Penyelesaian Perkara Sengketa Pilkada Depok(Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-iv/2006 Terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara)

(1)

PENYELESAIAN PERKARA SENGKETA PILKADA DEPOK

(ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 002/SKLN-IV/2006 TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN

LEMBAGA NEGARA)

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : ISTIQOMAH NIM : 105045201518

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


(2)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1430H/2009 M LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1.Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis. Guna diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2.Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 05 Oktober 2009 ISTIQOMAH


(3)

”Tidak ada yang menghambat anda terhadap perkara yang anda putuskan hari ini kemudian anda tinjau kembali karena terjadi kekeliruan (fahudîta li rusydika), bahwa anda kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu terdepan dan

tidak dibatalkan oleh apapun. Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan.”


(4)

“ sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan Kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain Dan hanya kepada tuhanmu lah hendaknya kamu berharap”


(5)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PENYELESAIAN PERKARA SENGKETA PILKADA DEPOK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 002/SKLN-IV/2006 TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Oktober 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Siyasah Syariyyah.

Jakarta, 5 Oktober 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (………)

NIP. 197210101997031008

2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………) NIP. 197102151997032002

3. Pembimbing: Dr. Jaenal Aripin, M.Ag (………) NIP. 197210161998031004

4. Penguji I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (………) NIP. 197112121995031001

5. Penguji II : Khamami Zada, MA (………)


(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, serta keluarganya dan sahabatnya, serta kepada kita semua seluruh umatnya, mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafaat beliau di hari akhir nanti. Amin.

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi untuk mencapai gelar sarjana Strata Satu (S1) di perguruan tinggi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, adalah membuat karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itu, penulis membuat skripsi ini dengan judul: PENYELESAIAN PERKARA SENGKETA PILKADA DEPOK (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006 Terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara).

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis hadapi. Namun syukur alhamdulillah berkat bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan serta hambatan dapat penulis atasi.

Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Yth:


(7)

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Asmawi, M. Ag., dan ibu Sri Hidayati, M. Ag., selaku ketua program

studi dan sekretaris program studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Jaenal Aripin, M. Ag., selaku Dosen pembimbing yang telah banyak memberikan inspirasi, saran, dan arahannya dalam membimbing penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Perpustakaan Utama UI, Perpustakaan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Terima kasih karena telah memberikan fasilitas kepada peneliti untuk mengadakan studi kepustakaan.

5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama masa belajar dibangku kuliah. 6. Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis haturkan untuk kedua orang tuaku; Papah tersayang H. Aluwih dan Mamah tercinta Hj. Rohimah, kalianlah yang tak henti-hentinya selalu memberikan dukungan moril, materil, dan doa. Serta untuk saudaraku; Andri Sanjaya dan Asep Syaifuddin (Abang), Qurratul Aini


(8)

dan Uswatun Hasanah (Adik). Terimakasih karena telah mendukung penulis dengan sepenuh hati dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Seluruh Staf pegawai kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang telah banyak membantu dan memberikan arahan dengan sikap keramahannya kepada penulis selama penelitian.

8. Bapak Yulman, SH., bagian staf Divisi Hukum Komisi Pemilihan Umum (KPUD) Kota Depok, yang telah meluangkan waktunya untuk dapat di ajak wawancara, tukar pikiran, dalam rangka melengkapi dari penyusunan skripsi ini.

9. Untuk sahabat-sahabatku khususnya konsentrasi Siyasah Syariyyah angkatan 2005, Lia Hilyah, Arie Zakiah, Budi Utomo, Latif Amri, Lisa Astarina, Ria Rizki, Rahma Sari, Afnanul Huda, Andi Sofyan, Hendri Eka Putra, Salman Alfarisi,dll. Terima kasih banyak tuk kalian semua yang telah memberikan saran, dorongan, serta intelektualitas guna menunjang skripsi penulis.

10.Untuk Sahabat-sahabatku; Lia Hilyah, Arie Zakiah, yang selalu memberi dukungan, semangat, dan juga selalu menemani penulis dalam pencarian data (Terima kasih banyak tuk kalian berdua). Serta untuk sahabat ILUNA; May Sulastri, Novia Rahmawati, Nayla Masrusoh, I’ ll never forget nice you . . . 11.Teman-teman penulis dalam Facebookers, kalian kalian semua yang telah

banyak menemani waktu-waktu penyusunan skripsi. Trima kasih untuk motivasi di saat penulis sedang down dan malas-malasan.


(9)

Semoga amal serta kebaikan berupa bantuan, bimbingan, dorongan, serta perhatian yang diberikan, semoga senantiasa mendapat balasan pahala dari Allah SWT.

Jakarta, 05 Oktober 2009


(10)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………..i

DAFTAR ISI………v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………..…..9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………....11

D. Rewiew Studi Terdahulu ………...……….12

E. Metode Penelitian ………...…13

F. Sistematika Penulisan……….….16

BAB II KPUD DEPOK DAN PROSES PEMILIHAN KEPALA DAERAH A. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah(KPUD……….18

1. Pengertian KPU dan KPUD………...…19

2. Karakteristik KPU dan KPUD………...…24

B Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPUD………..…27

C. Tahap Penyelenggaraan PILKADA ………32

1. Tahap Persiapan………..…35

2. Tahap Pelaksanaan………..36

a. Penetapan Daftar Pemilih………...…36


(11)

c. Kampanye………...40

d. Pemungutan dan Perhitungan Suara………...42

e. Penetapan Pasangan Calon, Pengesahan, dan Pelantikan……...46

BAB III TINJAUAN UMUM MAHKAMAH KONSTITUSI R.I A. Tinjauan Yuridis Mahkamah Konstitusi………..52

1. Pengertian dan Sejarah Mahkamah Konstitusi ………...52

2. Fungsi Mahkamah Konstitusi………..58

3. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi……….61

4. Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi……….65

B. Hukum Acara Perkara Mahkamah Konstitusi………..66

C. Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi………..78

BAB IV ANALISA PUTUSAN PERKARA NOMOR 002/SKLN-IV/2006 MENGENAI PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH(PILKADA) KOTA DEPOK A. Duduk Perkara Sengketa PILKADA Depok……….84

1. Kasus Posisi………...84

a. Gugatan Pasangan Badrul Kamal-Syihabiddin Ahmad Terhadap KPUD Depok ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat …………..87 b. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) KPUD Depok atas

Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat kepada Mahkamah Agung (MA)………..


(12)

1. Dasar Hukum Pengajuan Peninjauan Kembali (PK) a. Dasar Filosofis……… b. Legalitas Upaya Hukum PK atau Dasar Yuridis……....

B. Proses Penyelesaian Akhir Sengketa Pilkada Depok di Mahkamah Konstitusi………

C. Analisis Terhadap Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Tentang Sengketa Pilkada Depok………. D. Alasan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi………

BAB V PENUTUP

A Kesimpulan………... B. Saran-saran………

DAFTAR PUSTAKA ……….. LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1: Surat Pemberitahuan Penelitian

Lampiran 2: Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok Nomor 18 Tahun 2005 Tentang Penetapan pasangan calon terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok dalam Pilkada Depok Tahun 2005

Lampiran 3: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006 mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara demokratis pada tingkat pemerintahan daerah merupakan suatu proses politik bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi yang sehat, maka persyaratan dan tata cara pemilihan kepala daerah di tetapkan dalam perundang-undangan, yaitu melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan-peraturan di bawahnya.1

Undang-undang Nomor 32 tahun 20042 telah memilih penyelenggara pilkada dengan menggunakan organisasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 20033 untuk menjadi penyelenggara pilkada di setiap daerah yang bersangkutan sesuai dengan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang dipilih sejak Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

1

Philipus M. Hadjon, Pemilihan Kepala Daerah Berdsarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu menurut UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2005), h. vi.

2

Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

3

Republik Indonesia, Undang-undang tentang Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003.


(14)

Pemerintahan Daerah disahkan pada tanggal 15 Oktober 2004, ketentuan yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah telah mengundang perdebatan publik.

Putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pilkada dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, bukan kategori rezim pemilu, akan tetapi masuk pada rezim pemerintahan daerah. Di dalam tata cara pemilihan kepala daerah secara langsung dipandang lebih baik jika dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 19994, namun pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki keragaman potensi sengketa. Menurut Mulyana W. Kusuma, ada sejumlah titik rawan yang harus diwaspadai, mengingat persaingan dalam pilkada langsung lebih tajam dibandingkan dalam pemilu Presiden.5

Sementara itu, menurut Syamsuddin Haris paling kurang ada lima sumber konflik potensial dalam pilkada langsung, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pilkada.6Pertama, konflik yang bersumber dari mobilitas politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan perhitungan suara hasil pilkada. Kelima, Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

5

Mulyana W. Kusuma, Ari Pradawati ed., PilkadaLangsung: Tradisi Baru Demokrasi Lokal, (Surakarta: Kompip, 2005), h. 46.

6

Syamsuddin Haris, Masalah dan Strategi Mensukseskan Pilkada Langsung, ( Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), Edisi 3, h. 74-75.


(15)

konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada.

Dari undang-undang yang mengatur tentang pemilihan umum, seperti undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden tidak memberi batasan yang jelas tentang sengketa pemilu. Demikian juga dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak spesifik mendefinisikan tentang sengketa pilkada. Dalam upaya penyelesaian senketa hasil pilkada diatur lebih lanjut dalam pasal 106 ayat (1) yang menyatakan bahwa keberatan terhadap penetapan hasil pilkada oleh Komosi Pemilihan Umum Daerah yang diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung.7

Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman. Namun, ia hanya berkedudukan di ibu kota negara, tidak seperti halnya Mahkamah Agung yang memiliki beberapa badan peradilan di bawahnya sampai pada tingkat pertama Kabupaten atau Kota.8

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang keberadaan dan wewenangnya diamanatkan oleh UUD 1945, dan lebih lanjut dalam Undang-Undang

7

Putusan Mahkamah Agung Nomor 01/PK/PILKADA/2005, yang diajukan oleh KPUD Depok.

8

Jaenal Aripin, “ Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. Ke-1, h. 195.


(16)

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki empat wewenang dan satu kewajiban berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Empat wewenang Mahkamah Konstitusi adalah; (1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945.9

Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi yang amat penting bagi negara, yaitu mengatur hubungan pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain, sehingga suatu konstitusi mengatur tiga hal penting yaitu yang pertama menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, kedua mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan yang ketiga mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.10

Fungsi-9

Tim Penyusun Buku Lima Tahun Menegakan Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), Cet Ke-5.

10

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004), Cet. Ke-1, h. 24.


(17)

fungsi konstitusi tersebut merupakan elemen yang fundamental dalam bentuk negara demokrasi, karena merupakan suatu perwujudan kehendak masyarakat.

Sementara dalam hal kedudukannya dalam perkara ini, pemohon mengklaim diri mereka sebagai lembaga negara. Klaim mereka didasarkan pada putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg yang memenangkan gugatan mereka serta membatalkan kemenangan Nurmahmudi Ismail –Yuyun Wirasaputra. Albert Sagala sebagai kuasa hukum dari pemohon mengatakan berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tersebut, maka pemohon otomatis menjadi pemenang pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok.

Penjelasan Albert tentang kedudukan pemohon dan termohon dalam kaitannya dengan persyaratan kualifikasi pemohon dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1), pemohon dalam perkara SKLN adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang memiliki kepentingan langsung dengan kewenangan yang dipersengketakan.11

Adapun mengenai sengketa kewenangan lembaga negara, bahwa sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah yang pertama kalinya diajukan ke Pengadilan Tinggi adalah sengketa hasil pemilihan kepala kota Depok. Setelah Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan, justru telah lahir masalah baru lagi yang

11


(18)

arahnya tertuju pada Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Menyusul terbentuknya Komisi Yudisial, perkara majelis hakim ini pun memjadi tantangan pertama bagi penilaian kinerja komisi ini. Demikian rekomendasi Komisi Yudisial tidak ditindak lanjuti oleh Mahkamah Agung, melainkan justru membentuk tim panel untuk merespon sengketa pilkada Depok menyusul diajukan Peninjauan kembali oleh KPUD kota Depok kepada Mahkamah Agung.12 Setelah menjalani proses yang cukup lama dan berbau politis, akhirnya putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pemohon.13

Menanggapi permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) yang diajukan kubu Badrul Kamal, Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok Zulfadli mengatakan pernyataan pemohon yang mengklaim diri mereka sebagai lembaga negara berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tidak dapat dibenarkan. Dia beralasan karena putusan Pengadilan Tinggi Jawa barat tersebut telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005.

Memori Peninjauan Kembali yang diajukan KPUD ke Pengadilan Negeri Cibinong pada tanggal 16 Agustus 2005 dan di teruskan ke Mahkamah Agung pada tanggal 23 Agustus 2005.

http:// hukumonline.com.“Sengketa Pilkada : MA kabulkan Peninjauan Kembali KPUD Depok”.html. diakses pada 19 Desember 2005.


(19)

Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dipilih secara demokratis. Definisi demokratis berupa pemilihan langsung oleh rakyat ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.14 Pasal 24 ayat 5 yang berbunyi: “Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 92) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”.

Penegasan pemilihan secara langsung oleh rakyat juga diamanatkan oleh pasal 56 ayat (1) Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu

“Kepala Daerah dan wakil Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.

Penyelesaian sengketa penetapan hasil pilkada walikota kota Depok tersebut dapat dijadikan cerminan bahwa penyelesaian sengketa penetapan hasil pilkada yang ditangani Mahkamah Agung ternyata dapat dilakukan upaya hukum lain terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang sebelumnya mendapatkan delegasi wewenang dari Mahkamah Agung. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi benar-benar bersifat final dan mengikat.

Dalam putusan Mahkmah Konstitusi terkait sengketa pilkada Depok bahwa pihak termohon ternyata tidak dapat menerima putusan hukum yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan tetap merasa pihaknya yang benar. Untuk itu pihak termohon (dalam perkara ini KPUD Depok) membawa kasus tersebut ke mahkamah Konstitusi untuk dimintakan putusannya menyangkut sengketa penetapan hasil pilkada kota Depok ini melalui jalur pengajuan permohonan terkait sengketa

14


(20)

kewenangan lembaga ke Mahkamah Konstitusi. akan tetapi pada permohonannya, bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan pada putusannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Pilkada Depok mencatat sejarah demokrasi di Indonesia, karena dapat di katakan sejak masa persiapan, kampanye, hingga pemungutan suara berlangsung aman. Meski ada sejumlah ketegangan, khususnya terkait daftar pemilih dan tuduhan adanya kecurangan yang dilancarkan sejumlah pihak dengan menolak rekapitulasi dan menuntut pemungutan suara ulang, secara umum Pilkada di Depok berjalan tanpa kekerasan dan hura-hura sebagaimana terjadi di tempat lain.15

Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa sengketa hasil pilkada merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Dalam sengketa hasil pilkada jika ada pasangan calon yang tidak puas dengan penetapan hasil pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), maka pasangan calon tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung dengan menunjukan bukti-bukti bahwa perhitungan suara yang dilakukan oleh KPUD tidak benar. Akan tetapi dalam pelaksanaan Pilkada Depok bahwa pemohon dari Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok memenangkan hasil putusan Mahkamah Agung dan pihaknya benar dalam perhitungan suara.

Dalam masalah Pilkada Depok ini menarik untuk dikaji, karena adanya putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menyidangkan sengketa hasil pilkada

15

Topo Santoso, Kepala Daerah Pilihan Hakim, (Bandung: Harakatuna Publishing, 2005), h. vii.


(21)

antara peraih urutan kedua pilkada yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad melawan KPUD Depok. Berbeda dengan seluruh sengketa pilkada, baik yang disidangkan oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi yang seluruhnya memenangkan permohonan termohon (KPUD), akan tetapi Pengadilan Tinggi Bandung (Jawa Barat) justru memenangkan pemohon. Tentu saja yang paling terpukul bukan hanya KPUD, melainkan juga pasangan yang dianggap menang yaitu Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 022/SKLN-IV/2006 telah menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pemohon.16 Beranjak dari beberapa persoalan di atas, maka penulis menuangkannya dalam skripsi yang berjudul Penyelesaian Perkara Sengketa Pilkada Depok (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006 Terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penulis akan mencoba menjelaskan mengenai perselisihan dalam hasil pilkada Depok yang berproses panjang mulai dari permohonan yang diajukan pemohon ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan juga pihak termohon yang mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung, hingga pada putusan akhir perselisihan tersebut berahkir di Mahkamah Konstitusi. Penulis menganalisis perkara sengketa pilkada Depok dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 002/SKLN-IV/2006 yang pada

16

Pemohon dalam hal ini Pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad terhadap KPUD Depok atas putusan pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg.


(22)

putusan pokoknya mengenai sengketa kewenangan lembaga negara yaitu mengenai pengujian kewenangan KPUD Kota Depok yang mengajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi Negeri Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg. Dalam penulisan skripsi ini perlu ditentukan beberapa pembatasan masalah, antara lain yaitu:

1. Berdasarkan ketetapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu segala bentuk hukum beracara dalam penyelesaian perkara yang penulis bahas berdasarkan ketentuan Undang-undang tersebut.

2. Dalam pembahasan skripsi ini penulis menguraikan perkara Sengketa kewenangan Lembaga Negara pada Putusan Nomor 002/SKLN-IV/2006 terkait PILKADA Depok, serta mengacu kepada UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

3. Mengenai Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok, penulis menguraikan secara detail dan jelas mengenai proses penyelenggaraan PILKADA tersebut.

Dan untuk lebih jelasnya, perlu dirumuskan beberapa masalah pokok sebagai berikut:

1. Bagaimana mekanisme Mahkamah Konstitusi dalam memberi putusan terhadap perkara sengketa Pilkada Depok?

2. Bagaimana putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap kasus sengketa Pilkada Depok?


(23)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam upaya mengetahui perseteruan akhir dari pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok terkait sengketa kewenangan lembaga negara yang beracara di Mahkamah Konstitusi. Adapun spesifikasi tujuan-tujuan tersebut ialah:

1. Mengetahui mekanisme Mahkamah Konstitusi dalam memberi putusan terhadap perkara sengketa Pilkada Depok

2. Mengetahui hasil akhir dari putusan Perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006 terkait sengketa Pilkada Depok yang di putuskan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. 3. Untuk memberikan gambaran tentang tahap penyelenggaraan pilkada Depok

yang dianggap semakin memperpanjang konflik di seputar pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok.

Adapun manfaat penelitian yang juga akan sangat berguna setidaknya jika dilihat dalam dua hal, yaitu:

1. Secara Teoritis; dapat meningkatkan atau menambah pengetahuan dan juga wawasan dalam bidang hukum, serta dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan dapat menjadi acuan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam kapasitas sebagai penyelenggara pemilihan Kepala Daerah secara langsung pada khususnya.

2. Secara Praktis; dapat dijadikan pedoman dan bacaan yang bermanfaat bagi para praktisi dan penegak hukum yang terkait dengan penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah atau walikota, khusus dalam hal beracara di


(24)

Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini pun dapat berguna bagi kalangan masyarakat secara umum.

D. Review Studi Terdahulu

Untuk mempermudah dalam pembahasan skripsi ini, penulis ingin memberikan gambaran mengenai tema-tema yang di dalamnya terdapat materi-materi yang khusus mengenai pembahasan tentang judul skripsi yang penulis ingin bahas. Adapun sumber-sumbernya berasal dari buku-buku dan jurnal-jurnal, serta karya akademik.

Pertama, Buku “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, oleh Maruarar Siahaan, Konstitusi Press, 2005. Dalam buku tersebut ia membahas mengenai hukum acara yang berlaku di Mahkamah Konstitusi ini mulai dari bentuk peraturan mengenai persidangan, permohonan, fungsi, tugas dan wewenang, serta pembuktian. Akan tetapi dalam pembahasannya tidak menjelaskan proses penjatuhan putusan yang di lakukan oleh hakim Konstitusi dalam persidangan.

Kedua, Tesis “Sengketa hasil pemilihan kepala daerah langsung : Studi Kasus Sengketa Hasil Pilkada di Kabupaten Melawi Propinsi Kalimantan Barat”, oleh Syam Radian, mahasiswa Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Dalam Tesisnya membahas tentang uraian atau analisis tentang sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat khusus di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Dalam tesisnya juga


(25)

membahas tentang bagaimana proses dalam pilkada dan hukum acaranya. Akan tetapi tesis tersebut tidak menjelaskan sengketa hingga ke Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, Tesis “Penyelesaian Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Kepala Daerah”, oleh Andharinalti, Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008. Dalam tesis ini membahas mengenai gambaran sistem demokrasi dan pemilihan kepala daerah ditinjau dari pilkada di berbagai kota yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbeda dengan skripsi yang penulis bahas, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa pilkada Depok yang berproses hingga pada tahap pengajuan ke Pengadilan Negeri, Mahkamah Agung, hingga sampai diputus di Mahkamah Konstitusi.

Keempat, Skripsi “Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Hukum Acara

Pengujian Undang-undang pada Mahkamah Konstitusi”, oleh Ahmad Siddiq,

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Dalam salah satu babnya menguraikan mengenai konsep Mahkamah Konstitusi legal standing dalam hukum acara pengujian perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi, serta menguraikan contoh putusan perkara yang memenuhi syarat legal standing. Dalam skripsi tersebut tidak menjelaskan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, akan tetapi hanya pada masalah pengujian undang-undang.

E. Metode Penelitian

Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai kajian tersebut, metodologi yang digunakan adalah:


(26)

1. Jenis Penelitian Data

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif yang mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris.

2. Teknik Pengumpulan Data

Mengenai teknik pengumpulan data, penulis akan memperoleh data dengan metode penelitian menggunakan studi kepustakaan (library research), yaitu melakukan pengumpulan data-data yang dibutuhkan dari buku-buku, tulisan-tulisan dari berbagai sumber referensi, dan mengumpulkan, meneliti, menelaah serta mengkaji data dan informasi dari berbagai media yang relevan dan obyektif. Penulis juga melakukan studi lapangan (field research), berupa wawancara mendalam (interview) tehadap anggota Komisi Pemilihan Umum serta kepada Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang subyek studi yang tidak ditemukan secara tertulis dalam literatur dan data sekunder lainnya, atau sekali pun ada, demikian tidak dijelaskan secara lengkap.

3. Sumber Data

a. Data primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pemerintah Daereh, serta Berkas Putusan Perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006, Nomor 001/PUU-IV/2006. Nomor 01/PILKADA/2005, Nomor 01 PK/PILKADA/2005 dan yang pokok yaitu dari buku-buku hukum mengenai bahasan dari judul skripsi ini.


(27)

b. Data sekunder, penulis mencari dan memperolah data dalam penyusunan skripsi ini yaitu dari literature yang berasal dari Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok, Arsip Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal, Internaet, kamus, dan buku-buku pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan obyek kajian.

4. Teknik Analisis Data

Dalam penyajian skripsi ini menggunakan metode analisis yuridis. Melalui pendekatan Conten Analisis, yaitu penulis mencoba melakukan analisis dari data putusan-putusan dari badan peradilan tentang perseteruan sengketa Pilkada Depok, hingga memperoleh data-data yang terkumpul dalam penelitian ini. Seluruh data yang diperoleh akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum, kemudian di kaji dan diteliti, selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik dan relevan mengenai data tersebut.

5. Teknik Penulisan Skripsi

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri, Jakarta, 2007. Dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan dengan beberapa pengecualian, adapun kutipan ayat dari pasal-pasal dalam Undang-undang diketik satu spasi dan dicetak miring.


(28)

F. Sistematika Penulisan

Dalam proposal skripsi ini, penulis membagi pembahasan kedalam 5 bab, dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu, yaitu:

BAB I Pendahuluan, dalam bab ini penulis menjelaskan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.

BAB II KPUD Depok dan proses Pemilihan kepala daerah, yang membahas mengenai Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD,pengertian KPU dan KPUD, dan juga masalah karakteristik KPU dan KPUD. Selanjutnya membahas mengenai Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPUD, serta tahap penyelenggaraan PILKADA, ada tahap persiapan, dan tahap pelaksanaan; Penetapan Daftar Pemilih, Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah, Kampanye, Pemungutan dan Perhitungan Suara, serta Penetapan Pasangan Calon, Pengesahan, dan Pelantikan calon walikota.

BAB III Gambaran Umum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, membahas mengenai tinjauan yuridis Mahkamah Konstitusi ditinjau dari pengertian dan sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Fungsi Mahkamah Konstitusi, Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi, hukum acara perkara Mahkamah Konstitusi, dan juga struktur organisasi Mahkamah Konstitusi


(29)

BAB IV Analisa putusan perkara nomor 002/SKLN-IV/2006 mengenai perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PILKADA) kota Depok, ditijau dari duduk perkara sengketa PILKADA Depok menjabarkan Kasus Posisi; gugatan Pasangan Badrul Kamal-Syihabiddin Ahmad terhadap KPUD Depok ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dan permohonan peninjauan kembali (PK) KPUD Depok atas Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat kepada Mahkamah Agung, meliputi bahasan dasar hukum pengajuan PK, dari dua sisi yaitu, dasar filosofis, dan dasar yuridis. Adapun membahas masalah proses penyelesaian akhir sengketa hasil Pilkada Depok di Mahkamah Konstitusi, analisis terhadap putusan hakim Mahkamah Konstitusi tentang sengketa pilkada Depok dan alasan hukum hakim Mahkamah Konstitusi.

BAB V Merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dari seluruh penelitian dan saran-saran mengenai permasalahan yang di uraikan dalam skripsi ini, Serta di akhiri dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(30)

BAB II

KPUD DEPOK DAN PROSES PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Derah (KPUD)

Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi maupun Kabupaten atau Kota diperlukan adanya suatu lembaga yang independen dan imparsial. Pembentukan dapat dilakukan melalui dua (2) cara, yaitu (1) membentuk lembaga baru di setiap daerah pemilihan; atau (2) memanfaatkan keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Kabupaten atau Kota yang telah berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden17

Dengan alasan efisiensi biaya dan kelengkapan sarana dan prasarana serta kelayakan kemampuan yang telah dibuktikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan KPU Provinsi maupun Kabupaten atau Kota sebagai penyelenggara pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, maka penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dibebankan kepada lembaga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang organ-organnya merupakan Komisi

17

Zain Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”, (Jakarta: Forum Indonesia Baru, 2005), h. 246.


(31)

Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang di beri wewenang khusus oleh Undang-Undang dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.18

1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)

Undang Undang Dasar 1945 tidak merumuskan lembaga penyelenggara pilkada, namun demikian penyelenggara pemilihan kepala daerah disebutkan dalam pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan:

“ Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan umum Daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)”.19 Komisi Pemiliha Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan Kepala Daerah, yang menyatakan:

(1) Pemilihan di selenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah(KPUD) (2) Dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur, KPUD Provinsi menetapkan KPUD Kabupaten atau Kota sebagai bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan.20

Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”, h. 247.

19

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU/III/2005.

20


(32)

Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang diberikan tugas sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, menurut pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut KPUD Provinsi atau Kabupaten atau kota sebagaimana di maksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 200321 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten atau Kota.

Sekarang yang menjadi permasalahan adalah samakah KPUD sebagaimana di maksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dengan KPU berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. KPU terdapat dalam Pasal 22E Undang Undang Dasar 1945 dalam bab VII B pemilihan umum, yang merupakan hasil perubahan ketiga tahun 2001. Pasal 22E ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas putusan perkara Nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:

21

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.


(33)

“ Maksud pembuat undang-undang menetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi maupun Kabupaten atau Kota berfungsi sebagai pelaksana tugas Komisi Pemilihan Umum Daerah, apabila anak kalimat tersebut dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat, maka bunyi pasal angka 21 akan menjadi “ Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi atau Kabupaten, atau Kota”. Yang artinya dengan rumusan tersebut penyelenggara pemilihan kepala daerah langsung adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, sebagai bagian dari KPU yang di maksudkan pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945. dengan demikian penyelenggara pemilihan kepala daerah (Pilkada), KPU menjadi regulator dan pengawas pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota, padahal pengertian yang demikian bukanlah yang di maksudkan oleh pembuat undang-undang. Walaupun demikian dalam hal kewenangan yang berkaitan dengan masalah internal KPU dan KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota tetap ada secara hierarkis, sehingga KPU tetap wajib melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi untuk lebih memberdayakan kinerja KPU Provinsi, kabupaten atau Kota”.22

Menyikapi amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, di satu sisi Mahkamah Konstitusi ingin mengatakan secara formal, bahwa KPUD itu berada dengan KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, sungguh keduanya memiliki organ yang sama.

22

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945, h. 112.


(34)

Pandangan ini dapat dipahami jika dianalogikan dengan jabatan Gubernur atau Bupati. Sebagai Gubernur ia adalah aparat pusat yang ada di daerah, di sisi lain ada juga dengan kepala daerah, ia adalah aparat daerah yang bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melaksanakan pemerintahan di daerah.23

Dengan konstruksi pikiran seperti ini, memberikan beberapa implikasi;

pertama, secara substansi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten atau

Kota berbeda dengan KPUD, kedua, KPU masih mempunyai kewenangan pengawasan dan memberikan advis kepada KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, ketiga, pengaturan proses pencalonan seperti penjadwalan pemilihan, penetapan pasangan calon kepala daerah menjadi kewenangan KPUD, dan keempat, anggota KPUD sebagai aparat KPU di daerah, secara struktural tetap harus memperlihatkan kebijakan atasannya (KPU).

Keberadaan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah (PILKADA) kembali di tegaskan dalam konsideran penjelasan umum angka 4 penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menjelaskan sebagai berikut: “ Melalui Undang-undang ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi, Kabupaten atau Kota di berikan kewenangan sebagai penyelenggara Pilkada. Komisi Pemilihan Umum Daerah yang di maksud dalam undang-undang ini adalah KPUD sebagaimana di maksud Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota

23

Sahuri Taufiqurrahman, “Anatomi Putusan mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, (Jakarta: makalah seminar putusan Mahkamah Konstitusi /PUU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, 2005), h. 6 .


(35)

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu di bentuk dan di tetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru.24

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). KPUD di maksud adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota. KPU ini diberi wewenang sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah KPU sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pertimbangan di pilihnya KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bernama Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dengan tidak membentuk lembaga baru dengan keanggotaan baru adalah untuk efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Pertimbangan ini didasari karena perangkat, sarana, dan prasarana KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kotamadya sudan terbentuk di seluruh Indonesia.

Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, peran Komisi Pemilihan Umum di sini hanya sebatas menjadi acuan bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam membuat berbagai peraturan yang selama ini sudah ada. Dalam pasal 29 butir

24

Republik Indonesia, Undang-undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, penjelasan umum angka 4.


(36)

9 dan pasal 32 butir g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum Provinsi, maupun Komisi Pemilihan Umum Kabupaten atau Kota melaksanakan kewajiban lain yang diatur dalam Undang-undang. Dengan demikian ada kewenangan Undang-undang untuk memberikan kewajiban lain kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota.

Ada 3 (tiga) kewajiban lain yang di berikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota, yaitu; (1) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, (2) pertanggung jawaban pemilihan kepala daerah kepada publik, dan (3) melaporkan pelaksanaan pilkada kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Selanjutnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memang tidak memberi kewajiban atau wewenang khusus kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun hal ini sesungguhnya tidak berarti KPU kehilangan peran sama sekali, KPU tetap menjaga berfungsinya organisasi secara baik dan benar di tingkat Provinsi, Kabupaten atau Kota.

2. Karakteristik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan


(37)

kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Dengan demikian semua sifat yang terkandung dalam Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota juga di miliki oleh KPUD.

Bertolak dari penafsiran Mahkamah Konstitusi dan pembuat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pemilihan kepala daerah tidak termasuk kategori pemilu, maka manajemen pemilihan kepala daerah tidak di lakukan oleh Komisi pemilihan Umum (KPU) tetapi oleh pemerintah, bukan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana yeng berlaku untuk pemilihan umum legislatif dan pemilihan Presiden.

Menurut Mahkamah Konstitusi tidak ada alasan kuat bahwa pemilihan kepala daerah tidak masuk ke dalam pengertian pemilihan umumn Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945, maka pengaturan pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan pemerintah. Meskipun demikian, Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai lembaga Independen harus bebas dari intervensi lembaga negara manapun dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung, yaitu harus berdasarkan asas-asas pemilihan umum, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Pesan demikian yang ingin di sampaikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan para pemohon mengenai aturan hukum yang mengharuskan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) bertanggung jawab kepada


(38)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Konsideran putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menyatakan;25

“Menimbang bahwa pembuat Undang-Undang telah menetapkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah langsung, yang mana Mahkamah Konstitusi berpendapat hal tersebut menjadi wewenang dari pembuat undang-undang. Walaupun demikian, KPUD harus di jamin independensinya dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dan apabila independensi KPUD tidak dijamin, maka hal ini akan mengganggu pelaksanaan hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang ditentukan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bertentangan dengan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang di muat dalam pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945”.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki implikasi ; (1) dalam pemilihan kepala daerah Komisi Pemilihan Umum Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, (2) DPRD tidak berwenang meminta pertanggung jawaban atas KPUD, (3) KPUD tidak berkewajiban mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran pemilihan kepala daerah ,dan (4) pembatalan calon kepala daerah yang terbukti melakukan palanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah

Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945, h. 110.


(39)

mempunyai kekuatan hukum tetap tidak lagi di lakukan oleh DPRD.26 Ketentuan tersebut cukup logis dengan memandang bahwa amat sulit mempunyai tujuan tersebut, apabila KPUD harus mempertanggung jawabkan kepada lembaga lain, seperti DPRD. Sebab DPRD merupakan unsur-unsur partai politik yang menjadi pelaku dalam kompetisi pemilihan kepala daerah.

B. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)

Komisi Pemilihan Umum Daerah merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap berbagai bidang dan aspek perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Tata cara pelaksanaan masa persiapan dan tahap pelaksanaan diatur oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.27

Secara sederhana, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kota Depok berperan sebagai penyelenggara Pemilihan Umum (pemilu)28. Dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dalam batasan entitas kewilayahan menurut yurisdiksi kota Depok. Inilah yang kemudian menjadi wilayah pemilihan dalam pemilihan kepala daerah tahun 2005.

26

Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, h. 112-113. 27

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.

28

Lihat pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Bab III Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.


(40)

Tugas dan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) inilah yang akan diawasi pelaksanaannya oleh Panitia Pengawas Daerah (panwasda) dalam wilayah kerjanya, begitu pula dengan masyarakat yang amat berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

Dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, meliputi:

a. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;

b. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;

c. Mengoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;

d. Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara kepala daerah dan wakil kepala daerah ;

e. Memeliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik serta persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengusulkan calon;

f. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;

g. Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye, dan mengumumkan sumbangan dana kampanye;


(41)

h. Mengumumkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;29

Di samping tugas dan wewenang tersebut di atas, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) juga mempunyai beberapa kewajiban, yaitu:

a. Memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;

b. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa; yang berkaitan dengan penyelenggaran pemilihan kepala daerah dan wakil berdasarkan peraturan perundang-undangan;

c. Menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahapan pelaksanaan pemilihan dan penyampaian informasi kegiatan kepada masyarakat;

d. Memelihara arsip dan dokumen pemilihan, serta mengelola barang inventaris milik KPUD berdsarkan peraturan perundang-undangan;

e. Mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD, serta f. Melaksanakan semua tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah.30

Pemberian kewenangan mengatur semua tahapan pemilihan kepala daerah kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah. dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah, dapat menimbulkan 3 (tiga) persoalan hukum;31 pertama, ketentuan

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama h.57.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Pasal 6.

31

Ramlan Subakti, “Bebarapa pertanyaan tentang sistem pemilihan kepala daerah secara langsung”, (Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), ed. 3, h. 55.


(42)

seperti ini bertentangan dengan prinsip kemandirian yang melekat tidak hanya kepada Komisi Pemilihan Umum, tetapi juga kepada KPUD sebagai aparatnya di daerah, karena menempatkan KPUD di bawah pengarahan pemerintah. KPU atau KPUD yang mandiri berarti tidak berada di bawah golongan, partai politik, ataupun pemerintah, melainkan melaksanakan pemilihan umum sepenuhnya menurut Undang-undang.

Dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan ketentuan teknis, semua tahapan pemilihan kepala daerah berdasarkan peraturan pemerintah, maka KPUD menerima pengarahan dan supervisi dari pemerintah atau setidaknya jika ada permasalahan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah harus bertanya dan berkonsultasi, menunggu pengarahan dari pemerintah tentang pengaturan tahap pemilihan kepala daerah.

Kedua, ketentuan tersebut tidak taat asas dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan pemilihan umum, dengan alasan untuk menghindari perbuatan peraturan pemilihan umum oleh peserta pemilu.32 Dan ketiga, pemberian kewenangan pengaturan teknis tahap persiapan dan pelaksanaan tahap pemilihan kepala daerah kepada KPUD bertentangan dengan asas

32

Cetro,” Urgensi revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah sebelum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”, ( http://www.cetro.or.id), diakses pada 18 Juli 2005.


(43)

eksternalitas dan efisiensi yang diatur dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah itu sendiri.

Urusan yang bersifat atau berlaku lintas daerah harus ditangani oleh instansi yang berlingkup luas, dikatakan demikian karena pengaturan teknis setiap tahapan tersebut merupakan penjabaran asas-asas pemilihan umum yang demokratis, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) serta jujur dan adil (Jurdil).

Penjabaran asas-asas pemilihan umum ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan berlaku universal, sehingga tidak dapat di desentralisasikan kepada KPUD. Di sebut tidak efisien yaitu karena bila pemilihan kepala daerah diselenggarakan di 226 daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota), maka harus di buat 226 Surat keputusan (SK) untuk setiap tahapan pemilihan kepala daerah yang isinya sama. Pengaturan teknis pemilihan kepala daerah seharusnya diserahkan kepada KPU, tetapi perencanaan dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di serahkan sepenuhnya kepada KPUD.33

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-III/2005, maka KPUD di dalam menyelenggarakan Pilkada, tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD, baik tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas KPUD maupun tanggung jawab penggunaan anggaran Pilkada. Mengenai pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan tahapan Pilkada, KPUD bertanggung jawab kepada pemerintah daerah masing-masing. Di samping itu DPRD tidak lagi berwenang membatalkan pasangan calon yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan “politik uang”. Karena itu,

33


(44)

sekarang beralih kepada KPUD. Hal ini semua didasarkan pada pertimbangan demi menjaga independensi KPUD dalam penyelenggaraan Pilkada, dan kemungkinan adanya intervensi dari pihak DPRD.

C. Tahap Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)

Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan daerah otonom, maka kini sudah saatnya untuk mengemban sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dan mulai menerapkan. Upaya ini menjadi lebih mendesak karena tuntutan dari berbagai daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi semakin gencar.34

Undang-undang ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon di usulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas pemilu35 sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang

34

Agung Djojosoekarto, Rudi Hauter, “Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi menuju Demokrasi Lokal”, Kerjasama Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Koniad Adenauer Stiftung, h. 6.

35

Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, h. 56.


(45)

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).

Sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, undang-undang ini menugaskan KPUD di masing-masing daerah. KPUD yang dimaksud dalam hal ini adalah KPUD sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003. Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD yang bersangkutan. Namun, secara organisatoris KPUD tetap bertanggung jawab kepada KPU pusat. Walaupun tidak diatur dalam undang-undang ini, secara organisatoris KPU tetap dapat melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi terhadap KPUD dan demikian juga KPUD provinsi terhadap KPUD Kabupaten/Kota, dalam pemilihan Bupati/Walikota.

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Depok yang di selenggarakan pada Juni 2005 dengan jumlah pemilih sebanyak 908.890 jiwa, telah melahirkan sejumlah keputusan kontroversial. Tidak konsistennya pemerintah pusat melalui Pengadilan Tinggi (PT) hingga Mahkamah Agung (MA) dalam menentukan Walikota terpilih membuat daerah pemukiman ini menjadi sorotan dari berbagai pihak, tetapi, justru hal inilah yang membuat pilkada Depok memiliki daya tarik tersendiri jika di bandingkan dengan pemilihan Kepala Daerah (pilkada) di daerah-daerah lain. Keseriusan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah


(46)

(Pilkada), diwujudkan dengan membentuk desk Pilkada di Departemen Dalam Negeri.36

Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pilkada langsung tersebut, sekurang-kurangnya ada dua hal besar yang harus dilihat sebagai konteks. Pertama, bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang menyangkut Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah melahirkan kontroversi yang cukup serius. Banyak yang menilai bahwa berbagai ketentuan tentang penyelenggaraan Pilkada langsung tersebut kurang didukung oleh kerangka berpikir yang tepat. Buntutnya adalah pengajuan judicial

review oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli Pemilu dan

beberapa KPU Provinsi. Tentu berbagai kontroversi ini akan mempengaruhi kesiapan KPU Daerah (dan juga pihak-pihak lainnya) di dalam persiapan penyelenggaraannya.37

Hal yang pertama adalah konstruksi kewenangan penyelenggaraan. Berbeda dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang memposisikan Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri- sebagai pemegang mandat tunggal penyelenggaraan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah membagi kewenangan penyelenggaraan pilkada

36

Desk pilkada memiliki peran signifikan dalam upaya mengambil langkah-langkah dan antisipasi mengenai keadaan pemerintah, keamanan, serta memberikan fasilitasi pada setiap tahap penyelenggaraan pilkada agar dalam pelaksanaannya berjalan tertib, aman, dan terkendali).

37

http://www.suaramerdeka.com/harian, “ Antisipasi masalah dalam Pilkada, Perlu perincian kewenangan penyelenggara”, diakses pada Agustus 2009.


(47)

kepada tiga institusi, yakni pemerintah, KPUD dan DPRD, dengan porsi masing-masing yang diatur oleh UU.

Proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (PILKADA) di laksanakan dalam 2 (dua) tahap, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.38

1. Tahap Persiapan

Persiapan pemilihan merupakan proses awal dalam pemilihan kepala daerah sebelum pelaksanaan pemilihan itu sendiri dilaksanakan. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai masa persiapan proses pemilihan kepala daerah. Namun, hal tersebut diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan kepala daerah, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah.

Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005, di sebutkan bahwa masa persiapan pemilihan kepala daerah, meliputi;39

a. Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;

b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah;

38

Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 65 ayat (1).

39

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 2.


(48)

c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah;

d. Pembentukan kepanitiaan pengawas, PPK dan KPPS; e. Pembentukan dan pendaftaran pemantau oleh KPUD.

2. Tahap Pelaksanaan

Dalam tahap pelaksanaan ini meliputi 5 (lima) kegiatan, yang masing-masing merupakan satu rangkaian yang saling terkait, meliputi;40

a. Penetapan Daftar Pemilih

Warga negara yang berhak memilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur tujuh belas tahun atau sudah pernah menikah. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan, warga negara Indonesia yang mana yang berhak yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. kemungkinan pertama adalah warga negara Indonesia yang terdaftar sebagai penduduk (memiliki kartu tanda penduduk) di daerah yang bersangkutan.

Secara prosedural, untuk dapat terdaftar sebagai pemilih, seseorang setidak-tidaknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:41

40

Ibid., Pasal 65 ayat (3). 41

Lihat pasal 68-69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 15-16 Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2005 jo Pasal 2 dan 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota


(49)

1. Orang yang bersangkutan merupakan Warga Negara Indonesia (WNI); 2. Menjadi penduduk kota Depok yang pada hari dan tanggal pemungutan

suara pemilihan telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah menikah; 3. Secara nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya;

4. Tidak di cabut hak pilihnya berdsarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;

5. Berdomisili di daerah pemilihan, yakni wilayah kota Depok, sekurang- kurangnya enam bulan sebelum di tetapkannya daftar pemilih sementara (DPS) yang di buktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti identitas kependudukan lainnya yang sah.

Untuk dapat menggunakan hak pilih, seorang Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat didaftar sebagai pemilih adalah keadaan fisiknya harus dalam keadaan sadar atau tidak sedang terganggu jiwa, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap. Seorang warga negara Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar pemilih, kemudian kemudian ternyata tidak lagi memenuhi kedua syarat tersebut, maka tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

b. Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah

Dalam proses pendaftaran pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan terakhir di daerah,

Depok Nomor 2 Tahun 2005 tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah kota Depok Tahun 2005.


(50)

digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Seorang pemilih hanya di daftar satu kali dalam daftar pemilih. Pemilih yang mempunyai satu tempat tinggal harus menentukan salah satu di antaranya untuk di tetapkan sebagai tempat tinggal yang di cantumkan dalam daftar pemilih. Sebagai tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih, pemilih diberikan tanda bukti pendaftaran, kemudian di tukarkan dengan kartu pemilih.42

Adapun mengenai penetapan pasangan calon kepala daerah, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada. Partai politik atau gabungan partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu harus memenuhi syarat; memiliki sekurang-kurangnya telah memperoleh lima belas persen kursi di DPRD, atau memiliki lima belas persen akumulasi perolehan suara sah dalam daerah pemilihan yang bersangkutan.

Idealnya proses pencalonan dilakukan melalui sistem dua pintu. Pintu pertama melalui partai politik, sedangkan pintu kedua melalui usulan dari masyarakat. Pasangan calon yang diusulkan oleh masyarakat ini, umpamanya disyaratkan harus mendapat dukungan minimal satu persen dari jumlah pemilih terdaftar. Adapun

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 66.


(51)

syarat-syarat untuk dapat diusulkan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat:43

1. Bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada Pancasila;

2. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau sederajat;

3. Berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun;

4. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan pemeriksaan dari tim dokter; 5. Tidak pernah di jatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan;

6. Memiliki hak pilihnya dan mengenal daerahnya serta telah di kenal oleh masyarakat;

7. Menyerahkan daftar riwayat hidup secara lengkap;

8. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama dua kali masa jabatan yang sama;

9. Tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah.

Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam melakukan penelitian terhadap persyaratan administrasi para calon, maka perlu melakukan klarifikasi kepada instansi pemerintah yang berwenang dan menerima masukan dari masyarakat.44 Hasil penelitian tersebut dalam jangka waktu paling lama tujuh hari, terhitung sejak tanggal penutupan pendaftaran, diberitahukan secara tertulis kepada

43

Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, h. 70.

44


(52)

pimpinan partai politik yang mengusulkan calon bersangkutan. Apabila pasangan calon, berdasarkan berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan KPUD ternyata belum memenuhi syarat, maka partai politik diberi kesempatan buat melengkapi atau memperbaiki surat percalonan, beserta persyaratan pasangan calon, maka paling lambat tujuh hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian tersebut paling lambat tujuh hari kepada pimpinan partai politik yang mengusulkan.

Pasangan calon yang sudah ditetapkan oleh KPUD di umumkan secara luas paling lambat tujuh hari sejak selesainya penelitian. Kemudian dilakukan undian secara terbuka, dalam arti wajib dihadiri oleh pasangan calon, wakil partai politik, pers dan wakil masyarakat, terhadap pasangan calon yang sudah ditetapkan atau di umumkan untuk menentukan nomor urut pasangan calon. Berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal ini berarti tidak ada lagi upaya, baik secara politis maupun secara hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkan penetapan pasangan calon tersebut.

c. Kampanye

Kampanye adalah merupakan suatu kegiatan yang di laksanakan dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kampanye di lakukan selama empat belas hari dan harus telah berakhir pada saat memasuki masa tenang, yaitu tiga hari menjelang pemungutan suara di laksanakan.


(53)

Kampanye di selenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon bersama-sama partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Tim kampanye harus di daftarkan kepada KPUD, bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon. Kampanye di lakukan secara bersama-sama atau secra terpisah oleh pasangan calon atau tim kampanye. Penanggung jawab kampanye adalah pasangan calon, dan dalam pelaksanaannya pertanggung jawaban dilakukan oleh tim kampanye.

Bentuk kampanye sering dikategorikan antara monologis dan dialogis. Kampanye monologis di identifikasikan sebagai paradigma lama dan dialogis sebagai paradigma baru suatu kampanye. Bentuk-bentuk kampanye monologis dalam pemilihan kepala daerah cukup dominan.45 Adapun bentuk kampanye dialogis adalah berupa tatap muka dan dialog serta debat publik atau debat terbuka antar calon.46

Kampanye dalam komunikasi politik adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk memberikan informasi dalam bentuk citra tentang seseorang atau kebijakan (publik) tertentu yang disampaikan dengan tujuan untuk mempengaruhi calon pemilih untuk mendukung kandidat atau kebijakan tertentu tersebut.47

Dalam kegiatan kampanye pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. Penyampaian materi

45

Bentuk-bentuk kampanye monologis adalah pertemuan yang sifatnya terbatas, penyebaran melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum dan rapat umum.

46

Lihat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Kampanye dialogis ini adalah seperti kampanye yang sekarang diterapkan dalam pemilihan Presiden 2009-20014.

47

Effendi Gazali, “ Strategis Kampanye PILKADA”, ( Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), ed. 3., h. 79-79.


(54)

kampanye di lakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif. Untuk penyusunan bahan kampanye, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berhak mendapatkan informasi atau data dari Pemerintah Daerah, sesuai ketentuan perundang-undangan.

Selama masa kampanye,48 Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) membentuk tim monitoring kegiatan-kegiatan kampanye, yang terdiri atas dua orang pegawai sekretariat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk masing-masing pasangan calon yang diterjunkan ke lapangan dan memantau langsung jalannya kegiatan kampanye oleh kontestan pilkada. Namun, praktek yang terjadi di lapangan, para petugas monitoring tersebut cenderung hanya memenuhi kewajiban minimal mereka dengan mengisi form kosong yang di isi sekadarnya dan pengamatan yang di lakukan tidak secara penuh dan menyeluruh. Dengan di isinya form kosong tersebut, petugas monitoring kembali ke kantor atau ke tempat lain. Hal ini berakibat pada pengisian form laporan monitoring kegiatan kampanye menggunakan laporan berulang (jiplakan).49

d. Pemungutan dan Perhitungan Suara

Tahapan yang paling menetukan dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, adalah tahapan pemungutan suara. Pemungutan suara dilakukan

48

Kampanye pemilihan walikota dan wakil walikota Depok adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program yang di lakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif atau mendidik. Lihat lampiran peraturan KPUD kota Depok No.8 Tahun 2005 tentang petunjuk teknis pelaksanaan kampanye dalam rangka pemilihan walikota dan wakil walikota Depok Tahun 2005.

49

Lihat, Bundel laporan kegiatan kampanye hasil monitoring pegawai sekretariat KPUD Kota Depok.


(55)

paling lambat satu bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Pemungutan suara di laksanakan pada hari libur atau hari yang di liburkan, pemungutan suara di lakukan dengan cara memberikan melalui surat suara, yeng berisi nomor urut, foto, dan nama pasangan calon. Jumlah surat suara dicetak sama dengan jumlah pemilih di tambah 2.5% dari jumlah pemilih.50

Kejelasan status pemilih tergantung kondisi terdaftarnya ia dalam daftar pemilih yang dalam kegiatan pemungutan suara menggunakan kartu pemilih selaku instrumen penunjuk identitas. Dapat dipahami bahwa kata putus mengenai sah atau tidaknya seorang warga yang memiliki hak pilih dalam kegiatan pemungutan suara , tergantung muatan dalam daftar pemilihan umum, bukan di sertakan atau tidaknya kartu pemilih yang berperan sebagai instrumen, terlebih Pasal 34 ayat (2) tidak menyebutkan sanksi atau implikasi lain atas kelalaian dalam pelaksanaannya.

Pada hari dan tanggal pemungutan suara, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) melakukan pembagian tugas yang di laksnakan para anggota KPUD dan pegawai sekretarian KPUD secara internal dan eksternal. Pembagian tugas internal dengan komposisi personalia tertentu meliputi penyiapan ruang media center beserta halaman kantor sekreteriat KPUD, dan publikasi hasil perhitungan sementara dengan menggunakan teknologi informasi yang ada. Publikasi di dalam ruang media center menggunakan proyektor LCD yang tampilan gambarnya di arahkan ke salah satu

Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 84.


(56)

dinding ruang (dinding dalam hal ini berfungsi sebagai pengganti layar) yang di peruntukan bagi para tamu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Sementara bagi masyarakat umum, yang hendak mengikuti jalannya perkembangan perhitungan suara disegenap tempat perhitungan suara secara real time dapat menyaksikannya melalui layar televisi di halaman kantor sekretariat Komisi Pemilihan Umum Daerah yang telah di sambungkan ke komputer pengolahan hasil perhitungan suara.

Proses pemungutan suara pada pemilihgan kepala daerah kota Depok cukup menarik perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa pejabat yang terlihat adalah sekretaris jenderal Departemen Dalam Negeri progo Nurjaman yang di dampingi oleh Gubernur Jawa Barat Dani Setiawan, serta anggota komisi II DPR RI Ferry Mursidan Baldan, di tempat lain, ada pula rombongan peninjau lain yang terdiri dari anggota KPU Pusat Chusnul Mariyah, serta para anggota KPUD Banjar, Jepara, Sukabumi, Indramayu, Bandung, dan kabupaten Subang.51

Apabila ada pemilih tuna netra, tuna daksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain pada saat pemberian suara, maka dapat di bantu petugas Kelompok Pelaksanaan Pemungutan Suara (KPPS) atau orang lain atas permintaan pemilih yang bersangkutan. Petugas KPPS atau orang lain yang membantu pemilih wajib merahasiakan pilihan pemilih yang di bantunya. Mengenai ketentuan pemberian

51

Dalam kunjungan ini hanya di sambut oleh ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok Dzulfadhli beserta staf dan sebagian pegawai sekretariatan KPUD, karena anggota KPUD yang lain beserta sebagian pegawai sekretariat KPUD masih bertugas memonitoring terhadap pelaksanaan pemungutan suara di sejumlah titik wilayah pemilihan.


(1)

sebuah ideologi untuk membangun seluruh komponen bangsa atau masyarakat ke arah yang lebih baik, oleh karena itu independensi kekuasaan kehakiman tergantung kepada faktor-faktor internal lembaga Peradilan dan (Political sphare) di sekilingnya.

2. Untuk terciptanya check and balances, tiap lembaga negara harus menggunakan pendekatan legal konstitusional untuk melaksanakan mekanisme kontrol kekuasaan antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Agar pengawasan terhadap lembaga eksekutif oleh lembaga legislatif haruslah diberi koridor untuk menegakan nilai keadilan dan tidak hanya sekedar pertarungan elit politik semata. Apabila proses ini terjadi, maka sistem politik yang lebih sehat akan tercipta dan membawa kesejahteraan masyarakat. Dengan memegang kuat prinsip check and balances tersebut, maka lembaga negara akan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif dan lebih demokratis.

3. Kemandirian Mahkamah Konstitusi akan menentukan keberhasilan pelaksanaan fungsi dan wewenang dalam kontrol kekuasaan. Untuk menciptakan Mahkamah Konstitusi yang independen, maka tata cara pemilihan dan persyaratan calon hakim merupakan hal yang paling utama.

4. Sebagai konsekuensi bahwa pilkada sebagai rezim pemilu, maka sengketa hasil pilkada dapat diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi atau Peradilan ad hock pemilu dibawah Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Peradilan ad hock pemilu ini penting untuk mengantisipasi sengketa yang jangka waktunya sudah limitatif dan sebagai antisipasi banyaknya daerah yang melaksanakan pilkada.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2005, Cetakan pertama.

Amirudin, Bisri, Zaini, ed, Pilkada Langsung Problem dan Prospek sketsa singkat perjalanan pilkada 2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008, Cet. Ke-1.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004, Cet. Ke-1.

Badjeber, Zain, Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta: Forum Indonesia Baru, 2005.

Fadjar, Abdul Mukti, Hukum Konstitusi Dan mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, Cet. Ke-1.

Fatkhurohman et. Al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, Cet. Ke-1.

Gazali, Effendi, Strategis Kampanye PILKADA, Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005, ed. 3.

Iberamsjah MS, SK KPUD No.18 tahun 2005, Pilkada Kota Depok Tahun 2005, Depok: Sekretariat Walikota Depok, 2006.

Loqman, Loebby, S.H., M.H., Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta: Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1996-1999.

Nadir, Ahmad, Pilkada Langsung dan masa depan demokrasi: studi atas artikulasi politik nahdliyyin dan dinamika politik dalam Pilkada langsung di Kabupaten Gresik Jawa Timur, Malang, Avveroes, 2005.

Narang, Agustin Teras, Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung dan Pengaturan Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Jakarta: Penerbit, 2004.


(3)

Parluhutan Daulay, Ihksan Rosyada, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006, Cet. Ke-1.

Santoso, Topo, Kepala Daerah Pilihan Hakim, Bandung: Harakatuna Publishing, 2005. Sarunjang, Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2005. Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta:

Konstitusi Press, 2005. Cet. Ke-1.

Subakti, Ramlan, Bebarapa pertanyaan tentang sistem pemilihan kepala daerah secara langsung, (Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005)ed. 3.

Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi: Penyelesaian sengketa penetapan hasil pemilu 2004, Jakarta: Sekretaris jendral dan kepaniteraan MKRI, 2005). Cet, Ke-1.

Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia Jakarta: Sinar Grafika, 2006, Cet. Ke-1.

Susanto, Agung, Hukum Acara Perkara Konstitusi, Prosedur Berperkara pada Mahkamah Konstitusi, Bandung: Mandar Maju, 2006, Cet. Ke-1.

Sutioso, Bambang, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Baktiu, 2006, Cet Pertama.

Sutioso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta: VIII-Press.

Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta: PT. Paradnya Paramita, 2006, Cet. Ke-1.

Tasrif, Suardi, Menegakan Rule Of Law di Bawah Orde Baru, Bandung: Mizan, 1971. Tim Penyusun Cetak Biru Mahkamah Konstitusi, Cetak biru membangun mahkamah

Konstitusi sebagai institusi peradilan konstitusi yang modern dan terpercaya, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004.

Tutik, Titik Tri wulan, Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan undang-undang nomor 32 Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.


(4)

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

PUTUSAN

---Putusan MKRI Nomor 001/PUU-IV/2006 Mengenai pengujian Undang-undang terhadap UUD RI 1945.

---Putusan MKRI Nomor 002/SKLN-IV/2006 Mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya di berikan UUD RI 1945.

---Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 01/PK/PILKADA/2005. ---Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005.

---Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

---Peraturan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok No.1-20 tahun 2005.

INTERNET

http://www.cetro.or.id Urgensi revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah sebelum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”, diakses pada July, 2009.

http:// hukumonline.com./“Sengketa Pilkada : MA kabulkan Peninjauan Kembali KPUD Depok”.html. diakses pada Mei 2009.


(5)

http://id.wikisource.org/wiki/Mekanisme_Impeachment_&_Hukum_Acara_Mahkamah_ Konstitusi, diakses pada November, 2008.

http://jurnalhukum.blogspot.com/ 2006/09/ mahkamah-konstitusi-ri.html, “ Mahkamah Konstitusi: The Guardian and the Interpreter Of The Constitution” diakses pada September, 2006.

http://www.kanalpemilu.com. “mk-mulai-sidangkan-perselisihan-hasil pemilu” diakses pada Mei, 2009.

http://www.kompas.com “Pilkada Depok dan sikap apatis”, diakses pada November, 2006.

http;//www.kompas.com, “Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi”, diakses pada Juni 2006.

http://www.suaramerdeka.com/harian, “ Antisipasi masalah dalam Pilkada, Perlu perincian kewenangan penyelenggara”, diakses pada Agustus, 2009.

http://ramadiandri10.blogspot.com/2009/01/tugas-dan-wewenang-mk.html, “Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi”, diakses pada Januari, 2009.

http://taufiqnugroho.blogspot.com

“Mahkamah Konstitusi Dalam Struktut Ketatanegaraan Indonesia”, diakses pada Februari, 2009.


(6)