Konsep Islam Sufi di dalam masyarakat Jawa sangat jelas terlihat dari tatacara ritual keagamaannya. Islam Sufi lebih diterima masyarakat Jawa terutama
Majapahit karena mampu menyesuaikan diri dan berintegrasi dengan kepercayaan lokal setempat yaitu Hindu-Buddha. Bentuk integrasi antara Islam Sufi dan
kepercayaan lokal dapat terlihat dari budaya masyarakat setempat, bahkan sampai sekarang kebudayaan tersebut masih tetap hidup dan menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat Jawa. Salah satu contoh budaya masyarakat lokal yang terintegrasi dengan Islam Sufi adalah upacara pemujaan arwah leluhur. Perlu
diketahui bahwa inti kehidupan keagamaan di Indonesia sejak dahulu kala adalah pemujaan arwah para leluhur
26
. Agama apapun yang masuk ke Indonesia, akan diisi dengan ritual kuno pemujaan arwah para leluhur.Dalam agama Islam aliran
Sufi pemujaan arwah leluhur tetap ada bahkan menjadi salah satu upacara wajib bagi orang yang menganutnya
27
. Pada masyarakat Majapahit upacara pemujaan arwah para leluhur disebut
dengan upacara Srada. Upacara Srada pada masa Majapahit dilakukan untuk
menghormati wafatnya Rajapatni yang diselenggarakan oleh Raja Hayam Wuruk secara besar-besaran. Upacara Srada sangat berhubungan erat dengan konsep
pemujaan arwah para leluhur, meskipun pada upacara Srada yang dihormati
adalah Rajapatni namun esensi dari upacara ini adalah pemujaan arwah orang yang telah meninggal.
26
Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
nusantara Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 2007 hlm. 249
27
Pemujaan arwah leluhur itu sendiri tidak merupakan agama bagi rakyat, tetapi merupakan bagian unsur penting dalam ibadahnya. Pemujaan arwar para leluhur adalah sisa dari kehidupan
keagamaan pada zaman purba yang masih bertahan dalam perjalanan sejarah hingga sampai sekarang.
Setelah agama Islam masuk kewilayah Majapahit pesta Srada sebagai
upacara pengormatan arwah leluhur tetap diadakan. Upacara Srada merupakan
salah satu bentuk integrasi budaya yang masih ada sampai sekarang. Upacara ini digunakan kaum pendakwah Sufi sebagai salah satu sarana integrasi agar Islam
dapat diterima oleh masyarakat Majapahit. Setelah agama Islam masuk di wilayah Majapahit, pesta
Srada tetap dirayakan
28
. Pesta Srada dalam bahasa Jawa disebut
dengan “Nyadran”. Upacara ini diadakan di kuburan para leluhur dalam bulan arwah atau Ruwah, yakni bulan Sya’ban, menghadapi bulan Ramadhan. Dalam
upacara ini orang-orang membawa makanan ke kuburan dan berpesta disana demi peringatan atau penghormatan terhadap arwah leluhur. Disamping itu orang-orang
juga membawa bunga dan membakar kemenyan serta disertai doa pada setiap makam terutama makam anggota keluarga. Berdasarkan tatacara dan tujuan dari
upacara ini sangatlah jelas jika upacara “Nyadran” sama dengan upacara Srada
pada masa Majapahit dan sama dengan konsep pemujaan arwah para leluhur pada jaman prasejarah.
28
Ibid,hlm. 252
31
BAB III PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI MAJAPAHIT
TAHUN 1376 – 1478
A. Munculnya Syaikh Jumadil Kubro Sebagai Pencetus Pendidikan
Pesantren.
Islam memang telah berkembang di Majapahit sejak masa kejayaan Majapahit itu sendiri. Bukti mengenai keberadaan orang-orang Islam di Majapahit
adalah adanya situs makam Islam Troloyo. Makam Islam di Troloyo terletak di Trowulan tak jauh dari Ibu kota Majapahit, bahkan tiga makam Islam tersebut
berasal dari zaman raja Hayam Wuruk, masing-masing bertarikh Saka 1290, 1298, dan 1302 1368, 1376, dan 1380 Masehi
1
. Makam Islam di Troloyo sangatlah berbeda dengan makam Islam yang di temukan di Gresik. Jika makam
Islam di Gresik merupakan makam orang asli Arab hal ini dapat dilihat dari tatacara penulisan di batu nisan makam tersebut. Makam Fatimah Binti Maimun
yang wafat di gresik berinskripsi Arab tahun 475 H atau 1082 M. Sedangkan makam Islam di Troloyo bertuliskan tahun Saka, serta pahatan nisan dengan huruf
Arab berbentuk tebal dan kasar serta kesalahan tulis. Dengan demikian tampaknya memang nisan-nisan tersebut dibuat oleh pengrajin lokal yang terdapat di
Troloyo
2
. Perbedaan penulisan pada antara batu nisan di Leran dan makam di Troloyo
memunculkan pendapat bahwa makam Islam di Troloyo merupakan makam orang-orang di Majapahit yang pada waktu itu telah memeluk agama Islam. Bukti
1
Esa Damar Pinuluh, Pesona Majapahit Yogyakarta: Bukubiru, 2010, hlm. 140
2
Ibid., hlm. 143
keberadaan Islam di Ibu Kota Majapahit juga dituliskan dalam kidung Sundayana ketika terjadi perang Bubat, rombongan raja kerajaan Sunda beristirahat di
Masigit Agung. Berikut ini merupakan petikan dari Kidung Sunda : ...Tan palarapan t
ẽkamarẽk eng harsa, prakaça wẽtu neng ling esang natheng Sunda, kamu kinen mar
ẽka, de bhaţţareng Majapahit, sira wus prāpta mangke aneng Masigit.
Terjemahan : dicegah tanpa memberitahunya kepada mereka dengan penekanan : hai raja sunda, kami mendapat langsung perintah yang dibuat
oleh penguasa tertinggi Majapahit yang telah berkunjung kesini agar anda pergi saat ini juga dari kawasan sekitar masjid.
3
Kata Masigit agung sangatlah mirip dengan Masjid Agung, jika dilihat dari
keberadaan makam di Troloyo bukan tidak mungkin jika masyarakat Islam Majapahit telah membangun masjid untuk keperluan ibadahnya. Keberadaan
makam Islam di Troloyo, yang merupakam kawasan Ibu Kota Majapahit merupakan bukti bahwa sebagian masyarakat dan bahkan pejabat atau keluarga
telah memeluk Islam. Jika diperhatikan peta sebaran bangunan suci yang tentunya juga berfungsi sebagai pusat pendidikan peninggalan Kerajaan Majapahit, akan
terlihat bahwa bangunan Hindu, pendeta Karsyan maupun Buddha terletak berdekatan dengan blok terpisah, maka jika Troloyo adalah Blok Muslim, ia akan
terletak terletak disebelah selatan bangunan Hindu-Buddha yang dipisahkan oleh komplek keraton
4
. Artiya istana raja dinaungi disebelah timur oleh bangunan suci candi Hindu, sebelah barat oleh bangunan suci Buddha dan pendeta Karsyan,
dan sebelah selatannya oleh bangunan suci Masigit Agung Islam. Konsep penataan kota yang seperti ini merupakan konsep tata kota bagi
kerajaan Hindu-Buddha. Menurut kepercayaan Budhisme, gunung Meru menjadi
3
Adrian Perkasa. Orang-orang Tionghoa dan Islam di Majapahit. Yogyakarta : Ombak, 2012. Hlm. 63
4
Ibid.,hlm. 150
pusat dari jagad raya
5
. Oleh karena itu sistem tata kota Majapahit sama halnya dengan konsep kosmologi tersebut. Tata kota yang demikian telah membuka pintu
perubahan bagi Majapahit untuk meneria setiap kebudayaan yang baru muncul, termasuk agama di dalamnya. Islam yang telah datang ke Majapahit telah
memberikan perubahan terhadap masyarakat dan budayanya. Perubahan yang terjadi di dalam Majapahit tidak terlepas dari pengaruh agama Islam yang mulai
disebarkan kepada masyarakat, dan bahkan kepada pejabat kerajaan. Masuknya Islam kewilayah Majapahit tidak terlepas dari peranan Syekh
Jumadil Kubro. Syehk Jumadil Kubro adalah salah seorang ulama besar yang merupakan bibit atau cikal bakal dalam penyebar agama Islam di pulau
Jawa
6
.Syekh Jumadil Qubro yang berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah ini, diyakini sebagai keturunan ke-10 dari al-Husain, cucu dari Nabi
Muhammad SAW
7
.Syekh Jumadil Kubro diperkirakan hidup dan mulai menyebarkan agama Islam di Majapait ketika Majapahit dalam pemerintahaan
Raja Tribuwana Tunggadewi, dan Raja Hayam Wuruk. Beliau wafat pada tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H. Syek Jumadi Kubro di makamkan di komplek
pemakaman Troloyo bersama pejabat kerajaan Majapahit lainnya. Ketika Syekh Jumadil Kubro hidup, ia sangat dekat dengan beberapa pejabat kerajaan, dan
bahkan di antara pejabat telah memeluk agama Islam.
5
Geldren Heine Robert, Konsepsi Tentang Negara Kedudukan Raja Di Asia Tenggara Jakarta:
CV. Rajawali,1972, hlm. 5
6
http:jawatimuran.wordpress.com20120616syeh-jumadil-kubro-trowulan-mojokerto
7
Pada awalnya, Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim Sunan Gresik Maulana Ibrahim Samarqandi dan Maulana Ishaq, datang ke pulau Jawa1376 M, 15 Muharram
797 H
Keberhasilan Syekh Jumadil Kubro dalam menyebarkan agama Islam di Majapahit tentunya tidak terlepas dari usaha yang ia lakukan. Salah satu usaha
yang dilakukan oleh Syekh Jumadil Kubro adalah menyebarkan agama Islam dengan cara berdakwah. Namun berdakwah saja tidak cukup untuk mengajarkan
agama Islam kepada masyarakat Majapahit terutama kepada mereka yang telah memeluk Islam. Dalam kidung Sundaya telah dijelaskan adanya Masigit Agung
Masjid Agung di lingkungan Ibukota kerajaan. Dalam masyarakat Islam, masjid selain menjadi tempat ibadah yang paling suci, juga berfungsi sebagai tempat
pendidikan, sebelum tempat-tempat lain seperti madrasah atau pesantren berdiri
8
. Pendidikan Islam lewat sarana masjid rupanya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang telah memeluk Islam. Pada pembahasan bab pertama makalah ini telah dijelaskan, bahwa banyaknya penduduk asing yang tinggal di
Majapahit dan melakukan kawin campur dengan masyarakat setempat. Maka untuk mengajarkan agama Islam bagi anak-anak mereka agar lebih mengenal
islam, mereka mendatangkan koloni-koloni Muslim untuk mengajarkan ilmunya kepada anak-anak mereka
9
. Pada waktu itu pelaksanaan pendidikan formal memang belum ada, yang
ada hanyalah sistem pendidikan Hindu-Buddha yaitu Mandala. Oleh karena itu Syekh Jumadil Kubro dan para pengajar agama Islam mencoba mengadopsi pola
pendidikan Mandala kedalam bentuk pendidikan Islam. Dalam pelaksanaan pengajaran agama Islam, yang telah diadopsi dari pendidikan Mandala, maka
pengajaran dilakukan didalam rumah. Untuk beberapa kalangan tertentu, seperti
8
Esa Dhamar Pinuluh, op. cit., hlm. 153
9
Ibid,hlm. 154
pengajaran terhadap pejabat kerajaan, pengajaran dapat dilakukan di sekitar istana atau paviliun kerajaan. Jika dilihat secara umum unsur dari pesantren adalah
adanya kyai, santri, asrama, masjid, dan sistem pendidikan dijadikan sebagai acuan keberadaan pesantren, maka situs makam Troloyo yang berangka tahun
1368 sampai 1611 dengan makam homogen bertahun 1300-an sampai 1400-an dimana terdapat makam Syekh Jumadi Kubro, dan beberapa makam yang disebut
sebagai para santrinya yang terdapat pada kubur telu dan makam belakang
10
. Keberadaan makam tersebut telah membuktikan mengenai keberadaan pesantren
di kerajaan Majapahit. Selain makam-makam di kubur telu masih banyak makam lain di area
pemakan Troloyo yang mampu menunjukkan angka tahun lebih tua. Situs masjid pesucian bertahun 1389, nisan makam Malik Ibrahim bertahun 1419, masjid
Ampel bertahun 1440 ditambah dengan keberadaan Masigit Agung. Petilasan Walisongo sebagai “tempat ha;aqah atau Round Stone Discussion” serta sisa
pemukiman Sentonorejo, lebih dimungkinkan disebut sebagai model pendidikan pesantren yang lebih awal dibandingkan Sunan Malik Ibrahim ataupun Sunan
Ampel
11
. Berdasarkan makam-makam Islam yang telah ditemukan diduga pesantren yang berkembang pada massa itu masih sangat sederhana, dan hanya
memiliki beberapa orang santri saja. Sama seperti pesantren yang dimiliki oleh sunan Ampel, ketika masih di Kembang Kuning dia hanya memiliki tiga orang
santri yaitu, Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning.
10
Ibid, hlm. 156
11
Ibidem.