Islam
6
. Mereka tampil sebagai penguasa-penguasa baru dengan sistem ekonomi yang sangat kuat. Perkembangan yang sangat pesat ini membuat pemerintahan
Majapahit mulai kehilangan kendali terhadap wilayah dipesisir.
B. Melalui Hubungan Diplomatik
Hubungan diplomatik antar kerajaan di Nusantara, bahkan antar kerajaan asing dari luar negri sebenarnya telah berlangsung lama. Sejak Kutai muncul
sebagai kerajaan Hindu pertama di Indonesia tentunya hubungan diplomatik dengan kerajaan asing sudah terjadi. Hindu merupakan agama asli orang India
bukan agama asli Indonesia, kemunculannya di Indonesia sendiri telah membuktikan bahwa pengaruh India waktu itu sudah sampai ke Indonesia.
Majapahit mulai eksis tampil sebagai kerajaan mulai tahun 1293, tentunya hubungan diplomatik dengan kerajaan di Nusantara maupun kerajaan asing bukan
merupakan suatu hal yang baru. Perluasan wilayah Majapahit dimulai sejak Gadjah Mada diangkat menjadi patih Amangkubumi pada tahun 1258 saka dan
langsung memproklamirkan program pemerintahaannya yang disebut dengan Sumpah Nusantara
7
. Pernyataan sumpah ini mendapat pro dan kontra antara pejabat internal kerajaan, oleh karena itu pejabat kerajaan yang tidak setuju
dengan program politik Gadjah Mada kemudian disingkirkan. Program politik tersebut mulai efektif dilaksanakan dengan menundukkan Bali pulau yang paling
dekat dengan pulau Jawa
8
. Takluknya Bali dalam kekuasaan Majapahit membuat daerah-daerah bawahannya kerajaan vasal ikut jatuh dalam kekuasaan
Majapahit.
6
Ibid,hlm 79
7
Ibidem.
8
Esa Damar Pinuluh, Pesona Majapahit Yogyakarta: Bukubiru, 2010, hlm.100
Perlu diketahui konsep penaklukan wilayah yang dilakukan oleh Majapahit sangat berbeda dengan konsep kolonialisasi seperti yang dilakukan bangsa Barat.
Daerah taklukan Majapahit hanya berkewajiban menyerahkan upeti tahunan dan menghadap raja Majapahit dalam waktu-waktu tertentu sebagai bukti dan tanda
kesetiaan dan pengakuan kedaulatan Majapahit. Konsep penaklukan kekuasaan Majapahit terhadap daerah taklukan adalah sebagi berikut :
Baik negara bawahan maupun daerah Amancanagara provinsi, mengambil pola pemerintahan pusat yakni Majapahit. Raja dan juru
pengalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab atas daerahnya sendiri, namun pemerintahannya dikuasakan kepada patih, sama dengan
pemerintahan pusat, dimana raja Majapahit adalah orang yang bertanggung jawab terhadap kerajaan, tetapi kebikjaksanaan pemerintahan
ada di tangan patih Amangkubumi atau patih seluruh negara.
Dengan demikian kerajaan-kerajaan taklukan Majapahit tetap eksis dan dapat mengembangkan kebudayaan mereka, tanpa campur tangan dari kerajaan
pusat yaitu Majapahit. Salah satu kerajaan taklukan Majapahit adalah kerajaan Samudra Pasai dan kerajaan Melayu. Dua kerajaan ini merupakan kerajaan Islam
walaupun dalam taklukan Majapahit masyarakat ataupun kerajaan ini tidak dihindukan ataupun Buddha. Dalam kepercayaan masyarakatnya kedua kerajaan
ini tetap kerajaan Islam dan mengembangkan ke Islamannya. Pada perkembangannya Islam mengambil peran yang sangat signifikan dalam
melangsungkan kemaharajaan di pulau Jawa pada beberapa abad kemudian
9
. Selain memberi kebebasan kepada kerajaan taklukan dalam mengembangkan
pemerintahannya, Majapahit juga memberikan kebebasan kepada para tawanan perang yang dibawa ke Jawa. Tawanan perang tersebut diberi kebebasan untuk
9
Ibid, 106.
tetap menjalankan kepercayaannya masing-masing sehingga membuat Majapahit mendapatkan pengaruh Islam secara nyata. Selain memiliki kerajaan taklukan
Majapahit juga menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan asing di luar wilayah Nusantara seperti Syangka, Ayudhapura, Dharmaaganar, Marutama,
Rajapura, Campa,Kamboja, dan Yawana. Salah satu kerajaan asing yang sangat berpengaruh terhadap Majapahit adalah Campa. Kerajaan Campa sudah menjalin
hubungan dengan Jawa sejak pemerintahan Kertanegara yang menjadi raja Singasari.
Menurut Negarakretagama pada tahun 1365 kerajaan Campa mempunyai hubungan persahabatan dengan Majapahit
10
. Menurut Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi memberitahukan bahwa pada permulaan abad lima belas Raja
Brawijaya dari Majapahit Kawin dengan putri Campa, seorang Muslim yang juga bergelar putri dwarawati
11
. Selain itu dalam Babad Tanah Jawi maupun Serat Kanda menyebutkan bahwa putri Campa merupakan ibu dari Raden Patah yang
nantinya menjadi raja di kerajaan Demak. Kebenaran dari putri Campa itu sendiri masih dipertanyakan, apakah ia memang putri raja dari kerajaan Campa atau
hanya putri pembesar dari kerajaan Campa. Kemunculan putri Campa dalam sejarah Majapahit ada hubungannya dengan kedatangan pembesar dari Yunan ke
Majapahit bernama Ma Hong Fu. Istri Ma Hong Fu itu sendiri memang berasal dari kerajaan Campa. Ketika kedatangan Ma Hong Fu ke Majapahit raja yang
memerintah adalah Wikramawardhana. Sebagai istri seorang duta besar dari Yunan, ia sering menampakkan diri di depan rakyat Majapahit terutama saat-saat
10
Slamet Mulyana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya Jakarta : Bhatara Karya Aksara,
1979, hlm. 152
11
Ibid,
hari raya
12
. Sebagai seorang istri pembesar ia mendapatkan tempat terhormat di panggung para pembesar, berkumpul dengan istri-istri pembesar dari Majapahit
diantara selir-selir prabu. Oleh karena itu rakyat menduga kalau putri dari Campa itu merupakan salah satu selir atau istri sang prabu Wikramawardhana.
Istri duta besar Ma Hong Fu wafat dan dimakamkan di Majapahit secara Islam. Dengan demikian hubungan diplomatik antar kerajaan asing telah
mempengaruhi kondisi kebudayaan Majapahit terutama dalam bidang agama. Telah dijelaskan bahwa istri dari duta besar Ma Hong Fu meninggal dan
dimakamkan di Majapahit secara Islam, hal itu berarti secara tidak langsung telah mengenalkan Majapahit pada suatu agama baru yaitu Islam. Tidak menutup
kemungkinan dalam ibukota Majapahit telah terdapat komunitas Islam dan mulai berkembang di dalamnya. Situs makam Islam di Troloyo telah menjadi bukti
yang nyata jika telah terdapat masyarakat Islam di Majapahit.
C. Melalui Perkawinan
Selain melalui perdagangan dan hubungan diplomatik, masuknya Islam ke Majapahit juga melalui proses perkawinan. Pernikahan yang terjadi dalam hal ini
bukan hanya wujud dari rasa cinta seseorang terhadap lawan jenis tetapi lebih dari pada itu. Pernikahan yang dilakukan merupakan strategi politik atau bisa
dikatakan sebagai perkawinan politik. Biasanya seorang raja meminang putri dari kerajaan lain untuk mempertahankan wilayah suatu kerajaan, membina hubungan
baik antar kerajaan, menggabungkan kedua wilayah kerajaan, atau bahkan pengakuan kedaulatan.
12
Ibid., hlm. 106
Pernikahan semacam ini pernah terjadi di dalam kerajaan Majapahit. Usaha pernikahan politik yang sangat terkenal adalah pernikahan raja Hayam Wuruk
dengan Dyah Pitaloka Citraresmi. Namun usaha Raja Hayam Wuruk memperistri Dyah Pitaloka Citraresmi gagal yang berujung perang yang kemudian dinamakan
dengan perang Bubat. Perang Bubat terjadi karena kesalahpahaman antar dua kerajaan Majapahit dan Sunda. Patih Madu diutus untuk mengundang orang
Sunda, maksudnya untuk menikahkan putri kerajaan Sunda dengan raja Hayam Wuruk, lalu orang Sunda datang ke Majapahit, namun Maharaja tidak bersedia
mempersembahkan putrinya
13
. Hal yang perlu mendapat perhatian sehubungan Majapahit dengan Islam
adalah, ketika rombongan kerajaan Sunda tiba di Majapahit. Rombongan tersebut tiba untuk pertama kali di Masigit Agung, lalu mereka terus berjalan kearah
kepatihan. Dalam hal ini kata Masigit Agung sangat mirip dengan kata masjid Agung. Mengingat telah ditemukannya inskripsi Islam di Leran serta situs
makam Tralaya yang berada di pusat kekuasaan Majapahit bukan tidak mungkin di pusat Majapahit telah dibangun Masjid.
Pada awal pembahasan sub bab ini telah dijelaskan bahwa Majapahit tidak hanya sekali melakukan perkawinan politik. Telah tercatat dalam hikayat raja-
raja Pasai bahwa telah terjadi usaha pernikahan politik antara putri dari Majapahit Gemerenceng dengan putra mahkota Abdul Jalil dari Pasai. Pernikahan ini
13
Orang Sunda harus meniadakan selamatan tidak mengharapkan adanya upacara pesta perkawinan, kata sang utusan. Sang maha patih tidak menghendaki pernikahan resmi sebab ia
menganggap putri sebagai upeti. Karena merasa terhina maka raja Sunda menolak keinginan tersebut, raja Sunda merasa sejajar dengan Majapahit, sehingga terjadilah perang Bubat pada
Selasa Wage tanggal 13 bulan Badra tahun 1279 S1377 M.