Konsep Dinamika Struktur Agraria

“pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif Wiradi 1984. Hubungan-hubungan sosial agraria antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur. Hubungan pemanfaatan antara subjek-subjek agraria dengan sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi teknis atau lebih spesifik dimensi kerja. Hubungan antar subjek agraria menghasilkan aturan-aturan penguasaan dan pengusahaan lahan. Aturan-aturan tersebut berlaku secara turun menurun dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat.

2.1.5 Konsep Dinamika Struktur Agraria

Pengertian dinamika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi suatu pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu hubungannya dengan pola hidup manusia yang ditandai dengan momentum tertentu. Dinamika dalam kaitannya dengan struktur agraria adalah gerak perubahan struktur agraria masyarakat yang terdiri dari kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan lahan. Wiradi 2002 menyebutkan bahwa tranformasi struktur agraria yang berlangsung dalam suatu masyarakat berkaitan dengan hal-hal berkut: 1 dinamika internal masyarakat, 2 intervensi pemerintah melalui berbagai kebijakan, 3 intervensi pihak lain atau pengaruh eksternal, dan 4 warisan sejarah. Struktur agraria terkait dengan tingkat penguasaan, dan pemilikan lahan merupakan hal yang dinamis. Struktur agraria dalam masyarakat akan terus berubah seiring dengan pertambahan waktu dan fenomena sosial yang terjadi. Pada awal terbentuknya masyarakat, sebagian besar wilayah di Indonesia dikuasai secara kolektif terlebih untuk daerah luar Jawa, karena pada masa kolonial di Jawa seluruh wilayah adalah milik raja. Pola penguasaan kolektif membuat masyarakat memiliki akses yang sama terhadap lahan Fadjar 2009. Seiring dengan masuknya moda produksi modern, terjadi perubahan pola kepemilikan lahan dari yang bersifat kolektif menjadi perseorangan. Perubahan ini berakibat pada perubahan akses masyarakat terhadap lahan yang awalnya terbuka menjadi tertutup. Masyarakat dengan pola kepemilikan kolektif memiliki hak untuk menggarap lahan yang diatur oleh lembaga adat. Status kepemilikan lahan berada di tangan lembaga adat dan yang menjadi hak milik penggarap hanyalah tanaman yang tumbuh di atas tanah tersebut. Pola penguasaan perseorangan yang dikuatkan oleh kebijakan pemerintah tentang pengakuan pemilikan tanah melalui sertifikasi membuat masyarakat yang tidak memiliki sertifikat tidak dapat mengakses lahan. Pola “petani pemilik-buruh tani” menjadi pilihan masyarakat dalam menghadapi keadaan ini. Kepemilikan lahan yang relatif sempit membuat petani lebih rentan untuk mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain dengan cara menjualnya Indrizal 1997. Transfer kepemilikan melalui jual-beli merupakan hal yang wajar pada masyarakat dengan pola pemilikan perseorangan. Karena tanah memiliki nilai yang tinggi di mata masyarakat. Namun masyarakat yang pernah mengalami masa pemilikan kolektif memiliki kesulitan dalam menjalankan jual beli sebagai proses transfer kepemilikan. Karena tidak semua masyarakat memiliki cukup modal untuk membeli lahan. Masyarakat yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli lahan akan menjadi penggarap dengan sistem sewa dan bagi hasil ataupun menjadi buruh tani di lahan-lahan yang telah dimiliki secara perseorangan. Perubahan-perubahan pada pola penguasaan dan pemilikan tanah membuat pola struktur agraria menjadi terstratifikasi oleh banyak lapisan bahkan dalam beberapa kasus menunjukkan gejala polarisasi, seperti dijelaskan oleh Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A 2009 dalam penelitiannya di dua desa perkebunan di Banten. Gejala polarisasi terlihat dari timpangnya tingkat kepemilikan lahan pada masyarakat. Ketersediaan lahan yang semakin sempit membuat masyarakat perkebunan memiliki peran ganda dalam penguasaan lahan baik permanen maupun sementara. Proses masuknya moda produksi modern ke dalam sistem pertanian masyarakat memunculkan peran-peran baru dalam masyarakat. Peran-peran baru ini terkait dengan penyediaan alat-alatsarana produksi pertanian. Bertambahnya jenis lapisan masyarakat pada struktur agraris masyarakat menunjukkan diferensiasi sosial. Perubahan yang terjadi pada struktur agraria menyebabkan pergerakan pada pelaku didalamnya. Banyak pihak yang masuk ke dalam struktur yang ada, tetapi juga banyak pihak yang kemudian keluar dari struktur masyarakat karena akses terhadap lahan yang hilang. Penelitian Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A 2009 menyebutkan lapisan-lapisan yang terbentuk setelah adanya proses pembukaan dan pengembangan perkebunan menjadi semakin beragam yakni “petani pemilik”, “petani pemilik + penggarap”, “petani pemilik + buruh tani”, “petani penggarap”, “petani penggarap + buruh tani”, dan “buruh tani”.

2.2 Kerangka Pemikiran