“Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengadili dan memutus perkara permohonan pengujian Sengketa Kewenangan Lembaga Negaramyang di
berikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 ini yang di ajukan oleh Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad, dan karenanya harus di nyatakan tidak dapat di terima
”. Memaparkan beberapa persoalan khususnya menyangkut tentang putusan
Mahkamah Konstitusi dan implikasinya terhadap pencari keadilan justiciabellen. Secara garis besar persoalan yang munculkan adalah pengaturan mengenai Putusan Mahkamah
Konstitusi, isi dan karakteristik putusan, rekapitulasi putusan Mahkamah Konstitusi terakhir, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang penting, serta tentang finalnya
putusan Mahkamah Konstitusi sehingga upaya hukum terhadap putusan tidak dikenal.
138
Membahas mengenai tata cara dan bentuk-bentuk pelaksanaan putusan serta problematikanya di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Seperti diketahui, pelaksanaan
putusan Mahkamah Konstitusi berbeda sebagaimana yang diatur di lingkungan Peradilan Umum. Putusan Mahkamah konstitusi bersifat erga omnes, sehingga daya ikatnya tidak
hanya kepada para pihak yang berperkara saja, tetapi mengikat juga kepada pihak lain, misalnya dalam putusan judicial review terhadap suatu Undang-undang yang dianggap
bertentangan dengan konstitusi.
D. Alasan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi
Berdsarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4PMK2004, secara tegas bahwa peradilan dalam perselisihan hasil pemilu itu bersifat cepat
139
dan sederhana.
140
http:id.shvoong.comlaw-and-politics1902464-tata-cara-penyelesaian-sengketa, “Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi”. Diakses pada September 2006.
139
Dalam hal ini cepatnya sifat peradilan dalam perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi selain di artikan cepat dalam proses beracaranya juga cepat dalam melahirkan putusan yang di tandai
dengan batasan-batasan waktu yang telah di tentukan oleh pembuat undang-undang dan tidak adanya upaya hukum lain terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Proses cepat dan sederhana sebagai konsekuensi logis dari sistem pengadilan di Mahkamah Konstitusi yang tidak memiliki tingkatan atau dengan kata lain, pengadilan di
Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Konsekuensi logis lainnya adalah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak
memiliki upaya hukum lain. Tidak seperti dalam undang-undang tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang
Pemerintah Daerah menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah Pilkada adalah final dan mengikat.
Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi yang mendapat kewenangan delegasi dari Mahkamah Agung untuk memutus sengketa penetapan hasil pilkada kabupaten atau kota
adalah bersifat final. Perkara sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah Pilkada Kota Depok
yang diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan salah satu contoh yang tidak tetap dipungkiri bahwa penyelesaian sengketa penerapan hasil pilkada tidak
dapat menjadikan pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih untuk segera menduduki jabatannya, karena putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang telah
menganulir kemenangan mereka.
141
Bahkan pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih harus sabar menanti sampai dijatuhkannya putusan Mahkamah
Konstitusi.
142
140
Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4PMK2004.
141
Memori Peninjauan Kembali, terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01PILKADA2005PT.Bdg, Agustus, 2005 antara Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad semula
pemohon, kini termohon dengan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok semula termohon, kini pemohon Peninjauan Kembali PK.
142
Kubu pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad yang telah di menangkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung, kini dapat di kalahkan oleh Peninjauan Kembali Mahkamah Agung berusaha menyatakan
Dalam pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa maksud dan tujuan pemohon adalah sebagaimana terurai di atas; maka Mahkamah
Konstitusi mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dan kedudukan hukum legal standing pemohon dalam permohonan a quo,. Bahwa
kewenangan konstitusional Mahkamah menurut Pasal 24C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 selanjutnya disebut UUD 1945 adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final antara lain, untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di berikan
oleh Undang-Undang Dasar 1945.
143
Bahwa permohonan pemohon sesuai dengan judul pokok permohonan adalah “Permohonan Pengujian Kewenangan Lembaga Negara yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar 1945”.
144
Adapun dalil-dalil pokok yang diajukan pemohon adalah; a.
Bahwa pemohon adalah pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat a quo, sehinnga dapat di
kategorikan sebagai Lembaga Negara;
bahwa dirinyalah yang benar. Oleh karenanya, Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad mengajukan sengketa penetapan hasil pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi MK. Meskipun tidak melalui mekanisme atau
jalur penyelesaian perselisihan hasil pemilu, melainkan jalur SKLN dan PUU. Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia MKRI perkara Nmor 001PUU-IV2006 mengenai Pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. dan juga Nomor 002SKLN-IV2006 btentang sengketa kewenangan lembaga negara.
143
Lihat lebih Lanjut dalam Pasal 10 ayat 1 huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstiutusi selanjutnya di sebut UUMK, dan Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman UU Kekuasaan Kehakiman.
144
Isi permohonannya adalah memohon Mahkamah Konstitusi menguji kewenangan suatu lembaga negara yakni menguji kewenangan KPU Kota Depok Termohon yang mengajukan permohonan
PK kepada Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01Pilkada2005PT.Bdg, tanggal 4 Agustus 2005. serta menguji putusan Mahkamah Agung RI mengenai PK terhadap putusan
Pengadilan tinggi a quo.
b. Bahwa Komisi Pemilihan Umum daerah Kota Depok dalam menjalankan perintah
pasal 57 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya di sebut UU Pemda dapat dikategorikan sebagai Lembaga Negara;
c. Bahwa dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan
Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01Pilkada2005PT.Bdg, yang dilakukan oleh KPUD Kota Depok telah melampui kewenangan yang diberikan oleh Undang-
undang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang Dasar 1945. Adapun untuk menentukan apakah Mahkamah berwenang dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan a quo berkaitan dengan kedudukan hukum legal standing
pemohon. Maka Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut; a.
Bahwa permohonan pemohon mengenai kewenangan KPUD Kota Depok mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat,
bukanlah termasuk Sengketa Kewenangan Konstitusional yang dimaksudkan dalam Pasal 24C ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 ayat 1 huruf b
UUMK, melainkan hak yang timbul karena adanya kewenangan sebagaimana di maksud Pasal 66 ayat 1 Undang-undang Pemerintahan daerah yang memuat tugas
dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, dengan demikian objek sengketa bukanlah objek sengketa
kewenangan konstitusional antar lembaga negara sebagaimana di tentukan dalam Pasal 61 Undang-undang Mahkamah Konstutusi UUMK.
b. Kepala Daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota terpilih,
145
masih mempersyaratkan pengesahan pengangkatan oleh menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden dan pelantikan oleh Gubernur atas nama Presiden.
146
Dengan demikian, pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih belum manjadi kepala
daerah.
c. Komisi Pemilihan Umum daerah KPUD Kota Depok merupakan KPUD yang
kewenangannya di berikan oleh Undang-undang dalam hal ini undang-undang pemda. Dalam pemilihan kepala daerah Pilkada, menurut Undang-undang Pemda
dan sebagaimana juga di akui oleh pemohon, bahwa Komisi Pemilihan Umum daerah bukanlah bagian dari KPU yang di maksud dalam pasal 22E Undang-
Undang Dasar 1945. dengan demikian, meskipun KPUD adalah Lembaga Negara, namun dalam penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah pilkada kewenangannya
bukanlah kewenangan yang di berikan oleh Undang-Undang Dasar, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi.
Selanjutnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002SKLN-IV2006 tentang Sengketa Kewenangan lembaga Negara, bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi
berdasarkan seluruh penjelasan alasan hukumnya tersebut di atas, baik dari segi subjek pemohon dan termohonnya, maka permohonan a quo bukanlah termasuk lingkup perkara
Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara, sebagaimana dimaksud
145
Pasal 109 ayat 2 UU Pemda dan Pasal 100 ayat2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil Kepala
Daerah selanjutnya di sebut PP Nomor 6 Tahun 2005.
146
Pasal 110 ayat 1 dan Pasal 111 ayat 2 Undang-undang Pemerintahan daerah, dan pasal 102 ayat 2 Peraturan Pemerintahan Nomor 6 Tahun 2005.
dalam Pasal 24C ayat 1 Undang-Undang dasar 1945 dan pasal 10 ayat 1 huruf b joncto Pasal 61 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, permohonan
pemohon harus dinyatakan “tidak dapat diterima” niet ontvankelijk verklaard.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan bab-bab sebelumnya, dan memberi jawaban atas