Stres Kerja Hubungan self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja pada dewasa awal.

pekerjaan mereka. Hal tersebut tentunya akan berdampak pada prestasi dan produktivitas pekerja. Sejalan dengan pendapat Beehr dan Newman, Anoraga 1992 mengemukakan bahwa stres kerja dibagi menjadi tiga gejala, yaitu: a. Gejala Fisiologis Karyawan yang mengalami stres kerja akan menunjukkan tanda-tanda, seperti: sakit kepala, mudah kaget, sakit maag, sering mengalami keringat dingin, mengalami gangguan pola tidur, mudah lesu dan letih, mengalami kaku leher dari belakang sampai punggung, dada terasa panasneyeri, mengalami gangguan makan, sering merasakan mual sampai muntah, bagi wanita sering mengalami gangguan mestruasi dan keputihan, pingsan, dan mengalami kejang-kejang. b. Gejala Emosional Perilaku yang ditunjukkan karyawan pada gejala emosional, yaitu: pelupa, sulit untuk berkonsentrasi, sulit mengambil keputusan, mudah merasa cemas, selalu merasa kuatir, sering mengalami mimpi buruk, mudah marah, mudah menangis, gelisah, sering melamun, dan memiliki pemikiran untuk bunuh diri. c. Gejala Sosial Perilaku-perilaku yang ditunjukkan seroang karyawan pada gejala sosial, yaitu: minum-minuman beralkohol, menjadi perokok aktif, sering menarik diri dari pergaulan sosial, sering berkonflik dengan rekan kerja, dan melakukan tindakan kriminal, seperti membunuh. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa indikator stres kerja terdiri dari gejala psikologis, gejala fisiologis dan gejala perilaku. 3. Sumber Stres Kerja Luthans 1992 membedakan bahwa sumber stres stressor kerja terjadi dikarenakan faktor individu, faktor lingkungan baik yang terjadi didalam organisasi maupun diluar organisasi. Sumber stres stressor dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: a. Extra Organizatinal Stressor, sumber stres ini terjadi karena adanya berbagai perubahan atau konflik yang terjadi diluar organisasi, seperti perubahan sosialteknologi, keadaan ekonomi dan keuangan, relokasi, keluarga, adanya permasalahan dengan ras dan kelas, serta keadaan komunitas atau tempat tinggal. b. Organizatinal Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi dan proses yang terjadi dalam organisasi. c. Group Stressors, sumber stres ini berkaitan dengan hubungan individu terhadap karyawan lain, seperti kurangnya kebersamaan dalam grup, kurang adanya dukungan sosial, terjadi konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup. d. Individual Stressors, terjadi karena adanya konflik dan keridakjelasan peran. Selain itu, sumber stres ini berkaitan dengan kepribadian dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI psikologis individu, yakni disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol diri, lerned helplesness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis. Selain itu, Darvis dan Newstom dalam Afrizal, Musadieq, Ruhana, 2014 menjabarkan penyebab stres menjadi sembilan kategori, yaitu: a. Adanya tugas yang terlalu banyak. Stres akan muncul apabila banyaknya tugas tidak seimbang dengan kemampuan fisik ataupun keahlian dan waktu yang dimiliki karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. b. Supervisor yang kurang berkompeten. c. Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. d. Kurang mendapatkan tanggung jawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. e. Ambiguitas peran f. Perbedaan nilai dengan organisasi. g. Frustasi h. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya terjadi jika hak tersebut tidak umum. Situasi ini timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang dilalui ataupun mutasi pada perusahaan lain. i. Konflik peran, terdapat dua tipe umum konflik peran. Pertama, konflik peran intersender, berkaitan dengan harapan organisasi terhadap seorang karyawan yang tidak konsisten dan tidak sesuai. Kedua, konflik peran intrasender, yaitu konflik yang kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki di dua struktur. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Aamodt 2010 juga menyatakan banyak peristiwa dan faktor mampu menimbulkan stres, namun, yang mampu menentukan apakah suatu stressor mampu mempengaruhi individu yaitu tergantung seberapa penting dan bagaimana individu mampu mengendalikan stres yang dirasakan. Aamodt 2010 membagi sumber stres menjadi tiga kelompok, yaitu personal dan occupational. a. Personal Stressor, sumber stres ini berkaitan dengan masalah diluar pekerjaan, seperti keluarga, pernikahan, perceraian, permasalahan dengan kesehatan, keuangan, dan masalah yang berkaitan dengan anak. b. Occupational Stressor, sumber stres yang terjadi dalam lingkungan pekerjaan. Cordes Dougherty 1993 membagi occupational stressor menjadi dua kategori, yaitu job characteristics dan organizatinal characteristics. 1. Job Characteristics Tiga karakteristik utama yang menyebabkan stres, pertama, role conflict berkaitan dengan ketidaksesuaian harapan individu terhadap pekerjaan mereka, namun, mereka harus tetap melakukan pekerjaan tersebut. Kedua, role ambiguity, ketika terjadi ketidakjelasan dalam tugas pekerjaan dan harapan dari suatu kinerja yang tidak jelas. Ketiga, role overload, hal ini terjadi ketika individu merasa kurang mampu pada kemampuannya atau individu tidak mampu menyelesaikan suatu pekerjaan dalam waktu yang telah ditentukan. 2. Organizatinal Characteristics PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Faktor-faktor yang menyebabkan stres dalam karakteristik organisasi yaitu: person-organization fit, faktor ini mengacu pada seberapa baik faktor seperti keterampilan, pengetahuan, kemampuan, harapan, kepribadian, nilai-nilai, dan sikap individu seduai dengan organisasi. Organizational change, kontribusi terbesar dalam organizatinal stres yaitu adanya perubahan yang sering terjadi dari adanya perampingan maupun restrukturisasi. Hubungan dengan orang lain, para pekerja lain dan pelanggan mampu menjadi sumber utama dari stres kerja, hal ini dikarenakan stres berkaitan dengan konflik, berurusan dengan para pelanggan yang marah, bekerja dengan orang-orang yang kurang mampu untuk bekerjasama, dan perasaan bahwa tidak diperlakukan secara adil. Organizatinal politics, berkaitan dengan perilaku melayani diri sendiri yang digunakan karyawan untuk meningkatkan kemungkinan hasil yang positif didalam organisasi. Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyebab timbulnya stres kerja terdiri dari tiga faktor, yaitu: faktor individu, faktor lingkungan sosial, dan faktor lingkungan

B. Self-Esteem Dalam Konteks Organisasi

1. Definisi Self-Esteem Self-esteem atau harga diri merupakan keseluruhan evaluasi diri dari individu terhadap kompetensi-kompetensi yang dimilikinya Rosenberg, 1965. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Coorpersmith dalam Heartherton Wyland, 2003 yang mengatakan self- esteem sebagai hasil evaluasi individu yang lazimnya berkaitan dengan dirinya sendiri, seperti mengungkapkan sikap persetujuan dan menunjukkan sejauh mana individu percaya bahwa dirinya mampu, berharga, berhasil dan penting. Disisi lain, terdapat dua ahli yang mendefinisikan self-esteem sebagai hasil dari evaluasi diri yang akan mempengaruhi cara individu menjalani kehidupannya. Self-esteem merupakan variabel dari kepribadian yang mampu mempengaruhi bagaimana individu berpikir, merasakan dan berperilaku Brockner, 1988. Sejalan dengan pendapat Brockner, Korman 1970 mengemukakan bahwa self-esteem sebagai evaluasi dari nilai keseluruhan diri dan sejauh mana individu melihat dirinya sendiri sebagai “individu yang mampu memuaskan kebutuhannya”. Self-esteem merupakan komponen yang bertindak sebagai mediator atau zona penyangga antara diri dan dunia nyata Ziller, dkk, 1969. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana individu bertindak didalam lingkungan sosialnya dan secara tidak langsung akan berpengaruh pada kehidupan individu dimasa depan. Self-esteem adalah sikap tentang diri dan berkaitan dengan kepercayaan seseorang terhadap keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan pengaruhnya dimasa depan Heatherton Wyland, 2003. Self-esteem terbentuk karena adanya pengaruh dan pengalaman individu terhadap lingkungan sekitarnya. Self-esteem dikembangkan dari akumulasi pengalaman individu yang melampaui tujuan mereka pada beberapa dimensi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI penting James 1980. Coopersmith 1967 mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi yang dilakukan oleh individu mengenai dirinya sendiri, evaluasi diri tersebut merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya serta perlakuan orang lain terhadap dirinya. Selain itu, Menurut Heatherton dan McDavitt 2006, self-esteem dapat mengacu pada diri secara keseluruhan atau pada aspek tertentu dari diri, sepeerti bagaimana individu merasa tentang posisi mereka dalam lingkungan sosial, kelompok ras atau etnis, ciri-ciri fisik, keterampilan atletik, pekerjaan atau akademik, dan sebagainya. Dalam kehidupan, self-esteem memiliki peran penting bagi kesehatan mental individu. Individu yang memiliki self-esteem tinggi secara psikologis akan lebih sehat dan bahagia Branden, 1994; Taylor Brown, 1988. Selain itu, individu yang memiliki self-esteem tinggi akan memberikan lebih banyak manfaat pada diri mereka, seperti individu lebih positif terhadap dirinya sendiri, individu lebih mampu mengatasi tantangan dan umpan balik yang negatif secara efektif, dan individu lebih mampu untuk menghormati nilai-nilai yang dimiliki orang lain Heatherton Wyland, 2003. Sedangkan, individu yang memiliki self-esteem rendah akan cenderung melihat dunia melalui filter yang lebih negatif. Self-esteem dibagi menjadi dua tipe, yaitu: global self-esteem dan specific self-esteem. Global self-esteem mengacu pada keseluruhan evaluasi yang lebih luas tentang pengalaman pribadi Epstien, 1980. Specific self-esteem mengacu pada evaluasi diri pada domain yang lebih sempit Rosenberg, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1979. Rosenberg, dkk dalam Lannakita, 2012 mengatakan, bahwa kedua jenis self-esteem tersebut penting, namun dengan alasan serta cara yang berbeda. Self-esteem global lebih sesuai diterapkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan psikologis, sedangkan self-esteem spesifik lebih sesuai diterapkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa self-esteem adalah keseluruhan evaluasi diri sendiri terhadap nilai keseluruhan diri yang merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungan serta perlakuan orang lain terhadap dirinya. Hal tersebut mencakup kompetensi-kompetensi yang dimiliki individu, seperti percaya bahwa dirinya mampu, berharga, berhasil dan penting. 2. Komponen Self-Esteem Dalam Konteks Organisasi Konstruk self-esteem dalam konteks organisasi disusun oleh Pierce, dkk 1989 berdasarkan self-consistency motivational theory yang di jabarkan oleh Korman pada tahun 1976. Korman 1976 melihat self-esteem dan self- consistency dibentuk karena adanya pengalaman dan sentral dalam menjelaskan motivasi, perilaku dan sikap karyawan. Berdasarkan hal tersebut Pierce, dkk 1989 menjabarkan tiga komponen dalam menyusun aitem self-esteem dalam konteks organisasi. Ketiga komponen tersebut, yaitu: a. Sinyal-sinyal implisit yang ditunjukkan oleh struktur lingkungan Berdasarkan yang telah dilakukan oleh Korman, Pierce, dkk 1989 berteori bahwa segala bentuk kontrol perilaku sistem yang dipaksakan, atau sistem kontrol eksternal, disertai dengan asumsi tentang ketidakmampuan individu dalam self-direct dan self-regulate, salah satu konsekuensi dari sistem yang sangat terstruktur dan dikendalikan cenderung membuat karyawan tidak kompeten dalam organisasi. Karyawan yang memiliki pengalaman dengan tingkat yang lebih tinggi pada self-expression dan kontrol personal, memiliki kecenderung meningkat pada atribut-atribut positif didalam diri karyawan. b. Pesan yang dikirimkan dari orang yang signifikan dalam lingkungan sosial individu. Pengertian self-esteem dalam komponen ini adalah kontruksi sosial yang dibentuk berdasarkan pesan tentang diri individu yang didapatkan dari guru, mentor atau orang-orang yang mengevaluasi kinerja individu. c. Perasaan individu dalam mencapai keberhasilan dan kompetensi yang berasal dari pengalaman lansung dan pribadi. Individu mampu memiliki gambaran positif terhadap diri sendiri ketika mereka memiliki pengalaman akan keberhasilan dalam suatu hal. Pengalaman keberhasilan dalam suatu organisasi akan meningkatkan self-esteem individu, sedangkan pengalaman kegagalan akan memiliki dampak sebaliknya. Individu yang memiliki pengalam berhasil dan memiliki atribut keberhasilan pada diri sendiri akan lebih cenderung