Hubungan self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja pada dewasa awal.

(1)

THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM IN AN

ORGANIZATIONAL CONTEXT AND JOB STRESS TOWARD YOUNG ADULT

Study in Faculty of Psychology in Sanata Dharma University Yunis Mega Saputri

ABSTRACT

This research aimed to determine about the correlation between self-esteem in an organizational context and job stress toward young adult. The hypothesis proposed in this research there was a negative correlation between self-esteem in an organizational context and job stress. Subjects in this research involved 131 employees around Sleman, Yogyakarta and Karanggede, Boyolali with a vulnerable age between 20-40 years and who have worked for minimun one year. Data collected by use Likert scale for both variables. This study used 10-item self-esteem in an organizational context scale adaptation from Pierce, et al (1989) and job stress scale of 30 items. Reliability of self-esteem in an organizational context scale and job stress tested by Alpha Cronbach in SPSS for windows version 17.00. Inter-item correlation criteria used in this study amounted to rix ≥ 0.3. Reliability of self-esteem in an organizational context scale amounted 0,888 and reliability of job stress amounted 0,925. Based on the assumptions test, self-esteem in an organizational context scale and job stress scale were abnormal, but linier. Hypothesis test conducted in this research were using Sperman rho correlation technique. The result from hypothesis test showed that correlation amounted -0,304 with p = 0,000 (p < 0,05). This result indicates that there is a significant negative correlation between self-esteem in an organizational context and job stress.


(2)

HUBUNGAN SELF-ESTEEM DALAM KONTEKS ORGANISASI DAN STRES KERJA PADA DEWASA AWAL

Studi Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Yunis Mega Saputri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja pada karyawan dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang negatif signifikan antara self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja. Penelitian ini berjumlah 131 karyawan yang bekerja didaerah Sleman, Yogyakarta dan Karanggede, Boyolali dengan rentan usia antara 20 – 40 tahun dan masa kerja minimal 1 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala Likert pada kedua variabel. Penelitian ini menggunakan adaptasi skala self-esteem dalam konteks organisasi 10 aitem dari Pierce, dkk (1989) dan skala stres kerja terdiri dari 30 aitem. Pengujian realibilitas pada skala self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja masing-masing diuji dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dalam SPSS for windows versi 17.00. Kriteria korelasi antar aitem yang digunakan dalam penelitian ini sebesar rix ≥ 0,3. Realibitas pada skala self-esteem dalam konteks organisasi sebesar 0,888 dan reliabilitas pada skala stres kerja sebesar 0,925. Berdasarkan hasil uji asumsi, data self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja termasuk dalam distribusi yang tidak normal, namun linier. Uji hipotesis data penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik Sperman rho. Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai korelasi sebesar -0,304 dengan p = 0,000 (p < 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja pada dewasa awal.


(3)

HUBUNGAN SELF-ESTEEMDALAM KONTEKS ORGANISASI DAN STRES KERJA PADA DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Disusun oleh : Yunis Mega Saputri

119114094

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

HALAMAN PERSETUJUAI{ DOSEN PEMBI}IBING

HUBUNGAN SELF.ESTEEM I}ALAM KONTEKS ORGANISASI DAN

STRES KERIA PADA I}EWASA AWAL

Dosen Pembimbing Skripsi,

$"rffi

#

*'"ffi

u*os4

S

"#

"'_#*ffiffi

E

${

//

f::,

|

*il,,"\\

h

H

#:ffiJff:A\

ru

?.Wtr

?

relal, a$.*,,iui

oteh' --)

ffi,


(5)

HALA}TAN PENGESAHAN SKRIPSI

HUBUNGAN .SELT:^ESTEEM N ALAM KONTEKS ORGANISASI DAN

STRES KERJA PADA DEWASA AWAL Dipersiapkan dan ditulis oleh:

Yunis Mega Saputri

NIM: 119114094

Telah dipertahankan di depan panitia penguji Pada Tanggal 19 Agustus 2016 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunaa Panitia Fenguji Narna Lengkap

Penguji

1

: P" HenriettaP. D. A. D. S., S.psi., M.A.

Penguji

2

: Minto Istono, M.Si.

Penguji

3

: C. Siswa Widyatrnoko, M.Si.

Yogyakart4

l$

OCT 2016

Fakultas Psikolosi


(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“ You sh ou l s b e t h a n k f u l f or t h e j ou r n ey of l i f e. You on l y

m a k e t h i s j ou r n er on ce i n y ou r l i f e t i m e”

-L a i l a h Gi f t y A k i t a -

Percay alah bahwa apapun y ang terjadi didalam hidup ini semua ak an indah pada wak tuny a, y ang tepenting adalah k ita mau berusaha, pantang meny erah dan terus berdoa

-anony m-

Cobalah untuk tidak menjadi seseor ang

yang SUKSES, tapi jadilah seseor ang yang

ber nilai


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini aku persembahkan kepada:

Allah SWT, yang selalu memberikan berkah dan selalu menunjukkan jalan yang terbaik melalui orang-orang yang luar biasa disekitar saya.

Kedua orang tua yang sangat aku sayang, yang selalu mendoakan dan memberikan support tanpa lelah, dan kesabaran yang tak terhingga, sehingga aku bisa

menyelesaikan gelar sarjanaku. I love you ma, pa...

Kakak-kakaku tersayang, terimakasih atas nasehat, dukungan, dan doa. Kalian merupakan salah satu penyemangat untuk aku bisa menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih atas waktu kalian untuk mau mendengarkan celotehanku.

Dosen pembimbing, yang selalu sabar, mendorong, membimbing, dan berusaha untuk meluangkan waktunya.

Mba Anis dan Mas Hen, terimakasih sudah banyak membantu dan mendukungku selama di Jogja.

Sahabat-sahabat ku tercinta, Chacha, Yosi, dan Natia. Terimakasih atas semua kebahagian, kecerian, tawa dan canda kalian ^ _^


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuatkarya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dari daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah

Yogyakarta, 24 Juli 2016

Penulis,

t

/u/n/

h/

)-/

'ln

ftA/tl'

ltrAI

II"

tr

Yunis Mega Saputri


(9)

vii

HUBUNGAN SELF-ESTEEM DALAM KONTEKS ORGANISASI DAN STRES KERJA PADA DEWASA AWAL

Yunis Mega Saputri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja pada karyawan dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang negatif signifikan antara self-esteem dalam konteks organisasidan stres kerja. Penelitian ini berjumlah 131 karyawan yang bekerja didaerah Sleman, Yogyakarta dan Karanggede, Boyolali dengan rentan usia antara 20 – 40 tahun dan masa kerja minimal 1 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala Likert pada kedua variabel.Penelitian ini menggunakan adaptasi skala self-esteem dalam konteks organisasi 10 aitem dari Pierce, dkk (1989) dan skala stres kerja terdiri dari 30 aitem. Pengujian realibilitas pada skala self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja masing-masing diuji dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dalam SPSS for windows versi 17.00. Kriteria korelasi antar aitem yang digunakan dalam penelitian ini sebesar rix ≥ 0,3. Realibitas pada skala self-esteem dalam konteks organisasi sebesar 0,888 dan reliabilitas pada skala stres kerja sebesar 0,925. Berdasarkan hasil uji asumsi, data self-esteem dalam konteks organisasidan stres kerja termasuk dalam distribusi yang tidak normal, namun linier. Uji hipotesis data penelitian dilakukan dengan menggunakan teknik Sperman rho. Hasil uji hipotesis menunjukkan nilai korelasi sebesar -0,304 dengan p = 0,000 (p < 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dalam konteks organisasidan stres kerja pada dewasa awal.


(10)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM IN AN

ORGANIZATIONAL CONTEXT AND JOB STRESS TOWARD YOUNG ADULT

Yunis Mega Saputri

ABSTRACT

This research aimed to determine about the correlation between self-esteem in an organizational contextand job stress toward young adult. The hypothesis proposed in this research there was a negative correlation between between self-esteem in an organizational context and job stress. Subjects in this research involved 131 employees around Sleman, Yogyakarta and Karanggede, Boyolali with a vulnerable age between 20-40 years and who have worked for minimun one year. Data collected by use Likert scale for both variables. This study used 10-item between self-esteem in an organizational context scale adaptation from Pierce, et al (1989) and job stress scale of 30 items. Reliability of between self-esteem in an organizational context scale and job stress tested by Alpha Cronbach in SPSS for windows version 17.00. Inter-item correlation criteria used in this study amounted to rix≥ 0.3. Reliability of between self-esteem in an organizational context scale amounted 0,888 and reliability of job stress amounted 0,925. Based on the assumptions test, between self-esteem in an organizational context scale and job stress scale were abnormal, but linier. Hypothesis test conducted in this research were using Sperman rho correlation technique. The result from hypothesis test showed that correlation amounted -0,304 with p = 0,000 (p < 0,05). This result indicates that there is a significant negative correlation between between self-esteem in an organizational contextand job stress.


(11)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA

ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharrna

Nama

Nomor Mahasiswa

: Yunis Mega Saputri

:119114094

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

TIUBUNGAN,SEIF-E^S T E E M D ALAM KONT EKS ORGANI SAS

I

DAN STRES KERJA PADA DEWASA AWAL

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan

dalam bentuk media lain, mengelolanya

di

internet atau media

lain

untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta

ijin

dari saya maupun memberikan

royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis,

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : Juli 2016 Yang menyatakan,

1X


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmatNya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Skripsi ini disusun bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa adanya dorongan, bimbingan, dukungan, serta bantuan dari beberpa pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. T Priyo Widiyanto, M.si, selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.si, selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Debri Pristinella, S.psi., M.si, Selaku Dosen pembimbingan Akademik. Terimakasih bu, selama 4 tahun lebih ibu telah mendukung, mendorong, membimbing saya. Terimakasih ibu sudah menjadi Dosen pembing akademik yang luar biasa. Semoga apa yang telah ibu berikan kepada saya menjadi bekal saya.

4. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S.,M.A, selaku Wakil Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar, membantu, dan selalu membimbing dengan sabar. Terimakasih untuk segala ilmu berharga yang telah diberikan, serta waktu yang diberikan. Terimakasih atas perhatian dan motivasi yang telah diberikan selama proses skripsi. Semoga Tuhan selalu melindungi dan memberikan kesehatan untuk mba Etta.

5. Bapak R. Landung E.P.,Mp.si, terimakasih atas kebijaksanaan, ilmu dan nasehat yang bapak berikan. Secara tidak langsung bapak berperan atas skripsi saya. Terimakasih banyak atas waktu yang diberikan.


(13)

xi

6. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, Terimakasih atas ilmu, perhatian, dan dinamika selama saya menempuh perkuliahan. Saya sangat bangga bisa bertemu Bapak dan Ibu. Semoga ilmu yang diberikan bisa berguna dana saya terapkan.

7. Wakil Rektor 1, terimakasih telah memberikan izin kepada penulis untuk menyebarkan skala pada karyawan Universitas Sanata Dharma. Terimakasih atas keramahan dan bantuan yang diberikan.

8. Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, dan Pak Gie, terimakasih atas bantuan, dan kerjasama yang telah diberikan.

9. Mas Gabi selaku pemilik Yamie Panda dan Kafe Aliveyang telah memberikan kesempatan pada saya untuk dapat menyebarkan skala penelitian.

10. Mba Santi, selaku HRD dari management Yamie Panda yang telah banyak membantu dalam menyebarkan skala penelitian. Terimakasih mba atas waktu dan bantuan yang telah diberikan.

11. Gunam, Mas Gerry, Mba Yovie dan Elis, terimakasih kalian telah bersedia untuk membantu saya menyebarkan skala penelitian. Semoga kalian selalu didalam lindungan Tuhan.

12. Om Bero, Mas ook, Mba Yoan, Mba Bety, terimakasih sudah bersedia membantu untuk menyebarkan skala.

13. Seluruh responden yang berpartisipasi dalam pengisian skala, terimakasih atas waktu, kesedian dan kerjasamanya. Semoga Tuhan bisa membalas kebaikan kalian.

14. Orang tuaku tersayang, penyemangat dan motivasiku. Terimakasih tak terhingga atas apa yang telah kau berikan, Terimakasih atas doa, dukungan dan kasih sayang yang luar biasa yang diberikan. Terimakasih telah mendukung apapun pilihan yang aku pilih. Aku sangat menyangi kalian. Semoga aku bisa menjadi anak kebanggaan dan semoga Allah selalu memberikan kesehatan


(14)

xii

untuk kalian, sehingga kalian bisa selalu mendampingiku. Maaf skripsi ini baru aku bisa persembahkan sekarang. I Love U So Much.

15. Kakak-kakaku tersayang, Mba Ita, Mba Ina, Mas Arie, dan Mas Rifki, terimakasih atas dukungan, bantuan, serta doa yang diberikan kepadaku. Terimakasih sudah mau mendengarkan keluh kesahku. Aku bangga punya kalian.

16. Keponakanku tercinta, Alexi dan Aira, kalian penyemangatku disaat aku lelah mengerjakan skripsi. Terimakasih atas kecerian, keluguan, dan kelucuan disetiap tingkah laku kalian. Semoga kalian tumbuh menjadi anak yang membanggakan.

17. Sahabatku, Natia, Yosi dan Chacha, terimakasih atas dukungan dan nasehat kalian. Terimakasih sudah mewarnai masa-masa kuliahku. Terimakasih kalian selalu ada disaat aku membutuhkan kalian. Terimakasih kalian mau menjadi pendengar yang baik disaat aku lelah. Semoga kita bisa selalu bersama, meskipun nanti kita tidak satu kota lagi. Aku sayang kalian.

18. Mba Dita dan Mba Ntonk, terimakasih atas kesempatan yang kalian berikan kepadaku. Terimakasih atas pelajaran yang begitu berharga. Aku sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan dan pengalaman yang tidak pernah aku lupakan.

19. Teman-teman masdha 2010, 2011, 2012 dan 2013 yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu. Terimakasih atas dinamika bersama kalian. Terimakasih atas cerita yang begitu indah bersama kalian.

20. Mas Anju dan Vincent, terimakasih sudah memberikan aku pelajaran yang berharga, meskipun diawal kita sering salah paham, tapi pada akhirnya kita bisa menyelesaikan kesalah pahaman itu. Kita luar biasa.

21. Buat mandana makasih sudah mau jadi teman untuk bergosip ria dan selalu mensupport kalau aku pasti bisa menyelesaikan skripsi secepat mungkin.


(15)

xiii

Hahaha dan untuk mas Ucil, terimakasih sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membantuku.

21. Temen-temen padepokan mba Etta, Yosi, Natia, Aji, Sica, Anoy, Rara, Ayik, Ika, Lia, Awang, betrik dan juga anak 2012 (maaf ga bisa sebutin satu persatu, hehe). Terimakasih sudah mau menjadi tempat berkeluh kesah tentang skripsi dan terimakasih juga atas bantuan kalian.

22. Seluruh teman-teman Psikologi angkatan 2011, terimakasih atas bantuan dan kerjasama kalian. Terimakasih untuk kebersamaan yang begitu luar biasa. 23. Seluruh pihak yang teribat secara langsung maupun tidak langsung,

terimakasih atas bantuan yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka akan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar karya ilmiah ini semakin baik. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Terima kasih.

Yogyakarta, 20 Juli 2016 Penulis


(16)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GRAFIK ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11


(17)

xv

2. Manfaat Praktis ... 11

BAB II: LANDASAN TEORI ... 13

A. Stres Kerja ... 13

1. Definisi Stres Kerja ... 13

2. Gejala Stres Kerja ... 15

3. Sumber Stres Kerja ... 18

B. Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 21

1. Definisi Self-Esteem ... 21

2. Komponen Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 24

3. Dampak Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 26

C. Dewasa Awal ... 28

D. Dinamikan Hubungan Antara Stres Kerja dan OBSE ... 30

E. Skema Penelitian ... 33

F. Hipotesis ... 34

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Variabel Penelitian ... 35

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 35

1. Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 35

2. Stres Kerja ... 36

D. Subjek Penelitian ... 36


(18)

xvi

1. Skala Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 39

2. Skala Stres Kerja ... 41

F. Validitas dan Reliabilitas ... 42

1. Validitas ... 42

2. Seleksi Item ... 43

a. Skala Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 44

b. Skala Stres Kerja ... 44

3. Reliabilitas ... 45

G. Metode Analisis Data ... 46

1. Uji Asumsi ... 46

a. Uji Normalitas ... 47

b. Uji Linieritas ... 47

2. Uji Hipotesis ... 47

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Pelaksanaan Penelitian ... 49

B. Deskripsi Subjek ... 49

C. Deskripsi Data Penelitian ... 50

D. Hasil Penelitian ... 53

1. Uji Asumsi ... 53

a. Uji Normalitas ... 53

b. Uji Linieritas ... 55


(19)

xvii

3. Analisis Tambahan ... 59

E. Pembahasan ... 63

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 67

A. Kesimpulan ... 67

B. Saran ... 67

1. Bagi Subjek Penelitian ... 67

2. Bagi Intansi atau Perusahaan ... 68

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70


(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skala Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 40

Tabel 2. Penilaian Skala Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 40

Tabel 3. Sebaran Aitem Skala Stres Kerja ... 41

Tabel 4. Penilaian Skala Stres Kerja ... 42

Tabel 5. Sebaran Aitem Skala Stres Kerja Setelah Try Out ... 45

Tabel 6. Kategorisasi Nilai Korelasi ... 48

Tabel 7. Identitas Jenis Kelamin dan Lama Bekerja ... 49

Tabel 8. Data Mean Teoritis dan Mean Empiris ... 51

Tabel 9. Hasil Uji One Sample t-test Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 51

Tabel 10. Hasil Uji One Sample t-test Stres Kerja ... 52

Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Self-esteem dan Stres Kerja ... 54

Tabel 12. Hasil Uji Linieritas Self-esteem dan Stres Kerja ... 56

Tabel 13. Hasil Uji Korelasi Self-esteem Dalam Konteks Organisasi dan Stres Kerja ... 58

Tabel 14. Hasil Analisis Tambahan Self-esteem Dalam Konteks Organisasi dengan Jenis Kelamin Laki-laki dan Perempuan ... 59

Tabel 15. Hasil Analisis Tambahan Stres Kerja dengan Jenis Kelamin Laki-laki dan Perempuan ... 60

Tabel 16. Hasil Analisis TambahanSelf-esteemdengan Masa Kerja ... 61


(21)

xix

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1. Histogram dan Kurva Variabel Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 54 Grafik2. Histogram dan Kurva Variabel Stres Kerja ... 55 Grafik 3. Scatterplot Hasil Uji Linieritas ... 57


(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Asli dari Pierce, dkk (1989) ... 76 Lampiran 2. Skala Tryout ... 77 Lampiran 3. Reliabilitas Skala Self-esteem Dalam Konteks Organisasi ... 87 Lampiran 4. Reliabilitas dan Seleksi Aitem Skala Stres Kerja ... 89 Lampiran 5. Skala Final ... 94 Lampiran 6. Hasil Uji Beda Mean One Sample T-Test ...102 Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas dan Uji Linieritas Skala Self-esteem Dalam Konteks

Organisasi dan Stres Kerja ... 104 1. Hsil Uji Normalitas Self-esteem Dalam Konteks Organisasi dan Stres Kerja ... 104 2. Hasil Uji Linieritas ... 105 Lampiran 8. Hasil Uji Hipotesis ... 107 Lampiran 9. Hasil Anlisis Tambahan ... 108

1. Hasil Uji-U antara Self-esteem Dalam Konteks Organisasi dengan Jenis Kelemin ... 108 2. Hasil Uji-U antara Stres Kerja dengan Jenis Kelamin ... 109 3. Hasil Uji-U antara Self-esteem Dalam Konteks Organisasi dengan Masa Kerja ... 110 4. Hasil Uji-u antara Stres Kerja dengan Masa Kerja ... 111


(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Individu perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Suatu pekerjaan mampu membuat individu dewasa awal memiliki kemandirian pribadi, ekonomi serta mampu mengembangkan karir mereka (Santrock, 1995). Selain itu, Santrock (1995) menyatakan dengan bekerja individu akan memulai peran dan tanggung jawab yang baru.

Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan kerja sebagai sesuatu yang harus dilakukan individu untuk mencapai tujuannya, sehingga dibutuhkan kesadaran diri individu, baik secara fisik maupun psikologis. Kerja adalah beban, kewajiban, sumber penghasilan, kesenangan, gengsi dan aktualisasi diri (Supriyadi, 2003). Sedangkan, Brown, (dalam Anoraga, 1998) lebih menyoroti kerja sebagai penggunaan proses mental dan fisik dalam mencapai beberapa tujuan yang produktif.

Sebuah pekerjaan akan mampu membuat individu mandiri secara ekonomi. Dalam kehidupan individu, pekerjaan mampu mempengaruhi secara finansial, tempat tinggal, pertemanan, dan kesehatan (Allen, 2013). Sebuah pekerjaan juga mampu mempengaruhi gaya hidup seseorang, serta menjadi penentu kuat status individu dalam masyarakat (Brown, 2002).


(24)

Ketika individu dewasa mulai memasuki dunia kerja, terkadang mereka tidak sadar bahwa mereka menghabiskan sepertiga waktunya untuk bekerja, sehingga hal tersebut memunculkan kondisi yang tidak menyenangkan. Individu harus segera beradaptasi dengan kondisi yang tidak menyenangkan tersebut, jika individu gagal, maka akan memicu stres pada individu dewasa. Stres didefinisikan sebagai suatu kondisi ketegangan, sehingga hal tersebut berdampak pada emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang (Handoko, 2001). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rivai dan Mulyadi (2012) yang mengatakan bahwa stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan keterpaksaan seseorang dalam menanggapi kondisi yang melebihi kemampuannya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan).

Cox (dalam Susiyatri, 2004) lebih menyoroti stres sebagai hasil dari interaksi antara stimulus dan respon, dengan interaksi tersebut terjadi beberapa ketidakseimbangan antara seseorang dan lingkungannya. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh National Institute of Ocupational Safety and Health (1999) bahwa stres merupakan akibat dari persyaratan suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuan, sumber daya dan kebutuhan, sehingga membahayakan fisik dan psikis pekerja

Menurut Braham (dalam Harianto, Wiguna & Rakhmad, 2008), dampak dari stres adalah gangguan pada fisik, emosional, intelektual dan interpersonal. Seseorang yang mengalami stres pada fisik akan mengalami gangguan, seperti gangguan pada tidur, sakit kepala, perubahan pola makan, dan lain-lain.


(25)

Gangguan pada emosional mengakibatkan individu menjadi mudah marah, sensitif dan mudah tersinggung, gelisah, cemas, dan lain sebagainya. Stres yang mempengaruhi intelektual dapat menyebabkan, daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, dan suka melamun berlebihan. Sedangkan, gangguan pada interpersonal terlihat ketika individu mudah menyalahkan orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, kepercayaan pada orang lain menurun, dan mudah mengingkari janji. Schultz dan Schultz (2010) berpendapat bahwa, seseorang yang mengalami stres akan mengalami gangguan yang melibatkan sistem kekebalan tubuh mereka, sehingga jika seorang pekerja yang mengalami stres pada tingkat yang tinggi akan lebih mudah terserang penyakit, dibandingkan dengan pekerja yang tidak mengalami stres atau dengan tingkat stres yang rendah.

Stres dapat memberikan pengaruh positif saat stres mampu meningkatkan kualitas kinerja seseorang. Seseorang justru akan merasa bosan dan tidak puas terhadap pekerjaannya, ketika tidak dihadapkan dengan tantangan. Seperti pernyataan Looker (2005), tuntutan dan tantangan yang terlampau sedikit dapat menyebabkan kebosanan, frustasi, dan perasaan bahwa tidak sedang menggunakan kemampuan-kemampuan secara penuh. Pada kenyataannya, tingkat tertentu dari stres sangat diperlukan untuk motivasi, pertumbuhan, perkembangan, dan perubahan, atau yang biasa dikenal dengan eustress (Selye, dalam Cooper, Dewe, & O’Driscoll 2001).

Hager (1999) mengatakan bahwa stres bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang


(26)

dirasakannya. Distress merupakan respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (Quick & Quick,dalam Waluyo 2013). Menurut Luthan (dalam Noviansyah & Zunaidah 2011), mengatakan ketika seseorang tidak mampu mengahadapi tekanan-tekanan yang terjadi dalam dirinya, maka hal tersebut akan menimbulkan frustasi, konflik, gelisah, dan rasa bersalah yang merupakan tipe-tipe dasar stres.

Di Indonesia stres menjadi salah satu kondisi yang memprihatinkan, hal tersebut dikarenakan stres mampu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan individu. Pada tahun 2009, Dr. Ratna Mardiyati dari Rumah Sakit Soeharto menyatakan 1 – 3 persen warga DKI Jakarta mengalami tingkat stres akut yang disebabkan oleh masalah pekerjaan (www.kompasiana.com). Jajak pendapat terhadap 3.000 orang dewasa menemukan sebanyak 72% karyawan yang berusia di bawah 30-an sering terserang penyakit setidaknya satu hari dalam sebulan, dibandingkan 46% karyawan berusia diatas 55 tahun. Riset yang sama juga menunjukkan seperempat karyawan muda cenderung mengambil cuti akibat stres daripada satu dari enam karyawan yang lebih senior dan sekitar 86% karyawan umur 18 – 29 tahun merasakan stres di tempat kerja dibandingkan karyawan yang lebih tua (www.life.viva.co.id).

Survei yang dilakukan oleh Regus pada tahun 2012 pada 16.000 orang pekerja profesional di seluruh dunia, menemukan bahwa lebih dari setengah pekerja di Indonesia (64%) mengalami stres. Beberapa penyebab utama stres kerja di Indonesia disebabkan oleh pekerjaan (73%), manajemen perusahaan (39%), dan keuangan pribadi (36%). Sedangkan, berdasarkan jajak pendapat


(27)

Kompas terhadap 614 responden dari beberapa kota besar di Indonesia yang dilakukan melalui telepon pada tahun 2015 menunjukkan bahwa mayoritas atau sebanyak 43,5% mengalami stres karena diakibatkan pekerjaan yang menumpuk (www.mri-research-ind.com). Fillipo Sarti, CEO, Regus Asia mengatakan bahwa pekerja yang megalami stres akan membuat seseorang menjadi tidak bahagia dan tidak sehat (www.tnol.co.id).

Selain itu, survei nasional di Amerika menyatakan 55% orang dewasa yang stres cenderung kinerja mereka akan menurun (American Psychological Association, 2007). Hasil survei yang dilakukan oleh Canada Life terhadap 1.100 karyawan menunjukkan dampak dari stres yang dialami oleh para pekerja. Hasil survei tersebut menunjukkan sekitar 22% pekerja mengaku terlalu takut untuk meminta bantuan kepada rekan dan atasannya. Hampir setengah (48%) mengakui bahwa stres berdampak negatif terhadap kehidupan kerja mereka, sehingga mereka memilih untuk cuti dari pekerjaan sebagai akibatnya dan sekitar 31% pekerja mengaku produktivitas dan konsentrasi mereka menurun (www.portalhr.com).

Stres pada pekerja tidak hanya berdampak pada individu saja, melainkan memiliki dampak pada organisasi. Seperti survei yang dilakukan oleh Jamal (2007) pada 630 pekerja di Malaysia dan Pakistan, menemukan bahwa tingkat stres yang tinggi ditempat kerja menyebabkan prestasi kerja yang rendah, tingginya ketidakhadiran pekerja, dan meningkatnya keinginan untuk keluar dari pekerjaan. Schultz dan Schultz (2010) juga memaparkan bahwa stres ditempat kerja sangat berharga bagi suatu perusahaan, dikarenakan akan


(28)

berdampak pada produktivitas pekerja yang menurun, motivasi pekerja yang rendah, dan meningkatnya kesalahan dan kecelakaan kerja. Selain itu, stres pada pekerja memungkinkan terjadinya perilaku kontraproduktif, seperti mencuri, penyalahgunaan narkoba dan alkohol.

Di Indonesia terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan stres kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Susiyatri (2004) pada 60 karyawan PT. Java Gloves Perdana menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara stres kerja dan produktivitas karyawan, artinya semakin tinggi stres kerja yang dialami oleh karyawan, maka semakin rendah produktivitasnya. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susiyatri, penelitian lain menunjukkan bahwa stres kerja memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. BRI Cabang Kebumen, artinya semakin tinggi stres kerja maka semakin rendah kinerja karyawan (Hidayati, Purwanto, & Yuwono, 2008).

Luthans (1992), memaparkan bahwa penyebab stres terdiri dari empat hal. Pertama, extra organizational stressor, yang berkaitan diluar bidang pekerjaan, seperti: perubahan sosial/teknologi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, keluarga, serta keadaan komunitas atau tempat tinggal. Kedua,

organizational stressor, sumber stres ini berkaitan dengan hal-hal yang berlaku

pada sebuah organisasi, seperti: kebijakan, struktur, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi. Ketiga, group stressor


(29)

intraindividu. Keempat, individual stressors yaitu sumber dari individu itu sendiri, seperti pola kepribadian, self-efficacy dan daya tahan psikologis.

Hasil survei dari American Psychological Association (2007), menemukan faktor utama penyebab stres pekerja, seperti gaji yang rendah (44%), kurangnya kesempatan untuk berkembang (42%), Ketidakpastian dalam bekerja (40%), dan waktu bekerja yang panjang (39%). Papalia dan Olds (1986), memaparkan beberapa pemicu stres pada individu dewasa dalam bekerja, yaitu: kurangnya promosi dan naik jabatan, rendahnya gaji, pekerjaan yang monoton, tidak memiliki andil dalam membuat keputusan, beban kerja yang berat dan overtime, deskripsi pekerjaan yang tidak jelas, memiliki masalah dengan atasan, bos yang tidak mendukung, ketidakmampuan atau kesengganan untuk mengekspresikan frustasi dan rasa marah, adanya batasan dalam produktifitas, waktu istirahat yang tidak sesuai, dan pelecehan seksual. Soewondo (dalam Waluyo 2013) meneliti 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan hasil bahwa penyebab stres terdiri dari: kondisi dan situasi pekerjaan, pekerjaan itu sendiri, job requirement, dan hubungan interpersonal. Dari beberapa penyebab stres yang telah dipaparkan, penyebab stres disebabkan oleh faktor lingkungan, faktor organisasi dan faktor individu.

Penyebab stres ditempat kerja perlu mempertimbangkan faktor pribadi individu yang bisa membuat karyawan rentan terhadap stres. Tidak semua keseluruhan stressor (sumber stres) pada pekerjaan akan memberi dampak yang sama pada karyawan. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat stres pada karyawan yaitu faktor kepribadian. Faktor kepribadian memiliki


(30)

hubungan terhadap toleransi seseorang pada stres (Schultz & Schuktz, 2010). Schultz dan Schuktz (2010), memaparkan variabel-variabel yang dapat menjelaskan perbedaan individu dalam kerentanan seseorang terhadap stres, yaitu: hardiness, the big five factors, self efficacy, locus of control,

organizational-based self-esteem, self control, dan negative affectivity.

Harga diri (self-esteem) didefinisikan sebagai sikap individu tentang dirinya sendiri, yang melibatkan evaluasi diri bersama dimensi positif dan negatif (Baron & Byrne, 1991). Coopersmith (1967) mengatakan self-esteem merupakan evaluasi yang dilakukan oleh individu dan berkaitan dengan dirinya, seperti mengungkapkan sikap persetujuan dan menunjukkan sejauh mana seorang individu percaya bahwa dirinya mampu, beharga, berhasil dan penting. Pada umumnya self-esteem mengacu pada evaluasi secara positif secara keseluruhan (Gecas, 1982).

Koman (1976), menjabarkan harga diri sebagai evaluasi dari nilai keseluruhan diri dan sejauh mana individu melihat dirinya sendiri sebagai “individu yang mampu memuaskan kebutuhannya”. Self-esteem adalah sikap tentang diri dan berkaitan dengan kepercayaan seseorang tentang keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan pengaruhnya dimasa depan (Heatherton & Wyland, 2003). Individu yang memiliki self-esteem tinggi akan lebih sehat secara psikologis, karena mampu memandang dirinya lebih positif dibandingkan individu yang memiliki self-esteem rendah.


(31)

Korman (1976) mengungkapkan bahwa sebuah organisasi memainkan secara penuh dalam pembentukan self-esteem pada karyawan, pembentukan tersebut ditentukan dari sikap dan perilaku dalam konteks organisasi. Hal ini didukung juga oleh pernyataan Pierce, dkk (1989), yang menyatakan bahwa

self-esteem dalam konteks organisasi akan terbentuk, ketika pekerja yang

memiliki pengalaman dengan sebuah organisasi, yang akan juga

mempengaruhi perilaku-perilaku dan sikap yang berhubungan dengan organisasi.

Penemuan empiris menunjukkan bahwa self-esteem dalam konteks

organisasi berhubungan dengan meningkatnya kenyamanan seseorang dan mendukung komitmen yang berkelanjutan selama dalam perubahan yang radikal (Hui & Lee, 2000). Self-esteem dalam konteks organisasi juga merupakan kunci dari munculnya kepuasan dalam bekerja, komitmen organisasi, kinerja, dan organizational citizinship (Pierce, dkk., 1989, 1993, 1998). Hal tersebut mampu memberikan bukti bahwa keberadaan self-esteem

dalam sebuah organiasi sangat berperan penting dalam kesuksesan sebuah organisasi.

Self-esteem mampu memotivasi seseorang dengan persepsi bahwa dirinya

positif. Karyawan yang memiliki self-esteem tinggi mempunyai perasaan yang kuat terhadap self-efficacy (Bandura, dalam Pierce, dkk 1989). Hal ini cenderung membuat seseorang memiliki harapan yang kuat bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang dibutuhkan dalam mencapai prestasi pada pekerjaan (Pierce, dkk 1989). Beberapa penelitian telah menunjukkan asosiasi


(32)

yang positif antara self-esteem dan kepuasan hidup secara umum (Diener, dalam Kenning & Hill, 2012), popularitas atau integrasi sosial (Demo, dkk, dalam Kenning & Hill, 2012), dan asosiasi negatif antara self-esteem terhadap alkohol atau narkoba (Dielman, dalam Kenning & Hill, 2012).

Menurut Korman (1976), menyatakan seseorang yang memiliki skor tinggi pada self-esteem dalam konteks organisasi cenderung merasa puas akan kebutuhannya melalui perannya dalam sebuah organisasi. Pekerja juga percaya bahwa diri mereka dapat dipercaya, bernilai, dan dapat berkontribusi sebagai anggota dalam sebuah organisasi (Pierce, Gardner, Dunham, & Cummings, 1989). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa seorang pekerja yang memiliki skor tinggi pada self-esteem dalam konteks organisasi lebih memiliki motivasi yang besar dalam bekerja (Pierce, dkk., 1989), memiliki motivasi

intrinsic (Hui & Lee, 2000), dan memiliki kinerja tinggi dalam mencapai

kesuksesan (Van Dyne & Pierce, 2003). Carson, Carson, Lanford & Roe (1997) menyatakan bahwa individu dengan self-esteem tinggi akan memiliki orientasi karir yang lebih besar dan cenderung tidak memperlambat dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Selain itu, individu dengan self-esteem tinggi akan lebih mampu menghormati diri sendiri, memiliki rasa kebanggan terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan dalam penerimaan diri dan lebih menyukai diri sendiri, sehingga hal tersebut akan cenderung membuat tingkat stres kerja mereka jauh lebih rendah (Bernard, 1991).


(33)

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai hubungan self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja pada dewasa awal.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan

self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja pada dewasa awal”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pada ilmu psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi yang berkaitan dengan self-esteem dalam konteks organisasi dengan stres kerja. Penelitian ini juga diharapkan mampu mendukung penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan self-esteem dan stres kerja.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan refleksi bagi seorang karyawan bahwa self-esteem merupakan hal yang perlu dikembangkan, agar dapat menyikapi stres pada pekerjaan secara tepat dan bijaksana, khususnya


(34)

pada individu dalam masa dewasa awal. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu instansi atau perusahaan untuk dapat memahami hubungan

self-esteem dalam konteks organisasi dan stres kerja, sehingga dapat

merancang program untuk meminimalisir tingkat stres kerja agar mampu meningkatkan kinerja karyawan.


(35)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres Kerja

1. Definisi Stres Kerja

Stres adalah reaksi psikologi terhadap kejadian yang dianggap mengancam atau berat (Riggio, 2009). Mendukung pernyataan tersebut, Krantz, dkk (dalam Colligsn & Higgins, 2005) mendefinisikan stres sebagai perubahan keadaan fisik atau mental seseorang dalam menanggapi stressor

yang menimbulkan tantangan atau ancaman. Pengertian stres dari kedua ahli tersebut lebih menekankan bahwa stres timbul karena adanya suatu keadaan yang tidak menyenangkan, sehingga memberikan dampak bagi individu.

Disisi lain, Rae (2008) mengatakan stres kerja adalah respon fisik dan emosional yang terjadi ketika pernyaratan dari suatu pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan, sumber daya, atau kebutuhan dari pekerja. Stres juga didefinisikan sebagai suatu kondisi yang terjadi ketika seseorang menyadari adanya tekanan didalam diri mereka atau sebagai situasi yang lebih luas, yang tidak mampu ditangani, jika situasi tersebut terjadi dalam jangka waktu yang lama tanpa adanya jarak, maka akan terjadi masalah mental dan fisik (Mansoor, dkk, 2011). Pengertian stres tersebut lebih menyoroti sebagai suatu kondisi yang tidak mampu di tangani oleh seseorang, sehingga akan memberikan dampak, baik pada fisik maupun psikologisnya.


(36)

Sedangkan, terdapat dua ahli yang lebih menekankan stres sebagai suatu kondisi yang menegangkan bagi individu, sehingga individu tidak mampu mengatasinya, yang berpengaruh pada fisik dan psikis individu. Rivai dan Mulyadi (2012) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan keterpaksaan seseorang dalam menanggapi kondisi yang melebihi kemampuannya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Hal serupa juga disampaikan oleh Handoko (2008), yang mendefinisikan stres sebagai kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang dalam melaksanakan pekerjaan.

Dampak positif pada stres mampu memotivasi, membawa perubahan, mengembangkan dan membawa pertumbuhan bagi seseorang, stres tersebut dikenal dengan eustress (Selye, dalam Cooper, Dewe, & O’Driscoll, 2011). Sedangkan, stres membawa dampak negatif apabila berdampak pada kesehatan dan psikologis seseorang. Distress merupakan stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (Quick & Quick, dalam Waluyo, 2013).

Beberapa pekerjaan menuntut para pekerjanya untuk dapat bekerja secara efektif dan efisien dalam menyelesaikan tuntutan yang ada, sehingga, hal tersebut menuntut individu untuk dapat mengerahkan segala keahlian dan kemampuanya. Namun terkadang, dalam dunia kerja, tuntutan yang muncul diluar ekspektasi individu. Individu yang mampu menyelesaikan tuntutan pekerjaan dengan baik, maka ia akan mampu bertahan. Sedangkan, individu yang kurang mampu menyelesaikan tuntutan pekerjaan dengan baik, ia akan


(37)

merasakan berbagai tekanan, baik dari dalam diri individu itu sendiri atau tekanan dari luar diri individu. Terdapat beberapa ahli yang mengatakan bahwa stres kerja muncul karena adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan individu. Stres pekerja muncul karena adanya ketidaksesuaian antara keterampilan seseorang, kemampuan dan tuntutan pekerjaan (French, dkk, dalam Riggio, 2009). Stranks (2005), mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi psikologis yang dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan subjek untuk mengatasi berbagai tuntutan yang muncul.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah ketidakseimbangan reaksi individu dalam menghadapi suatu kondisi yang muncul, dikarenakan adanya berbagai tuntutan, sehingga memberikan dampak bagi individu baik secara fisik, psikologis maupun pada perilaku individu.

2. Gejala Stres Kerja

Beehr dan Newman (dalam Waluyo, 2013) mengelompokkan gejala stres menjadi tiga, yaitu:

a. Gejala Psikologis

Stres kerja mampu memberikan dampak pada psikis pekerja. Pekerja akan menunjukkan emosi yang lebih negatif ketika mereka sedang mengalami stres, seperti mudah marah, mudah merasa tersinggung, dan lebih sensitif. Ketika dihadapkan pada suatu masalah,


(38)

individu cenderung kurang percaya diri dalam menyelesaikannya. Mereka juga cenderung cepat merasa bosan ketika bekerja dan merasa tidak puas dalam bekerja. Individu yang mengalami stes kerja akan menunjukkan perilaku seperti mudah merasa cemas, bingung, tegang, komunikasi mereka tidak efektif dan cenderung menarik diri dari pergaulan. Selain itu, gejala stres pada psikologi juga dapat terlihat dari berkurangnya spontanitas dan kreativitas seseorang.

b. Gejala Fisiologis

Stres kerja juga mampu memberikan dampak pada fisik pekerja. Pekerja yang mengalami stres akan mengalami kelelahan fisik. Mereka juga cenderung lebih sering mengalami luka fisik dan kecelekaan ditempat kerja. Imun tubuh pada pekerja yang mengalami stres lebih rendah, sehingga menyebabkan individu lebih sering mengalami gangguan kesehatan seperti gangguan pada lambung, pernafasan, sakit kepala, sakit punggung, tegang otot, meningkatnya denyut jantung dan mengalami tekanan darah tinggi. Selain itu, individu juga akan mengalami gangguan pada pola tidur mereka.

c. Gejala Perilaku

Seseorang yang mengalami stres kerja akan cenderung menunda atau bahkan menghindari pekerjan mereka, bahkan beberapa diantaranya lebih memilih untuk absen bekerja. Pekerja yang mengalami stres akan menunjukkan agresivitas yang tinggi dan melakukan sabotase dalam


(39)

pekerjaan mereka. Hal tersebut tentunya akan berdampak pada prestasi dan produktivitas pekerja.

Sejalan dengan pendapat Beehr dan Newman, Anoraga (1992) mengemukakan bahwa stres kerja dibagi menjadi tiga gejala, yaitu:

a. Gejala Fisiologis

Karyawan yang mengalami stres kerja akan menunjukkan tanda-tanda, seperti: sakit kepala, mudah kaget, sakit maag, sering mengalami keringat dingin, mengalami gangguan pola tidur, mudah lesu dan letih, mengalami kaku leher dari belakang sampai punggung, dada terasa panas/neyeri, mengalami gangguan makan, sering merasakan mual sampai muntah, bagi wanita sering mengalami gangguan mestruasi dan keputihan, pingsan, dan mengalami kejang-kejang.

b. Gejala Emosional

Perilaku yang ditunjukkan karyawan pada gejala emosional, yaitu: pelupa, sulit untuk berkonsentrasi, sulit mengambil keputusan, mudah merasa cemas, selalu merasa kuatir, sering mengalami mimpi buruk, mudah marah, mudah menangis, gelisah, sering melamun, dan memiliki pemikiran untuk bunuh diri.

c. Gejala Sosial

Perilaku-perilaku yang ditunjukkan seroang karyawan pada gejala sosial, yaitu: minum-minuman beralkohol, menjadi perokok aktif, sering menarik diri dari pergaulan sosial, sering berkonflik dengan rekan kerja, dan melakukan tindakan kriminal, seperti membunuh.


(40)

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa indikator stres kerja terdiri dari gejala psikologis, gejala fisiologis dan gejala perilaku.

3. Sumber Stres Kerja

Luthans (1992) membedakan bahwa sumber stres (stressor) kerja terjadi dikarenakan faktor individu, faktor lingkungan baik yang terjadi didalam organisasi maupun diluar organisasi. Sumber stres (stressor) dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:

a. Extra Organizatinal Stressor, sumber stres ini terjadi karena adanya

berbagai perubahan atau konflik yang terjadi diluar organisasi, seperti perubahan sosial/teknologi, keadaan ekonomi dan keuangan, relokasi, keluarga, adanya permasalahan dengan ras dan kelas, serta keadaan komunitas atau tempat tinggal.

b. Organizatinal Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur

organisasi, keadaan fisik dalam organisasi dan proses yang terjadi dalam organisasi.

c. Group Stressors, sumber stres ini berkaitan dengan hubungan individu

terhadap karyawan lain, seperti kurangnya kebersamaan dalam grup, kurang adanya dukungan sosial, terjadi konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup.

d. Individual Stressors, terjadi karena adanya konflik dan keridakjelasan


(41)

psikologis individu, yakni disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol diri, lerned helplesness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.

Selain itu, Darvis dan Newstom (dalam Afrizal, Musadieq, & Ruhana, 2014) menjabarkan penyebab stres menjadi sembilan kategori, yaitu:

a. Adanya tugas yang terlalu banyak. Stres akan muncul apabila banyaknya tugas tidak seimbang dengan kemampuan fisik ataupun keahlian dan waktu yang dimiliki karyawan dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut. b. Supervisor yang kurang berkompeten.

c. Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan.

d. Kurang mendapatkan tanggung jawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan.

e. Ambiguitas peran

f. Perbedaan nilai dengan organisasi. g. Frustasi

h. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya terjadi jika hak tersebut tidak umum. Situasi ini timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang dilalui ataupun mutasi pada perusahaan lain. i. Konflik peran, terdapat dua tipe umum konflik peran. Pertama, konflik

peran intersender, berkaitan dengan harapan organisasi terhadap seorang karyawan yang tidak konsisten dan tidak sesuai. Kedua, konflik peran

intrasender, yaitu konflik yang kebanyakan terjadi pada karyawan atau


(42)

Aamodt (2010) juga menyatakan banyak peristiwa dan faktor mampu menimbulkan stres, namun, yang mampu menentukan apakah suatu stressor mampu mempengaruhi individu yaitu tergantung seberapa penting dan bagaimana individu mampu mengendalikan stres yang dirasakan. Aamodt (2010) membagi sumber stres menjadi tiga kelompok, yaitu personal dan

occupational.

a. Personal Stressor, sumber stres ini berkaitan dengan masalah diluar

pekerjaan, seperti keluarga, pernikahan, perceraian, permasalahan dengan kesehatan, keuangan, dan masalah yang berkaitan dengan anak.

b. Occupational Stressor, sumber stres yang terjadi dalam lingkungan

pekerjaan. Cordes & Dougherty (1993) membagi occupational stressor

menjadi dua kategori, yaitu job characteristics dan organizatinal

characteristics.

1). Job Characteristics

Tiga karakteristik utama yang menyebabkan stres, pertama, role

conflict berkaitan dengan ketidaksesuaian harapan individu terhadap

pekerjaan mereka, namun, mereka harus tetap melakukan pekerjaan tersebut. Kedua, role ambiguity, ketika terjadi ketidakjelasan dalam tugas pekerjaan dan harapan dari suatu kinerja yang tidak jelas. Ketiga, role overload, hal ini terjadi ketika individu merasa kurang

mampu pada kemampuannya atau individu tidak mampu

menyelesaikan suatu pekerjaan dalam waktu yang telah ditentukan.


(43)

Faktor-faktor yang menyebabkan stres dalam karakteristik organisasi yaitu: person-organization fit, faktor ini mengacu pada seberapa baik faktor seperti keterampilan, pengetahuan, kemampuan, harapan, kepribadian, nilai-nilai, dan sikap individu seduai dengan organisasi.

Organizational change, kontribusi terbesar dalam organizatinal stres

yaitu adanya perubahan yang sering terjadi dari adanya perampingan maupun restrukturisasi. Hubungan dengan orang lain, para pekerja lain dan pelanggan mampu menjadi sumber utama dari stres kerja, hal ini dikarenakan stres berkaitan dengan konflik, berurusan dengan para pelanggan yang marah, bekerja dengan orang-orang yang kurang mampu untuk bekerjasama, dan perasaan bahwa tidak diperlakukan secara adil. Organizatinal politics, berkaitan dengan perilaku melayani diri sendiri yang digunakan karyawan untuk meningkatkan kemungkinan hasil yang positif didalam organisasi.

Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyebab timbulnya stres kerja terdiri dari tiga faktor, yaitu: faktor individu, faktor lingkungan sosial, dan faktor lingkungan

B. Self-Esteem Dalam Konteks Organisasi 1. Definisi Self-Esteem

Self-esteem atau harga diri merupakan keseluruhan evaluasi diri dari

individu terhadap kompetensi-kompetensi yang dimilikinya (Rosenberg, 1965). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh


(44)

Coorpersmith (dalam Heartherton & Wyland, 2003) yang mengatakan

self-esteem sebagai hasil evaluasi individu yang lazimnya berkaitan dengan

dirinya sendiri, seperti mengungkapkan sikap persetujuan dan menunjukkan sejauh mana individu percaya bahwa dirinya mampu, berharga, berhasil dan penting.

Disisi lain, terdapat dua ahli yang mendefinisikan self-esteem sebagai hasil dari evaluasi diri yang akan mempengaruhi cara individu menjalani kehidupannya. Self-esteem merupakan variabel dari kepribadian yang mampu mempengaruhi bagaimana individu berpikir, merasakan dan berperilaku (Brockner, 1988). Sejalan dengan pendapat Brockner, Korman (1970) mengemukakan bahwa self-esteem sebagai evaluasi dari nilai keseluruhan diri dan sejauh mana individu melihat dirinya sendiri sebagai “individu yang mampu memuaskan kebutuhannya”.

Self-esteem merupakan komponen yang bertindak sebagai mediator atau

zona penyangga antara diri dan dunia nyata (Ziller, dkk, 1969). Hal ini akan mempengaruhi bagaimana individu bertindak didalam lingkungan sosialnya dan secara tidak langsung akan berpengaruh pada kehidupan individu dimasa depan. Self-esteem adalah sikap tentang diri dan berkaitan dengan kepercayaan seseorang terhadap keterampilan, kemampuan, hubungan sosial, dan pengaruhnya dimasa depan (Heatherton & Wyland, 2003).

Self-esteem terbentuk karena adanya pengaruh dan pengalaman individu

terhadap lingkungan sekitarnya. Self-esteem dikembangkan dari akumulasi pengalaman individu yang melampaui tujuan mereka pada beberapa dimensi


(45)

penting (James 1980). Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem

sebagai evaluasi yang dilakukan oleh individu mengenai dirinya sendiri, evaluasi diri tersebut merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungannya serta perlakuan orang lain terhadap dirinya. Selain itu, Menurut Heatherton dan McDavitt (2006), self-esteem dapat mengacu pada diri secara keseluruhan atau pada aspek tertentu dari diri, sepeerti bagaimana individu merasa tentang posisi mereka dalam lingkungan sosial, kelompok ras atau etnis, ciri-ciri fisik, keterampilan atletik, pekerjaan atau akademik, dan sebagainya.

Dalam kehidupan, self-esteem memiliki peran penting bagi kesehatan mental individu. Individu yang memiliki self-esteem tinggi secara psikologis akan lebih sehat dan bahagia (Branden, 1994; Taylor & Brown, 1988). Selain itu, individu yang memiliki self-esteem tinggi akan memberikan lebih banyak manfaat pada diri mereka, seperti individu lebih positif terhadap dirinya sendiri, individu lebih mampu mengatasi tantangan dan umpan balik yang negatif secara efektif, dan individu lebih mampu untuk menghormati nilai-nilai yang dimiliki orang lain (Heatherton & Wyland, 2003). Sedangkan, individu yang memiliki self-esteem rendah akan cenderung melihat dunia melalui filter yang lebih negatif.

Self-esteem dibagi menjadi dua tipe, yaitu: global self-esteem dan specific

self-esteem. Global self-esteem mengacu pada keseluruhan evaluasi yang

lebih luas tentang pengalaman pribadi (Epstien, 1980). Specific self-esteem


(46)

1979). Rosenberg, dkk (dalam Lannakita, 2012) mengatakan, bahwa kedua jenis self-esteem tersebut penting, namun dengan alasan serta cara yang berbeda. Self-esteem global lebih sesuai diterapkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan psikologis, sedangkan self-esteem spesifik lebih sesuai diterapkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa self-esteem adalah keseluruhan evaluasi diri sendiri terhadap nilai keseluruhan diri yang merupakan hasil interaksi antara individu dengan lingkungan serta perlakuan orang lain terhadap dirinya. Hal tersebut mencakup kompetensi-kompetensi yang dimiliki individu, seperti percaya bahwa dirinya mampu, berharga, berhasil dan penting.

2. Komponen Self-Esteem Dalam Konteks Organisasi

Konstruk self-esteem dalam konteks organisasi disusun oleh Pierce, dkk (1989) berdasarkan self-consistency motivational theory yang di jabarkan oleh Korman pada tahun 1976. Korman (1976) melihat self-esteem dan

self-consistency dibentuk karena adanya pengalaman dan sentral dalam

menjelaskan motivasi, perilaku dan sikap karyawan. Berdasarkan hal tersebut Pierce, dkk (1989) menjabarkan tiga komponen dalam menyusun aitem self-esteem dalam konteks organisasi. Ketiga komponen tersebut, yaitu:


(47)

Berdasarkan yang telah dilakukan oleh Korman, Pierce, dkk (1989) berteori bahwa segala bentuk kontrol perilaku sistem yang dipaksakan, atau sistem kontrol eksternal, disertai dengan asumsi tentang ketidakmampuan individu dalam self-direct dan self-regulate, salah satu konsekuensi dari sistem yang sangat terstruktur dan dikendalikan cenderung membuat karyawan tidak kompeten dalam organisasi. Karyawan yang memiliki pengalaman dengan tingkat yang lebih tinggi pada self-expression dan kontrol personal, memiliki kecenderung meningkat pada atribut-atribut positif didalam diri karyawan.

b. Pesan yang dikirimkan dari orang yang signifikan dalam lingkungan sosial individu.

Pengertian self-esteem dalam komponen ini adalah kontruksi sosial yang dibentuk berdasarkan pesan tentang diri individu yang didapatkan dari guru, mentor atau orang-orang yang mengevaluasi kinerja individu. c. Perasaan individu dalam mencapai keberhasilan dan kompetensi yang

berasal dari pengalaman lansung dan pribadi.

Individu mampu memiliki gambaran positif terhadap diri sendiri ketika mereka memiliki pengalaman akan keberhasilan dalam suatu hal. Pengalaman keberhasilan dalam suatu organisasi akan meningkatkan

self-esteem individu, sedangkan pengalaman kegagalan akan memiliki

dampak sebaliknya. Individu yang memiliki pengalam berhasil dan memiliki atribut keberhasilan pada diri sendiri akan lebih cenderung


(48)

mengalami peningkatan dalam self-efficacy, sehingga hal tersebut akan berdampak pada peningkatan self-esteem (Gardner & Pierce, 2001).

3. Dampak Self-Esteem Dalam Konteks Organisasi

Beberapa penelitian menunjukkan, individu yang memiliki Self-esteem

tinggi akan memberikan dampak positif baik terhadap kinerja maupun perannya didalam sebuah organisasi. Karyawan dengan skor Self-esteem

tinggi memiliki keyakinan bahwa diri mereka dapat dipercaya, dihargai, dan berkontribusi didalam organisasi (Pierce, dkk, 1993; Gardner & Pierce, 1998). Korman (1966, 1970, 1971, 1976) juga berpendapat seorang karyawan yang memiliki skor self-estem tinggi memiliki rasa puas terhadap kebutuhan mereka melalui perannya didalam organisasi.

Carson, dkk (1997) mengatakan bahwa individu dengan skor Self-esteem

tinggi mampu menunjukkan orientasi karir yang lebih kuat dan kurang tertarik untuk memperlambat pekerjaannya, dibandingkan dengan individu dengan skor Self-esteem rendah. Individu dengan skor Self-esteem tinggi juga mampu menunjukkan bahwa mereka tidak dipengaruhi oleh perasaan serta tindakan terhadap evaluasi yang negatif dari manajer atau terhadap kondisi kerja yang tidak menyenangkan (Brockner, 1983).

Individu dengan harga diri yang tinggi akan mengembangkan dan mempertahankan sikap kerja yang menguntungkan, seperti kepuasan kerja, dan akan menunjukkan perilaku produktif pada tingkatan yang lebih tinggi, dikarenakan perilaku merupakan hal yang konsisten terhadap sikap individu


(49)

yang kompeten (Pierce, dkk, 1989). Hollenbeck dan Brief (1987) menyatakan individu dengan self-esteem tinggi akan memiliki tujuan kinerja yang lebih dibandingkan individu dengan self-esteem rendah.

Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa Self-esteem

memberikan dampak pada aspek-aspek dalam dunia kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Pierce, dkk (1989) dan Hui dan Lee (2000) dapat menunjukkan bahwa Self-esteem memiliki korelasi yang positif terhadap

intrinsic motivation. Beberapa penilitian menunjukkan adanya hubungan

positif antara Self-estem dengan kepuasan kerja (Pierce, dkk, 1989), komitmen (Borycki, dkk, 1989; Covin, dkk, 1992; Gardner & Pierce, 1998, 2001; Holdnak, dkk, 1990; Lee, 2003; Tang, Kim, dkk, 2000; Van Dyne & Pierce, 2004), dan organizational identifacation (Bowden, 2000). Penelitian

lain juga menunjukkan bahwa adaptation to organizational change

(Staehle-Moody, 1998), Citizinship Behavior (Tang, dkk, 2000;

Chattopadhyay & George, 2001; Lee, 2003), dan Performance (Carson, dkk, 1997, 1998; Aryee, 2003) memiliki korelasi yang positif terhadap

self-esteem dalam konteks organisasi.

Sedangkan, Perce dan Gardner (1989) menyebutkan individu dengan

self-esteem yang rendah akan mengembangkan dan mempertahankan sikap

kerja yang tidak menguntungkan dan perilaku kerja yang tidak produktif, sehingga sikap mereka menunjukkan secara konsisten bahwa mereka memiliki kompetensi rendah.


(50)

C. Dewasa Awal

Dewasa awal merupakan masa transisi seorang individu dari remaja menuju masa dewasa. Masa transisi ini membuat individu mengalami berbagai perubahan, baik dari segi fisik, kognitif maupun psikologisnya. Beberapa ilmuan perkembangan berpendapat dimulainya individu masuk dalam masa dewasa awal yaitu masa ketika individu tidak lagi remaja, tetapi belum sepenuhnya dewasa (Arnett, 2004 & Furstenberg, dkk, 2005). Menurut Hurlock (1999) mengatakan, masa dewasa awal dimulai pada umur 18 tahun sampai umur 40 tahun, saat terjadi perubahan-perubahan baik secara fisik maupun psikologis. Sedangkan, terdapat ahli yang mengkategorikan individu masuk kedalam masa dewasa awal dimulai sejak individu umur 20-40 tahun (Dariyo, 2003)

Pada masa dewasa awal, individu mencapai tahap pencapaian (achieving stage) pada perkembangan kognitifnya. Individu tidak lagi mendapatkan informasi hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi mereka gunakan informasi tersebut untuk mengejar target, seperti karir (Schaie & Willis, 2000). Selain itu, masa dewasa awal merpakan masa pembentukan kemandirian pribadi, ekonomi serta perkembangan karir, yang dimulai sejak individu berada pada akhir belasan dan berakhir pada usia tigapuluh tahun (Santrock, 1995). Mortimer (1996) berpendapat, pendidikan dan pekerjaan merupakan pencapaian yang penting bagi individu di masa dewasa awal. Hal tersebut ditandai dengan mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang kurang lebih tetap (Santrock, 1995).


(51)

Pada masa dewasa awal, individu mulai bertanggung jawab atas kehidupannya dengan bekerja, sehingga mereka akan mandiri secara ekonomi. Santrock (1995) berpendapat individu akan memulai peran dan tanggung jawab yang baru, ketika individu memasuki sebuah pekerjaan. Bekerja mampu menetapkan seseorang secara mendasar (Highhouse & Schimitt, 2013; Motowidlo & Kell, 2013). Dalam kehidupan individu, pekerjaan mampu mempengaruhi secara finansial, tempat tinggal, pertemanan, dan kesehatan (Allen, 2013). Sebuah pekerjaan juga mampu mempengaruhi gaya hidup individu, seta menjadi penentu kuat status individu dalam masyarakat (Brown, 2002). Suatu pekerjaan yang dilakukan oleh individu tidak hanya akan mengubah kehidupannya secara finansial saja, melainkan juga mengubah tatanan hidup individu didalam masyarakat.

Individu akan memilih dan menentukan jenis pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Super (1976) mengatakan, bahwa seseorang akan sangat berperan pokok dalam pemilihan karir mereka. Terkadang, individu akan memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan karakter dan pribadinya. Individu akan membangun karir mereka pada bidang tertentu (Santrock, 2014). Bahkan beberapa dari orang dewasa muda akan bekerja pada serangkaian pekerjaan dan banyak bekerja pada pekerjaan yang berjangka pendek (Greenhouse, 2013).


(52)

D. Dinamika Hubungan Antara Stres Kerja dan Self-Esteem Dalam Konteks Organisasi

Self-esteem memiliki peranan penting dalam kehidupan seorang individu.

Hal tersebut dikarenakan Self-esteem merupakan komponen yang bertindak sebagai mediator atau zona penyangga antara diri dan dunia nyata (Ziller, dkk, 1969). Hal tersebut menjadikan self-esteem sebagai perantara individu untuk menjalani kehidupan yang lebih bahagia dan produktif (Heatherton & Wyland, 2003).

Menurut Heatherton dan McDavitt (2006), self-esteem dapat mengacu pada diri secara keseluruhan atau pada aspek tertentu dari diri, seperti bagaimana individu merasa tentang posisi mereka dalam lingkungan sosial, kelompok ras atau etnis, ciri-ciri fisik, keterampilan atletik, pekerjaan atau akademik, dan sebagainya. Sedangkan, Coopersmith (dalam Heartherton & Wyland, 2003) berpendapat bahwa self-esteem merupakan hasil dari evaluasi individu yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Hal tersebut dapat berupa sikap persetujuan dan menunjukkan sejauh mana individu percaya dirinya mampu, berharga, berhasil dan penting (Heatherton & McDavitt, 2006)

Individu yang memiliki self-esteem tinggi cenderung lebih bahagia dan sehat secara psikologis (Branden, 1994; Taylor &Brown, 1988). Hal ini dikarenakan individu memiliki penilaian yang positif terhadap diri mereka sendiri, secara efektif individu mampu mengatasi tantangan serta umpan balik negatif, dan individu memiliki kepercayaan bahwa orang-orang disekitar mampu menghormati dan menghargai keberadaan mereka. Selain itu,


(53)

individu yang memiliki self-esteem tinggi cenderung lebih optimistik, menyukai tantangan karena percaya pada kemampuan mereka, dan memiliki keyakinan terhadap kesuksesan (Buss, 2012).

Salah satu peranan penting self-esteem bagi individu yaitu dalam bidang organisasi. Penelitian-penelitian self-esteem dalam konteks organisasi menemukan hubungan positif antara self-esteem dan aspek-aspek dalam dunia kerja, seperti: motivasi (Hui & Lee, 2000), kepuasan kerja (Stark dkk, 2000; Ragins dkk, 2000; Riordan dkk, 2001; Van Dyne & Pierce, 2004), komitmen (Tang, Singer & Roberts, 2000; Philips & Hall, 2001; Lee, 2003) turnover

(Vecchio, 2000; Gardner & Pierce, 2001; Bowden, 2002), performansi (Marion & Landais, 2000; Wiesenfeld dkk, 2000; Aryee, 2003), dan

citizenship behavior (Chattopadhyay & George, 2001; Tang dkk, 2002).

Menurut Schultz & Scultz (2010) self-esteem dalam konteks organisasi merupakan salah satu prediktor yang mampu membedakan individu dalam menghadapi stres kerja. Stres kerja adalah kondisi ketegangan yang memunculkan ketidakseimbangan fisik dan psikis, sehingga mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi individu (Rivai, 2010). Stres yang sudah tidak mampu ditangani oleh individu akan menyebabkan gejala negatif pada psikologis, fisiologis dan perilaku individu.

Gejala psikologis mengakibatkan individu mudah merasa cemas, tegang, bingung, merasa tidak percaya diri, dan sebagainya. Gejala fisik dapat terlihat dari kesehatan individu, individu yang mengalami stres kerja akan lebih banyak mengeluhkan kesehatan mereka dibandingkan individu dengan stres


(54)

kerja rendah. Sedangkan, gejala perilaku individu terlihat dari seringnya individu menunda, absen dari pekerjaan atau bahkan menghindar dari pekerjaan mereka. Selain itu, prestasi serta produktivitas individu akan menurun.

Ketika individu dengan self-esteem tinggi dihadapkan dengan stressor, maka individu akan lebih efektif dan asertif dalam menghadapi berbagai tuntutan dalam pekerjaan. Mereka memiliki kepercayaan bahwa tuntutan dalam pekerjaan, akan mampu mengasah kemampuan mereka. Mereka juga tidak akan segan-segan untuk bertanya atau meminta pertolongan kepada rekan kerja ketika mereka mengalami kesulitan. Mereka juga mampu untuk mengemukakan pendapat mereka dengan efektif. Karyawan dengan perilaku-perilaku tersebut akan lebih merasa memiliki tuntutan atau beban kerja yang lebih ringan, sehingga mereka akan lebih memiliki stres yang rendah.

Sebaliknya, individu yang memiliki self-esteem rendah cenderung menghadapi stressor dengan negatif. Hal ini dikarenakan mereka kurang memiliki rasa percaya diri terhadap kemampuan mereka. Ketika dihadapkan dengan berbagai tuntutan, mereka cenderung pasif dan mudah merasa cemas, sehingga kurang mampu menyelesaikan suatu masalah dengan efektif dan efisien. Mereka juga memiliki kecenderungan untuk menarik diri dalam lingkungan sosial pekerjaan. Selain itu, mereka kurang mampu menyampaikan pandangan atau pendapat terhadap suatu masalah. Perilaku-perilaku tersebut akan membuat karyawan memiliki beban atau tuntutan yang lebih berat, sehingga stres kerja yang dirasakan akan jauh lebih tinggi


(55)

E. Skema Penelitian

Self-Esteem

dalam Konteks Organisasi

Self-esteem Rendah

Perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan:

1. Tidak memiliki keyakinanan terhadap kemampuannya. 2. Tidak memiliki rasa percaya

diri terhdap kesuksesan.

3. Kurang mampu menerima

diri.

4. Kurang mampu memberikan

perintah dan petunjuk kepada orang lain.

5. Kurang memiliki

kemampuan berkomunikasi.

6. Kurang mampu

mengemukakan perasaan dan pendapat secara efektif. 7. Kurang berpartisipasi dalam

kegiatan organisasi.

Karyawan merasa beban/ tuntutan pekerjaan lebih berat

Stres Kerja Tinggi Stres Kerja

Rendah Karyawan merasa beban/ tuntutan pekerjaan lebih ringan Perilaku yang ditunjukkan oleh karyawan:

1. Memiliki keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki. 2. Memiliki rasa percaya diri

terhadap kesuksesan.

3. Mampu menerima diri apa

adanya.

4. Mampu memberikan perintah

atau petunjuk kepada orang lain.

5. Memiliki kemampuan

komunikasi yang baik

6. Mampu mengemukakan

perasaan dan pendapat secara efektif.

7. Berpartisipasi dalam kegiatan organisasi


(56)

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti merumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: “ada hubungan negatif yang signifikan antara

self-esteem dalam konteks organisasi dengan tingkat stres kerja pada karyawan”.

Semakin tinggi self-esteem, maka semakin rendah tingkat stres kerja. Sebaliknya semakin rendah self-esteem, maka semakin tinggi tingkat stres kerja.


(57)

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Penilitian kuantitatif adalah penelitian yang menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika (Azwar, 2009). Metode penelitian ini akan menggunakan metode korelasi, yaitu metode yang bertujuan untuk mengetahui hubungan dua variabel atau lebih, yakni sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam variabel lain (Noor, 2011).

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Self-Esteem Dalam Konteks Organisasi

2. Variabel Tergantung : Stres Kerja

C. Definisi Operasional

1. Self-Esteem Dalam Konteks Organisasi

Self-esteem dalam konteks organisasi adalah keseluruhan evaluasi

seorang karyawan terhadap nilai keseluruhan diri yang merupakan hasil interaksi antara seorang karyawan dengan lingkungan kerja serta perlakuan orang lain terhadap dirinya. Self-esteem dalam konteks organisasi akan diukur dengan menggunakan skala yang terinspirasi dari


(58)

skala Pierce, dkk (1989) sebanyak 10 aitem dengan menggunakan skala likert 1 sampai 4. Semakin tinggi skor total yang diperoleh individu, maka individu memiliki self-esteem tinggi. Sebaliknya semakin rendah skor total yang diperoleh individu, maka individu memiliki self-esteem

rendah.

2. Stres Kerja

Stres kerja adalah ketidakseimbangan reaksi seorang karyawan dalam menghadapi suatu kondisi yang muncul, dikarenakan adanya berbagai tuntutan di tempat kerja, sehingga memberikan dampak bagi karyawan baik secara fisik, psikologis maupun pada perilaku karyawan individu.

Stres kerja akan diukur menggunakan skala stres kerja yang disusun oleh peneliti. Skala stres kerja disusun berdasarkan tiga gejala stres kerja dari Beehr dan Newman, yaitu gejala psikologis, gejala fisiologis, dan gejala pada perilaku. Semakin tinggi skor total pada skala stres kerja menunjukkan bahwa individu memiliki stres kerja tinggi. Sebaliknya, semakin rendah skor total pada skala stres kerja menunjukkan bahwa individu memiliki stres kerja yang rendah.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan laki-laki maupun perempuan dari beberapa perusahaan. Penelitian ini menggunakan


(59)

yang tidak memberi peluang sama bagi setiap unsur anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2014). Jenis sampling yang digunakan adalah convenience sampling, pengambilan sampling tersebut dengan cara subjek penelitian diambil karena kebetulan bertemu dengan peneliti dan cocok dengan karakteristik sampel yang telah ditentukan oleh peneliti (Noor, 2011). Peneliti menggunakan beberapa karakteristik dalam menentukan subjek penelitian. Pertama, Subjek penelitian merupakan seorang karyawan yang bekerja pada sebuah perusahaan atau instansi. Kedua, subjek penelitian merupakan karyawan yang telah bekerja minimal 1 tahun, dengan asumsi bahwa karyawan tersebut sudah mampu mengenali budaya didalam organisasinya dan memiliki pengalaman yang cukup terhadap tugas-tugas pekerjaan. Ketiga, subjek penelitian merupakan karyawan yang memiliki rentang usia antara 20 – 40 tahun, yang termasuk didalam kategori dewasa awal. Pada rentang usia dewasa awal tersebut merupakan usia produktif. Selain itu, pada masa tersebut, individu mencapai tahap pencapaian, yaitu menggunakan informasi yang dimiliki untuk mengejar target, seperti karir (Schaie & Willis, 2000).

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan menyebarkan skala. Penyebaran skala akan dilakukan dengan cara bertemu langsung dengan responden. Kuesioner dalam penelitian ini berisikan skala mengenai variabel yang akan diteliti.


(60)

Penyusunan skala self-esteem dalam penelitian ini terinpirasi dari skala yang disusun oleh Pierce, dkk (1989) yang berjumlah 10 item. Alasan peneliti mengacu pada skala dari Pierce, dkk (1989) karena skala tersebut sudah diadaptasi di Asia dan memiliki realibilitas yang cukup tinggi. Penelitian Fan (2008) menemukan reliabilitas sebesar 0.91 pada skala Pierce, dkk (1989) dengan 111 karyawam tetap di Hongkong. Penelitian pada 190 karyawan di Pakistan menunjukkan skala dari Pierce, dkk (1989) memiliki nilai reliabilitas sebesar 0.91 (Shahbaz dan Shakeel, 2013). Penelitian yang juga dilakukan oleh Ibarahin (2014) menunjukkan bahwa Skala dari Pierce, dkk (1989) memiliki realiabilitas sebesar 0.91 dengan subjek berjumlah 190 pada pegawai negeri dan swasta di Penang, Malaysia. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa realiabilitas pada skala yang di susun oleh Pierce, dkk (1989) memiliki nilai reliabilitas yang baik.

Sedangkan Skala stres kerja merupakan skala yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan landasan teori yang dikemukakan oleh Beehr dan Newman (dalam Waluyo, 2013). Peneliti akan menggunakan tiga indikator stres kerja. Indikator tersebut terdiri dari gejala psikologi, gejala fisik dan gejala prilaku. Skala stres kerja terdiri dari 48 aitem.

Metode penskalaan yang digunakan oleh peneliti untuk skala self-esteem dalam konteks organisasi dan skala stres kerja adalah skala Likert. Skala Likert berisi pernyataan-pernyataan, di mana subjek diminta untuk

menyatakan persetujuan-ketidaksetujuan pada kontinum terhadap


(61)

Peneliti memberikan empat pilihan jawaban yang terdiri dari empat respon, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Peneliti hanya menggunakan 4 skala dalam penelitian ini, dikarenakan peneliti ingin melihat kecenderungan subjek penelitian kearah Sangat Setuju (SS) atau Sangat Tidak Setuju (STS). Jika terdapat jawaban dengan kategori netral, maka kategori jawaban tersebut akan menghilangkan banyak informasi dari subjek penelitian (Hadi, dalam Paramitasari 2011). Selain itu, peneliti ingin menghindari adanya central tendency effect pada subjek penelitian (Supratiknya, 2014).

Aitem pada kedua skala dalam penelitian ini berupa aitem favorable dan

unfavorable. Aitem favorable merupakan item yang berisi

penryataan-pernyataan yang jika subjek setuju dengan penryataan-pernyataan yang ada, maka hal tersebut menunjukkan sikap positif atau suka terhadap objek yang menjadi sasaran perhatian (Anderson dalam Supratiknya, 2014). Sedangkan, aitem

unfavorable adalah pernyataan-pernyataan yang apabila subjek setuju, maka

hal tersebut menunjukkan sikap negatif atau tidak menyukai objek yang menjadi sasaran perhatian (Anderson dalam Supratiknya, 2014).

1. Skala Self-Esteem dalam konteks organisasi

Skala self-esteem dalam konteks organisasi bertujuan untuk mengukur tingkat self-esteem karyawan pada suatu organisasi. Penyusunan skala

self-esteem mengacu pada skala dari Pierce, dkk (1989) yang berjumlah 10 aitem.


(62)

Tabel 1

Skala Self-Esteem Dalam Konteks Oraganisasi

No. Aitem

1. Saya selalu dianggap serius

2. Saya adalah orang yang dapat dipercaya

3. Saya dianggap penting diperusahaan

4. Saya dapat membawa perubahan

5. Saya merasa berharga

6. Saya suka menolong

7. Saya adalah orang yang diperhitungkan didalam

organisasi

8. Saya dapat bekerjasama

9. Orang-orang yakin dengan kinerja saya

10. Saya dapat bekerja secara efisien

Berikut tabel penilaian Skala Self-Esteem dalam konteks organisasi Tabel 2

Penilain Skala Self-esteem Dalam Konteks Organisasi

Respon Skor

Sangat Setuju 4

Setuju 3

Tidak Setuju 2


(63)

2. Skala Stres Kerja

Skala stres kerja bertujuan untuk mengukur tingkat stres yang dimiliki oleh karyawan. Skala stres kerja akan disusun dengan menggunakan tiga gejala dari Beehr & Newman yaitu gejala psikologis, gejala fisiologis, dan gejala perilaku. Berikut tabel sebaran aitem Skala Stres Kerja:

Tabel 3

Sebaran aitem Skala Stres Kerja

Gejala Favorable Unfavorable Jumlah

Gejala Psikologis 5, 6, 13, 23, 27,

31, 40, 44

8, 12, 26, 30, 32, 37, 42, 48,

16 aitem (33,33%)

Gejala Fisik 10, 15, 16, 19,

20, 29, 43, 46,

1, 4, 7, 9, 28, 33, 35, 45,

16 aitem (33,33%)

Gejala perilaku 3, 21, 24, 25, 34,

39, 41, 47,

2, 11, 14, 17, 18, 22, 36, 38,

16 aitem (33,33%)


(64)

Tabel 4

Penilaian Skala Stres Kerja

Respon Favorable Unfavorable

Sangat Setuju 1 4

Setuju 2 3

Tidak Setuju 3 2

Sangat Tidak Setuju 4 1

F. Validitas dan Reliabilitas 1. Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan suatu alat ukut penelitian benar-benar mengukur apa yang akan diukur, atau dengan kata lain validitas merupakan suatu akurasi dari suatu instrumen (Noor, 2011). Jenis validitas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Evidensi terkait isi merupakan kesesuaian antara isi dan konstruk

yang akan diteliti (Supratiknya, 2014), dalam penelitian ini konstruk yang akan diteliti adalah stres kerja dan self-esteem dalam konteks organisasi.

Pada Skala self-esteem dalam konteks organisasi peneliti terinpirasi dari skala Pierce, dkk (1989) yang berjumlah 10 item. Proses validasi aitem dilakukan dengan cara Expert Judgment yang dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi. Peneliti juga akan melakukan back-translation yang dibantu oleh dosen pembimbing skripsi. Selain itu, back-translation juga dibantu oleh seorang sarjana dari pendidikan Bahasa Inggris dan sarjana


(1)

ANOVA Table

Mean Square F StresKerja *

OBSE

Between Groups (Combined) 121.356 1.564

Linearity 1106.064 14.252

Deviation from Linearity 69.529 .896

Within Groups 77.607

ANOVA Table

Sig.

StresKerja * OBSE

Between Groups (Combined) .075

Linearity .000

Deviation from Linearity .589

Measures of Association

R R Squared Eta Eta Squared


(2)

LAMPIRAN 8

HASIL UJI HIPOTESIS

Hasil Uji Korelasi antara

Self-esteem

Dalam Konteks Organisasi dan Stres Kerja

Correlations

OBSE StresKerja

Spearman's rho Self-esteem Correlation Coefficient 1.000 -.304**

Sig. (1-tailed) . .000

N 131 131

StresKerja Correlation Coefficient -.304** 1.000

Sig. (1-tailed) .000 .

N 131 131


(3)

LAMPIRAN 9

HASIL ANALISIS TAMBAHAN

1. Hasil Uji-U antara

Self-esteem

Dalam Konteks Organisasi dengan Jenis

Kelamin

Ranks

Jenis Kelamin N Mean Rank Sum of Ranks

OBSE Laki-laki 73 63.25 4617.50

Perempuan 58 69.46 4028.50

Total 131

Test Statisticsa

OBSE Mann-Whitney U 1916.500

Wilcoxon W 4617.500

Z -.935

Asymp. Sig. (2-tailed) .350 a. Grouping Variable: JenisKelamin


(4)

2. Hasil Uji-U antara Stres Kerja dengan Jenis Kelamin

Ranks

JenisKelamin N Mean Rank Sum of Ranks Stres

Kerja

Laki-laki 73 68.32 4987.50

Perempuan 58 63.08 3658.50

Total 131

Test Statisticsa

StresKerja

Mann-Whitney U 1947.500

Wilcoxon W 3658.500

Z -.786

Asymp. Sig. (2-tailed) .432 a. Grouping Variable: JenisKelamin


(5)

3. Hasil Uji-U antara

Self-esteem Dalam Konteks Organisasi

dengan Masa Kerja

Ranks

Lama

Bekerja N Mean Rank Sum of Ranks

OBSE 6 bln – 3 thn 84 66.50 5586.00

>3 tahun 47 65.11 3060.00

Total 131

Test Statisticsa

OBSE

Mann-Whitney U 1932.000

Wilcoxon W 3060.000

Z -.203

Asymp. Sig. (2-tailed) .839 a. Grouping Variable: LamaBekerja


(6)

Ranks

Lama

Bekerja N Mean Rank Sum of Ranks

Stres Kerja 6 bln – 3 thn 84 72.48 6088.50 >3 tahun 47 54.41 2557.50

Total 131

Test Statisticsa

StresKerja

Mann-Whitney U 1429.500

Wilcoxon W 2557.500

Z -2.615

Asymp. Sig. (2-tailed) .009 a. Grouping Variable: LamaBekerja