan kepada saudara atau anak seperti yang dibenarkan dalam ketentuan transmigrasi. Sistem 9 Bapak SHT adalah sekretaris Kecamatan Cerbon sekaligus wakil ketua Koperasi Desa Simpang Nungki. Hasil wawancara tanggal 3 Mei 2011. tersebut hampir sama dengan waris. Jika hal tersebut dilakukan sebelum sertifikat diserahkan kepada transmigran, maka proses pemindahan harus melalui tahapan yang ditentukan. Transmigran yang ingin memberikan haknya kepada anak atau saudara harus melapor dan mengajukan permohonan kepada dinas transmigrasi. Sistem transfer kepemilikan sebelum kurun waktu 10 tahun kepada orang lain tidak diperbolehkan. Jika transmigran pergi meninggalkan UPT tanpa izin dari kepala UPT dan melampaui batas waktu yang ditoleransi, maka haknya sebagai transmigran akan dicabut. Proses pemberian hak transmigran yang telah pergi kepada yang baru tidak dapat dilakukan secara langsung. Transmigran pengganti akan dipilih dari dinas transmigrasi daerah asal transmigran yang pergi. Transmigran pengganti harus melalui proses yang sama dengan transmigran sebelumnya, yakni melalui proses pendaftaran, seleksi, pelatihan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak dibenarkan jika seorang transmigran memberikan haknya kepada pendatang yang menggantikannya di lokasi UPT.

5.1.3 Sistem Kelembagaan Tenancy System

Masyarakat lokal Simpang Nungki memiliki luas kepemilikan lahan yang beragam. Biaya besar yang harus dikeluarkan untuk menggarap lahan membuat petani dengan kepemilikan lahan luas tidak menggarap semua lahannya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem pertanian masyarakat lokal Simpang Nungki yang masih bersifat subsisten untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Banyak lahan yang dibiarkan bera dan ditumbuhi rumput liar. Hal ini menjadi peluang bagi transmigran dan masyarakat berlahan sempit untuk menggarap lahan-lahan tersebut. Sistem kelembagaan yang dijalankan Desa Simpang Nungki adalah sistem bagi hasil. Aturan-aturan bagi hasil berlaku untuk sekali masa panen. Bagi hasil ini menggunakan pola aturan pemilik lahan akan mendapatkan bagian 1 blek kaleng gabah atau setara dengan 10 kilogram per borong luas lahan yang digarap. Aturan-aturan tambahan diberlakukan sesuai kesepakatan. Misalnya, jika pembersihan lahan dilakukan oleh pemilik maka penggarap akan memberikan sejumlah uang sebagai uang jasa. Besar uang yang diberikan sesuai dengan luasan lahan dan kesepakatan antara pemilik dengan penggarap. Ukuran lahan yang