Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Mencit (Mus musculus L) Jantan

(1)

PENGARUH AKTIFITAS FISIK MAKSIMAL

TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT DAN

HITUNG JENIS LEUKOSIT PADA

MENCIT (Mus musculus L) JANTAN

TESIS

Oleh

NOVITA SARI HARAHAP

067008009/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PENGARUH AKTIFITAS FISIK MAKSIMAL

TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT DAN

HITUNG JENIS LEUKOSIT PADA

MENCIT (Mus musculus L) JANTAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan

dalam Program Studi Ilmu Biomedik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVITA SARI HARAHAP

067008009/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

Judul Tesis : PENGARUH AKTIFITAS FISIK MAKSIMAL TERHADAP JUMLAH LEUKOSIT DAN HITUNG JENIS LEUKOSIT PADA MENCIT

(Mus musculus L) JANTAN Nama Mahasiswa : Novita Sari Harahap

Nomor Pokok : 067008009

Program Studi : Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Yasmeini Yazir) (Prof. dr. Azmi S. Kar. SpPD, KHOM) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 26 Agustus 2008

____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Yasmeini Yazir

Anggota : 1. Prof. dr. Azmi S. Kar. SpPD, KHOM

2. dr.Dedi Ardinata, M.Kes 3. Drs. Jumadin IP, M.Kes


(5)

(6)

ABSTRAK

Aktifitas Fisik Maksimal (AFM) dapat meningkatkan ambilan oksigen pada sel otot yang aktif, menimbulkan pembentukan radikal bebas yang pada akhirnya dapat menyebabkan peningkatan jumlah leukosit dan mempengaruhi persentase hitung jenis leukosit. Jumlah leukosit perifer dapat menjadi sumber informasi untuk diagnostik dan prognosa adanya gambaran kerusakan organ dan pemulihan setelah aktifitas fisik. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit dan hitung jenis sel leukosit.

Penelitian ini adalah eksperimental dengan rancangan pretest-posttest group

design. Subyek penelitian adalah mencit jantan Mus musculus L, strain Balpsy,

berumur kira-kira 2 – 4 bulan dengan berat badan antara 30 – 35 gram. Hewan coba diperoleh dari Badan Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan. Pada subyek diberikan aktifitas fisik maksimal berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam. Selanjutnya dilakukan uji normalitas distribusi data, kemudian dilanjutkan analisis data dengan menggunakan uji t berpasangan (jika distribusi data normal) atau Wilcoxon (bila distribusi data tidak normal).

Terjadi peningkatan jumlah leukosit sebelum dan setelah AFM (6338.10 ± 525.81–11542.86 ± 1084.70) secara signifikan (p = 0.000). Terjadi peningkatan hitung jenis leukosit sebelum dan setelah AFM, limfosit (37.95 ± 2.94 – 59.95 ± 4.50) secara signifikan (p = 0.000). Terjadi penurunan hitung jenis leukosit sebelum dan setelah AFM, neutrofil (57.19 ± 2.84 – 38.90 ± 4.34) secara signifikan (p = 0.000), eosinofil (1.52 ± 0.51 – 0.19 ± 0.4) secara signifikan (p = 0.000), monosit (3.19 ± 0.75 – 1.10 ± 0.44) secara signifikan (p = 0.000), sedangkan hitung jenis basofil tidak terjadi perubahan.

AFM dapat meningkatkan jumlah leukosit dan hitung jenis limfosit secara signifikan dan AFM dapat menurunkan hitung jenis neutrofil, eosinofil dan monosit secara signifikan, sedangkan hitung jenis basofil tidak ada perubahan.


(7)

ABSTRACT

The Maximal Physical Activity (MPA) could increase ovygen intake in the active

muscle cell, causing the formation of the free radical mhich is at high point could cause an increase in the number of leucocytes and influence the percentage of leucocytes count. The number of peripheral leucocytes could become the source of information for diagnostic and prognosis of organ damage and restoration after the physical activity. The aim of the research is of knowing the influence of the maximal physical activity on the number of leucocytes and specific count of the leucocytes cell.

This research is experimental with the pretest-posttest group design. The subject of the research were male mice Mus musculus L, strain Balpsy, aged approximately 2-4 months, weighing in between 30-35 gram. The animals were received from Badan Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV). First the subject were given the maximal physical activity in the form of swimming as strongly as possible until almost sank. Then, a test of normality on data distribution was done, continued by the analysis of the data using the t test in pair (if the distribution of data was normal) or Wilcoxon test (when the distribution of the data was abnormal).

The number of leucocytes before and after MPA (6338.10 ± 525.81–11542.86 ± 1084.70) increase significantly (p = 0.000). The increase also happened in specific count of leucocytes before and after MPA, lymphocytes (37.95 ± 2.94 – 59.95 ± 4.50) significantly (p = 0.000). A decline took place in specific count of the leucocytes

before and after MPA, neutrophyl (57.19 ± 2.84 – 38.90 ± 4.34) significantly (p = 0.000), eosinophyl (1.52 ± 0.51 – 0.19 ± 0.4) significantly (p = 0.000), monocyte

(3.19 ± 0.75 – 1.10 ± 0.44) significantly (p = 0.000), however, there was no change in the specific count of basophyl.

MPA could increase the number of leucocytes and specific count of the lymphocytes significantly, and MPA could lower specific count of neutrophly, eosinophyl and monocyte significantly, where as the specific count of basophyl did not show any difference.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, atas limpahan berkat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul “Pengaruh Aktifitas fisik maksimal terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit pada Mencit (Mus musculus) Jantan” sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan strata 2 pada Program Studi Biomedik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Proses penulisan Tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak, pada kesempatan ini ucapan terimakasih saya sampaikan kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, Msc, Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Yahwardiah Srg, PhD, Ketua Program Studi Biomedik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. dr. Yasmeini Yazir, selaku ketua komisi pembimbing yang senantiasa bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Prof. dr. Azmi S Kar Sp.PD. KHOM, anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan transfer ilmu, masukan serta dukungan yang diberikan untuk penyelesaian tesis ini.

6. dr. Dedi Ardinata, M..Kes, selaku dosen pembanding yang telah memberikan masukan mulai dari usulan penelitian hingga penyelesaian tesis ini.

7. Drs. Jumadin I.P. M.Kes, dosen pembanding yang juga banyak memberikan masukan untuk perbaikan tesis ini.


(9)

8. Seluruh staf dosen Program Studi Biomedik Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan pembelajaran dan selama penulis mengikuti pendidikan.

Kepada Ibunda dan Almarhum Ayahanda, ananda mengucapkan terima kasih tak

terhingga atas kasih sayang serta dukungannya. Kepada suamiku tercinta dr. Awaluddin Sibuea, terima kasih atas pengertian, perhatian dan dukungan

semangat, serta anak-anakku tersayang (Fanny, Rafli dan Akbar) yang selama dua tahun ini banyak waktu bersama yang terlewatkan, menjadi inspirasi untuk dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Kepada teman-teman Biomedik seangkatan 2006, terima kasih atas bantuan morilnya, kalian adalah teman-temanku yang terbaik.

Medan, September 2008 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Novita Sari Harahap

2. Tempat/Tanggal lahir : Medan, 18 September 1974

3. Agama : Islam

4. Status : Menikah

5. Alamat : Jl. Benteng Hilir Perumahan Banyu Indah

Blok C No 61 Medan

6. Telpon/HP : 77494758 / 081375770455

7. Pendidikan :

SD Negeri 060855 Medan Tahun 1981-1987

SMP Negeri 10 Medan Tahun 1987-1990

SMAK Negeri Medan Tahun 1990-1993

Sarjana (S1) Fakultas Kedokteran USU Tahun 1994-1998

Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran USU Tahun 1998-2000

Sekolah Pascasarjana, Program Biomedik, USU Tahun 2006-2008 8. Riwayat Pekerjaan :

Dokter PTT Puskesmas Sei Tualang Raso Tanjung Balai Tahun 2001-2004 Staf Pengajar Fakultas Ilmu Keolahragaan UNIMED Tahun 2004 - Sekarang


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Kerangka Teori ... 5

1.4 Tujuan Penelitian... 6

1.5 Hipotesis ... 7

1.6 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Aktifitas Fisik ... 8

2.2 Radikal Bebas dan Stres Oksidatif... 11

2.3 Leukosit ... 15

2.4 Hitung Jenis Leukosit ... 17

BAB III METODE PENELITIAN... 23

3.1 Jenis Penelitian ... 23

3.2 Lokasi dan Waktu... ... 23

3.3 Populasi Penelitian... 23

3.4 Variabel Penelitian ... 24


(12)

3.6 Definisi Operasional ... 24

3.7 Bahan ... 25

3.8 Alat ... 25

3.9 Pelaksanaan Penelitian... 26

3.10 Analisa Data ... 31

3.11 Jadwal Penelitian... 32

3.12 Kerangka Kerja... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

4.1 Hasil... 34

4.2 Pembahasan ... 50

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 59

5.1 Kesimpulan ... 59

5.2 Saran ... 59


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Penelitian Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap Jumlah Leukosit

dan Hitung Jenis Leukosit ... 4 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 32 3. Distribusi Jumlah Leukosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal ... 38 4. Hasil Uji t Berpasangan Rata-rata Jumlah Leukosit dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 39 5. Distribusi Hitung Jenis Neutrofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal .. 42 6. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Neutrofil dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 43 7. Distribusi Hitung Jenis Eosinofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal .. 44 8. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Eosinofil dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 45

9. Distribusi Hitung Jenis Basofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal ... 46 10. Distribusi Hitung Jenis Limfosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal .... 47 11. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Limfosit dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 48

12. Distribusi Hitung Jenis Monosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal ... 49 13. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Monosit dengan

Aktifitas Fisik Maksimal ... 50


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Peningkatan Jumlah

Leukosit... 6

2. Kerangka Konsep... 24

3. Kamar Hitung Improved Neubauer ... 29

4. Cara Membuat Sediaan Hapus ... 30

5. Kerangka Kerja... 33

6. Aktifitas Fisik Maksimal Renang Sekuat-kuatnya ... 35

7. Aktifitas Fisik Maksimal Renang Sekuat-kuatnya ... 35

8. Aktifitas Fisik Maksimal Renang Sekuat-kuatnya ... 36

9. Aktifitas Fisik Maksimal Renang Sekuat-kuatnya ... 36

10. Mencit Hampir Tenggelam ... 37

11. Mencit Hampir Tenggelam ... 37

12. Hapusan Darah Jenis Neutrofil ... 40

13. Hapusan Darah Jenis Eosinofil ... 40

14. Hapusan Darah Jenis Limfosit ... 41

15. Hapusan Darah Jenis Monosit ... 41

16. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Jumlah Leukosit ... 51

17. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Hitung Jenis Neutrofil .... 54

18. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Hitung Jenis Eosinofil .... 55

19. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Hitung Jenis Limfosit ... 57


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat Ethical Clearence ... 66 2. Hasil Laboratorium Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit... 67 3. Hasil Uji Statistik Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit... 69 4. Pernyataan Telah Melakukan Penelitian dari Laboratorium


(16)

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Aktifitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan harapan dapat memberikan nilai tambah berupa peningkatan kualitas, kesejahteraan dan martabat manusia. Aktifitas fisik dapat memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan seperti psikologis, sosial, ekonomi, budaya, politik dan fungsi biologis. Terhadap fungsi biologis Aktifitas fisik merupakan modulator dengan spektrum pengaruh yang luas dan dapat terjadi pada berbagai tingkat fungsi. Pengaruh aktifitas fisik terhadap fungsi biologis dapat berupa pengaruh positif yaitu memperbaiki maupun pengaruh negatif yaitu menghambat atau merusak. (Adam, 2002, Harjanto, 2005)

Manfaat aktifitas fisik bila dilakukan dalam keadaan sehat secara teratur dan menyenangkan, dengan intensitas ringan sampai sedang akan meningkatkan kesehatan dan kebugaran tubuh. Aktifitas aerobik yang demikian akan memperbaiki dan memperlambat proses penurunan fungsi organ tubuh, serta dapat meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi. Aktifitas fisik dengan intensitas maksimal dan melelahkan, dilaporkan justru dapat menyebabkan gangguan imunitas. Atlet yang berlatih dengan intensitas latihan yang maksimal dan melelahkan untuk menghadapi

suatu pertandingan, sering tidak dapat melanjutkan ke pertandingan berikutnya karena sakit atau cedera. (Hartanti et al., 1999)


(18)

Aktifitas fisik akan menyebabkan perubahan homoiostasis dalam tubuh yang akan berpengaruh terhadap sistem ketahanan tubuh imunologik. Batas toleransi perubahan homoiostasis dalam tubuh adalah sempit, (Sherwood,1996) oleh karena itu pemberian beban aktifitas fisik maksimal, baik selama latihan maupun saat pertandingan yang berat dapat menyebabkan gangguan terhadap sistem ketahanan tubuh imunologik yang mempengaruhi penampilan atlet, dan pada akhirnya menyebabkan

kegagalan atlet meraih prestasi puncak. (Rowbottom, 1998, Putra, 1999) Pada beberapa penelitian mengenai pemberian beban maksimal saat pelatihan fisik

atau kelelahan yang berat ditemukan adanya perubahan jumlah leukosit pada darah tepi, yang diduga menjadi penyebab meningkatnya kejadian infeksi saluran nafas, karena terjadi penekanan fungsi imunitas, sehingga terjadi penurunan penampilan atlet. (Castel, 1993, Ksnig, 2000) Jumlah leukosit perifer dapat menjadi sumber informasi untuk diagnostik dan prognosa, gambaran adanya kerusakan organ dan pemulihan setelah aktifitas fisik yang maksimal. (McCarthy DA et al, 1987, Ali, 2008)

Pada penelitian terdahulu, ditemukan bahwa 33% dari 140 orang pelari maraton menderita infeksi saluran nafas atas setelah melakukan pertandingan, sedangkan kejadian infeksi pada kontrol hanya 15%. (Mackinnon, 1998) Insiden infeksi saluran nafas pada pelari maraton ternyata meningkat 6 kali lipat setelah pertandingan. (Shephard, 1999, Simonson, 2004) Kelelahan akibat aktifitas fisik maksimal akan menyebabkan terjadinya perubahan komponen seluler dari imunitas yang dapat dilihat pada darah tepi. (Keast, 1996) Kemampuan fagosit dari NK sel juga


(19)

mengalami perubahan akibat pertandingan yang berat. Akibatnya akan terjadi suatu periode yang sangat peka terhadap infeksi. Beban maksimal juga menyebabkan

menurunnya produksi antibodi (Maree, 2000, Woods, 2000) dan penurunan fungsi

limfosit secara umum. (Keast, 1996)

Selanjutnya aktifitas fisik maksimal dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan tubuh, yang dikenal sebagai stres oksidatif. (Leeuwenburgh & Heinecke, 2001) Menurut Ji (1999), selama aktifitas fisik maksimal, konsumsi oksigen seluruh tubuh meningkat sampai 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen pada serabut otot diperkirakan meningkat 100 kali lipat. Peningkatan konsumsi oksigen ini berakibat meningkatnya produksi radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel. Stres oksidatif dapat berakibat terjadinya peningkatan jumlah leukosit melebihi 10.000 sel/µl. Peningkatan leukosit merupakan respon protektif terhadap stres seperti invasi mikroba, aktifitas yang berat, anestesi dan pembedahan. (Andrian, 2001, Tortora dan Grabowski, 2003)

Keterlibatan anion superoksida pada kerusakan jaringan akibat aktifitas, pertama kali dilaporkan sekitar tahun 1970-an, akan tetapi baru tahun 1982 dikemukakan hubungan sebab akibat, antara pembentukan radikal bebas dengan kerusakan sel oleh Davies et al. (Astuti, 1999) Penelitiannya membuktikan adanya radikal bebas pada

otot tungkai dan hati tikus, yang ditandai dengan adanya semiquinone, disertai

dengan berbagai kerusakan seluler akibat peroksida-lipid, diantaranya hilangnya

kelenturan retikulum sarkoplasma dan uncoupling mitokondria. Peningkatan kadar


(20)

peroksida-lipid, yang dapat mengubah integritas membran dan dapat menyebabkan kematian sel. (Astuti, 1999) Penelitian lain pada tikus putih setelah pemberian aktifitas fisik maksimal berupa renang sampai hampir tenggelam, ditemukan adanya peningkatan jumlah limfosit darah tikus putih. (Jawi, 2001)

Beberapa penelitian mengenai pengaruh aktifitas fisik berat terhadap jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit, dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1. Penelitian Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit

Nama peneliti Subjek Jenis latihan Efek

Andersen, 1955 Atlet Latihan fisik berat Leukopenia,

neutrofilia Mc. Carthy &

Dale, 1988

Orang tdk terlatih Latihan fisik berat Limfositosis,

neutropenia

Sodique, 2000 Orang tdk terlatih Latihan fisik berat Pr : Leukositosis,

eosipenia, neutropenia, monositopenia. Lk: leukositosis, basofilopenia, limfositosis. Ali Shaukat, 2000

Orang tdk terlatih Latihan fisik berat Lk:leukositosis

Risøyet et al, 2003

Atlet Bukan atlet

Latihan fisik berat Lk:Leukositosis, Lk:leukositosis,

neutrofilosis dan monositosis.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukan, ada indikasi bahwa aktifitas dapat mempengaruhi pembentukan radikal bebas dan mempengaruhi jumlah leukosit. Untuk itu perlu diteliti lebih lanjut mengenai hubungan sebab antara stres oksidatif


(21)

akibat aktifitas makismal yang dapat ditunjukkan dengan perubahan dari jumlah leukosit dan jenis-jenis leukosit.

1.2. Perumusan Masalah

Apakah aktifitas fisik maksimal dapat mempengaruhi jumlah leukosit sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk adanya kerusakan sel. Masalah lainnya apakah aktifitas fisik maksimal dapat mempengaruhi jumlah dari eosinofil, basofil, neutrofil, limfosit dan monosit.

1.3. Kerangka Teori

Aktifitas otot yang meningkat selama aktifitas maksimal dan melelahkan, mengakibatkan konsumsi oksigen meningkat 20 kali dibanding pada waktu istirahat, sehingga meningkatkan metabolisme energi melalui fosforilasi oksidatif. Aktifitas fisik maksimal potensial untuk menimbulkan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan, yaitu saat antioksidan tidak dapat mengatasi radikal bebas yang terbentuk selama aktifitas fisik. Situasi ini dikenal sebagai stres oksidatif. Stres oksidatif yang dihasilkan dari aktifitas fisik maksimal dapat menyebabkan kerusakan enzim, reseptor protein, membran lipid, dan DNA. Substansi oksigen reaktif merupakan ancaman serius terhadap sistem pertahanan antioksidan seluler dan meningkatkan kerentanan jaringan terhadap kerusakan oksidatif. (Leeuwenburgh & Heinecke, 2001) Stres oksidatif digambarkan sebagai suatu peningkatan produksi radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan. Banyak sumber yang


(22)

potensial terhadap peningkatan produksi radikal bebas di dalam tubuh, salah satunya adalah akibat aktifitas leukosit. Aktifitas fagositosis dimulai setelah ada isyarat kemotaksis. Kerusakan jaringan akibat stres oksidatif menyebabkan leukosit berdiapedesis ke jaringan yang rusak dan memfagositosis jaringan yang rusak, terjadi peningkatan leukosit.

Aktifitas fisik maksimal

Peningkatan ambilan oksigen pada sel otot yang aktif

Peningkatan pembentukan radikal bebas

Respon akut Adaptasi Perusakan sel otot yang aktif

Respon akut Peningkatan pertahanan

Peningkatan jumlah leukosit antioksidan antioksidan

Gambar 1. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Peningkatan Jumlah

Leukosit

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit.


(23)

1.4.2. Tujuan khusus

Secara khusus penelitian ini didesain untuk mencapai tujuan-tujuan berikut :

a. Untuk mengkaji secara jelas perubahan dari jumlah leukosit yang terjadi akibat

pengaruh aktifitas fisik maksimal.

b. Untuk mengkaji secara jelas perubahan dari hitung jenis leukosit yang terjadi

akibat pengaruh aktifitas fisik maksimal.

1.5. Hipotesis

1. Aktifitas fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya perubahan jumlah

leukosit

2. Aktifitas fisik maksimal dapat menyebabkan terjadinya perubahan hitung jenis

leukosit.

1.6. Manfaat Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai informasi ilmiah bagi dunia kesehatan/kedokteran dan olahraga khususnya mengenai pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik adalah kerja fisik yang menyangkut sistem lokomotor tubuh yang ditujukan dalam menjalankan aktifitas hidup sehari-harinya, jika suatu aktifitas fisik memiliki tujuan tertentu dan dilakukan dengan aturan-aturan tertentu secara sistimatis seperti adanya aturan waktu, target denyut nadi, jumlah pengulangan gerakan dan lain-lain disebut latihan. Sedangkan yang dimaksud dengan olahraga adalah latihan yang dilakukan dengan mengandung unsur rekreasi. (Doyle, 1997, Lesmana, 2002)

Menurut Fox (1993) aktifitas fisik berdasarkan sumber tenaganya atau

pembentukan ATP melalui tiga sistem,yaitu 1) Sistem aerobik, 2) Sistem glikolisis

anaerobik (Lactic acid system) dan 3) Sistem ATP- Creatin Phospat ( phosphagen

system). Aktifitas aerobik merupakan aktifitas yang bergantung terhadap ketersediaan

oksigen untuk membantu proses pembakaran sumber energi sehingga juga akan bergantung pada kerja optimal organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru dan juga pembuluh darah untuk dapat mengangkut oksigen agar proses pembakaran sumber energi dapat berjalan sempurna. Aktifitas ini biasanya merupakan aktifitas olahraga dengan intensitas rendah-sedang yang dapat dilakukan secara kontinu dalam waktu yang cukup lama, seperti jalan kaki, bersepeda atau jogging. Aktifitas anaerobik merupakan aktifitas dengan intensitas tinggi yang membutuhkan energi yang cepat dalam waktu yang singkat namun tidak dapat dilakukan secara kontinu untuk durasi


(25)

waktu yang lama. Aktifitas ini juga biasanya memerlukan interval istirahat agar ATP (Adenosin Tri Phospat) dapat diregenerasi sehingga kegiatannya dapat dilanjutkan

kembali. Jenis olahraga yang memiliki aktifitas anaerobik dominan adalah lari cepat (sprint), push-up, body building, gimnastik atau loncat jauh. Dalam beberapa jenis olahraga beregu atau juga individual akan terdapat gerakan-gerakan/aktifitas seperti meloncat, mengoper, melempar, menendang bola, memukul bola, atau juga mengejar bola dengan cepat yang bersifat anaerobik. Oleh sebab itu, maka beberapa cabang olahraga seperti sepakbola, bola basket atau tenis lapangan merupakan kegiatan olahraga dengan kombinasi antara aktifitas aerobik dan anaerobik. Pada ATP- Creatin phospat, aktifitas dengan beban maksimal dan waktu yang sangat pendek. (Ina, 2001) Olah raga menurut jenisnya ada 3 macam, yaitu latihan kondisi (orhiba, aerobik

dan yang belum dikenal banyak total fitnes), latihan rekreasi (berburu, tenis) serta

latihan prestasi untuk memecahkan rekor yang ada (atletik, bulu tangkis, renang). Latihan rekreasi dan prestasi memerlukan latihan kondisi, dengan maksud agar kemampuan kerja atau kesegaran jasmani dapat melayani keinginin pemiliknya. (Soempeno, 1981, Brooks, 1995)

Aktifitas fisik akan menyebabkan perubahan-perubahan pada faal tubuh manusia,

baik bersifat sementara/sewaktu-sewaktu (respons) maupun yang bersifat menetap

(adaption). Aktifitas fisik dengan intensitas tinggi (antara sub maksimal hingga

maksimal) akan menyebabkan otot berkontraksi secara anaerobik. Kontraksi otot secara anaerobik membutuhkan penyediaan energi (ATP) melalui proses glikolisis


(26)

menghasilkan poduk akhir berupa asam laktat. Jadi, aktifitas dengan intensitas sub maksimal hingga intensitas maksimal akan menyebabkan akumulasi asam laktat dalam otot dan darah. (Bompa, 1990, Fox, 1993)

Pada aktifitas fisik terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini akan mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen maksimum (VO2 max). Sesudah VO2 max tercapai, kerja akan ditingkatkan dan dipertahankan hanya dalam waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot yang melakukan aktifitas. Secara teoritis, VO2 max dibatasi oleh cardiac output, kemampuan sistem respirasi untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot yang bekerja untuk menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali atlet pada yang sangat terlatih), cardiac output adalah faktor yang menentukan VO2 max. (Bompa, 1990) Pengaruh aktifitas fisik dapat seketika yang disebut respon akut dan pengaruh jangka panjang akibat latihan yang teratur dan terprogram yang disebut adaptasi. Termasuk respon akut adalah bertambahnya frekwensi denyut jantung, peningkatan frekwensi pernafasan, peningkatan tekanan darah dan peningkatan suhu badan. Termasuk adaptasi antara lain peningkatan massa otot, bertambahnya massa tulang, bertambahnya sistem pertahanan antioksidan serta penurunan frekwensi denyut jantung istirahat. (Sutarina dan Tambunan, 2004)

Aktifitas fisik yang dapat meningkatkan sistem pertahanan antioksidan adalah aktifitas fisik dengan intensitas rendah dan intensitas sedang, karena aktifitas fisik pada tingkat ini mengacu pada program aktifitas fisik yang dirancang untuk


(27)

meminimalkan pengeluaran radikal bebas. Sedangkan aktifitas fisik yang maksimal dan melelahkan dapat meningkatkan jumlah leukosit dan neutrofil baik dalam sirkulasi maupun di jaringan. (Cooper, 2000)

2.2. Radikal Bebas dan Stres Oksidatif

Sampai permulaan abad ke 20, tidak seorangpun percaya bahwa suatu senyawa bernama radikal bebas dapat berada dalam keadaan bebas. Para ilmuwan masih menggunakan istilah radikal bebas untuk suatu kelompok atom yang membentuk suatu molekul. Perubahan terjadi ketika pada abad ke 20 seorang ilmuwan Rusia, membuat radikal bebas organik pertama dari trifenilmetan, senyawa hidrokarbon yang digunakan sebagai bahan dasar berbagai zat pewarna. Berdasarkan penelitian para ilmuwan lainnya, istilah radikal bebas kemudian diartikan sebagai molekul yang relatif tidak stabil, mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya. Molekul tesebut bersifat reaktif dalam mencari pasangan elektronnya. Jika sudah terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai yang disebut peroksidasi lipid dan menghasilkan radikal bebas baru yang akhirnya jumlahnya terus bertambah. (Cuzzocrea et al., 2001)

Oksigen yang kita hirup akan diubah oleh sel tubuh secara konstan menjadi senyawa yang sangat reaktif, dikenal sebagai senyawa reaktif oksigen yang diterjemahkan dari reactive oxygen species (ROS), satu bentuk radikal bebas. Perisitiwa ini berlangsung saat proses sintesa energi oleh mitokondria atau proses detoksifikasi yang melibatkan enzim sitokrom P-450 di hati. Produksi ROS secara


(28)

fisiologis ini merupakan konsekuensi logis dalam kehidupan aerobik. Sebagian ROS berasal dari proses fisiologis tersebut (ROS endogen) dan lainnya

adalah ROS eksogen, seperti berbagai polutan lingkungan (emisi kendaraan bermotor dan industri, asbes, asap roko, dan lain-lain), radiasi ionisasi, infeksi bakteri, jamur dan virus, serta paparan zat kimia (termasuk obat) yang bersifat mengoksidasi. Ada berbagai jenis ROS, contohnya adalah superoksida (O2 ), hidroksil (OH ), alkoksil (RO ), peroksil (ROO ) dan hidroperoksil (ROOH). (Cuzzocrea et al., 2001)

Pada kenyatannya, segala sesuatu dalam hidup ini memang diciptakan sang pencipta alam secara seimbang. Sistem defensif dianugerahkan terhadap setiap sel berupa perangkat antioksidan enzimatis (glutathione, ubiquinol, catalase, superoxide dismutase, hydroperoxidase, dan lain sebagainya). Antioksidan enzimatis endogen ini pertama kali dikemukakan oleh Mc Cord dan Fridovich yang menemukan enzim antioksidan alami dalam tubuh manusia dengan nama superoksida dismutase (SOD). Hanya dalam waktu singkat setelah teori tersebut disampaikan, selanjutnya ditemukan enzim-enzim antioksidan endogen lainnya seperti glutation peroksidase dan katalase yang mengubah hidrogen peroksidase menjadi air dan oksigen. (Cooper, 2000)

Sebenarnya radikal bebas, termasuk ROS, penting artinya bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah dan organ-organ dalam tubuh kita. Namun bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia akan menyerang sel itu sendiri.


(29)

Struktur sel yang berubah turut merubah fungsinya, yang akan mengarah pada proses munculnya penyakit. (Cooper, 2000)

Stres oksidatif (oxidative stress) adalah ketidakseimbangan antara radikal bebas (prooksidan) dan antioksidan yang dipicu oleh dua kondisi umum: kurangnya antioksidan dan kelebihan produksi radikal bebas. Dugaan bahwa radikal bebas tersebar di mana-mana, pada setiap kejadian pembakaran seperti merokok, memasak, pembakaran bahan bakar pada mesin dan kendaraan bermotor. Paparan sinar ultraviolet yang terus-menerus, pestisida dan pencemaran lain di dalam makanan kita, bahkan karena aktifitas atau olah raga yang berlebihan, menyebabkan tidak adanya pilihan selain tubuh harus melakukan tindakan protektif. Langkah yang tepat untuk menghadapi "gempuran" radikal bebas adalah dengan mengurangi paparannya atau

mengoptimalkan pertahanan tubuh melalui aktivitas antioksidan.

(Claudia dan Alvaro, 2004)

Pada keadaan normal, radikal bebas terbentuk sangat perlahan, 5% dari konsumsi oksigen akan membentuk radikal bebas kemudian dinetralisir oleh antioksidan yang ada dalam tubuh. Namun jika laju pembentukan radikal bebas sangat meningkat melebihi 5% karena terpicu oleh aktifitas yang berat dan melelahkan, jumlah radikal bebas akan melebihi kemampuan kapasitas sistem pertahanan antioksidan. Radikal bebas ini dapat menyerang membran sel sehingga mengakibatkan kerusakan sel-sel otot dan tulang yang aktif bekerja. Kelelahan dan nyeri pada otot yang aktif yang sering menyertai aktifitas fisik yang berat dan melelahkan, merupakan tanda paling jelas adanya kegiatan radikal bebas. (Cooper, 2000)


(30)

Mekanisme terbentuknya radikal bebas selama aktifitas fisik maksimal ada 2 cara.

Pertama disebabkan lepasnya elektron superoksida dari mitokondria.

Pada saat aktifitas fisik maksimal terjadi peningkatan konsumsi oksigen sampai 20 kali, bahkan dalam otot dapat mencapai 100 kali. Penggunaan oksigen yang berlebih ini dapat memicu pembentukan radikal bebas di berbagai jaringan tubuh. Selama aktifitas fisik maksimal, pengeluaran radikal bebas terutama superoksida dapat

meningkat dalam mitokondria, atau pusat-pusat energi di dalam sel.

Kedua, terbentuknya radikal bebas selama aktifitas fisik maksimal, erat hubungannya dengan proses iskemia-perfusi. Pada saat aktifitas fisik maksimal, terjadi hipoksia relatif sementara di jaringan beberapa organ yang tidak aktif seperti ginjal, hati dan usus. Hal ini untuk kompensasi peningkatan pasokan darah ke otot yan aktif dan kulit. Disamping itu selama aktifitas fisik dengan intensitas tinggi dengan denyut nadi 80-85% denyut nadi maksimal, serabut otot menjadi relatif hipoksia, karena pada saat otot berkontraksi dengan kuat, memeras pembuluh darah intramuskular di bagian otot yang aktif, akibatnya terjadi penurunan aliran darah ke otot yang aktif untuk sementara. Setelah selesai aktifitas fisik, darah dengan cepat kembali ke berbagai organ yang kekurangan aliran darah tadi, sehingga terjadi perfusi yang dapat menyebabkan sejumlah radikal bebas turut dalam sirkulasi. (Cooper, 2000)

Sumber utama produksi senyawa oksigen reaktif (ROS) selama aktifitas fisik adalah sebagai berikut :

1. Rantai transfor elektron mitokondria, terutama pada komplek 1 (NADH-ubiquinone reductase) dan komplek 3 (Ubiquinone-cytochrome c reductase),


(31)

yaitu tempat pembentukan radikal superoksida dan hydrogen peroksida.

2. Jalur xanthin oxidase melalui mekanisme iskemia-reperfusi jantung. Selama iskemia, ATP diubah menjadi AMP. Jika suplai oksigen kurang AMP akan diubah menjadi hypoxanthin yang selanjutnya diubah menjadi xanthin dan asam urat oleh xanthin oxidase, yang akhirnya membentuk radikal superoksida.

3. Neutrofil dan respon inflamasi, yang merupakan sumber sekunder produksi ROS selama periode recovery setelah latihan fisik berat.

4. Katekolamin, yaitu pada latihan fisik jangka panjang. Pada latihan ini terjadi peningkatan metabolisme oksidatif yang melalui aktivasi reseptor ß-adrenergik menyebabkan produksi ROS mitokondria meningkat. (Rohimah, 2005)

2.3. Leukosit

Leukosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 4000-11000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 11000 sel/mm3, keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari 4000 sel/mm3 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal. (Bellanti, 1993)

Terdapat dua jenis leukosit agranuler : limfosit sel kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat tiga jenis


(32)

leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral basa dan asam. Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya). (Guyton, 1997)

Leukosit dan turunannya berperan sebagai (1) menahan invasi oleh patogen (mikroorganisme penyebab penyakit, misalnya bakteri dan virus) melalui proses fagositosis; (2) mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel kanker yang muncul di dalam tubuh; dan (3) berfungsi sebagai ”petugas pembersih” yang membersihkan ”sampah” tubuh dengan memfagosit debris yang berasal dari sel yang mati atau cedera. Yang terakhir penting dalam penyembuhan luka dan perbaikan jaringan . Untuk melaksanakan fungsinya, leukosit terutama menggunakan strategi ”cari dan serang” yaitu sel-sel tersebut pergi ke tempat invasi atau jaringan yang rusak. Alasan utama mengapa sel darah putih terdapat di dalam darah adalah agar mereka cepat diangkut dari tempat pembentukan atau penyimpanannya ke manapun mereka diperlukan. (Sherwood, 1996)

Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada usia.


(33)

waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai. (Guyton, 1997)

Jumlah leukosit dalam sirkulasi sangat mudah dan cepat berubah. Nilai absolut maupun relatif dapat berubah oleh stimulasi selama beberapa menit atau beberapa jam. Dampak yang paling jelas terlihat bila kelenjar adrenal dirangsang, baik secara farmakologis maupun sebagai respon terhadap kebutuhan fisiologis. Sebagian besar stimulasi fisiologis seperti olahraga, emosi, pemaparan terhadap suhu yang ekstrim, mengakibatkan leukositosis. (Widmann, 1983, Natale, 2003)

2.4.Hitung JenisLeukosit

Leukosit tidak memiliki hemoglobin (berbeda dengan eritrosit), sehingga tidak berwarna (putih) kecuali jika diwarnai secara khusus agar dapat terlihat di bawah mikroskop. Tidak seperti eritrosit, yang strukturnya uniform, berfungsi identik, dan jumlahnya konstan, tetapi leukosit bervariasi dalam struktur, fungsi dan jumlah. Terdapat lima jenis leukosit yang bersirkulasi yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan limfosit dan masing-masing dengan struktur serta fungsi yang khas. Mereka semua berukuran sedikit lebih besar daripada eritrosit. (Sherwood, 1996) Kelima jenis leukosit tersebut dibagi ke dalam dua kategori utama, bergantung pada gambaran nukleus dan ada tidaknya granula di sitoplasma sewaktu dilihat di bawah mikroskop. Neutrofil, eosinofil, dan basofil dikategorikan sebagai granulosit (sel yang banyak mengandung granula) atau polimorfonukleus (banyak bentuk nukleus). Nukleus sel-sel ini tersegmentasi menjadi beberapa lobus dengan beragam


(34)

bentuk, dan sitoplasma mereka mengandung banyak granula terbungkus membran. (Sherwood, 1996; Guyton, 1997)

Terdapat tiga jenis granulosit berdasarkan afinitas mereka terhadap zat warna yaitu eosinofil memiliki afinitas terhadap zat warna merah eosin, basofil cenderung menyerap zat warna biru basa dan neutrofil bersifat netral, tidak memperlihatkan kecenderungan zat warna. Monosit dan limfosit dikenal sebagai agranulosit (sel tanpa granula) atau mononukleus (satu nukleus). Keduanya memiliki sebuah nukleus besar tidak bersegmen dan sedikit granula. Monosit lebih besar daripada limfosit dan memiliki nukleus berbentuk oval atau seperti ginjal. Limfosit, leukosit terkecil, ditandai oleh nukleus bulat besar yang menempati sebagian besar sel (Sherwood, 1996). Granulosit dan monosit melindungi tubuh terhadap organisme penyerang

terutama dengan cara mencernakannya yaitu melalui fagositosis. Fungsi utama

limfosit dan sel-sel plasma berhubungan dengan sistem imum. (Guyton, 1997, Nieman, 2000)

Hitung jenis leukosit hanya menunjukkan jumlah relatif dari masing-masing jenis sel. Untuk mendapatkan jumlah absolut dari masing-masing jenis sel maka nilai relatif (%) dikalikan jumlah leukosit total (sel/ µl). Hitung jenis leukosit berbeda tergantung umur. Pada anak limfosit lebih banyak dari netrofil segmen, sedang pada orang dewasa kebalikannya. Hitung jenis leukosit juga bervariasi dari satu sediaan apus ke sediaan lain, dari satu lapangan ke lapangan lain. Kesalahan karena distribusi ini dapat mencapai 15%. Bila pada hitung jenis leukosit, didapatkan eritrosit berinti lebih dari 10 per 100 leukosit, maka jumlah leukosit / µl perlu dikoreksi.


(35)

(Dharma, 2007) Selanjutnya akan dibahas satu persatu hitung jenis leukosit di bawah ini.

2.4.1. Neutrofil

Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, sel-sel ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0,3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuranjenis romanovky.

Granul pada neutrofil ada dua :

a. Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.

b. Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang dinamakan fagositin.

Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokondria, apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya.

Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus membrane granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan


(36)

diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil. Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan neutrofil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh neutrofil merangsang aktifitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan glikogenolisis. (Effendi, 2003) 2.4.2. Eosinofil

Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9 µm (sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, retikulum endoplasma, mitokondria dan apparatus golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin asidofilik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti bodi, ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses Patologi. (Effendi, 2003)

2.4.3. Basofil

Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya


(37)

ireguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat peradangan ini dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai hubungan kekebalan. (Effendi, 2003)

2.4.4. Limfosit

Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah. Normal, inti relative besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan poliribosom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya.

Lirnfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan Patologis, pada sel limfosit besar ini inti vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat imunologisnya, siklus hidup dan fungsi. (Effendi, 2003)


(38)

2.4.5. Monosit

Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda.Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, ini merupakan sifat tetap monosit. Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim abu-abu pada sajian kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulum endoplasma sedikit. Juga ribosom, poliribosom sedikit, banyak mitokondria. Aparatus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti.

Monosit ditemui dalam darah, jaringan penyambung, dan rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (sistem retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk imunoglobulin dan komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel imunokompeten dengan antigen. (Effendi, 2003)


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental

laboratorium dengan Rancangan pretest-posttest group design. Jumlah sampel

sebanyak 21 mencit jantan (Mus musculus L) yaitu berdasarkan rumus t (r-1) ≥20 .

Jika t adalah jumlah kelompok (dalam penelitian ini terdiri dari 1 kelompok) dan

r adalah jumlah ulangan per kelompok, maka jumlah ulangan yang diharapkan

(teoritis) adalah sebesar 1 (r – 1) ≥ 20. (Sugandi, 1994)

3.2. Lokasi dan Waktu

Lokasi penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Biologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Negeri Medan. Waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan penelitian ini adalah lebih kurang 5 (lima) minggu.

3.3. Populasi Penelitian

Hewan coba yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mencit jantan Mus

musculus L, strain Balpsy, berumur kira-kira 2 – 4 bulan dengan berat badan antara

30 – 35 gram. Hewan coba diperoleh dari Badan Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Medan.


(40)

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel bebas, yaitu aktifitas fisik maksimal berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam.

3.4.2. Variabel tergantung, yaitu hitung leukosit dan hitung jenis leukosit.

3.4.3. Variabel kendali, yaitu jenis kelamin, berat badan, makanan, umur, kandang hewan coba, suhu yang ekstrim dan lingkungan.

3.5. Kerangka Konsep Aktifitas fisik maksimal

Jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit

Jenis kelamin Umur

Berat badan Makanan

Kandang hewan coba Suhu yang ekstrim Lingkungan

Gambar 2. Kerangka Konsep

3.6. Definisi Operasional

Aktifitas Fisik Maksimal adalah kerja fisik maksimal yang menyangkut sistem lokomotor tubuh yang ditujukan dalam menjalankan aktifitas hidup sehari-harinya, dalam penelitian ini aktifitas maksimal berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir


(41)

tenggelam atau nampak tanda-tanda kelelahan berupa tenggelamnya hampir semua badan kecuali hidung dan melemahnya gerakan anggota gerak. Lamanya renang berkisar antara 25-45 menit. (Jawi,2001)

Jumlah Leukosit yaitu jumlah total leukosit yang diambil dari darah tepi yang diperiksa dengan menggunakan Kamar Hitung Improved Neubaeur dengan satuan sel/mm3.

Hitung Jenis Leukosit yaitu jenis-jenis leukosit yang diambil dari darah tepi yang diperiksa pada sediaan hapusan darah dengan mikroskop dengan satuan %.

3.7. Bahan

a) Darah EDTA

b) Larutan Turk untuk hitung jumlah leukosit.

c) Larutan ØGiemsa untuk pembuatan hapusan darah yang berguna untuk

pemeriksaan hitung jenis leukosit.

d) Minyak imersi

3.8. Alat

Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :

a) Stop watch untuk menghitung waktu atau lamanya mencit dapat berenang sampai

hampir tenggelam.

b) Pipet Leukosit


(42)

d) Objek glass (kaca objek) dan deck glass

e) Mikroskop cahaya

f) Bak yang dirancang dengan ukuran panjang 10 cm dan diameter 25 cm, dimana

hanya untuk satu ekor mencit berenang. (Ozaslan, M et al, 2004)

3.9. Pelaksanaan Penelitian

3.9.1. Penerbitan ethical clearance

Diminta penerbitan ethical clearance kepada komisi etik Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara. 3.9.2. Pemeliharaan hewan coba

Sebelum perlakuan, semua mencit diadaptasikan dan dipelihara secara berkelompok (empat ekor mencit per kandang) dalam kandang hewan coba Jurusan

Biologi FMIPA Universitas Negeri Medan, yang terbuat dari bahan plastik ( 30 x 20 x 10 cm) yang ditutup dengan kawat kasa halus. Makanan berupa pellet dan

minuman (air PAM) secara berlebih (ad libitum). Dasar kandang dilapisi dengan

sekam padi setebal 0,5 – 1 cm dan diganti setiap hari. Cahaya ruangan pemeliharaan dikontrol persis 12 jam terang dan 12 jam gelap, sedangkan temperatur dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah.

3.9.3. Perlakuan hewan coba

a) Sebelum perlakuan, diambil darah dari pangkal ekor mencit, kenudian dilakukan

pemeriksaan jumlah leukosit dengan alat Haemocytometer dan pemeriksaan hitung jenis leukosit.


(43)

b) Selanjutnya mencit satu persatu diberikan perlakuan aktifitas fisik maksimal berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam atau nampak tanda-tanda kelelahan berupa tenggelamnya hampir semua badan kecuali hidung dan melemahnya gerakan anggota gerak. Lamanya renang berkisar antara 25-45 menit (Jawi, 2001).

c) Mencit diberi stimulus ((kepalanya ditekan kedalam air) agar terus tetap berenang

sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam sehingga aktifitas fisik maksimal mencit tercapai.

d) Untuk memastikan bahwa mencit benar-benar telah melakukan aktifitas fisik

maksimal, peneliti dibantu oleh tim independen dari fakultas olahraga UNIMED.

e) Selanjutnya diambil darah dengan segera secara intrakardial

f) Kemudian dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit.

3.9.4. Prosedur pemeriksaan jumlah leukosit

Alat yang diperlukan : a. Pipet Leukosit

b. Kamar hitung Improved Neubauer c. Deck glass

Reagensia : Larutan Turk, saring sebelum dipakai

Cara Pemeriksaan :

1. Sampel darah kapiler atau darah EDTA / Oksalat Wintrobe

2. Pipet lekosit diisi dengan darah sampai garis 0,5 bila diduga lekopeni sampai

garis 1, bersihkan ujung pipet dengan kertas tissue


(44)

angka 11, letakkan pipet horizontal untuk menghindari mengalirnya larutan keluar

4. Ujung pipet ditekan dengan kedua jari kemudian digoyang membuat angka 8

selama 3 sampai 5 menit

5. Buang 3 tetes larutan tersebut, kemudian dnegan membuat sudut 30 derajat

teteskan larutan ke dalam kamar hitung yang telah ditutup dengan kaca penutup

6. Diamkan kamar hitung selama 2 menit

7. Hitung dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x bidang besar kamar. Hitung

A+B+C+D

8. Perhitungan :Pengencer pipet 20 x luas bidang besar 1 mm2 dan tinggi kamar

hitung 1/10 mm. Lekosit yang dihitung dalam 4 bidang besar adalah A+B+C+D,

jumlah luasnya 4 mm3. Faktor perkalian 50 kali Jumlah lekosit adalah

(A+B+C+D) x 50 /mm3 (Depkes, 1992)


(45)

A B

C D

Gambar 3. Kamar Hitung Improved Neubauer 3.9.5 Prosedur pemeriksaan hitung jenis leukosit

3.9.5.1. Cara membuat sediaan hapus

1. Letakkan satu tetes kecil darah, pada 2 - 3 mm dari ujung kaca objek. Letakkan kaca penghapus dengan sudut 30 - 45 derajat terhadap kaca objek di depan tetes darah.


(46)

sampai darah menyebar pada sudut tersebut.

3. Dengan gerak yang mantap doronglah kaca penghapus sehingga terbentuk

hapusan darah sepanjang 3-4 cm pada kaca objek.

4. Biarkan hapusan darah mengering di udara. (Depkes, 1992)

Gambar 4. Cara Membuat Sediaan Hapus 3.9.5.2. Cara mewarnai sediaan hapus

1.Letakkan sediaan hapus pada dua batang gelas di atas bak tempat pewarnaan.

2.Fiksasi sediaan hapus dengan metanol absolut selama 2-3 menit.

3.Genangi sediaan hapus dengan zat warna Giemsa 5%. Biarkan selama 20-30 menit.

4. Bilas dengan air, mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih kuat dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Biarkan mengering.


(47)

3.9.5.3.Pemeriksaan hitung jenis leukosit

1. Periksa hapusan darah yang telah diwarnai dan dikeringkan di bawah mikroskop

dengan pembesaran 10 x, cari bagian dimana eritrosit tersebar merata. Biasanya terdapat di bagian tipis sediaan.

2. Lensa obyektif diganti dengan pembesaran 40x, kemudian 100x dan sediaan

diberi minyak emersi.

3. Golongkan dan catat tiap sel berinti pada daerah yang dilalui sampai genap 100

sel. Kemudian masing-masing dibuat persentasenya. (Depkes, 1992) Nilai normal hitung jenis lekosit : (Dharma, 2007)

Eosinofil : 1 – 3 % Neutrofil Segmen : 50 -70 %

Basofil : 0 – 1 % Limfosit : 20 - 40 %

Neutrofil Batang : 2 – 6 % Monosit : 2 - 8 %

3.10. Analisa Data

Setiap data yang didapat terlebih dulu ditentukan distribusinya dengan uji Normalitas. Apabila data berdistribusi normal akan dilakukan uji t berpasangan dengan = 0.05, untuk melihat perbedaan hitung leukosit dan hitung jenis sel leukosit antara sebelum dan sesudah aktifitas fisik maksimal sedangkan apabila data berdistribusi tidak normal akan dilanjutkan dengan uji non parametrik.


(48)

3.11. Jadwal Penelitian

Keseluruhan kegiatan penelitian dari persiapan sampai pada penulisan hasil penelitian adalah lebih kurang lima minggu. Urutan kegiatan dan jadwal pelaksanaan secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Penelitian MINGGU KE NO KEGIATAN

1 2 3 4 5

1 PERSIAPAN √

2 PELAKSANAAN √ √

3 ANALISA DATA √


(49)

3.12. Kerangka Kerja

Pemeliharaan Hewan Coba (Tujuh Hari)

Pengambilan darah melalui pangkal ekor mencit

Aktifitas fisik maksimal berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam

Pengambilan darah intrakardial

Pemeriksaan

Hitung Jenis Leukosit

Uji Statistik Pemeriksaan

Jumlah Leukosit


(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Karakteristik subyek penelitian

Subyek pada penelitian ini adalah mencit jantan Mus musculus L, strain Balpsy, sebanyak 21 ekor, berumur 2 - 4 bulan dengan berat badan berkisar antara 30 – 35 gram. Pada subyek diberikan perlakuan untuk melakukan aktifitas fisik maksimal (AFM) berupa renang sekuat-kuatnya sampai hampir tenggelam dengan waktu 25-45 menit (gambar 3 – 8). Sebelum dan setelah aktifitas fisik maksimal dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit dengan menggunakan kamar hitung Improve Neubauer dan hitung jenis leukosit dengan sedíaan hapusan darah. Penelitian dilakukan selama 3 hari dari tanggal 14 – 16 Juli 2008 di laboratorium FMIPA UNIMED dan Laboratorium Kesehatan Daerah Medan.


(51)

Gambar 6. Aktifitas Fisik Maksimal Renang Sekuat-Kuatnya


(52)

Gambar 8. Aktifitas Fisik Maksimal Renang Sekuat-Kuatnya


(53)

Gambar 10. Mencit Hampir Tenggelam


(54)

3.1.2. Pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit

Sebelum dan setelah melakukan AFM berupa renang sampai hampir tenggelam, dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit dan didapat hasil seperti pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Distribusi Jumlah Leukosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal Jumlah Leukosit Sebelum AFM Jumlah Leukosit Setelah AFM No Subjek

Sel/mm3 Mean SD Sel/mm3 Mean SD

1 6200 11800

2 5800 11200

3 6000 10800

4 5800 10200

5 5600 11200

6 7100 12400

7 6400 11400

8 6800 10800

9 6200 11000

10 6000 11200

11 7200 14000

12 6800 11800

13 6000 11000

14 7000 13200

15 5600

6338.10 525.81

9800

11542.86 1084.70

16 7000 12800

17 5800 13600

18 6800 10800

19 6800 11000

20 6200 11400

21 6000 11000

Keterangan :

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal Mean : Nilai Rata-rata

SD : Standar Deviasi

Pada tabel 3 di atas didapatkan bahwa nilai rata-rata jumlah leukosit setelah AFM berupa renang sampai hampir tenggelam mengalami peningkatan (rata-rata = 11542.86 ) dari sebelum AFM (rata-rata = 6338.10 ). Kemudian data dilakukan uji Normalitas, didapat hasil berupa data yang berdistribusi normal.


(55)

Selanjutnya dilakukan uji t berpasangan pada hasil pemeriksaan jumlah leukosit seperti terlihat pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Hasil Uji t Berpasangan Rata-Rata Jumlah Leukosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Variable Mean SD SE P value Ket

Nilai jumlah leukosit Sebelum AFM Setelah AFM

6338.10 11542.86

525.81 1084.70

114.74 236.70

0.000 S

Keterangan :

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal Mean : Nilai Rata-Rata

SD : Standar Deviasi SE : Standar Error P value : Tingkat kemaknaan S : Signifikan

Dari hasil uji t berpasangan pada tabel 4 di atas diketahui bahwa rata-rata nilai

jumlah leukosit pada pengukuran sebelum AFM adalah 6338.10/mm3 darah dengan

standar deviasi 525.81. Pada pengukuran setelah AFM didapat rata-rata nilai jumlah

leukosit adalah 11542.86/mm3 darah dengan standar deviasi 1084.70/mm3 darah.

Terlihat nilai rata-rata perbedaan antara pengukuran sebelum dan setelah AFM adalah 5204.76 dengan standar deviasi 718.53 berarti dengan kata lain bahwa terjadi peningkatan jumlah leukosit pada pengukuran setelah AFM. Rata-rata jumlah leukosit setelah AFM naik sebesar 82.12% dari sebelum AFM, secara statistik kenaikannya bermakna ( P < 0,05 ) Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.00,

dengan demikian H0 ditolak sehingga dapat disimpulkan ada perbedaan secara


(56)

3.1.3. Pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap hitung jenis leukosit

Sebelum dan setelah melakukan AFM berupa renang sampai hampir tenggelam, dilakukan pemeriksaan hitung jenis leukosit dengan sediaan hapusan darah yang terdiri dari neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan monosit (gambar 9 – 12).

Gambar 12. Hapusan Darah Jenis Neutrofil


(57)

Gambar 14. Hapusan Darah Jenis Limfosit


(58)

3.1.3.1. Hitung jenis neutrofil

Pada tabel 5 dibawah ini dapat dilihat hasil uji statistik hitung jenis neutrofil yang telah dilakukan pengukuran sebelum dan setelah AFM berupa renang sampai hampir tenggelam.

Tabel 5. Distribusi Hitung Jenis Neutrofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal Hitung Jenis Neutrofil

sebelum AFM

Hitung Jenis Neutrofil setelah AFM No

subjek

% Mean SD % Mean SD

1 55 32

2 60 39

3 58 34

4 55 32

5 56 39

6 54 45

7 60 45

8 60 39

9 55 37

10 56 35

11 54 37

12 54 36

13 56 44

14 65 42

15 60

57.19 2.84

39

38.90 4.34

16 57 41

17 58 41

18 60 34

19 55 48

20 55 39

21 58 39

Keterangan :

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal

% : Persentase Jumlah Hitung Jenis Neutrofil Mean : Nilai Rata-rata

SD : Standar Deviasi

Dari tabel 5 di atas didapatkan bahwa nilai rata-rata hitung jenis neutrofil setelah AFM berupa renang sampai hampir tenggelam mengalami penurunan ( rata-rata =


(59)

38.90, SD = 4.34) dari sebelum AFM ( rata-rata = 57.19, SD = 2.84 ). Kemudian data dilakukan uji Normalitas, didapat data hitung jenis neutrofil tidak berdistribusi normal, maka untuk uji t berpasangan tidak dapat dilakukan, oleh karena itu dilanjutkan dengan uji Wilcoxon seperti pada tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Neutrofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Keterangan :

Hitung jenis neutrofil Mean SD P value Ket

Sebelum AFM Setelah AFM

57.19 38.90

2.84 4.34

.000 S

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal Mean : Nilai Rata-Rata

SD : Standar Deviasi P value : Tingkat kemaknaan S : Signifikan

Dari tabel 6 di atas diketahui bahwa pengukuran hitung jenis neutrofil sebelum dan setelah melakukan AFM didapatkan P = 0.000 maka Ho ditolak. Dengan demikian terdapat perbedaan hitung jenis neutrofil antara sebelum dan setelah AFM secara signifikan.

4.1.3.2. Hitung jenis eosinofil

Pada tabel 7 , dapat dilihat hasil uji statistik hitung jenis eosinofil yang didapat dari pengukuran sebelum dan setelah AFM berupa renang sampai hampir tenggelam.


(60)

Tabel 7. Distribusi Hitung Jenis Eosinofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal Hitung Jenis Eosinofil

Sebelum AFM

Hitung Jenis Eosinofil Setelah AFM No

subjek

% Mean SD % Mean SD

1 2 1

2 2 0

3 1 0

4 1 0

5 1 0

6 2 0

7 1 0

8 2 1

9 2 0

10 1 0

11 2 0

12 1 0

13 2 0

14 2 1

15 2

1.52 .51

1

0.19 .40

16 1 0 17 1 0 18 2 0 19 1 0 20 1 0 21 2 0

Keterangan :

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal

% : Persentase Jumlah Hitung Jenis Eosinofil Mean : Nilai Rata-rata

SD : Standar Deviasi

Dari tabel 7 di atas diketahui bahwa nilai hitung jenis eosinofil setelah melakukan AFM berupa renang sampai hampir tenggelam lebih rendah (rata-rata = 0.19, SD = 0.40 ) dari sebelum AFM ( rata-rata = 1.52, SD = 0.51 ). Kemudian dilakukan uji Normalitas, didapat data hitung jenis eosinofil tidak berdistribusi normal, maka untuk uji t berpasangan tidak dapat dilakukan, oleh karena itu dilanjutkan dengan uji Wilcoxon seperti pada tabel 8 berikut ini.


(61)

Tabel 8. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Eosinofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Keterangan :

Hitung Jenis Eosinofil Mean SD P value Ket

Sebelum AFM Setelah AFM

1.52 0.19

0.15 0.40

.000 S

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal Mean : Rata-Rata

SD : Standar Deviasi P value : Tingkat Kemaknaan S : Signifikan

Dari tabel 8 di atas diketahui bahwa pengukuran hitung jenis eosinofil sebelum dan setelah melakukan AFM didapatkan P = 0.000 maka Ho ditolak. Dengan demikian terdapat perbedaan hitung jenis eosinofil antara sebelum dan setelah AFM secara signifikan.

4.1.3.3. Hitung jenis basofil

Pada tabel 9, dapat dilihat tidak ada perubahan hitung jenis basofil yang didapat dari pengukuran sebelum dan setelah AFM berupa renang sampai hampir tenggelam.


(62)

Tabel 9. Distribusi Hitung Jenis Basofil dengan Aktifitas Fisik Maksimal Hitung Jenis Basofil

Sebelum AFM

Hitung Jenis Basofil Setelah AFM

No Subjek

% Mean SD % Mean SD

1 0 0

2 0 0

3 0 0

4 0 0

5 0 0

6 0 0

7 0 0

8 0 0

9 0 0

10 0 0

11 0 0

12 0 0

13 0 0

14 0 0

15 0

0 0

0

0 0

16 0 0 17 0 0 18 0 0 19 0 0 20 0 0 21 0 0

Keterangan :

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal

% : Persentase Jumlah Hitung Jenis Basofil Mean : Nilai Rata-rata

SD : Standar Deviasi

Dari tabel 9 di atas dapat diketahui bahwa untuk nilai hitung jenis leukosit khususnya basofil, tidak dapat dianalisis karena nilainya 0% karena tidak ada perubahan pada saat sebelum dan setelah AFM sehingga variabel tersebut tidak dilakukan uji statistik.

4.1.4.4. Hitung jenis limfosit


(63)

didapat dari pengukuran sebelum dan setelah AFM berupa renang sampai hampir tenggelam.

Tabel 10. Distribusi Hitung Jenis Limfosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Hitung JenisLimfosit

Sebelum AFM

Hitung JenisLimfosit

Setelah AFM No

Subjek

% Mean SD % Mean SD

1 40 65

2 36 60

3 38 65

4 40 66

5 40 60

6 40 54

7 35 54

8 36 60

9 40 62

10 40 65

11 40 64

12 41 62

13 40 62

14 30 54

15 34

37.95 2.94

55

59.95 4.50

16 39 60 17 39 58 18 35 58 19 40 65 20 40 50 21 34 60

Keterangan :

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal

% : Persentase Jumlah Hitung Jenis Limfosit Mean : Nilai Rata-rata

SD : Standar Deviasi

Dari tabel 10 di atas didapatkan bahwa nilai rata-rata hitung jenis limfosit setelah

AFM berupa renang sampai hampir tenggelam mengalami peningkatan (rata-rata = 59.95, SD = 4.50) dari sebelum AFM berupa renang sampai hampir


(64)

didapat data hitung jenis limfosit tidak berdistribusi normal, maka untuk uji t berpasangan tidak dapat dilakukan, oleh karena itu dilanjutkan dengan uji Wilcoxon seperti pada tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Limfosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Keterangan :

Hitung Jenis Limfosit Mean SD P value Ket

Sebelum AFM Setelah AFM

59.95 37.95

2.94 4.50

.000 S

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal Mean : Rata-Rata

SD : Standar Deviasi P value : Tingkat Kemaknaan S : Signifikan

Dari tabel 11 di atas diketahui bahwa pengukuran hitung jenis limfosit sebelum dan setelah AFM didapatkan P = 0.000 maka Ho ditolak. Dengan demikian terdapat perbedaan hitung jenis limfosit antara sebelum dan setelah AFM secara signifikan. 4.1.3.5. Hitung jenis monosit

Pada tabel 12, dapat dilihat hasil uji statistik hitung jenis monosit yang diukur


(65)

Tabel 12. Distribusi Hitung Jenis Monosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal Persentase monosit sebelum

AFM

Persentase monosit setelah AFM No

Subjek

% Mean SD % Mean SD

1 3 2

2 2 1

3 3 1

4 4 2

5 3 1

6 4 1

7 4 1

8 2 0

9 3 1

10 3 1

11 4 1

12 4 1

13 2 1

14 3 1

15 4

3.19 .75

2

1.10 .44

16 3 1

17 2 1

18 3 1

19 4 1

20 4 1

21 3 1

Keterangan :

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal

% : Persentase Jumlah Hitung Jenis Monosit Mean : Nilai Rata-rata

SD : Standar Deviasi

Dari tabel 12 di atas dapat diketahui bahwa nilai rata-rata hitung jenis monosit pada pengukuran setelah AFM lebih rendah (rata-rata = 1.10, SD = 0.44) dari sebelum AFM (rata-rata = 3.19, SD = 0.75). Kemudian dilakukan uji Normalitas, didapat data hitung jenis monosit tidak berdistribusi normal, maka untuk uji t berpasangan tidak dapat dilakukan, oleh karena itu dilanjutkan dengan uji wilcoxon seperti pada tabel 13 berikut ini.


(66)

Tabel 13. Hasil Uji Wilcoxon terhadap Hitung Jenis Monosit dengan Aktifitas Fisik Maksimal

Hitung Jenis Monosit Mean SD P value Ket

Sebelum AFM Setelah AFM

3.19 1.10

0.75 0.44

.000 S

Keterangan :

AFM : Aktifitas Fisik Maksimal Mean : Rata-Rata

SD : Standar Deviasi P value : Tingkat Kemaknaan S : Signifikan

Dari tabel 13 di atas diketahui bahwa pengukuran hitung jenis monosit sebelum

dan setelah AFM didapatkan nilai P = 0.000, maka H0 ditolak. Dengan demikian

terdapat perbedaan hitung jenis monosit antara sebelum dan setelah AFM secara signifikan.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap jumlah leukosit

Dari hasil uji statistik jumlah leukosit (tabel 4) didapat bahwa rata-rata nilai jumlah leukosit mengalami peningkatan pada saat pengukuran setelah AFM dari sebelum AFM, seperti terlihat pada gambar 16 berikut ini.


(67)

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000

Sebelum AFM Setelah AFM

Pengukuran J u ml a h Le uk os it ( s e l/ mm3 )

Gambar 16. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Jumlah Leukosit

Keterangan :

Sebelum AFM : Sebelum Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Setelah AFM : Setelah Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Pada penelitian ini, hasil uji t berpasangan untuk variabel jumlah leukosit

peningkatannya menunjukkan perbedaan yang bermakna (P<0,05) antara pengukuran sebelum dan sesudah AFM. Adapun peningkatan jumlah leukosit setelah AFM rata-rata mencapai 82.12 % dari jumlah leukosit sebelum AFM dengan jumlah leukosit

rata-rata 11542.86 sel/ mm3 darah. Data ini sesuai dengan laporan Peake dan Suzuki

(2004) yang menyatakan bahwa beberapa kelompok penelitian yang mendapatkan adanya peningkatan jumlah leukosit melebihi normal setelah aktifitas fisik yang berat secara singkat yang berkisar antara 15 menit, maupun aktifitas fisik yang berat dan lama sampai 60 menit. Hasil penelitian team Pharma Nutura (2004) menunjukkan


(68)

bahwa aktifitas fisik yang berat dapat meningkatkan produksi radikal bebas. Menurut Cooper (2000) pada keadaan normal, radikal bebas terbentuk sangat perlahan, 5% dari konsumsi oksigen akan membentuk radikal bebas kemudian dinetralisir oleh antioksidan yang ada di dalam tubuh. Namun jika laju pembentukan radikal bebas sangat meningkat melebihi 5% karena terpicu oleh aktifitas fisik yang berat dan melelahkan, jumlah radikal bebas akan melebihi kemampuan kapasitas sistem pertahanan antioksidan. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan stres oksidatif dan merangsang aktifitas sel leukosit.

Peningkatan leukosit oleh adanya suatu aktifitas, dalam hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya diawali oleh karena adanya mediasi dari katekolamin, kortisol , demarginasi, neuron transmiters dan peptida atau purine chemical transmiters. Peningkatan jumlah leukosit setelah aktifitas dikarenakan banyaknya leukosit yang mengikut (masuk) ke dalam dinding pembuluh darah (endothelium) dengan cara merembes (diapedesis) ke dalam sirkulasi dari penyimpanannya (cadangan) secara tiba-tiba. (Sodique,2000, Malm, 2004) Demarginasi dipengaruhi oleh hormon adrenalin yang menyebabkan menurunnya perlekatan leukosit pada endotelium.

Hasil dari penelitian ini berupa peningkatan jumlah leukosit juga sejalan dengan penelitian yang dilaporkan bahwa pada aktifitas yang singkat (< 1 jam), hanya pengaruh katekolamin yang menyebabkan terjadi peningkatan ratio sirkulasi ke non sirkulasi sel yang mengakibatkan peningkatan mobilisasi leukosit dari sumsum tulang Ke darah sehingga terjadi proses demarginasi dari dinding pembuluh darah secara


(69)

diapedesis. (Sodique, 2000. Risøy, 2003, Edwards 2005)

Dari hasil penelitian ini yang didapat adanya peningkatan jumlah leukosit mencapai rata-rata 82% memberikan suatu gambaran atau informasi terhadap perubahan sistem kekebalan tubuh pada saat melakukan AFM. Hal ini dapat menjadi pertimbangan bagi olahragawan yang kompetitif agar memperhatikan masa pemulihan di musim-musim pertandingan untuk menghindari atau mencegah

terjadinya penurunan sistem kekebalan tubuh yang dapat mempengaruhi performance

olahragawan tersebut.

4.2.2. Pengaruh aktifitas fisik maksimal terhadap hitung jenis sel leukosit 4.2.2.1. Hitung jenis neutrofil

Berdasarkan hasil uji statistik pada penelitian ini (tabel 6), dapat diketahui bahwa pengukuran yang dilakukan setelah aktifitas fisik maksimal didapatkan rata-rata hitung jenis neutrofil (38.90%) menurun secara signifikan dari pada sebelum aktifitas fisik maksimal (57.19%), seperti terlihat pada gambar 17 di bawah ini.


(70)

0 10 20 30 40 50 60 70

Sebelum AFM Setelah AFM

Pengukuran H it u ng J e n is N e ut ro fil ( % )

Gambar 17. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Hitung Jenis Neutrofil

Keterangan :

Sebelum AFM : Sebelum Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Setelah AFM : Setelah Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Sejalan dengan penelitian lain didapatkan bahwa terjadi penurunan neutrofil setelah aktifitas fisik yang berat secara signifikan. Dalam hal ini terjadinya penurunan neutrofil sangat tergantung pada berat dan durasi dari latihan tersebut, karena latihan yang keras dan berat, dapat mengakibatkan otot (skeletal) mengalami

anaerobic respiratori dan akan menghasilkan penumpukkan asam laktat di dalam

otot. Asam laktat di dalam otot ini akan mengiritasi dan merangsang terjadinya inflamasi (Sodique, 2000). Seperti diketahui bahwa merupakan garis terdepan untuk pertahanan (Guyton, 1997), mereka meninggalkan ruang pembuluh darah dengan cara berdiapedesis dan masuk ke dalam jaringan karena adanya rangsangan langsung oleh


(71)

kemotaksis.

4.2.2.2. Hitung jenis eosinofil

Berdasarkan hasil uji statistik pada penelitian ini (tabel 7), didapat hasil bahwa terjadi penurunan rata-rata hitung jenis eosinofil dari sebelum aktifitas fisik maksimal (1.52%) dibanding setelah aktifitas fisik maksimal (0.19%), seperti terlihat pada gambar 18 berikut ini.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

Sebelum AFM Setelah AFM

Pengukuran H it u ng J e n is E o s inof il ( % )

Gambar 18. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Hitung Jenis Eosinofil

Keterangan :

Sebelum AFM : Sebelum Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Setelah AFM : Setelah Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Dilaporkan pada penelitian lain bahwa terjadi penurunan eosinofil akibat diberikan latihan yang berat. Hal ini disebabkan adanya stres akibat aktifitas mengakibatkan terjadinya peningkatan sekresi hormon dari korteks adrenal dan salah satu produksi


(72)

yang dihasilkan oleh hormon ini mengakibatkan penurunan jumlah eosinofil dalam darah atau eosinopenia walaupun hal ini masih kontradiktif karena ada pendapat lain yang menyatakan terjadinya eosinopenia relatif berhubungan dengan adanya marked limfositosis. (Sodique, 2000)

4.2.2.3. Hitung jenis basofil

Seperti diketahui bahwa fungsi sel basofil dalam darah mirip dengan sel mast

besar yang sangat berperan pada beberapa tipe reaksi alergi, namun pada penelitian ini tidak didapatkan adanya perubahan jumlah sel basofil sebelum AFM maupun setelah AFM berupa renang sampai hampir tenggelam. Penelitian yang dilakukan oleh Sodique (2000) didapatkan terjadinya peningkatan basofil sebelum dan sesudah diberikan latihan yang berat, tetapi tidak signifikan.

4.2.2.4. Hitung jenis limfosit

Berdasarkan hasil uji statistik pada penelitian ini (tabel 10) di dapat hasil nilai rata-rata hitung jenis limfosit setelah AFM (59.95%) meningkat secara signifikan dibandingkan sebelum AFM (37.95%), seperti terlihat pada gambar 19 di bawah ini.


(73)

0 10 20 30 40 50 60 70

Sebelum AFM Setelah AFM

Pengukuran H it u ng J e n is Lim fos it ( % )

Gambar 19. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Hitung Jenis Limfosit

Keterangan :

Sebelum AFM : Sebelum Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Setelah AFM : Setelah Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Penelitian lain (Sodique, 2000) didapatkan bahwa peningkatan hitung jenis limfosit terjadi setelah aktifitas berat, dan peningkatannya signifikan. Telah diketahui bahwa limfosit menghasilkan pertahanan imun terhadap sasaran yang telah diprogramkan. (Sherwood, 1996) Hasil penelitian ini dimana jumlah hitung jenis limfosit meningkat karena beban maksimal akan memacu keluarnya limfosit dari lien menuju aliran darah karena rangsangan dari stres hormon seperti kortisol dan katekolamin. (Mastro, 1999, Jawi, 2001)


(74)

5. Hitung jenis monosit

Berdasarkan dari hasil uji statistik pada penelitian ini (tabel 12) didapat hasil bahwa terjadi penurunan nilai rata-rata hitung jenis monosit setelah aktifitas fisik maksimal (1.10%) dibanding sebelum aktifitas fisik maksimal ( 3.19% ), seperti terlihat pada gambar 20 berikut ini.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Sebelum AFM Setelah AFM

Pengukuran H it u n g Jen is M o n o si t ( % )

Gambar 20. Pengaruh Aktifitas Fisik Maksimal terhadap Hitung Jenis Monosit

Keterangan :

Sebelum AFM : Sebelum Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Setelah AFM : Setelah Aktifitas Fisik Maksimal berupa Renang Sekuat-Kuatnya Sampai Hampir Tenggelam

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Morehouse and Miller (1976), bahwa terdapat penurunan monosit setelah dilakukan latihan berat (bersepeda), dimana stres oleh karena exercise/latihan dapat meningkatkan sekresi hormon kortisol yang dapat menurunkan jumlah monosit dalam darah.


(75)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

5.1.1. Aktifitas fisik maksimal berpengaruh terhadap peningkatan jumlah leukosit secara signifikan.

5.1.2. Aktifitas fisik maksimal berpengaruh terhadap penurunan hitung jenis neutrofil secara signifikan.

5.1.3. Aktifitas fisik maksimal berpengaruh terhadap penurunan hitung jenis eosinofil secara signifikan.

5.1.4. Aktifitas fisik maksimal tidak berpengaruh terhadap perubahan hitung jenis basofil

5.1.5. Aktifitas fisik maksimal berpengaruh terhadap peningkatan hitung jenis limfosit secara signifikan.

5.1.6. Aktifitas fisik maksimal berpengaruh terhadap penurunan hitung jenis monosit secara signifikan.

5.2. Saran

5.2.1. Sebagai bahan pertimbangan bagi olahragawan yang kompetitif agar memperhatikan masa pemulihan di musim - musim pertandingan untuk menghindari atau mencegah terjadinya penurunan sistem kekebalan tubuh


(76)

yang dapat mempengaruhi performance olahragawan tersebut

5.2.2. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan pemeriksaan tambahan sebagai parameter tercapainya aktifitas fisik maksimal seperti nilai ambang kadar asam laktat dan parameter stres oksidatif seperti MDA dan SOD.


(1)

Descriptives

Statistic Std. Error

Mean .5007 .02333

Lower Bound .4519

95% Confidence Interval for Mean Upper Bound .5495

5% Trimmed Mean .5061

Median .4771

Variance .011

Std. Deviation .10433

Minimum .30

Maximum .60

Range .30

Interquartile Range .1249

Skewness -.806 .512

TRMON

Kurtosis -.115 .992

Mean .0452 .02466

Lower Bound -.0065

95% Confidence Interval for Mean Upper Bound .0968

5% Trimmed Mean .0334

Median .0000

Variance .012

Std. Deviation .11028

Minimum .00

Maximum .30

Range .30

Interquartile Range .0000

Skewness 2.123 .512

TRPMON

Kurtosis 2.776 .992

Test of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

TRMON .261 20 .001 .780 20 .000

TRPMO

N .509 20 .000 .433 20 .000

a Lilliefors Significance Correction

Novita Sari Harahap: Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Mencit (Mus musculus L) Jantan, 2008.


(2)

Uji Wilcoxon Persentase Monosit Sebelum dan sesudah Aktifitas Fisik

Maksimal

N Mean Rank Sum of Ranks

Negative Ranks 21(a) 11.00 231.00

Positive Ranks 0(b) .00 .00

Ties 0(c)

POSTMON – PREMON

Total 21

a POSTMON < PREMON

b POSTMON > PREMON

c POSTMON = PREMON

Test

Statistics(b)

POSTMON - PREMON

Z -4.097(a)

Asymp. Sig.

(2-tailed) .000

a Based on positive ranks.

b Wilcoxon Signed Ranks Test


(3)

3.5. Hitung Jenis Eosinofil Sebelum dan Setelah Aktifitas Fisik Maksimal

Descriptives

Statistic Std. Error

Mean 1.5238 .11168

Lower Bound 1.2909

95% Confidence Interval for Mean Upper Bound 1.7568

5% Trimmed Mean 1.5265

Median 2.0000

Variance .262

Std. Deviation .51177

Minimum 1.00

Maximum 2.00

Range 1.00

Interquartile Range 1.0000

Skewness -.103 .501

PREEOS

Kurtosis -2.211 .972

Mean .1905 .08781

Lower Bound .0073

95% Confidence Interval for Mean Upper Bound .3736

5% Trimmed Mean .1561

Median .0000

Variance .162

Std. Deviation .40237

Minimum .00

Maximum 1.00

Range 1.00

Interquartile Range .0000

Skewness 1.700 .501

POSTEOS

Kurtosis .975 .972

Test of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

PREEOS .348 21 .000 .640 21 .000

POSTEO

S .492 21 .000 .484 21 .000

a Lilliefors Significance Correction

Novita Sari Harahap: Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Mencit (Mus musculus L) Jantan, 2008.


(4)

Uji Wilcoxon Hitung Jenis Eosinofil Sebelum dan sesudah Aktifitas Fisik

Maksimal

N Mean Rank Sum of Ranks

Negative Ranks 21(a) 11.00 231.00

Positive Ranks 0(b) .00 .00

Ties 0(c)

POSTEOS – PREEOS

Total 21

a POSTEOS < PREEOS

b POSTEOS > PREEOS

c POSTEOS = PREEOS

Test

Statistics(b)

POSTEOS - PREEOS

Z -4.179(a)

Asymp. Sig.

(2-tailed) .000

a Based on positive ranks.

b Wilcoxon Signed Ranks Test


(5)

4.Pernyataan Telah Melakukan Penelitian dari Laboratorium FMIPA UNIMED

Novita Sari Harahap: Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Dan Hitung Jenis Leukosit Pada Mencit (Mus musculus L) Jantan, 2008.


(6)