xiv
Tabel1. Kriteria ROME III sebagai diagnosis konstipasi fungsional pada anak dan remaja
20
Gejala berikut harus muncul setidaknya 1 kali dalam seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala berikut pada anak dengan usia perkembangan
lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria diagnosis Irritable Bowel Syndrome:
1. ≤ 2 kali buang air besar di toilet dalam 1 minggu
2. Setidaknya 1 kali episode inkontinensia fekal dalam 1 minggu 3. Adanya riwayat perilaku menahan buang air besar yang berlebihan retentive
posturing 4. Adanya riwayat buang air besar yang sakit atau keras
5. Dijumpai massa fekal yang besar di rectum 6. Riwayat feses yang besar yang menyumbat toilet
Pemeriksaan radiologi seperti foto polos abdomen dapat digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya retensi feses, batas retensi feses dan
menilai kelainan pada tulang belakang. Pemeriksaan radiologis ini juga dapat dilakukan pada anak yang tidak dijumpai massa feces di daerah suprapubik
pada pemeriksaan abdomen, anak yang menolak dilakukannya rectal touché,
anak obesitas dan anak yang masih mengalami gejala konstipasi walaupun telahdiobati dengan laksatif.
23
Pemeriksaan colonic transit study dengan manometri untuk mengukur
tekanan intraluminal dengan kateter merupakan pemeriksaan yang bersifat objektif, yang berfungsi untuk menilai tingkat keparahan konstipasi pada anak.
Pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan pada sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional.
23,24
2.5. Tatalaksana Konstipasi
Terapi pada konstipasi dapat berupa pengeluaran tinja, terapi modifikasi perilaku, obat-obatan dan konseling.
12
Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral maupun rectal. Pengeluaran tinja ini dilakukan sebelum terapi
xiv
rumatan selama 2 sampai 5 hari sampai dijumpai pengeluaran tinja secara menyeluruh. Obat yang digunakan adalah minyak mineral paraffin liquid 15-30
mlusiatahun dengan dosis maksimal 240 ml dalam sehari kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol PEG dapat diberikan dengan dosis 20mlkgBBjam
dengan dosis maksimal 1000mljam, obat ini diberikan melalui pipa nasogastrik selama 4 jam dalam sehari. Pengeluaran tinja dengan obat yang diberikan
melalui rectum berupa enema fosfat hipertonik dosis 3 mlkgBB 2 kali dalam sehari dengan dosis pemberian maksimal 6 kali sehari, enema garam fisiologis
dosis 600-1000ml, minyak mineral dengan dosis 120 ml.
25
Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan kebiasaan pola buang air besar anak dan
toilet training. Anak dianjurkan untuk membuang air besar segera setelah makan pagi dan malam. Latihan ini dilakukan secara
perlahan-lahan dalam waktu 10 sampai 15 menit, agar anak tidak merasa tertekan. Toilet training yang dilakukan secara teratur akan melatih reflex
gastrokolik yang pada akhirnya akan menimbulkan reflex defekasi.
13
Selain itu anak juga dianjurkan untuk banyak minum air putih dan mengkonsumsi sayur-
sayuran dan buah-buahan. Dimana serat dan air ini berguna untuk melunakkan tinja.
13,25
2.6. Hubungan kejadian gejala refluks gastroesofageal dengan konstipasi fungsional pada anak
Kolon adalah organ utama terjadinya patofisiologi dari konstipasi, dimana pada kolon terjadi penyerapan air.
18,24
Impaksi dapat terjadi dibagian mana saja di kolon.
24
Sebagian besar anak dengan konstipasi fungsional mengalami
xiv
gangguan motilitas usus yang masih belum jelas. Sepertiga anak dengan konstipasi dan inkontinensia feces dapat berulang ataupun menetap sampai
usia dewasa.
26
Waktu normal transit di kolon pada anak sehat adalah 48 jam dan 24 sampai 100 jam pada orang dewasa.
18,24,27
Gangguan waktu transit kolon terjadi pada 39 sampai 58 anak dengan konstipasi dan sebagian besar dari
keterlambatan waktu transit terjadi di rectum.
28
Saluran cerna mempunyai persarafan tersendiri yang terdiri dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik terdiri dari saraf simpatetik dan
parasimpatetik. Pada awalnya sistem saraf enterik ini diperkirakan sebagai saraf sederhana yang berfungsi untuk melanjutkan sinyal-sinyal otak, tapi
setelah penelitian lebih lanjut diketahui bahwa sistem saraf enterik ini berfungsi untuk memodulasi pergerakan, sekresi, mikrosirkulasi, respon imun dan
inflamasi dari saluran cerna. Faktor intrinsik terdiri dari pleksus Auerbach, pleksus Schabadasch dan pleksus Meissner.
24,29
Sistem saraf enterik mempunyai tubuh sel di ganglia pada myenterik atau pleksus submukosa yang
berfungsi untuk melepaskan transmitter. Neurotransmitter seperti asetilkolin dan takikinin menyebabkan kontraksi pada saluran cerna sedangkan peptide
vasoaktif usus, nitrit oxide dan adenosine trifosfate berfungsi untuk merelaksasi
saluran cerna. Pada anak dengan pelambatan waktu transit kolon terjadi kekurangan kolinergik pada system saraf di dinding saluran cerna.
30-34
Sebagian besar anak dengan konstipasi juga mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung. Hal ini terjadi karena distensi dari kolon akibat
konstipasi menginhibisi kontraksi dari lambung dan usus halus.
35,36
xiv
Waktu pengosongan lambung dikoordinasi oleh saraf ekstrinsik, sistem saraf enterik, pleksus Auerbach dan otot polos saluran cerna. Lambung terdiri
dari fundus dan antrum. Dimana fundus berfungsi untuk mengolah makanan dan membawa makanan ke antrum.
29
Gangguan pada waktu pengosongan lambung dapat menyebabkan timbulnya gejala refluks seperti muntah,
regurgitasi, rasa terbakar di bagian tengah dada, cegukan, sendawa. Fungsi proteksi terhadap terjadinya refluks terjadi di spinkter bawah esofagus. Pada
waktu istirahat tonus spinkter esofagus bawah berkisar 10-30 mmHg, dimana peningkatan tonus diatas 5-10 mmHg dari tekanan intragastrik dapat mencegah
terjadinya refluks. Spinkter bawah esofagus mengalami relaksasi dengan adanya peristaltik di esofagus yang disebabkan oleh pelepasan
nitric oxide.
37
xiv
2.7. Kerangka Konseptual