Pelaksanaan Pendidikan oleh Zending

commit to user 59 Sukoco, 2010: 191. Selain mendirikan desa-desa Kristen, Zending memiliki pandangan bahwa mereka dapat mempengaruhi lingkungannya yang tidak mau mendengarkan pekabaran Injil secara langsung dengan menulis berbagai buku bacaan Kristen. Selama 30 tahun, Pieter Jansz dan putranya membaktikan diri untuk menyelesaikan tugas itu. Hasilnya berupa kamus bahasa Jawa; terjemahan Alkitab Perjanjian Baru yang selesai pada tahun 1891 dan Perjanjian Lama-Baru yang selesai pada tahun 1896; Katekismus Heidelberg, dan lainnya. Di samping itu ada usaha pendidikan dan pelayanan di bidang sosial.Van Den End, 1993: 222. Usaha Kristenisasi dalam bidang sosial adalah pendirian sebuah rumah sakit di Margorejo untuk memelihara kesehatan penduduk Margorejo dan orang-orang di luar Margorejo yang membutuhkan perawatan kesehatan. Selain rumah sakit, usaha Kristenisasi yang memainkan peranan penting bagi kemajuan pekabaran Injil di Indonesia adalah pendidikan.

B. Pelaksanaan Pendidikan oleh Zending

Munculnya sekolah di Indonesia pada jaman penjajahan Belanda merupakan keinginan dari penjajah itu sendiri. Meski demikian, tujuan pendirian sekolah ini berbeda jauh dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Sekolah hanya dimanfaatkan untuk mendukung kekuasaan pemerintah dan bukan untuk kepentingan pribumi. Pada jaman VOC 1600-1800, sebenarnya sudah ada sekolah untuk anak-anak pribumi, yaitu sekolah khusus untuk orang-orang beragama Kristen. Poerwanto, 1993:9. Hal ini secara jelas ditulis dalam instruksi terhadap Gubernur Jenderal dan VOC tahun 1617 yang menyebutkan bahwa sekolah-sekolah itu bertujuan untuk menancapkan pengaruh Agama Kristen di Hindia Belanda. Tahun 1799 VOC bangkrut dan kekuasaan Hindia Belanda diambil alih oleh pemerintah Inggris dari tahun 1811-1816. Pada masa pemerintahan Inggris, sekolah untuk anak-anak pribumi ditiadakan, dan baru dibuka kembali pada tahun 1818 setelah kekuasaan dipegang lagi oleh Belanda. Saat itu diberlakukan peraturan baru yang mengatur pelaksanaan pengajaran bagi anak pribumi. Namun commit to user 60 peraturan itu akhirnya hanya menjadi sebuah peraturan tanpa ada realisasinya. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda sedang mengalami kesulitan keuangan, sehingga tidak bisa mengeluarkan uang untuk pelaksanaan pendidikan untuk pribumi bahkan justru memeras segala sumber alam dan manusia Indonesia untuk mengisi kas pemerintah. Poerwanto, 1993: 51. Pada tahun 1848, ditetapkan sebuah bergrooting anggaran belanja sebanyak 25.000 Gulden untuk mendirikan dan membiayai sekolah-sekolah di Indonesia. Sekolah-sekolah untuk pribumi memang benar-benar didirikan, tapi tujuannya hanya untuk mencetak ambtenaar pegawai yang nantinya dipekerjakan sebagai mandor atau juru tulis di perkebunan-perkebunan. Pada tahun 1850, ada ketentuan supaya sekolah-sekolah Belanda di Indonesia menyelaraskan kurikulum sesuai kurikulum sekolah di Belanda. Di sekolah Belanda ini anak-anak pribumi juga diterima tapi terbatas bagi para putra priyayi gedhe. Sedangkan putra priyayi cilik hanya bisa sekolah di sekolah kelas dua. Poerwanto, 1993:51. Demikianlah pelaksanaan sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, yang walaupun memiliki teori yang mulia tetapi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Peraturan-peraturan yang diberlakukan di sekolah-sekolah milik pemerintah Hindia belanda ini tidak berlaku bagi sekolah yang didirikan oleh Zending. Ketika Zending memulai pekerjaannya di suatu daerah, hampir dipastikan mereka mendirikan sekolah untuk anak-anak pribumi. Pendirian sekolah ini bertujuan untuk mengangkat martabat dan taraf kehidupan masyarakat setempat. Diharapkan setelah taraf hidup meningkat dan para pribumi beroleh pengetahuan, maka mereka akan lebih mudah menerima ajaran Kristen. Zending Mennonit di Jepara memprakarsai dua sekolah yang diperuntukkan bagi anak- anak pribumi. Kedua sekolah itu antara lain : 1. Sekolah Jemaat Margorejo Pembahasan mengenai Sekolah Jemaat yang didirikan oleh Zending ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah sekolah yang dikelola oleh commit to user 61 Pieter Jansz dan kedua, sekolah yang dilanjutkan oleh putra Pieter Jans, Pieter Anthonie Jansz. a. Sekolah Jemaat yang didirikan Pieter Jansz Pieter Jansz memulai pekerjaannya sebagai pekabar Injil dengan mendirikan sekolah pada Agustus 1852. Sekolah ini masih sangat sederhana dan belum dilengkapi dengan fasilitas-faslitas penting. Gedung yang dipakai adalah rumahnya sendiri, ia bertindak sebagai guru dan dibantu oleh istrinya. Hal tersebut disebabkan karena jumlah murid yang masih terbatas. Pelajaran yang diajarkan di sekolah juga masih sangat sederhana, yaitu pelajaran membaca, menulis, dan menyanyi. Sekolah yang didirikan Pieter Jansz kurang mendapat perhatian penduduk disebabkan pada waktu itu kesadaran penduduk untuk menyekolahkan anaknya masih sangat kurang, sedangkan Pieter Jansz sendiri juga mempunyai pekerjaan untuk mengabarkan Injil dengan metode ceramah pada penduduk yang lainnya. Kondisi ini berlangsung sampai kedatangan zendeling baru bernama Nicholas Dirk Schuurmans tahun 1863. Sukoco, 2010:157. Schuurmans sampai di Jawa pada bulan Juni 1863 dan bekerja mendampingi Pieter Jansz di Jepara sejak bulan Agustus. Sebelum menjadi zendeling, mula-mula Schuurmans yang masih muda ini bekerja sebagai pandai besi, tetapi kemudian dia meninggalkan pekerjaannya dan berniat melayani Tuhan dengan masuk sebagai tenaga Zending Mennonit untuk menyebarkan Injil. Selama lima tahun sejak 1857, Schuurmans menjalani masa persiapan dalam pendidikan sebagai zendeling dan pada tanggal 18 Maret 1863, sesudah pernikahannya, Schuurmans berangkat ke Jawa untuk memulai tugasnya. Schuurmans, yang oleh orang-orang Jawa setempat dipanggil sebagai Tuan Kirman, dan Pieter Jansz setuju kalau pekerjaan yang ada akan dibagi di menjadi dua. Pieter Jansz menangani khusus pemeliharaan jemaat dan perluasan pekabaran Injil, sedangkan Schuurmans menangani penyelenggaraan sekolah, sesuai dengan kegemarannya di bidang pendidikan. Kedatangan Schuurmans ini sungguh membawa angin segar bagi kehidupan sekolah Zending yang dibangun oleh Pieter Jansz. Schuurmans mempunyai minat dan bakat sebagai pendidik yang baik. Dengan tekun sekolah commit to user 62 ini diasuhnya sehingga makin lama makin banyak anak-anak yang disekolahkan di situ. Perkembangan sekolah membuat sekolah itu tidak kalah mutunya dengan sekolah lain yang sudah ada, didukung dengan jumlah uang pembayaran sekolah yang relatif murah dan terbuka untuk umum. Sampai tahun 1865 sekolah ini telah memiliki 19 murid. Setahun kemudian bertambah menjadi 26 orang murid, dan 14 diantaranya tinggal di asrama yang memang disiapkan untuk anak-anak yang tempat tinggalnya jauh dari sekolah. Untuk penanganan asrama yang masih sederhana, yakni terbuat dari bambu, mula-mula cukup dipegang oleh Ny. Schuurmans sendiri, yang bekerja dibantu pengawas untuk mengawasi anak-anak supaya tertib dan teratur. Tujuan pendirian sekolah itu memang untuk membawa anak-anak kepada Kristus. Tentang pembagian persiapan, bagi pria dipersiapkan sebagai guru Injil, sedangkan wanita disiapkan semata-mata sebagai ibu rumah tangga yang baik. Untuk menunjang tujuan tersebut tiap minggu diadakan kebaktian khusus buat mereka antara pukul 09.00-10.00. Selain itu diberikan katekisasi pembekalan khusus yang dilayani langsung oleh Pieter Jansz. Dengan penuh ketekunan penyelenggaraan sekolah ini dilaksanakan sehingga untuk itu saja memerlukan biaya f 100,- bulan disamping biaya asrama per anak f 0,11 hari. Jadi sekolah yang didirikan oleh Pieter Jansz ada dua yakni sekolah guru dan sekolah jemaat. Sukoco, 2010:158. Dalam perkembangan sekolah tersebut timbul persoalan antara Jansz dan Schuurmans. Keduanya memiliki visi yang berbeda dalam hal memajukan sekolah. Jansz yang merasa lebih senior selalu berusaha untuk mengawasi, menegur, dan mengarahkan Schuurmans dalam penyelenggaraan sekolah sehingga sering terjadi benturan-benturan kecil antara dia dan Schuurmans. Benturan-benturan itu antara lain dalam hal penamaan sekolah, pembagian kelompok murid, dan pelajaran. Dalam hal penamaan, Schuurmans menamakan sekolah tersebut dengan Sekolah Pendidikan, bukan Sekolah Jemaat. Alasannya sebagian besar dari anak didiknya tidak berasal dai jemaat. Sebaliknya Jansz menghendaki supaya sekolah itu disebut Sekolah Jemaat. Akhirnya dalam hal ini commit to user 63 Schuurmans mengambil sikap mengalah sehingga sekolah itu tetap disebut sebagai Sekolah Jemaat. Persoalan yang kedua adalah mengenai usul Jansz untuk memisahkan anak-anak antara usia di bawah 12 tahun dan di atas 12 tahun. Schuurmans sebenarnya bukan bermaksud untuk tidak setuju, karena sebelum Jansz mengusulkan hal tersebut sudah diterapkan. Tetapi ternyata pemisahan ini tidak banyak memberi keuntungan dan justru menimbulkan kerugian. Apabila hal itu tetap diterapkan, maka akan dibutuhkan tempat dan pengawas baru sehingga pengeluaran akan bertambah, karena otomatis pemisahan juga dilakukan untuk murid putra dan putri. Inilah yang menjadi alasan Schuurmans tidak menghendaki pembagian kelas tersebut mengingat pengurus Zending sudah memberi lampu kuning untuk penghematan. Persoalan terakhir yang lebih berat adalah ialah soal pelajaran Bahasa Belanda. Sejak semula Schuurmans telah memberikan pelajaran Bahasa Belanda pada murid-muridnya, sedangkan selama itu pula Jansz tidak mempersoalkannya. Mendadak pada pada tahun 1870 Jansz menegur Schuurmans dengan pernyataan tidak setuju kalau anak-anak diberikan pelajaran Bahasa Belanda. Alasannya murid-murid akan menjadi sombong, membaca bacaan yang tidak baik, dan keluar dari lingkungannya. Wawancara dengan Martati Ins Kumaat, 6 Februari 2011. Schuurmans dengan tegas menolak alasan-alasan yang disertakan Jansz karena dianggap alasan-alasan tersebut bukan hal yang prinsip. Di saat persoalan ini terjadi, jumlah murid mencpai 39 anak, 29 diantaranya tinggal di asrama. Setahun kemudian jumlah itu naik menjadi 53 anak, 43 diantaranya tinggal di asrama. Akibat ledakan siswa yang diasramakan ini diambil dua tindakan penting, yakni pertama, membuka cabang sekolah di Desa Bondo dena guru bernama Wagiman yang adalah anak didik Schuurmans. Pembukaan cabang ini bertujuan untuk melayani anak-anak Bondo yang jauh dari Jepara. Tindakan yang kedua yaitu mendatangkan seorang perawat asrama khusus untuk membantu atau menggantikan pekerjaan Ny. Schuurmans yang cukup lama mengabdi untuk pekabaran Injil tanpa imbalan apapun. Untuk itu didatangkan Nn. Sjoukje Deinum yang mulai bekerja per April 1874. commit to user 64 Partisipasi orang tua dan pendidikan anak mereka sangat kurang. Mereka tidak mau memikirkan bagaimana anak-anaknya seharusnya sebagai anak sekolah, bahkan kesadaran ini menjadi turun ke titik nol pada tahun 1873 ketika anak-anak Bondo dan Banyutowo ditahan orang tuanya untuk tidak sekolah lagi. Demikian pula sekolahan di Bondo pun terpaksa ditutup karena tidak ada murid yang masuk karena Tunggul Wulung, yang lebih dulu melakukan kegiatan pekabaran Injil di tempat itu tidak mengijinkan pendirian sekolah di lingkungannya. Bahkan ketika pengurus pusat memutuskan untuk tidak lagi memperbolehkan pengajaran Bahasa Belanda kecuali kepada murid yang menunjukkan minat besar dan ada kemungkinan menjadi guru sekolah maka banyak orang tua yang mencabut anaknya, terutama para kepala desa. Dengan segala usaha dan pengorbanan sampai dengan tahun 1875 sekolah-sekolah asuhan Schuurmans berhasil mencetak 88 orang lulusan, tetapi hanya tiga orang yang menjadi guru sekolah cabang yakni Wagiman guru sekolah di Bondo, Sanjan guru sekolah di Petekeyan, Siput guru sekolah di Karang Gondang. Selanjutnya dibuka pula cabang sekolah di Cumbring, Kedungpenjalin, dan Pengkol. Karena gedung sekolah yang selama ini dipakai di Jepara terbuat dari bangunan bambu sehingga kekuatannya mengkhawatirkan maka gedung ini dirombak dan diganti dengan gedung yang terbuat dari batu dengan biaya f 1600,-.Sukoco, 2010:162. Sekolah Zending ini sudah menggunakan kurikulum sekolah yang cukup baik dengan mata pelajaran yang meliputi : Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, Bahasa Belanda, berhitung, sejarah umum, sejarah Bangsa Jawa, sejarah suci, ilmu bumi umum, ilmu bumi dari Hindia Belanda teristimewa dari Pulau Jawa, ilmu bumi Palestina, dasar-dasar ilmu alam, dan pelajaran menyanyi. Khusus bagi yang menginginkan mendapatkan pendidikan untuk menjadi pekabar Injil atas guru maka akan mendapatkan pelajaran tambahan. Setelah beberapa tahun mengabdi dalam pekerjaan Zending, Schuurmans harus berhenti karena faktor kesehatan. Tahun 1878 ia mengambil cuti untuk beristirahat di Nederland atas nasehat dokter, dan ternyata Schuurmans tidak bisa kembali ke Indonesia karena kesehatannya yang tidak kunjung membaik. Sekolah Jemaat asuhan Schuurmans commit to user 65 ini kemudian dilanjutkan oleh putra Pieter Jansz yakni Pieter Anthonie Jansz, yang sudah beberapa tahun belajar di Negeri Belanda dan kembali ke Indonesia dengan berbekal banyak pengetahuan mengenai pendidikan. b. Sekolah Jemaat yang Dikelola oleh Pieter Anthonie Jansz Memasuki masa pengembangan desa persil Margorejo, sekolah mengalami sedikit kesulitan mengenai tenaga guru pengajar sejak Schuurmans pergi. Selama beberapa waktu Zending Mennonit meminjam seorang guru bernama Poerna dari zendeling Hoezoo sampai calon guru yang disiapkan oleh Zending menyelesaikan pendidikannya. Pada tahun 1890 Poerna harus kembali kepada Hoezoo karena tiga orang calon guru yang dididik di Depok, dekat Batavia, melanjutkan studi praktis perawatan orang sakit dan sekolah taman kanak-kanak di Mojowarno telah selesai dan kembali, yaitu Naftali Wirodito, Dirdjo Soerodirono, serta Moersidin Semangoen Ardjo. Demikian juga telah kembali Talidjo Kromoatmodjo yang dikirm khusus untuk belajar di Mojowarno. Kedatangan beberapa tenaga terdidik ini yang mula-mula menggembirakan berubah menjadi mengecewakan ketika Moersidin Semangoen yang baru bekerja dua hari di lingkungan jemaat mendadak menyatakan tidak sanggup bekerja dan minta keluar dengan alas an yang tidak jelas. Dengan perginya Semangoen, maka sekolah Zending diasuh oleh tenaga-tenaga Nicodemus Soedjalmahardjo sebagai pengawas sekolah jemaat; Jusuf Wirodiwongso sebagai guru; dan Naftali Wirodito,Dirdjo soerodirono Ronodirjo, dan Talidjo Kromoatmodjo sebagai calon-calon guru. Sedangkan rencana pembangunan taman kanak-kanak yang sedianya akan diserahkan kepada Talidjo ditangguhkan untuk sementara waktu. Sekolah Jemaat yang dipindah ke Margorejo berkembang cukup pesat. Tetapi tujuan sekolah ini kurang tercapai meskipun muridnya mencapai 65 anak 41 putra, 24 putri, tetapi 43 diantaranya berasal dari luar Margorejo. Keadaan murid di Margorejo berkembang pula sehingga pada tahun 1890 jumlah murid mencapai 82 anak. Dari jumlah ini, anak penduduk desa persil Kristen ada 37 anak, anak-anak penduduk Non Kristen ada 23 anak, sedangkan 22 anak yang lain berasal dari luar. Dari jumlah 37 anak commit to user 66 Kristen ini ternyata hanya 14 anak yang berasal dari margorejo karena yang lain berasal dari Kedungpenjalin, Bondo, dan Tempuran; disamping ada 3 orang anak lain yang belajar di sore hari. Sukoco, 2010: 195. Selain di Margorejo, sekolah di Kedungpenjalin masih juga berjalan seperti biasa. Tahun 1890 ini juga sekolah Kedungpenjalin masih memiliki 30 murid yang belajar pagi hari, sedangkan yang belajar sore hari ada 9 anak. Tetapi dua sekolah lain, yaitu Sekolah Banyutowo walaupun hanya dengan tujuh murid saja, serta Sekolah Bondo yang hanya memiliki 10 murid yang keadaannya menyedihkan diputuskan akan tetap dipertahankan. Walaupun sekolah-sekolah ini kurang begitu berhasil, tetapi demi pekabaran Injil, kedua sekolah ini tetap dipertahankan dengan harapan akan timbul kesadaran dari orang tua di kedua kelompok bekas asuhan Tunggul Wulung ini untuk menyekolahkan anak- anaknya. Sekolah yang dibuka semakin lama semakin berkembang. Banyak masyarakat Islam di sekitar jemaat, lebih-lebih dari Puncel, menggunakan fasilitas pendidikan ini. Antusiasme masyarakat luar untuk bersekolah di Sekolah Jemaat di Margorejo ini disebabkan karena keuntungan yang ditawarkan di Sekolah Jemaat Margorejo, antara lain Zending memberikan sekolah gratis, buku, sabak, pen untuk menulis, pakaian, makanan, dan hadiah setiap perayaan Natal. Wawancara dengan Dirdjotono, 9 Februari 2011. Sebaliknya andaikata tidak ada peraturan wajib sekolah mungkin orang-orang Kristen sendiri tidak terlalu tertarik dengan sekolah. Begitulah manusia, yang tidak memiliki berusaha untuk ikut menikmati fasilitas yang ada, tetapi yang memiliki fasilitas justru tidak memanfaatkan dengan baik. Wawancara dengan Sulistyo, 8 Februari 2011. Tidak hanya Sekolah Dasar tujuh tahun, serta Sekolah Petang tetapi pada tahun 1896 dibuka pula Sekolah Taman Kanak-Kanak seperti yang diidam-idamkan di bawah asuhan kakak Pieter Jansz, yaitu Ny. De Boer. Taman Kanak-Kanak ini diberi nama Pamong Rini. Sama seperti persekolahan jaman N.D. Schuurmans, anak-anak putri pun diberi tambahan pelajaran berupa keputrian yang diselenggarakan sore hari dan malam hari. Sukoco, 2010:212. commit to user 67 2. Sekolah Guru Margorejo Tempat-tempat pekabaran Injil dan jemaat yang dikerjakan Zending makin berkembang luas, terdiri dari Margokerto, Tegalombo, Banyutowo, Tayu, Pati, Kayuapu, Pulojati, Srobyong, Kedungpenjalin, dan Bondo. Di pihak lain Zending selalu berusaha mendirikan sekolah-sekolah di masing-masing jemaat yang ada. Bahkan di tempat-tempat yang belum ada orang Kristen didirikan pula sekolah sebagai alat pekabaran Injil, biarpun banyak kesulitan yang dialami karena tentangan dari orang-orang Islam dan sikap pemerintah yang tidak tegas. Karena itu para zendeling merasa kekurangan tenaga yang memenuhi syarat, baik untuk guru sekolah maupun untuk membantu dalam pekabaran Injil. Tidak mungkin Zending harus berpuas diri dengan guru-guru lulusan sekolah Zending yang masih setingkat Sekolah Dasar. Lebih tidak memungkinkan apabila mengirim tenaga-tenaga untuk dididik di luar daerah, karena selain biaya yang relatif mahal juga ilmu pengetahuannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan. Selain alasan-alasan di atas, Zending Mennonit juga mewajibkan supaya guru-guru sekolah dapat merangkap sebagai pelayan jemaat. Oleh karena itu guru-guru itu memerlukan pendidikan dan persiapan khusus. Mengacu pada pertimbangan yang ada maka Zending di Margorejo membuka sebuah Kursus Sekolah Guru Zending sejak Juni 1896. Ternyata kursus ini mendapat sambutan yang baik, dan pada tahun 1902 Zending mengubah kursus itu menjadi Sekolah Guru Zending dengan status swasta penuh. Murid pertama Sekolah Guru Zending ini adalah Anna, putri dari Pak Kobis dari Desa Puncel yang mendaftarkan diri pada tanggal 1 Juli 1902. Pada tanggal 1 Januari 1904, Sekolah Guru Margorejo ini berubah status dari swasta ke subsidi, karena permintaan subsidi pada pemerintah dikabulkan berupa bantuan guru, yaitu mengakui dan mengangkat zendeling Pieter Anthonie Jansz yang menjadi direktur, baik untuk Sekolah Jemaat maupun Sekolah Guru Zending ini sebagai guru yang dibiayai oleh pemerintah. Hal ini dikukuhkan dengan pernyataan yang tertulis di Staatbladen Nederlandsch van Indie tahun 1854, yang berisi: “Keputusan Gubernur Jenderal, 9 Desember 1854 memuat ketentuan untuk misi Kristen. art.1 pandangan resolusi 6 September 1835 No.24 commit to user 68 yang menyatakan bahwa beban dalam perjalanan guru dari komunitas Kristen di Jawa diatur menurut kantor audit umum”. Sekolah guru pada umumnya bertujuan untuk mendidik calon guru untuk mengajar di sekolah-sekolah dasar sampai tingkat menengah. Sedangkan Sekolah Guru Zending Margorejo ini mengajarkan supaya murid-muridnya sanggup menjadi guru sekolah dan mengurus jemaat. Cara ini erat kaitannya dengan pola yang berlaku di gereja-gereja Mennonit di Belanda. Para zendeling telah melihat perekonomian Jawa terlebih di desa yang masih sangat lemah. Sistem ekonomi uang masih belum berjalan dengan baik sehingga dimungkinkan para penduduk desa tidak sanggup untuk membayar seorang pendeta professional. Karena itu dirasa akan lebih baik apabila pendeta-pendeta awam yang telah memiliki profesi dan penghasilan sendiri. Hanya saja dalam kenyataannya Zending Mennonit berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas. Terbukti bahwa guru- guru hasil pendidikan Sekolah Guru Zending ini ketika diangkat sebagai pemuka jemaat mereka digaji oleh Zending sesuai pola pendeta professional, walaupun kapabilitasnya belum sesuai dengan standar pendeta professional. Sekolah Guru Zending Margorejo ini hanya menerima murid dari lulusan Sekolah Dasar tujuh tahun dengan menunjukkan ijasah aslinya serta keterangan dari jemaat setempat dari mana calon ini berasal. Setelah diterima, calon-calon ini tidak dapat langsung duduk di tingkat satu Sekolah Guru Zending melainkan disaring dulu pada tingkat calon persiapan selama satu tahun. Kalau berhasil menempuh tingkat ini dengan baik, calon bisa duduk di tingkat satu dan seterusnya sampai tamat sekolah. Wawancara dengan Dirdjotono, 8 Februari 2011. Kurikulum yang terdapat di Sekolah Guru Zending ini terbagi menjadi dua bagian yaitu teori dan praktek. Keduanya terdiri dari dua bagian mata pelajaran, yaitu mata pelajaran pendidikan umum serta mata pelajaran agama dan Alkitab. Mata pelajaran pada Sekolah Guru Zending Margorejo ini terdiri dari 16 mata pelajaran, yaitu : a. Vak Agama Bijbelsche vakken b. Sejarah Kitab Suci Bijbel Geschiedenis c. Ilmu Bumi Kitab Suci Bijbel Aardrijkskunde commit to user 69 d. Sejarah Gereja Kerk Geschiedenis e. Pengetahuan Kitab Suci Bijbelkennis f. Dogmatika Geloofsleer g. Vak Umum Schoolen vakken h. Bahasa Jawa Janaansch taal i. Bahasa Melayu Maleisch taal j. Menulis Halus Schrijven k. Ilmu Bumi Aardrijkunde l. Ilmu Ukur Vorm I m. Ilmu Mengajar Op Voedkunder n. Berhitung Rekenen o. Sejarah Geschiedenis p. Ilmu Alam Natuur kunde q. Menyanyi Zang r. Menggambar Teekenen Sukoco, 2010:224. Kurikulum yang ada tidak menyertakan pengajaran bahasa Belanda kepada pribumi. Bahasa Belanda tidak diajarkan karena beberapa alasan, antara lain : a. Biasanya anak-anak yang diajari Bahasa Belanda akan berubah menjadi kemlanda Kebelanda-belandaan, kalau berbicara lebih senang dan bangga menggunakan Bahasa Belanda. Ini tidak sesuai dengan tujuan yang tersembunyi dari persekolahan yang ingin membentuk jiwa anak-anak didiknya betul-betul berjiwa nasional. Apabila diajari Bahasa Belanda dikhawatirkan akan menjauhkan diri dari pergaulan dengan bangsanya sendiri. Wawancara dengan martati Ins Kumaat, 6 Februari 2011. b. Tujuan pendirian sekolah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan guru yang akan mengajar di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Jawa atau Bahasa Melayu, sehingga dirasa bahwa Bahasa Belanda tidak diperlukan. Alasan-alasan yang dimukakan oleh Zending itu melandasi kebijakan untuk tidak mengajarkan Bahasa Belanda di Sekolah Guru Zending Margorejo. commit to user 70 Dipandang dari sisi budaya, tindakan Zending ini patut dipuji karena dengan demikian orang-orang Jawa yang telah dikristenkan ini tidak dicabut dari akarnya dan kemudian didandani dengan gaya budaya Barat.. Sedangkan dari sisi lain, hal ini dianggap sebagai suatu kelemahan dari kurikulum Sekolah Guru Zending Margorejo karena kurang memperhitungkan masa depan para lulusannya. Para lulusan dari Sekolah Guru Zending di Margorejo ini hanya mampu menjadi guru sekolah maupun pemimpin agama saja. Padahal kalau mereka dibekali dengan Bahasa Belanda maka mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan jabatan yang lebih tinggi dan dapat berkomunikasi dalam bahasa asing Internasional. Sehingga para lulusan yang dicetak memiliki peluang untuk menjadi pemuka-pemuka jabatan yang dapat berinteraksi langsung dengan orang-orang Belanda. Wawancara dengan Martati Ins Kumaat, tanggal 6 Februari 2011. Sekolah Guru Zending Margorejo sangat memperhatikan mata pelajaran sejarah dan bahasa Jawa dengan tujuan supaya para murid tetap menyadari bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat Jawa. Di bidang kesenian, tembang dan gending Jawa juga diajarkan pada murid-murid. Dalam pemakaian bahasa pengantar, baik guru termasuk yang berkulit putih maupun murid-murid, semuanya menggunakan Bahasa Jawa tinggi krama inggil. Wawancara dengan Dirdjotono, 8 Februari 2011. Ilmu Kimia dan pertanian tidak diajarkan karena alasan praktis. Ilmu kimia tidak relevan bagi lulusan Sekolah Guru, dan ilmu pertanian sudah merupakan latar belakang kehidupan murid-murid sehingga tidak diperlukan. Bagian tertentu dari kedua pelajaran itu disatukan dalam ilmu alam. Namun rupanya kebijakan ini kurang memperhitungkan kemajuan-kemajuan dalam bidang pertanian yang kelak pasti berkembang lebih kompleks. Mata pelajaran umum seperti menyanyi, bahasa Jawa, dan bahasa Melayu diajarkan tidak semata-mata bersifat umum begitu saja, melainkan untuk menunjang pelajaran agama. Pelajaran praktek pun terbagi atas dua bagian menurut vak agama dan umum. Untuk mata pelajaran agama, praktek dilakukan dengan pengamalan langsung. Masing-masing siswa diminta untuk membuat catatan serta karangan tentang kotbah yang didengar di gereja. Karangan yang disiapkan nantinya dibacakan dan didiskusikan di kelas. Para murid tidak diberi commit to user 71 kewajiban khusus untuk praktek mengajar di gereja, tetapi diharapkan mereka dapat menguasai keterampilan itu dengan sendirinya. Sebaliknya praktek mengajar betul-betul dilakukan dengan cermat di sekolah-sekolah Zending, dilanjutkan dengan evaluasi dan diskusi tentang hasil praktek oleh guru dan murid secara bersama-sama. Wawancara dengan Dirdjotono, 8 Februari 2011. Perbandingan alokasi waktu antara pelajaran agama dan pelajaran umum untuk setiap kelas per minggu di dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah Guru Zending di Margorejo diatur sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Perbandingan jumlah jam pelajaran agama dan pelajaran umum itu antara lain: a. Kelas I 6:25 b. Kelas II 5:11 c. Kelas III 5:11 d. Kelas IV 5:11 e. Kelas V 25:61 Jumlah jam pelajaran keseluruhan = 107: 388 jam. Sukoco, 2010:227. Beberapa waktu lamanya Sekolah Guru Zending di Margorejo menggunakan dua gedung yang dibangun di atas tanah Margorejo. Mulai tahun 1925 gedung lama tidak dipergunakan karena Sekolah Guru mendapat gedung tembok baru yang lebih meha, lengkap dengan asrama dengan sarana-sarana lengkap dari mulai kamar mandi, WC, dapur, dan penerangan listrik serta gedung tempat tinggal direktur. Gedung yang lama nantinya diboyong ke Tayu sebagai gedung Sekolah Peralihan yang didirikan di sana. Selama hampir 25 tahun sekolah dipimpin oleh Pieter Anthonie Jansz dan mendapat subsidi dari pemerintah Belanda, Pieter Anthonie Jansz memang pernah berhenti sebentar sebagai guru dan direktur sekolah ini karena dia telah pensiun sebagai guru yang dibayar oleh pemerintah. Untuk waktu yang singkat itu ia digantikan oleh keponakannya yakni C.P. Jansz. Tetapi karena C.P. Jansz ini tidak pernah berhasil memperoleh ijasah sebagai kepala guru, maka C.P Jansz dengan kemauannya sendiri mengundurkan diri dan Pieter Anthonie Jansz mau tidak mau kembali ke tempatnya semula dengan dicabut hak pensiunnya untuk commit to user 72 sementara guna diaktifkan kembali untuk memimpin Sekolah Guru Margorejo. Tetapi pada tahun 1925 Sekolah Guru Margorejo ini terpaksa harus siap untuk ditutup karena subsidi dari pemerintah telah dicabut. Pieter Anthonie Jansz yang merintis dan membimbing Sekolah Guru ini berkeberatan apabila sekolah ini ditutup hanya karena tidak ada subsidi. Pieter Anthonie Jansz ingin supaya Zending di Negeri Belanda memikirkan kelangsungan hidup sekolahnya. Tetapi ketika usahanya ini tidak mendapat perhatian, Pieter Anthonie Jansz patah arang dan meninggalkan Margorejo dengan segala permasalahannya untuk menerima tawaran menerjemahkan Kitab Suci ke dalam Bahasa Jawa di Yogyakarta. Sepeninggal Pieter Anthonie Jansz, zendeling-zendeling lain menjadi kebingungan mengenai ditutup atau tidaknya Sekolah Guru Zending di Margorejo. Johann Hubert menyatakan persetujuannya kalau Sekolah Guru ini ditutup dan gedungnya digunakan sebagai rumah sakit, namun Thiessen tidak setuju dengan keputusan penutupan sekolah. Tahun 1932 merupakan tahun penentuan bagi Sekolah Guru tersebutapakah ditutup atau tetap dilanjutkan. Akhir dari persoalan ini diputuskan oleh Pengawas Pusat Zending dengan menutup sekolah ini untuk selamanya. Dokter Gramberg, kepala pelayanan medis Zending menyayangkan keputusan pengurus pusat yang begitu mudah menutup sekolah ini. Thiessen juga berkeras tetap melanjutkan sekolah ini namun rupanya kesulitan demi kesulitan menghadang. Karena kondisi keuangan dan kurangnya dukungan dari berbagai pihak, ahirnya Thiessen menyerah pada keputusan pemerintah untuk menutup sekolah guru tersebut. Sebagai gantinya, Thiessen merintis sebuah sekolah peralihan dimana murid-murid Sekolah Guru yang akan melanjutkan sekolah untuk mendapatkan pelajaran bahasa Belanda dapat melanjutkan pendidikan di Sekolah Peralihan di Tayu.Sukoco, 2010:229. commit to user 73

C. Proses Perkembangan Gereja Menjadi Gereja yang Mandiri Lepas