Latar Belakang Masalah Penyelesaian Perkara Sengketa Pilkada Depok(Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-iv/2006 Terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara demokratis pada tingkat pemerintahan daerah merupakan suatu proses politik bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi yang sehat, maka persyaratan dan tata cara pemilihan kepala daerah di tetapkan dalam perundang- undangan, yaitu melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan-peraturan di bawahnya. 1 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 2 telah memilih penyelenggara pilkada dengan menggunakan organisasi Komisi Pemilihan Umum KPU yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 3 untuk menjadi penyelenggara pilkada di setiap daerah yang bersangkutan sesuai dengan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang dipilih sejak Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang 1 Philipus M. Hadjon, Pemilihan Kepala Daerah Berdsarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu menurut UUD 1945, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2005, h. vi. 2 Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 3 Republik Indonesia, Undang-undang tentang Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah , Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003. 1 Pemerintahan Daerah disahkan pada tanggal 15 Oktober 2004, ketentuan yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah telah mengundang perdebatan publik. Putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pilkada dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, bukan kategori rezim pemilu, akan tetapi masuk pada rezim pemerintahan daerah. Di dalam tata cara pemilihan kepala daerah secara langsung dipandang lebih baik jika dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat daerah DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 4 , namun pemilihan kepala daerah secara langsung memiliki keragaman potensi sengketa. Menurut Mulyana W. Kusuma, ada sejumlah titik rawan yang harus diwaspadai, mengingat persaingan dalam pilkada langsung lebih tajam dibandingkan dalam pemilu Presiden. 5 Sementara itu, menurut Syamsuddin Haris paling kurang ada lima sumber konflik potensial dalam pilkada langsung, baik menjelang, saat penyelenggaraan, maupun pengumuman hasil pilkada. 6 Pertama, konflik yang bersumber dari mobilitas politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negatif antar pasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang bersumber dari manipulasi dan kecurangan perhitungan suara hasil pilkada. Kelima, Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 5 Mulyana W. Kusuma, Ari Pradawati ed., Pilkada Langsung: Tradisi Baru Demokrasi Lokal, Surakarta: Kompip, 2005, h. 46. 6 Syamsuddin Haris, Masalah dan Strategi Mensukseskan Pilkada Langsung, Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005, Edisi 3, h. 74-75. konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan pilkada. Dari undang-undang yang mengatur tentang pemilihan umum, seperti Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif dan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden tidak memberi batasan yang jelas tentang sengketa pemilu. Demikian juga dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak spesifik mendefinisikan tentang sengketa pilkada. Dalam upaya penyelesaian senketa hasil pilkada diatur lebih lanjut dalam pasal 106 ayat 1 yang menyatakan bahwa keberatan terhadap penetapan hasil pilkada oleh Komosi Pemilihan Umum Daerah yang diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung. 7 Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung secara duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman. Namun, ia hanya berkedudukan di ibu kota negara, tidak seperti halnya Mahkamah Agung yang memiliki beberapa badan peradilan di bawahnya sampai pada tingkat pertama Kabupaten atau Kota. 8 Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang keberadaan dan wewenangnya diamanatkan oleh UUD 1945, dan lebih lanjut dalam Undang-Undang 7 Putusan Mahkamah Agung Nomor 01PKPILKADA2005, yang diajukan oleh KPUD Depok. 8 Jaenal Aripin, “ Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia”, Jakarta: Kencana, 2008, Cet. Ke-1, h. 195. Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi memiliki empat wewenang dan satu kewajiban berdasarkan Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD 1945. Empat wewenang Mahkamah Konstitusi adalah; 1 mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, 2 memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, 3 memutus pembubaran partai politik, dan 4 memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945. 9 Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi yang amat penting bagi negara, yaitu mengatur hubungan pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain, sehingga suatu konstitusi mengatur tiga hal penting yaitu yang pertama menentukan pembatasan kekuasaan organ-organ negara, kedua mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan yang ketiga mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara. 10 Fungsi- 9 Tim Penyusun Buku Lima Tahun Menegakan Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, Cet Ke-5. 10 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004, Cet. Ke-1, h. 24. fungsi konstitusi tersebut merupakan elemen yang fundamental dalam bentuk negara demokrasi, karena merupakan suatu perwujudan kehendak masyarakat. Sementara dalam hal kedudukannya dalam perkara ini, pemohon mengklaim diri mereka sebagai lembaga negara. Klaim mereka didasarkan pada putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01Pilkada2005PT.Bdg yang memenangkan gugatan mereka serta membatalkan kemenangan Nurmahmudi Ismail –Yuyun Wirasaputra. Albert Sagala sebagai kuasa hukum dari pemohon mengatakan berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tersebut, maka pemohon otomatis menjadi pemenang pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok. Penjelasan Albert tentang kedudukan pemohon dan termohon dalam kaitannya dengan persyaratan kualifikasi pemohon dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara SKLN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 61 ayat 1, pemohon dalam perkara SKLN adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang memiliki kepentingan langsung dengan kewenangan yang dipersengketakan. 11 Adapun mengenai sengketa kewenangan lembaga negara, bahwa sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah yang pertama kalinya diajukan ke Pengadilan Tinggi adalah sengketa hasil pemilihan kepala kota Depok. Setelah Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan, justru telah lahir masalah baru lagi yang 11 http:www.hukumonline.comdetail. Berita, diakses pada 22 Juni 2009. arahnya tertuju pada Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Menyusul terbentuknya Komisi Yudisial, perkara majelis hakim ini pun memjadi tantangan pertama bagi penilaian kinerja komisi ini. Demikian rekomendasi Komisi Yudisial tidak ditindak lanjuti oleh Mahkamah Agung, melainkan justru membentuk tim panel untuk merespon sengketa pilkada Depok menyusul diajukan Peninjauan kembali oleh KPUD kota Depok kepada Mahkamah Agung. 12 Setelah menjalani proses yang cukup lama dan berbau politis, akhirnya putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung mengabulkan permohonan pemohon. 13 Menanggapi permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara SKLN yang diajukan kubu Badrul Kamal, Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD Depok Zulfadli mengatakan pernyataan pemohon yang mengklaim diri mereka sebagai lembaga negara berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tidak dapat dibenarkan. Dia beralasan karena putusan Pengadilan Tinggi Jawa barat tersebut telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PKPilkada2005. Memori Peninjauan Kembali yang diajukan KPUD ke Pengadilan Negeri Cibinong pada tanggal 16 Agustus 2005 dan di teruskan ke Mahkamah Agung pada tanggal 23 Agustus 2005. http: hukumonline.com.“Sengketa Pilkada : MA kabulkan Peninjauan Kembali KPUD Depok ”.html. diakses pada 19 Desember 2005. Pemilihan Kepala Daerah PILKADA dipilih secara demokratis. Definisi demokratis berupa pemilihan langsung oleh rakyat ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. 14 Pasal 24 ayat 5 yang berbunyi: “Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 92 dan ayat 3 dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan ”. Penegasan pemilihan secara langsung oleh rakyat juga diamanatkan oleh pasal 56 ayat 1 Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu “Kepala Daerah dan wakil Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. Penyelesaian sengketa penetapan hasil pilkada walikota kota Depok tersebut dapat dijadikan cerminan bahwa penyelesaian sengketa penetapan hasil pilkada yang ditangani Mahkamah Agung ternyata dapat dilakukan upaya hukum lain terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang sebelumnya mendapatkan delegasi wewenang dari Mahkamah Agung. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi benar-benar bersifat final dan mengikat. Dalam putusan Mahkmah Konstitusi terkait sengketa pilkada Depok bahwa pihak termohon ternyata tidak dapat menerima putusan hukum yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan tetap merasa pihaknya yang benar. Untuk itu pihak termohon dalam perkara ini KPUD Depok membawa kasus tersebut ke mahkamah Konstitusi untuk dimintakan putusannya menyangkut sengketa penetapan hasil pilkada kota Depok ini melalui jalur pengajuan permohonan terkait sengketa 14 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. kewenangan lembaga ke Mahkamah Konstitusi. akan tetapi pada permohonannya, bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan pada putusannya tidak dapat diterima niet ontvankelijk verklaard . Pilkada Depok mencatat sejarah demokrasi di Indonesia, karena dapat di katakan sejak masa persiapan, kampanye, hingga pemungutan suara berlangsung aman. Meski ada sejumlah ketegangan, khususnya terkait daftar pemilih dan tuduhan adanya kecurangan yang dilancarkan sejumlah pihak dengan menolak rekapitulasi dan menuntut pemungutan suara ulang, secara umum Pilkada di Depok berjalan tanpa kekerasan dan hura-hura sebagaimana terjadi di tempat lain. 15 Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa sengketa hasil pilkada merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Dalam sengketa hasil pilkada jika ada pasangan calon yang tidak puas dengan penetapan hasil pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD, maka pasangan calon tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung dengan menunjukan bukti-bukti bahwa perhitungan suara yang dilakukan oleh KPUD tidak benar. Akan tetapi dalam pelaksanaan Pilkada Depok bahwa pemohon dari Komisi Pemilihan Umum Daerah KPUD Kota Depok memenangkan hasil putusan Mahkamah Agung dan pihaknya benar dalam perhitungan suara. Dalam masalah Pilkada Depok ini menarik untuk dikaji, karena adanya putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menyidangkan sengketa hasil pilkada 15 Topo Santoso, Kepala Daerah Pilihan Hakim, Bandung: Harakatuna Publishing, 2005, h. vii. antara peraih urutan kedua pilkada yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad melawan KPUD Depok. Berbeda dengan seluruh sengketa pilkada, baik yang disidangkan oleh Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi yang seluruhnya memenangkan permohonan termohon KPUD, akan tetapi Pengadilan Tinggi Bandung Jawa Barat justru memenangkan pemohon. Tentu saja yang paling terpukul bukan hanya KPUD, melainkan juga pasangan yang dianggap menang yaitu Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 022SKLN-IV2006 telah menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pemohon. 16 Beranjak dari beberapa persoalan di atas, maka penulis menuangkannya dalam skripsi yang berjudul Penyelesaian Perkara Sengketa Pilkada Depok Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002SKLN-IV2006 Terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah