ZENDING KRISTENISASI DI MARGOREJO, KECAMATAN DUKUHSETI, KABUPATEN PATI 1852 1942

(1)

commit to user

i

ZENDING : KRISTENISASI DI MARGOREJO

KECAMATAN DUKUHSETI, KABUPATEN PATI

TAHUN 1852-1942

SKRIPSI

Oleh :

LISTYARINI DYAH WULANDARI

K4407029

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

ii

ZENDING : KRISTENISASI DI MARGOREJO

KECAMATAN DUKUHSETI, KABUPATEN PATI

TAHUN 1852-1942

Oleh :

LISTYARINI D YAH WULANDARI K4407029

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat me ndapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Se jarah

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(3)

commit to user


(4)

commit to user


(5)

commit to user

v

ABSTRAK

Listyarini Dyah Wulandari. ZENDING: KRISTENISASI DI MARGOREJO, KECAMATAN DUKUHSETI, KABUPATEN PATI 1852-1942. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unive rsitas Sebelas Maret Surakarta, Maret. 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Sejarah terbentuknya desa Kristen di Margorejo,Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati (2) Pelaksanaan pendidikan Kristen di Margorejo oleh zending, (3) Proses perkembangan gereja di Margorejo menjadi gereja yang mandiri, lepas dari zending

Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah- langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka, wawancara, dan observasi. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Sejarah terbentuknya desa Kristen Margorejo berawal dari pekerjaan Doopgezinde Zendingsvereeniging (DZV) yang dipimpin oleh Pieter Janz di kawasan Jepara. Dalam beberapa tahun lamanya, Pieter Janz berhasil mengkristenkan beberapa orang di wilayah Jepara dan Kedungpenjalin. Jemaat yang makin banyak itu kemudian dikumpulkan dalam suatu desa persil untuk dijauhkan dari pengaruh budaya pribumi yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Desa persil itu disebut Margorejo yang artinya jalan menuju kesejahteraan. Margorejo terbuka bagi siapa saja, baik orang Kristen maupun yang bukan Kristen, yang ingin masuk dan tinggal dengan syarat harus bersedia mentaati tata hidup Kristen. (2) Keberhasilan Pieter Janz dalam mengkristenkan penduduk d idukung oleh penyelenggaraan pendidikan oleh zending, dan pelaksanaannya terbuka untuk umum dan dengan biaya yang rendah. Sekolah yang didirikan zending ini dibagi menjadi dua, yakni Sekolah Jemaat yang setingkat dengan sekolah dasar dan Sekolah Guru Zending. Kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah itu terdiri dari pelajaran pengetahuan umum dan Agama Kristen. (3) Gereja Jawa Muria lahir pada tanggal 16 April 1854, ditandai dengan pelaksanaan upacara pembaptisan oleh Pieter Janz. Sejak tahun 1854 sampai dengan tahun 1909, segala sesuatu yang berkaitan dengan desa persil, gereja, dan pelayanan jemaat dilakukan sepenuhnya oleh zending. Konferensi para zendeling di Margorejo memutuskan gereja Margorejo resmi menjadi gereja yang dewasa dan dapat mengatur keuangannya sendiri, namun masih didampingi oleh zending. Pendampingan zending terhadap pengelolaan gereja ini akhirnya harus benar-benar berakhir ketika Perang Dunia II dan Belanda jatuh ke tangan Jerman maka terputuslah hubungan antara pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia dengan pusatnya. Putusnya hubungan ini berarti pula putusnya hubungan zending yang bekerja di Indonesia dengan pengurus pusat zending di Belanda, termasuk Zending Menonit di Margorejo.


(6)

commit to user

vi

ABSTRACT

Listyarini Dyah Wulandari. K4407029. ZENDING : CHRISTIANIZATION IN MARGOREJO, DUKUHSETI, PATI. 1852-1942. Skripsi. Surakarta: Faculty of Education and Teacher Training, Sebelas Maret Unive rsity, Maret 2011.

This research for describing: (1) the established history of Christian Village in Margorejo, Dukuhseti, Pati. (2) the Christian religion school of Zending in Margorejo,Dukuhseti, Pati (3) the independent of Christian church of Zending

This study uses historical method. The steps taken in historical methods include heuristic, criticism, interpretation and historiography. The sources of data tha used by the writer are primary and secondary so urces. The techniques of collecting datas used bibliography study, interviews, and observation. The analyzing technique used technique of historical analysis which prioritizes acurity in interpreting the facts of history.

Based on the result of the research, it can be concluded: (1) ) the established history of Christian Village in Margorejo, Dukuhseti, Pati originated from the work Doopgezinde Zendingsvereeniging (DZV) led by Pieter Janz in the district of Jepara. In recent years, Pieter Janz managed to convert some people in the region and Kedungpenjalin Jepara. Then, the increasingly of the congregations were gathered in a village to be maintained and kept away from the influence of indigenous culture that is incompatible with Christian doctrine. The village called Margorejo which means the road to prosperity. Margorejo open to everyone, both Christians and non-Christians, who want to go and live with requireme nt that must obey the Christian life. (2) The success of Pieter Janz in Christianize is supported by the implementation of education by zending, and their implementation is open to the public and with low cost. School founded by zending is divided into two, namely the Church School; it is the same level with the primary school and the Teacher School Zending. The curriculum is taught consisted of subjects of general knowledge and the Christian Religion. (3) Java Moriah Church (Gereja Jawa Muria) was born on April 16, 1854, marked by the ceremony of baptism by Pieter Janz. From 1854 until 1909, all things relating to the village, church, and service for the congregation conducted entirely by zending. The Conference of the Zendeling in Margorejo decided Margorejo church officially became an independent church and can manage its own finances, but still accompanied by zending. Accompaniment zending in manage this church finally ended when World War II and . Large-scale war that led to the east invaded Poland and attacked the Dutch. Successful Dutch occupied on May 10, 1940 experienced a sudden change in the world of international politics. These political changes also affect the life of Christian congregations around muria. With the fall of the Netherlands from Germany then the relations between the Dutch East Indies colonial government in Indonesia is ended. It is give impact to the end of relationships of zending who works in Indonesia with central committee of zending in the Netherlands, including Zending Menonit in Margorejo.


(7)

commit to user

vii

MOTTO

“Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang”

( Amsal 23 : 18 )

Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu

(Andrea Hirata)

Hasil yang positif berawal dari pikiran yang positif (penulis)


(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada :

 Bapak dan Ibuku atas doa dan dukungannya

 Saudara-saudaraku yang terkasih : Mas Wikan, Mas Sigit, dan Thomas

 Simbah, om, dan bulik atas doa dan motivasinya

 Sepupuku, Stefanus Dwi, yang sudah membantu dalam pemilihan judul skripsi

 Leley, Renda, Aga, Margi, Fitri, Djoko, Dian, Gandul, Aul, Siti, Puji dan teman-teman FKIP Sejarah Angkatan 2007 atas bantuan dan kebersamaannya selama ini

 Kakak dan adik tingkat di FKIP Sejarah yang selalu membantu dan menyemangatiku

 Saudara-saudariku di Persekutuan Hosea dan Yohanes yang selalu mendukungku dalam doa


(9)

commit to user

ix

KATA PENGAN TAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Banyak hambatan yang penulis temui dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat teratasi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penulisan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan dan rekomendasi atas penyusunan skripsi ini. 4. Drs Leo Agung S.,M.Pd selaku pembimbing I atas bimbingan dan arahan

sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

5. Drs. Djono, M.Pd selaku pembimbing II atas bimbingan dan arahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

6. Berbagai pihak yang tidak bisa ditulis satu persatu.

Semoga kebaikan semua pihak tersebut mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.

Surakarta, Maret 2011


(10)

commit to user

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ...….. ... v

ABSTRACT ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGAN TAR ... ix

DAFTAR ISI ... ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Kolonialisme ... 8

2. Pendidikan Kolonial ... 11

3. Zending... 15

4. Kristenisasi ... 20

B. Kerangka Berfikir ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

B. Metode Penelitian... 32

C. Sumber Data ... 34

D. Teknik Pengumpulan Data ... 35


(11)

commit to user

xi

F. Prosedur Penelitian ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Sejarah Kristenisasi di Margorejo ... 41

1. Permulaan Pekerjaan Doopgezinde Zendingvereeniging di Jepara... 41

2. Usaha Kristenisasi oleh Pieter Jansz di Sekitar Jepara ... 46

3. Pembentukan Desa Kristen Margorejo ... 49

B. Pelaksanaan Pendidikan oleh Zending di Margorejo ... 59

1. Sekolah Jemaat Margorejo ... 60

2. Sekolah Guru Zending Margorejo ... 67

D. Perkembangan Gereja di Margorejo Menjadi Gereja yang Mandiri Lepas dari Zending ... 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 80

B. Implikasi ... 82

C. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(12)

commit to user

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

Lampiran 1. Daftar informan ... 88

Lampiran 2. Hasil Wawancara ... 89

Lampiran 3. Staatbladen van Nederlandsch Indie 1854 ... 100

Lampiran 4. Peta ... 101

Lampiran 5. Foto ... 104

Lampiran 6. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ... 109

Lampiran 7. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ... 110

Lampiran 8. Surat Permohonan Ijin Research ... 111

Lampiran 9. Surat Rekomendasi Penelitian Kabupaten Pati ... 112


(13)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia mengakui enam agama sebagai agama yang resmi di Indonesia. Agama-agama tersebut ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Tiap pemeluk agama dilindungi oleh pemerintah dan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga bebas melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Agama yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Agama Kristen. Agama Kristen adalah agama yang mengakui dan menyembah Yesus Kristus sebagai Tuhan (Ensiklopedi Alkitab, 2000: 237).

Menurut Pater G. Van Schie, Agama Kristen sebenarnya sudah menyentuh Nusantara pada awal abad ke-7 Masehi, bersamaan dengan tumbuhnya Gereja Mar Thoma di Barus Sumatera. Disebutkan bahwa di Jawa Timur sudah pernah ada dua tempat Kristiani Chaldea, yaitu Gereja Nestorian yang induknya terdapat di Asia Barat dan telah bersatu kembali dengan Gereja Roma, akan tetapi di Jawa, gereja itu sudah lenyap tanpa meninggalkan bekas (Pater G. Van Schie, 1994 : 104). Hal senada diungkapkan oleh Sukoco, bahwa jauh sebelum datangnya Portugis di Asia Tenggara pada awal abad ke-16, diduga gereja Kristen telah berkembang di Asia Tenggara sebagai bagian dari Gereja Kristen yang tumbuh di India. Agama Kristen yang dimaksud ini adalah Agama Kristen Katolik. Jemaat Kristen Katolik ini berkembang sebagai buah aktivitas para pedagang-pedagang Kristen dari Mesir dan Persia yang menetap di Arabia Tenggara, India Barat, dan Selatan serta Sri Lanka. Jemaat-jemaat Kristen Nestorian yang tumbuh di sana tetap bertahan sampai sekarang dengan nama Gereja Mar Thoma. Bukan tidak mungkin bahwa diantara pedagang Kristen itu ada yang sampai di Asia Tenggara dan Nusantara. Dalam beberapa sumber yang ditulis sekitar tahun 1050 Masehi dan tulisan salah seorang sejarawan Islam yang menulis pada tahun 800-an M, menyatakan bahwa terdapat banyak Gereja Nestorian yang berada di pantai barat Sumatera, di sebuah tempat yang bernama


(14)

commit to user

Fanshur, yang letaknya diduga di sebelah utara kota Sibolga sekarang (Soekoco, 2010 : 14).

Pada beberapa abad sesudah Masehi, pedagang-pedagang Kristen dari Mesir dan Persia menetap di Arabia Tenggara, di India barat dan Selatan, dan di Sri Lanka. Jemaat-jemaat mereka di India selatan bertahan terus sampai sekarang (Gereja Mar Thoma). Bukan tidak mungkin bahwa dari sana pedagang-pedagang Kristen datang ke Nusantara juga. Diketahui bahwa pada abad ke-14 dua kali seorang misionaris dari Barat singgah di Sumatera, tetapi bagaimanapun juga kehadiran orang-orang Kristen dari luar itu tidak meninggalkan bekas di Indonesia (Van Den End, 1980:19-20).

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak sekitar 700 tahun sebelum datangnya Kristen Barat di Indonesia, sudah terdapat orang Kristen dan gereja Kristen Timur di wilayah Nusantara. Namun ketika Vasco da Gama dan pelaut Portugal yang lain mulai berlayar ke Indonesia lewat Afrika Selatan pada tahun 1498, gereja-gereja Nestorian itu telah lenyap. Diperkirakan karena adanya tekanan penganiayaan oleh penganut kepercayaan pribumi yang telah berlangsung lebih dahulu.

Agama Kristen dibawa kembali ke Nusantara adalah ketika Portugis datang ke Indonesia mencari rempah-rempah, mereka juga membawa serta para misionaris Katolik. Misi diartikan sebagai organisasi-organisasi yang menyebarluaskan Agama Katolik kemana dan kapanpun juga (Burhanuddin Daya, 2004:98). Kegiatan Misi ini didukung sepenuhnya oleh penguasa Portugal dan Spanyol. Raja Portugal dan Spanyol memiliki tiga tujuan pokok yang dikenal dengan semboyan 3G, yakni Gold (kekayaan), Glory (kejayaan), dan Gospel (menyebarkan Agama Katolik). Misionaris yang terkenal adalah Fransiscus Xaverius, yang melancarkan usaha penginjilan yang cukup hebat di pulau rempah-rempah ini. Sekitar 200 misionaris Dominikan dan Fransiskan melayani di Indonesia Timur sepanjang abad ke-16 (Sukoco, 2010 : 16). Namun ketika para misionaris sampai di Maluku, mereka harus menghadapi tantangan-tantangan seperti iklim yang buruk, kekurangan bahan pangan dan gangguan dari kaum Muslim. Maju mundurnya pekerjaan itu semata-mata bergantung pada kuasa


(15)

commit to user

militer Portugis. Sampai tahun 1570, pengaruh Misi berkembang dengan memuaskan. Keadaan ini berubah sejak tahun 1600, sebab pada waktu itu Belanda dan Inggris telah merebut kuasa laut dari Spanyol dan Portugal. Dengan kandasnya kekuasaan Portugis, maka masuklah agama baru yakni Agama Kristen Protestan.

Tidak seperti kedatangan Bangsa Portugis yang mempunyai tujuan pasti untuk menyebarkan Agama Katolik, kedatangan Belanda ke Indonesia lebih mengutamakan tujuan ekonomi dan mengesampingkan tujuan untuk menyebarkan Agama Kristen Protestan. Hal ini terkait erat dengan karakteristik orang Belanda yang datang ke Indonesia. Orang-orang Belanda tersebut datang ke Indonesia untuk berdagang. Sebagai pedagang, orang-orang Belanda tidak mengutamakan pekabaran Injil. Mereka lebih berkonsentrasi pada bidang ekonomi dan penguasaan daerah. Mereka mengakui kewajiban negara untuk mendukung kehidupan gereja pada umumnya dan usaha pekabaran Injil pada khususnya. Akan tetapi pemerintah koloni ini hanya memperhatikan penyiaran Agama Kristen ke luar apabila itu menguntungkan baginya, misalnya di Maluku. Di Maluku, penduduk pribumi berusaha dikristenkan dengan harapan bahwa orang Indonesia yang beragama Kristen akan lebih mudah diatur daripada orang Indonesia yang masih beragama Islam atau memeluk kepercayaan asli. Namun rupanya keyakinan mereka meleset, terbukti ketika rakyat Maluku yang beragama Kristen juga mengadakan perlawanan dengan sengit terhadap Belanda, dibawah pimpinan Pattimura dan pejuang lainnya (Sukoco, 2010:17).

Di daerah lain, khususnya di daerah-daerah Islam, VOC tidak mengusahakan pekabaran Injil karena mereka takut apabila hal itu terjadi maka akan menyebabkan pemberontakan orang-orang Islam sehingga akan mengganggu usaha dagang mereka. Pada intinya gereja dan aktivitasnya di wilayah benteng didukung dan dibiayai serta diawasi, sedangkan gereja dan aktivitas pekabaran Injil di luar benteng tidak diperhatikan apalagi didukung. Agama Kristen yang dibawa oleh Bangsa Belanda ke Indonesia baru dapat berkembang lebih pesat pada akhir abad XVIII. Secara umum penyebaran Agama Kristen bersumber dari


(16)

para Zending, meskipun ada beberapa orang Jawa (pribumi) yang menyebarkan agama tersebut.

Berbeda dengan Misi, Zending diartikan sebagai pekabaran Injil, usaha-usaha kaum Protestan untuk menyebarkan agama Kristen Protestan dan menegakkan gereja-gereja Protestan (Burhanuddin Daya, 2004: 99). Pada masa kekuasaan Belanda di Indonesia terdapat kerancuan terhadap penggunaan istilah gereja untuk menyebutkan sebuah perkumpulan agama. Karena tindakan pemerintah Hindia Belanda yang mengistimewakan gereja, maka ada beberapa perkumpulan agama yang menyebut diri sebagai gereja. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa yang dimaksud dengan gereja adalah perkumpulan yang mendasarkan ajarannya dari Alkitab, baik Kitab perjanjian lama maupun perjanian baru (Snouck Hurgronje, 1932:1146). Untuk dapat memahami aktivitas Zending, sebaiknya perlu dibahas dahulu mengenai beberapa lembaga pekabaran Injil yang berkembang pada masa itu. Minat baru terhadap Zending yang timbul di Inggris pada akhir abad ke XVIII yang kemudian diikuti oleh Belanda. Sebelum Belanda mengirimkan penginjil ke Indonesia, pada tahun 1813 Inggris telah mengutus Robinson, seorang pekabar Injil yang bertugas mengkristenkan penduduk bumiputra Indonesia. Tahun 1814 London Missionary Society (LMS) mengirim 3 missionaris lagi. Sejenis dengan LMS, di negeri Belanda pun dibentuk lembaga misonaris Nederlandsche Zendeling-Genootschap (NZG) pada tahun 1797 (Guillot, 1985 : 5). Namun karena ada perselisihan dalam badan NZG di Belanda maka ada beberapa anggota yang keluar dari NZG, kemudian mendirikan badan pekabaran Injil yang baru bernama: Nederlandsche Zendelingvereniging (NZV). Setelah itu mulai bermunculan lembaga-lembaga pekabaran Injil yang bermacam-macam aliran, yakni : Java Committee, Salatiga Zending, Het Genootschap voor

In-en Uitwendige Zending (GIUZ), Nederlandsche Gereformede

Zendingsvereniging (NGZV), dan Doopsgezinde Zendingvereniging (DZV).

Lembaga-lembaga Zending yang tertulis di atas memiliki perbedaan dalam hal aliran, prinsip-prinsip rohani, wilayah kerja, dan cara-cara Kristenisasi yang diterapkan (Sukoco, 2009: 110).


(17)

commit to user

Ketika Belanda menerima kembali Hindia Belanda dari tangan Inggris pada tahun 1816 mereka harus menata lagi hubungan antara Gereja dan Negara. Maka, Raja Wilhem I, yang memperhatikan nasib daerah jajahan, merasa prihatin dengan masalah penyebaran agama ini. Sebab itu, dengan alasan agar lebih berdaya guna, ia meminta kepada gereja-gereja yang terdapat pada waktu itu di daerah jajahan supaya lebih bersatu memusatkan usaha mereka secara bersama-sama daripada bergerak sendiri-sendiri pada wilayah masing-masing. Persatuan ini terwujud pada tahun 1835. Landasannya Kristen Protestan, organisasi ini terdiri dari berbagai aliran : Calvinisme, Lutherian, Remontran, dan Mennonite (Guillot, 1985 : 5).

Aliran-aliran ini kemudian menyebar ke beberapa daerah di Hindia Belanda, termasuk di Margorejo, Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati. Zendeling yang menyebarkan agama Kristen, yang mengadakan baptisan pertama kemudian dilanjutkan dengan pembangunan Desa Kristen Margorejo bernama Pieter Jansz. Pieter Jansz, misionaris kelahiran 1820 ini tiba di Jawa tahun 1851, dikirim oleh DZV (Doopsgezinde Vereeniging ter bevordering

derEvangelieverbreiding in Nederlandsche bezittingen), yaitu masyarakat

misionaris Mennonite yang baru terbentuk di Belanda. Tahun 1852 Jansz pindah tempat dari Semarang ke Jepara, kemudian menyebarkan agama di daerah sekitar Jepara dan Pati. Tiga tahun setelah itu, Jansz mengadakan baptisan pertama di Margorejo, Pati, dan mendirikan sekolah pemuridan agama Kristen. Dalam perkembangannya, pekerjaannya digantikan oleh putranya yang bernama Pieter Anthonie Jansz yang menjadi pendeta I di Margorejo pada tahun 1883 (Guillot, 1985: 6).

Margorejo adalah sebuah desa yang unik karena sebagian besar penduduknya beragama Kristen Protestan. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Kristen dengan desa-desa tetangganya, seperti Banyutowo, Tegalombo, Margokerto, dan lain-lain, maka Margorejo dapat dikatakan mempunyai jumlah penduduk Kristen yang banyak dengan pengaruh Agama Kristen yang paling kuat. Dari kenyataan di atas mendorong penulis untuk memaparkan bagaimana proses Kristenisasi yang dilakukan oleh Zending di Margorejo. Oleh karena itu penulis


(18)

mengangkat suatu pokok permasalahan “Zending : Kristenisasi di Margorejo Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati Pada Tahun 1852-1942” sebagai judul skripsi.

B. Perumusan Masalah

Sejalan dengan latar belakang masalah seperti yang telah disebut di depan, dapat diungkapkan masalah inti : bagaimana sejarah Kristenisasi di Margorejo, Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati. Masalah ini dijabarkan menjadi tiga sub masalah, yaitu:

1. Bagaimana sejarah Kristenisasi di Margorejo?

2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh Zending di Margorejo?

3. Bagaimana perkembangan gereja di Margorejo sampai menjadi gereja yang mandiri setelah lepas dari Zending?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui Sejarah pembentukan Desa Kristen Margorejo

2. Mengetahui pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan oleh Zending di Margorejo

3. Mengetahui perkembangan gereja di Margorejo sampai menjadi gereja yang mandiri setelah lepas dari Zending


(19)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis Secara teoritis, hasil penelitian ini bermanfaat:

a. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti b. Memberikan pengetahuan lebih luas Ilmu Pengetahuan Sosial dan

Sejarah Indonesia Madya bagi peneliti dan pembaca

2. Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat:

a. Dapat menarik minat peneliti lain untuk ikut serta berpartispasi mengenai penyebaran Agama Kristen Protestan dengan benar dan yang belum terjangkau dalam penelitian ini

b. Dapat menambah koleksi penelitian di perpustakaan khususnya, mengenai Sejarah Kristenisasi oleh Zending

c. Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Jurusan IPS Program Studi Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(20)

commit to user

BAB II KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kolonialisme

a. Pengertian Kolonialisme

Kata kolonialisme berasal dari Bahasa Latin colonia yang berarti tanah pertanian atau pemukiman atau jajahan. Berdasarkan Oxford English Dictionary yang dikutip oleh Ania Lomba (2000 : 1), yang dimaksud dengan koloni adalah :

Sebuah pemukiman dalam negara baru ... sekumpulan orang yang bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk seperti itu terdiri dari para pemukim asli dan para keturunan mereka dan pengganti-penggantinya, selama hubungan dengan asal masih dipertahankan.

Edward W. Said (1996 : 32) mendefinisikan koloni adalah daerah jajahan sebagai tempat bagi penduduk atau sekelompok orang yang bermukim di daerah baru yang merupakan daerah asing serta jauh dari daerah asal akan tetapi masih tetap mempertahankan ikatan dengan daerah asalnya. Kata kolonialisme menurut Kansil dan Julianto (1988 : 22) diartikan sebagai serangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan dengan jalan dominasi politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan.

Kolonialisme juga dipandang sebagai nafsu dan sistem yang merajai atau mengendalikan ekonomi atas negeri atau bangsa lain. (Cahyobudi Utomo, 1995 :2). Hasan Alui (2002 : 582) memberikan definisi tentang kolonialisme adalah paham tentang penguasaan oleh suatu negara atas daerah atau bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara itu. Lebih lanjut International Encyclopedi of The Social Sciences (1972) memberikan definisi kolonialisme adalah pengelolaan tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditujukan pada orang asing yaitu dari suatu bagian tertentu terhadap peran kekuasaan tersebut.


(21)

commit to user

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kolonialisme adalah usaha dari suatu bangsa atau negara menaklukkan bangsa lain di luar daerah kekuasaannya sendiri yang meliputi aspek politik, eksploitasi ekonomi, dan penetrasi kebudayaan

b. Tujuan Kolonialisme

Pelaksanaan kolonialisme di berbagai Negara mempunyai tujuan yang meliputi berbagai aspek, antara lain :

1) Tujuan Ekonomi

Eksploitasi ekonomi terutama sumber daya alam yang dipengaruhi sepenuhnya untuk kepentingan negara kolonial, demi kelangsungan industrinya. Daerah kolonial juga dijadikan pasar paksaan bagi barang-barang Eopa (Ania Lomba, 2000 : 5).

2) Tujuan Politik

Proses membentuk komunitas dalam negara baru, yang berarti membubarkan atau membentuk kembali komunitas-komunitas yang sudah ada akibat terjadi praktek-praktek perdagangan, penjarahan, negosiasi, perang, pembunuhan massal, perbudakan, dan pemberontakan-pemberontakan. Dengan demikian kolonialisme merupakan penaklukkan dan penguasaan atas tanah dan harta benda rakyat lain. (Ania Lomba, 2000 : 2).

3) Tujuan Sosial

Kolonialisme bukan hanya penguasaan ekonomi dan politik saja, tetapi juga merupakan hasrat penguasaan identitas. Pada saat perkembangan kolonialisme digerakkan dalam kerangka kekerasan yang sama sekali tidak memanusiakan manusia ditimpangkan lewat tajamnya gap kehidupan sosial ekonomi. Manusia dibagi berdasarkan kasta dengan faktor nilai dan bukan milik suatu ras tertentu. (Mubiddin M. Doblani, 2001 : 4).

4) Tujuan Budaya

Salah satu ciri kolonialisme yaitu diskriminasi ras atau teknis. perspektif kolonial superioritas-inferioritas mendasari prinsip diskriminasi. Sistem kolonial


(22)

menghendaki diskriminasi rasial sebagai dasar pembentukan struktur dan pola hubungan sosial dalam masyarakat kolonial yang secara hierarkis menempatkan golongan bangsa yang memerintah di puncak teratas dari struktur masyarakat tanah jajahan. (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991 : 6).

c. Pengelolaan Daerah Kolonial

Daerah jajahan atau yang disebut dengan koloni adalah tempat atau wilayah yang dijadikan sebagai obyek dari praktek kolonial. Ada dua macam cara untuk melakukan pengelolaan daerah koloni yaitu pengelolaan langsung (direct rule) dan pengelolaan tidak langsung (indirect rule). Pengelolaan politik kolonial yang diterapkan tidak menggunakan tangannya langsung tetapi melalui penguasa tradisional atau feodal disebut dengan penguasaan tidak langsung (indirect rule). Dalam sistem ini rakyat atau golongan petani dikuasai dan dieksploitasi ganda oleh kaum feodal dan kaum kolonialis.(Noer Fauzi, 1999 : 41). Pada sistem pengelolaan tidak langsung seperti yang dilakukan oleh Belanda dalam mengatur daerah wilayah kekuasaannya menggunakan tenaga-tenaga atau penguasa-penguasa lokal sebagai tangan panjang dari kekuasaan Belanda.

d. Aktivitas Kolonialisme

Tujuan utama politik kolonialisme adalah menguasai sumber kekayaan daerah koloni untuk kelangsungan industri negara induk. Sejarah perkembangan politik kolonial modern dimulai abad XV yang dimulai dari perjalanan panjang dari Portugis ke Afrika pada tahun 1498 yang dibawa oleh Vasco da Gama di India. Negara pendukung kolonialisme yang pertama di dunia adalah Portugis dan Spanyol. Dalam abad ke XVII muncul Bangsa Inggris, Perancis, dan Belanda. Abad ke XIX merupakan puncak perkembangan politik kolonial. Pada abad ini pula muncul negara-negara kolonial baru seperti Jerman, Italia, dan Belgia. (Ensiklopedi Indonesia, 1990 : 812).

Diskriminasi ras atau etnis menjadi suatu ciri sistem kolonial, hal ini didasari oleh perspektif superioritas-inferioritas. Sistem kolonial menghendaki


(23)

commit to user

diskriminasi rasial sebagai dasar pembentukan struktur dan pola hubungan sosial dalam masyarakat kolonial yang secara hierarkis menempatkan golongan bangsa yang memerintah di puncak teratas dari struktur masyarakat tanah jajahan. (Sartono Kartodirjo, 1991: 6).

Dalam struktur masyarakat kolonial, diskriminasi mendasari sistem pergaulan dalam berbagai dimensi kehidupan baik sosial, ekonomi, politik maupun kebudayaan. Diskriminasi menjadi inti hubungan sosial dan menjadi faktor penguatan dalam hubungan kolonial antara golongan yang memerintah dengan yang diperintah. (Sartono Kartodirjo, 1991 : 60). Salah satu aktivitas kolonial adalah eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia terhadap daerah koloni. Hal ini berarti kolonialisme memandang tanah jajahan menjadi sumber kekayaan bagi negara induk, tersedianya tanah dan tenaga kerja yang murah dan melimpah memungkinkan untuk dilaksanakan eksploitasi produksi pertanian yang menguntungkan bagi sasaran dunia. (Tauchid, 1952 : 189).

2. Pendidikan Kolonial

a. Konsep Pendidikan 1) Arti Pendidikan

Ditinjau secara etimologi istilah pendidikan berasal dari Bahasa Latin educate yang berarti membimbing keluar. Kata tersebut sama dengan educare yaitu memelihara, membimbing, serta memperkaya. Jadi mendidik adalah usaha membimbing, memelihara, dan melengkapi seseorang agar mandiri di masa depan. (Samuel Sidjabat, 1987:3). Sementara Winarno Surakhmad (1982:77), meninjau pendidikan tidak terlepas dari pengajaran sebab di dalamnya terdapat usaha sadar dan tujuan sistematis dan terarah untuk mengubah tingkah laku anak agar menjadi dewasa. Pendidikan merupakan proses edukatif yang meliputi unsur-unsur pendidikan, yaitu tujuan yang jelas, bahan yang menjadi isi interaksi, pelajar yang aktif, guru, metode, lingkungan penunjang dan penilaian terhadap interaksi.


(24)

Pendidikan adalah suatu konsep, sedangkan konsep pendidikan menurut Dimyati Mahmud (1982:43), adalah sebagai berikut :

a) Pendidikan itu menyentuh setiap aspek kepribadian anak. b) Pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus.

c) Pendidikan itu dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman- pengalaman, baik di dalam maupun di luar sekolah.

d) Pendidikan itu dipersyarati oleh kemampuan dan minat anak, oleh tepat atau tidak tepatnya situasi belajar dan efektif tidaknya cara belajar.

Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa arti pendidikan ialah upaya manusia dalam membantu perkembangan anak didik dalam menghadapi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Mengingat anak didik berada dalam masyarakat dimana anak tersebut hidup. Pendidikan adalah suatu kegiatan yang tidak bebas nilai, sistem yang berkembang dalam masyarakat akan dipengaruhi usaha yang dilakukan.

2) Tujuan Pendidikan

Pendidikan yang diterapkan kepada anak didik mempunyai tujuan tertentu. Adapun tujuan pendidikan menurut Vembrianto (1984:5), ada 3 macam yaitu : (a) pendidikan bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir, tidak sekedar menyampaikan informasi; (b) pendidikan bertujuan mengejar kebaikan dan bukannya sekedar memberikan keterampilan teknik; (c) pendidikan bertujuan mengejar kebenaran berdasarkan akal dan bukannya memberikan pendapat dan pengetahuan praktis.

Dalam pendidikan seseorang dibantu mengenali unsur-unsur budaya dalam masyarakat dan bersedia untuk menyelami segala segi kebudayaan baik kesenian, cara hidup, adat istiadat, sistem nilai dan kekayaan rohaninya. Pendidikan ini membantu orang untuk menyumbangkan saran, peran serta dan penyempurnaan kebudayaan dan sampai pada pemanfaatannya dalam kontak dengan kebudayaan lain. Dengan begitu proses pendidikan membantu seseorang untuk berkembang sebagai individu yang mandiri dan berhubungan dengan lingkungan secara otonom. (Mardiaatmaja, 1986:88).


(25)

commit to user

Melihat batasan dan tujuan tersebut diatas disimpulkan bahwa pendidikan pada dasarnya lebih dari latihan keterampilan saja, melainkan pendidikan juga suatu pembinaan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga suatu pendamping agar anak didik mengenal dan menghayati nilai-nilai manusiawi yang paling luhur.

b. Pendidikan Kolonial

Istilah kolonial telah lama muncul dan dipakai dalam berbagai pustaka. Beberapa ahli memberikan definisi kolonial sebagai daya upaya suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain. Suhartoyo Hardjosatoto (1985:8) mengartikan kolonial sebagai nafsu menguasai dan sistem penguasaan wilayah bangsa atau negara lain. Disamping itu ada pula yang berpendapat bahwa kolonial merupakan rangkaian nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan bangsa lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan penetrasi kebudayaan (Kansil dan Julianto, 1986:66). Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kolonial adalah nafsu suatu bangsa untuk menaklukkan dan menguasai daerah dan bangsa lain dalam segi kehidupan baik politik, ekonomi, sosial, maupun kebudayaan. Menurut Poerwanto (1993:9), pendidikan kolonial adalah suatu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial sehingga di dalamnya terdapat pengaruh kolonial yang sangat kuat. Pendidikan dan pengajaran di dalam paradigma kolonial diselenggarakan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan pihak monopoli dan bukan untuk kepentingan rakyat pribumi. Warga pribumi yang memperoleh pendidikan dididik menjadi pelaksana setia dari pengambilan keputusan yang datang dari penguasa dan bukan untuk menjadi pemikir, konseptor yang kreatif dan terampil. Pendidikan dan pengajaran dalam paradigma demikian menunjukkan ciri selalu menjaga kelangsungan dan konsolidasi hak-hak istimewa kaum elit dengan segala mekanismenya yang pada hakekatnya mengacu pada feodalisme dan fasis. (Y.B. Mangunwijaya, 1980:23).

Sejalan dengan pendapat Y.B Mangunwijaya, Hilmar Farid S. (1991:90) menyatakan bahwa tujuan paling dasar dari penyelenggaraan pendidikan yakni


(26)

mencetak kaum pribumi yang berpendidikan untuk mengisi berbagai bidang kerja yang ada. Lebih jauh kaum etis pada masa itu melihat pendidikan sebagai satu-satunya jalan bagi pribumi untuk mengenal peradaban barat demi kepentingan penyesuaian. Tujuan utama pendidikan bagi masyarakat jajahan bukan didasarkan pada kemauan baik untuk menjadikan kaum bumiputera sejajar dengan tuan Belanda, melainkan hanya kebutuhan praktis dari perkembangan kapitalisme di Hindia Belanda. Pendidikan barat yang diciptakan di negeri jajahan mulai menyebar di dalam masyarakat Hindia Belanda, sebagai jawaban atas meningkatnya kebutuhan personel yang terlatih bagi dinas-dinas yang tumbuh cepat dan untuk mendukung kantor-kantor perusahaan ekonomi barat. (Linda Christandty, 1994:76).

Menurut Y.B. Mangunwijaya (1980:78), Sistem pendidikan kolonial memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1) Tujuan utama pendidikan kaum terpelajar ialah membentuk orang-orang yang terampil yang diperlukan sebagai pembantu dalam pelaksanaan operasional mekanisme Hindia Belanda.

2) Mata pelajaran dan sistem sasaran pengajaran disesuaikan pada pedoman kebutuhan struktur-struktur industri dan bisnis.

3) Dunia persekolahan dibuat dengan bermacam-macam mekanisme dan persyaratan sehingga selalu merupakan dunia kaum elit.

4) Devide at impera dilakukan antar lapisan-lapisan berijazah yang diperketat oleh mekanisme pengganjaran dan penghukuman, penganakemasan, dan penganaktirian jenis-jenis sarjana dan tenaga-tenaga ahli. Demikian juga sistem kemasyarakatan diatur, agar para pemikir yang sejati diberi status yang kurang daripada para kaum terampil pelaksanaan setia.

Dari pernyataan-pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan nasional diartikan sebagai suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam usaha untuk menguasai daerah jajahan dalam segi politik, ekonomi, sosial, maupun kebudayaan dengan penyelenggaraan pengajaran yang bertujuan untuk


(27)

commit to user

mencetak kaum pribumi berpendidikan guna memenuhi kebutuhan praktis dari perkembangan kapitalisme di negara koloni, dalam hal ini yang dimaksud adalah Hindia Belanda. Penerapan pendidikan barat yang meliputi cabang-cabang ilmu pengetahuan dan teknologi serta keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh industri-industri penunjang mendapatkan promosi pengembangan dan bantuan dana yang banyak. Siswa hanya dipersiapkan untuk menjadi pelaksana setia demi kepentingan kolonial.

3. Zending

Zending diartikan sebagai organisasi-organisasi yang menyebarluaskan Agama Kristen Prostestan ke mana dan kapan pun jua (Burhanudin Daya, 2004: 98). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Zending adalah pekabaran Injil, usaha-usaha kaum Protestan dalam menyebarluaskan agama Protestan dan menegakkan gereja-gereja Protestan. Bagi mereka, pekabaran Injil atau Zending sama saja dengan gereja karena keduanya merupakan dwi tunggal yang tak terpisahkan. Ketika gereja lahir pada hari turunnya Roh Kudus maka pada saat itu pula sebuah mandat diamanatkan pada umatnya, yaitu menyebarkan Injil kemana-mana.

Lebih lanjut H. Kraemer (1987:332) menyatakan bahwa “Zending menurut cirinya yang hakiki bersifat universal dan supranasional, karena merupakan pengejawantahan dari alam dan panggilan gereja Kristen yang harus dilaksanakan Yesus Kristus dan ajaran-Nya dalam kata dan perbuatannya kepada semua bangsa sampai ke ujung dunia”. Selain Zending, dikenal juga istilah zendeling, yaitu paderi atau orang Kristen Protestan yang melaksanakan tugas pekabaran Injil di antara orang-orang yang dianggap kafir untuk dijadikan Kristen dengan membawakan ajaran Kristen kepada mereka.

Walaupun Zending baru dicetuskan lima belas abad setelah misi Katolik (sejak abad ke-16 M) tugas pekabaran Injil tersebut cepat menjangkau Indonesia, mulai permulaan abad ke-17 M. Bangsa Belanda dan juga bangsa-bangsa Protestan lainnya terutama Inggris, baru mendapat kesempatan untuk melakukan pekabaran Injil ke luar Eropa, setelah mereka berhasil merebut kekuasaan di laut


(28)

dari tangan Spanyol dan Portugis yang beragama Katolik. Pada awal abad ke-17, dibentuk kongsi dagang perkapalan Belanda, Verenidge Oost-Indische Compagnie (VOC), tepatnya tahun 1602 di Belanda. Kompeni ini melakukan tugas-tugas perdagangan dari Belanda sampai ke Jepang melalui Tanjung Harapan dan Indonesia. Di Indonesia, di bawah seorang Gubernur Jenderal, kompeni juga membawa penghibur atau perawat penderita rohani atau jasmani yang memperoleh hak dari gereja untuk membaptiskan orang dan mengusahakan penyebaran Injil atau Zending. (Burhanudin Daya, 2004: 99).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Zending adalah organisasi keagamaan yang menyebarluaskan Agama Kristen Prostestan dan menegakkan gereja-gereja Protestan, bersifat universal dan supranasional yakni mewartakan ajaran Kristen kepada semua bangsa di dunia. Zending Belanda mulai memasuki Pulau Jawa pada tahun 1848, ketika Hindia Belanda diperintah oleh Stamford Raffles. Di bawah ini adalah Zending-Zending yang memasuki Pulau Jawa, antara lain:

a) Nederlandsch Zendelinggenootschap (NZG)

Badan Zending NZG didirikan pada tanggal 19 Desember 1797 di Rotterdam Belanda oleh orang-orang yang tergerak untuk melakukan penginjilan berkat pengaruh gerakan Reviel-Pietisme di Belanda. Zending NZG merupakan Zending yang non-gerejawi karena tidak didirikan oleh gereja sehingga tidak bertanggung jawab kepada gereja mana pun. Zending NZG juga bukan Zending konvensional karena tidak berdasarkan dogma gereja tertentu. Mula-mula NZG mengirim tiga orang zendeling, yaitu : J.Kam, J.C. Supper, dan G. Bruckner ke Hindia Belanda bertepatan dengan pemerintahan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles di Jawa. (Soekotjo, 2009:107).

Mereka tiba di Batavia tanggal 26 Mei 1814. Oleh pemerintah, J.Kam dikirim ke Ambon, J.C. Supper dijadikan pendeta di Batavia, sedangkan G.Bruckner ditempatkan di Semarang, dan tercatat dalam sejarah bahwa ia berhasil menerjemahkan Alkitab dalam Bahasa Jawa pada tahun 1823, namun sayang sekali Alkitab tersebut setelah dicetak di Serampore disita oleh Pemerintah


(29)

commit to user

Belanda. (Imam Sugiri, 1986:15) . Angkatan zendeling berikutnya semua dikirim ke Indonesia bagian timur, terutama ke Maluku, Timor, dan Minahasa. NZG mulai mendapatkan ijin untuk mengadakan penginjilan di Jawa, pada Februari 1848, zendeling Jelle Eeltjes Jellesma ditempatkan di Surabaya.

Sejak Juli 1851 Jellesma pindah ke Mojowarno bersatu dengan jemaat Kristen asuhan Kyai Paulus Tosari. Sejak itu NZG bekerja di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur. Dari pekerjaan mereka di Jawa Timur ini lahirlah Gereja Kristen Djawi Wetan. Di Jawa Tengah, pekerjaan Zending tidak sebaik pekerjaan mereka di Jawa Timur. Karena pekerjaan mereka berhenti di tengah jalan maka jemaat Semarang dan Nyemoh (Salatiga) diserahkan kepada Salatiga Zending, sedangkan jemaat Kayuapu dan Ngalapan diserahkan kepada Doopsgezinde Zendingsvereninging (DZV).

b) Java Committee

Java Commite merupakan bagian dari Vereniging ter verbreiding der Waardheid. Organisasi ini didirikan di Amsterdam pada tanggal 24 Maret 1855 dengan tokohnya J. Esser bekas Residen Timor dan pembentuk Het Genootschap voor in-en Uitwendige Zending (GIUZ) di Batavia. Sama seperti NZG, Zending ini pun tidak berafiliasi dengan gereja tertentu dan mengusung ajaran gereja tertentu. Tujuan membangun gereja yang dewasa dan berdiri sendiri bukan merupakan tujuan utama bagi Zending ini. Karena di Batavia pekerjaan mereka kurang berhasil, maka mereka mengalihkan sasaran ke etnis Madura di Jawa Timur. Namun rupanya di Madura pekerjaan Zending ini juga kurang berhasil, terbukti hanya satu orang saja yang mau menerima baptisan, yakni Ebing, yang nantinya akan membantu mengabarkan Injil ke daerah sekitarnya.

c) Doopsgezinde Zendingsvereniging (DZV)

Bersamaan dengan bekerjanya zendeling Jellesma di Surabaya, pada Bulan Agustus 1852 telah bertugas seorang zendeling utusan dari Doopsgezinde Zendingsvereniging (DZV) yang bernama Pieter Jansz di Jepara. DZV sendiri merupakan perkumpulan Zending warga gereja Doopsgezinde (Menonite) Belanda yang didirikan pada tanggal 21 Oktober 1847. Sebagai perkumpulan


(30)

gereja, ternyata Zending ini bukan Zending gerejawi. Jadi bisa dikatakan bahwa Zending ini hampir sama dengan NZG dan Java Commite yang non-gerejawi, namun terdapat sedikit perbedaan, yakni pada sifat DZV yang konvensional. DZV berpegang pada ajaran Gereja Menonite. Ciri khas ajarannya adalah bersifat kontekstual, pembaptisan hanya dilakukan pada orang dewasa, menolak segala bentuk kekerasan, dan prinsip pemisahan yang tegas antara gereja dan negara. (Soekotjo, 2009: 109).

Pieters Jansz dan penerusnya cenderung menekankan pertobatan manusia untuk membuahkan kesusilaan yang nyata. Bersamaan dengan bekerjanya di kawasan sekitar Muria, terdapat penginjil pribumi yakni Kyai Tunggul Wulung. Kyai Tunggul Wulung melakukan penginjilan di Kayuapu-Kudus, Ngalapan-Pati, Bangsal-Juana, Bondo-Jepara, dan sekitarnya. Meskipun demikian Zending DZV tetap terus bekerja. Beberapa zendeling berikutnya datang membantu Jansz adalah H.C Klinkert (Jepara), N.D Schuurman (Jepara), Pieter Anthonie Jansz (Margorejo), Johann Hubert (Kedung Penjalin), Johann Fast (Kayuapu), Johann Klassen (Margorejo), H. Thieesen (Margorejo), dan masih banyak lagi. Mereka dibantu oleh guru Injil yang berasal dari daerah setempat yakni : Pasrah Karsa, Semuel Sampir, Petrus, Ngangkah, Andreas Ngariman, Tresna Wiradiwangsa, dan penginjil-penginjil generasi berikutnya. Dari pekerjaan mereka telah tumbuh desa Kristen di Kedungpenjalin, Margorejo, Margokerto, dan Pakis Suwawal. Dari pusat-pusat ini Injil menyebar ke daerah sekitar Muria. Pekerjaan Zending DZV ini melahirkan dua gereja di kawasan kerjanya yakni Gereja Injili di Tanah Jawi (GITJ) dan Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI).

d) Salatiga Zending

Lembaga Zending yang dikenal dengan Salatiga Zending ini sebenarnya Die Waisen und Missionssanstaalt zu Niukirchen yang didirikan pada tahun 1878 oleh Dr. L.Doll di Niurchen, Jerman. Mereka muncul sebagai akibat lanjutan adanya jemaat Nyemoh Salatiga hasil pekerjaan Ny. E.J.Le Jolle yang mendapat bantuan dari zendeling W.Hoezoo-Semarang dan zendeling J.Kruyt-Mojowarno. Salatiga Zending ini juga bukan Zending yang bersifat gerejawi dan konvensional,


(31)

commit to user

bahkan tanpa tata gereja dan tanpa pengakuan iman tertentu. Kecuali menggarap kawasan Salatiga ke arah timur sampai Blora, Salatiga Zending di penghujung abad ke-20 dengan bubarnya NGZV menerima limpahan jemaat Muaratuwa dan sekitarnya di Tegal. Bahkan pada tahun 1933 menerima penggabungan jemaat Kyai Sadrach yang berada di kawasan Jawa Tengah Utara. Dari pekerjaan Salatiga Zending inilah lahir Gereja Kristen Jawa Tengah Utara-Parepatan Agung (GKJTU-PA). (Soekotjo, 2009: 111).

e) Het Genootschap voor in-en Uitwendige Zending (GIUZ)

GIUZ didirikan di Batavia pada tahun 1852 atas prakarsa tiga serangkai, yaitu: Mr. F.L.Anthing, Ds. E.W.King, dan J.Esser yang merasa prihatin dengan kehidupan orang-orang yang berada di luar gereja, dan yang murtad dari gereja. Mereka ingin mendapatkan orang-orang ini bagi Kristus melalui penginjilan. Prinsip GIUZ ialah memberitakan Injil keselamatan bagi kaum pribumi dengan menggunakan penginjil kaum pribumi pula. Zending ini bersifat non-gerejawi dan non-konvensional.

Lewat penginjil-penginjil pribumi yang dididik, seperti Ibrahim Sujana, mereka berhasil menumbuhkan jemaat di sekitar Batavia. Jemaat ini dikenal dengan “jemaat Anthing”, tumbuh di Kampung Sawah, Pondok Melati, Gunung Putri, Cigelam, Cikuya, Tanah Tinggi, Cakung, dan Ciater. Di samping itu mereka mengutus kelompok penginjil seperti Johannes Vrede, Laban, Hebron Lilie, Jonathan Saridja, dan Leonard ke Karesidenan Tegal dan Banyumas untuk tugas yang sama. Pekerjaan di Jawa Tengah ini nanti diteruskan oleh Zending NGZV sampai akhir abad ke-19.

f) Nederlandsche Gereformeerde Zendingsvereniging (NGZV)

Di kalangan Nederlandsche Hervormd Kerk (NHK), sayap kanan Gereformeerd juga muncul kerinduan untuk ikut serta dalam pekabaran Injil di negeri jajahan. Keinginan ini terjawab dengan dibentuknya Nederlandsche Gereformeerde Zendingsvereniging (NGZV) pada tanggal 6 Mei 1859 di Amsterdam. Lembaga ini berbadan hukum sejak tanggal 19 Oktober 1850. NGZV


(32)

juga bersifat non-gerejawi tetapi bersifat konvensional, yakni berpegang teguh pada ajaran Calvin.(Soekotjo, 2009: 112).

g) Nederlandsche Zendingsvereniging (NZV)

NZV didirikan di Amsterdam pada tanggal 2 Desember 1858. NZV menetapkan hati untuk bekerja di Pasundan dengan kota-kota sebagai sasaran utama pekerjaannya. NZV lebih menekankan pada kesalehan dan spontanitas daripada ilmu pengetahuan dan persiapan kekristenan yang matang. Dengan demikian praktek para zendeling lebih bersifat anthroposentrisme, yaitu membawa umat kepada pertobatan dan hidup kesusilaan yang baik.

Beberapa zendeling seperti : D.J. van der Linden (Indramayu), C.Albers (Cianjur), A.Dijkstra (Cirebon), S. Coolsma (Bogor), dan lain-lain. Setelah melakukan penginjilan selama beberapa waktu, bisa dikatakan bahwa mereka gagal mendekati etnis Sunda. Hal ini disebabkan terutama karena fanatisme masyarakat Jawa Barat terhadap agama yang telah dipeluknya serta sebab lain, yakni karena para zendeling tidak benar-benar mendalami lingkungan social-budaya dan religius tempat mereka bekerja. (Soegijanto Padmo, 2008: 21). Perlawanan demi perlawanan dari Islam sangat kuat sehingga pekabaran Injil berjalan sangat lambat dan itu pun hanya terbatas pada daerah perkotaan yang tidak terlalu kuat tradisinya. Setelah bekerja puluhan tahun, pada tahun 1934 gereja asuhan NZV di tanah Pasundan ini mencapai kedewasaannya dengan sebutan Gereja Kristen Pasundan (GKP) dengan warga jemaat sejumlah 6.215 orang yang sebagian besar terdiri dari etnis Jawa, Ambon, Manado, dan Cina.Warga gereja dari etnis Sunda sendiri boleh dikatakan sangat kecil jumlahnya.

4. Kristenisasi a. Pengertian Agama Kristen

Agama Kristen ialah agama yang mengakui Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat manusia, berdasarkan pernyataan Allah yang tertulis di dalam Alkitab yang berisi kitab Perjanjian Lama dan Baru (Timotius


(33)

commit to user

Haryono, 2009: 6). Iman Kristen adalah iman yang berkeyakinan bahwa Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus telah mendamaikan orang berdosa dengan diri-Nya sendiri (Harun Hadiwijoyo, 1995:24).

Agama Kristen memiliki dasar-dasar ajaran yang memiliki kekhususan dibandingkan dengan agama yang lain. Kekhususan-kekhususan tersebut antara lain :

1) Agama Kristen sebagai agama

Unsur-unsur utama dalam agama lain juga terdapat dalam Agama Kristen. Unsur-unsur tersebut antara lain: doa, upacara, fungsi kemasyarakatan, dan lainnya. Alkitab menyatakan bahwa Agama Kristen menyembah kepada Allah yang esa.

2) Yesus Kristus

Allah yang disembah oleh umat Kristen adalah Yesus Kristus. Yesus ialah Putera Allah yang datang dari surga ke bumi. Ia dilahirkan seorang perawan Maria dalam sebuah kandang di Betlehem. Ia memperlihatkan kemahatahuan-Nya dengan meramalkan keadaan sekitar pada saat kematian-Nya. Ia menegaskan diri-Nya sebagai Al-Masih dan Putera Tuhan, pribadi kedua dalam Trinitas ini dibuktikan dengan mukjizat-Nya yang menakjubkan, yaitu kemampuan-Nya meredakan badai, mengubah air menjadi anggur, berjalan di atas air, dan bukti yang paling hebat adalah meninggalkan kubur pada hari ketiga setelah kematian-Nya. Ia bangkit dari kematian dan naik ke surga.

Yesus mengajarkan bahwa kerajaan Tuhan ada dalam hati manusia. Mengetahui saat kematian-Nya sudah dekat, Ia kemudian mewariskan gereja yang didirikan selama kehidupan-Nya di dunia. Ia memilih 12 rasul menjadi wakil-Nya, kemudian disebut Uskup yang akan menjadi pengganti dalam mengajarkan dan memerintah gereja sampai akhir jaman (Peter de Rosa, 2006:4).

Gereja ini menjadi simbol persatuan dan cinta kasih sebagai tanda bahwa Yesus merupakan sumber dari segala kehidupan. Yesus Kristus menjadi kekhususan dalam Agama Kristen disebabkan oleh pernyataan Alkitab atau wahyu Allah tentang Yesus Kristus yang menjelaskan bahwa ke-Allah-an Yesus


(34)

Kristus terbukti. Keistimewaan pelayanan Yesus Kristus dalam tindakan-Nya mewujudkan kehendak Allah; sikap-Nya yang penuh kasih terhadap orang-orang yang sederhana, manusia berdosa dan orang-orang yang menderita. Konsekuensi sikap Yesus Kristus sampai mengorbankan diri dan wafat di kayu salib karena dosa manusia; Kebangkitan-Nya dari antara orang mati dan kenaikan-Nya ke sorga sebagai pembenaran kehidupan-Nya.

3) Alkitab

Alkitab adalah wahyu Allah atau pernyataan Allah yang diinspirasikan oleh Roh Kudus dan tertulis dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang terdiri dari 66 kitab. Inspirasi Alkitab hendak menyatakan bahwa kebenaran iman Kristen dapat dibuktikan.

4) Keselamatan

Jalan keselamatan adalah inisiatif Allah yang Maha Pengasih itu, dan bahwa manusia dipanggil untuk menggantungkan diri seluruhnya kepada karya Allah di dalam Yesus Kristus. Keselamatan diterima manusia hanya oleh iman kepada Yesus Kristus dan diikuti dengan pertobatan serta perbuatan yang sesuai dengan ajaran cinta kasih yang tertulis di dalam Alkitab.

5) Gereja

Allah memanggil setiap manusia berdosa dari kegelapan untuk datang kepada terang-Nya yang ajaib. Manusia berdosa yang menanggapi panggilan Allah itu secara bersama-sama diterima menjadi umat Allah (gereja). Jadi gereja tidak hanya diartikan sebagai sebuah gedung tempat umat Kristen beribadah, tapi merupakan umat Kristen itu sendiri. Yesus Kristus diibaratkan sebagai kepala gereja dan umat Kristen sebagai tubuh. Keikutsertaan dalam tubuh Kristus merupakan sarana untuk bertumbuh dalam iman dan saling melayani satu sama lain (Timotius Haryono, 2009:8).

b. Asas-Asas Etika Kristen

Asas-asas etika Kristen yang harus diperhatikan oleh umat Kristen, yaitu pertama: kasih. Kasih mengandung arti orang Kristen harus takut dan penuh


(35)

commit to user

hormat kepada Allah, mentaati kehendak Allah, dan mewujudkan hidup sebagai ibadah yang berkenan kepada Allah. Kedua, Alkitab. Alkitab adalah wahyu normatif yang harus menjadi patokan dalam pengambilan keputusan pribadi umat Kristen. Ketiga, Kristusentris. Allah mewajibkan orang Kristen untuk hidup sama seperti Kristus hidup dan berpusatkan pada Kristus. Oleh karena itu ajaran dan teladan kehidupan Yesus harus mendasari keputusan hidup umat Kristen.

Keempat, hidup normal di dunia abnormal. Setiap umat Kristen adalah manusia yang sudah diperbarui oleh kuasa Roh Kudus yang harus berkarya dan memuliakan nama Tuhan. Dalam konteks ini Allah menuntut dan menunjukkan cara hidup yang harus lebih baik dibandingkan umat kebanyakan. Kelima, relasi intim dengan Allah. Agar umat Kristen senantiasa hidup berkenan kepada Allah, maka ia harus membina hubungan yang intim dengan Allah. Keintiman relasi dengan Allah akan membuat umat Kristen memiliki kepekaan ilahi yang tinggi sehingga mampu membuat keputusan hidup yang sesuai dengan pimpinan Roh Kudus.

Keenam, Allah menghendaki kesempurnaan. Sekalipun umat Kristen

hidup dalam dunia yang telah berdosa di hadapan Tuhan, namun Tuhan menghendaki umat Kristen hidup sempurna dalam melaksanakan perintah-Nya, sebagaimana Allah itu kudus dan sempurna adanya. Ketujuh, berlaku universal. Firman Allah menjadi patokan normatif dalam pengambilan keputusan etis dan prinsip ini berlaku bagi semua manusia di manapun berada dan dalam kondisi apapun.

c. Pengertian Kristenisasi

Masdum Muharram (2003 : 3) berpendapat bahwa Kristenisasi adalah sebuah gerakan keagamaan yang bersifat politis kolonialis. Gerakan yang muncul akibat kegagalan Perang Salib sebagai upaya penyebaran agama Kristen ke tengah-tengah bangsa-bangsa di dunia ketiga. Pada awalnya para pengikut Yesus Kristus tidak menyebut diri mereka dengan suatu nama, sebutan Kristen justru diperkenalkan oleh orang-orang Yahudi di Anthiokia sebagai nama ejekan atau


(36)

sindiran kepada pengikut Kristus. Dalam perkembangannya para pengikut Kristus itu tidak mempermasalahkan penggunaan nama Kristen bagi kelompok mereka, karena dirasa tidaklah memalukan apabila pengggunaan nama tersebut berisi nama Juruselamat mereka, yakni Kristus. Dan bagaimanapun juga sebutan „Kristen‟ telah baku pada tahun 60-an. (Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, 2004:594).

Yang dinamakan Kristenisasi ialah mengkristenkan orang atau membuat seseorang memeluk agama Kristen. Arti kata-kata itu menurut istilah ialah mengkristenkan orang secara besar-besaran dengan segala daya upaya yang mungkin agar supaya adat dan pergaulan dalam masyarakat mencerminkan ajaran agama Kristen. Masyarakat yang demikian akan lebih melancarkan tersiar luasnya agama Kristen. Akhirnya kehidupan rohani dan sosial penduduk diatur dan berpusat ke gereja. Pengkristenan dipercayai sebagai satu tugas suci yang dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh ditinggalkan. Mengkristenkan orang dianggap sebagai membawa kembali anak-anak domba yang tersesat, dibawa kembali kepada induknya. Manusia-manusia sebagai anak domba akan dibawa kepada kerajaan Allah.

Kristenisasi adalah usaha internasional, artinya mereka bermaksud menyebarkan agama Kristen ke seluruh dunia. Dapat diakui bahwa ini adalah mutlak hak asasi mereka, sebagaimana orang Muslim juga mempunyai tugas menyiarkan Islam ke seluruh dunia. Namun demikian memang perlu sama-sama disadari perlunya suatu garis pengamanan yang dapat menghindarkan terjadinya pergesekan dan perselisihan, sehingga masing-masing pemeluk agama tertentu tidak merasa cemas untuk dipaksa atau dibujuk atau diusahakan pindahnya kepada agama lain. Garis ini harus jelas dan ditaati terutama oleh para pemeluk agama yang telah disahkan oleh Negara Republik Indonesia seperti misalnya agama Islam dan Kristen. (http://www.scribd.com/doc/7856963/Sejarah-Kristenisasi-Di-Indonesia,18 Januari 2011).

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Kristen berarti pengikut Kristus, maka Kristenisasi adalah usaha untuk menjadikan


(37)

commit to user

seseorang maupun suatu kelompok menjadi pengikut Kristus. Di dalam usaha tersebut terdapat pengajaran-pengajaran maupun bimbingan-bimbingan untuk membawa jemaat akan pengenalan terhadap Yesus Kristus dan ajaran-Nya.

d. Usaha-Usaha Kristenisasi

Usaha Kristenisasi pada masa kolonial dilakukan dengan segala daya, biaya peralatan yang lengkap, rencana yang masak, teknik yang tinggi, kemauan dan kesungguhan yang mantap dan kuat, dan keyakinan yang mendalam. Usaha-usaha itu dilakukan melalui segala jalan dan saluran yang meresap dalam hampir semua aspek kehidupan manusia, yakni aspek sosial, budaya, ekonomi, dan pendidikan.

1). Sosial

Suatu kenyataan yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam kegiatan Kristenisasi adalah begitu rendahnya tingkat kesehatan dan tingginya tingkat kemiskinan di masyarakat. Usaha Kristenisasi yang dilakukan oleh para zendeling adalah mengarahkan usaha dalam bidang pengabdian sosial, kerajinan tangan, dan terutama pendidikan. (Guillot, 1985:18).

Untuk memperbaiki kesehatan masyarakat, pihak Zending mendirikan pos-pos pelayanan kesehatan dengan membagikan obat-obatan secara gratis yang diperolehnya dari perorangan, badan sosial maupun pemerintah (Sukoco, 2010: 235). Pos-pos pelayan itu di kemudian hari berkembang menjadi poliklinik dan rumah sakit yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat. Pelayanan sosial yang tidak kalah penting adalah pendirian panti asuhan yang menampung anak-anak hasil peranakan orang-orang Eropa yang awalnya bertugas di Hindia Belanda dan mengawini perempuan-perempuan pribumi. Sehingga muncul kebiasaan untuk mengambil perempuan pribumi sebagai gundik, yang biasa disebut “nyai”. Praktik itu, sesungguhnya didorong dan dilembagakan oleh adanya kebijakan VOC pada tahun 1652 yang membatasi imigrasi perempuan Belanda, dan menuntut persyaratan rumit kepada perkawinan resmi antara laki-laki Belanda dengan perempuan Jawa. (Gouda, 2007: 197). Apabila bapak pulang ke Eropa atau pindah


(38)

ke tempat yang jauh, nyai dan anak-anaknya kerap kali ditinggal begitu saja. Banyak bapak-bapak itu yang meskipun tidak beragama Kristen minta supaya anaknya dibaptis dengan harapan bahwa kelak bila anak tersebut ditinggalkan, gereja akan merawatnya. Dengan alasan tersebut maka gereja mendirikan rumah yatim piatu, yang pertama didirikan di Semarang (1809), disusul di Jakarta (1856), dan Surabaya (1862). (Soegijanto Padmo, 2008: 27).

2). Budaya

Dalam hal budaya, Kristenisasi dilakukan dengan menulis, menerbitkan dan menyebarkan buku/ selebaran berbahasa Jawa (Sukoco, 2010: 170). Cara ini dianggap kurang berhasil karena banyak orang yang belum bisa membaca, dan Alkitab sebagai dasar penulisan buku tersebut belum diterjemahkan dalam Bahasa Jawa. Salah satu cara Kristenisasi dalam bidang budaya yang cukup berhasil adalah lewat jalur perkawinan.

Agama Kristen melarang perkawinan campuran sehingga mewajibkan bagi pasangan yang akan menikah, keduanya harus beragama Kristen. Dengan aturan agama yang ketat, maka orang-orang yang hendak menjadi istri atau suami orang yang sudah beragama Kristen maka diwajibkan memeluk Agama Kristen terlebih dahulu.

3). Ekonomi

Metode kerja Zending dalam memperkenalkan Injil di kalangan pribumi di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara lain adalah dengan mendirikan desa Kristen. (Soegijanto Padmo, 2008: 20). Dengan adanya pembukaan desa persil sehingga masyarakat dapat memperbaiki nasibnya dengan bekerja mengolah tanah untuk meningkatkan pendap atan sekaligus terbebas dari kemiskinan dan kerja paksa dari pemerintah kolonial. (Guillot, 1985:18). Selain harus memerangi kemiskinan dan penyakit, Zending juga memerangi para lintah darat yang sering merugikan rakyat kecil. Untuk menolong mereka kemudian diadakan bank pinjaman sosial yang dapat menyediakan fasilitas pinjaman dengan bunga dan aturan yang adil. (Sukoco, 2010: 170).


(39)

commit to user 4). Pendidikan

Salah satu usaha Kristenisasi yang berperan besar adalah bidang pendidikan. Usaha ini dilakukan dengan penyelenggaraan pendidikan di masyarakat. Sekolah-sekolah bernafaskan Kristen mulai didirikan di berbagai daerah penginjilan. Tujuan persekolahan itu memang membawa anak-anak itu terhadap pemahaman Agama Kristen. Bagi murid-murid pria dipersiapkan sebagai guru atau pekabar Injil, sedangkan bagi murid-murid wanita disiapkan semata-semata sebagai ibu rumah tangga yang baik (Sukoco, 2010: 158-159).Khusus dalam bidang pendidikan ini mereka mendapatkan hasil yang menggembirakan. Orang-orang mengharapkan mereka memindahkan ilmu Barat kepada anak-anak mereka. Anggapan mereka, ilmu adalah satu-satunya kunci sukses dalam masyarakat baru. (Guillot, 1985:18).

Perlu diketahui bahwa sekolah Zending ini menggunakan kurikulum yang cukup baik dengan mata pelajaran yang meliputi : Bahasa Jawa, Bahasa Melayu, Bahasa Belanda, berhitung, sejarah umum, sejarah Bangsa Jawa, sejarah suci, ilmu bumi umum, ilmu bumi dari Hindia Belanda teristimewa dari Pulau Jawa, ilmu bumi Palestina, dasar-dasar ilmu alam dan menyanyi. Khusus bagi yang ingin menjadi guru atau pekabar Injil mendapatkan pelajaran tambahan.

Sampai tahun 1920 pemerintah Belanda tidak menyediakan pendidikan tingkat lanjutan atas sebagai persiapan ke universitas. Zending secara konsisten mengikuti pola kebijakan semacam itu. Pada akhir dasawarsa 1920-an, lembaga pendidikan setingkat lanjutan pertama dan lanjutan atas didirikan oleh misi dan Zending di kala pemerintah telah membuka kesempatan untuk itu. Di kalangan Zending dirasakan perlunya meningkatkan pendidikan teologia di Indonesia. Untuk itu pada tahun 1930 dibentuklah suatu panitia untuk membangun sekolah tinggi teologia. (Soegijanto Padmo, 2008: 28).


(40)

B. Kerangka Berpikir

Sesuai judul penelitian ini, yaitu “Zending : Kristenisasi di Margorejo Kecamatan Dukuh Seti, Kabupaten Pati Pada Tahun 1852-1942”, maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Keterangan:

Agama Kristen pertama kali masuk ke Indonesia di bawa oleh orang-orang Nestorian, namun sejak beberapa abad sejak kedatangannya segera mengalami penurunan dan akhirnya agama tersebut hilang akibat berbagai hambatan yang terjadi pada masa itu. Agama Kristen masuk kembali ke nusantara dibawa oleh misionaris Katolik dari Portugis. Seiring dengan perkembangan jaman, kolonialisme Belanda berkuasa di Indonesia, dan melakukan tindakan represif terhadap perkembangan Agama Kristen Katolik. Agama yang diijinkan untuk berkembang adalah Agama Kristen Protestan.

Perlindungan dan ijin mengembangkan Agama Kristen Protestan dilakukan oleh Belanda dengan membuat peraturan resmi mengenai pelaksanaan penyebaran agama yakni dengan Staatblad Van Netherland Indie 1854. Peraturan tersebut mengatur, mengawasi dan memberikan perlindungan pada Zending untuk mengadakan Kristenisasi di Hindia Belanda.

Kolonialisme

Staatbladen Van Netherlandsch Indie

1854

Kristenisasi

Sekolah Zending

Desa Margorejo

Rumah Sakit Gereja


(41)

commit to user

Peraturan tersebut didukung oleh perkembangan Zending di luar negeri, yang nantinya mengirimkan utusan-utusannya untuk melaksanakan misi penyebaran Agama Kristen Protestan di Hindia Belanda. Kegiatan Zending di Hindia Belanda dapat berjalan lancar karena dukungan dan perlindungan dari Pemerintah Hindia Belanda. Melalui para zendeling yang bekerja di Hindia Belanda untuk menyebarkan Agama Kristen Protestan, maka dapat dikatakan bahwa proses Kristenisasi di Indonesia dimulai sejak itu.

Usaha Kristenisasi yang berkembang melibatkan lebih banyak zendeling, baik oleh lembaga pekabaran Injil resmi utusan pemerintah maupun yang berdiri secara mandiri. Kristenisasi di Hindia Belanda mulai berkembang dan menyebar ke wilayah yang lebih luas, bahkan di daerah pedalaman. Salah satu wilayah Kristenisasi adalah Kabupaten Pati. Usaha pertama yang dilakukan oleh Zending untuk melaksanakan misinya adalah dengan mendirikan sekolah-sekolah bagi pribumi.

Usaha mendirikan sekolah ini berjalan dengan baik sehingga menghasilkan para petobat baru untuk masuk Agama Kristen Protestan. Semakin hari pekerjaan para Zending membuahkan hasil yang baik, sehingga jemaat yang dibina menjadi semakin banyak. Oleh karena berbagai pertimbangan, maka dicetuskanlah ide untuk membuat sebuah tempat yang dapat digunakan untuk mengumpulkan semua jemaat hasil penginjilan. Pada tanggal 3 Januari 1881, Pieter Jansz selaku penaggung jawab kegiatan Zending di daerah Muria, mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk menyewa sebuah tanah di kawasan Desa Puncel, di Distrik Margotahu. Enam bulan kemudian berdasarkan persetujuan Gubernur tertanggal 13 Agustus 1881 no. 29 keluarlah besluit no. 37 tertanggal 21 September 1881, disusul dengan surat tanda hak (akte) nomor 5 tertanggal 13 November 1881 yang isinya menyetujui permohonan Pieter jansz untuk membuka tanah sewa jangka panjang di tempat yang di kehendaki.

Desa persil khusus untu jemaat binaan Zending tersebut dinamakan Desa Margorejo. Di desa inilah Zending dapat membina dan mengembangkan jemaat binaannya dengan baik. Sekolah-sekolah yang mereka dirikan dapat berkembang


(42)

dengan baik. Untuk menunjang kegiatan penginjilan dan pemeliharaan jemaat, didirikanlah poliklinik dan rumah sakit untuk melayani kesehatan para jemaat.

Di desa inilah Zending yang dipimpin oleh Pieter Jansz dapat mengadakan baptisan pertama dan membentuk suatu komunitas Kristen. Dalam perkembangannya, jemaat tersebut terus berkembang baik dalam hal jumlah maupun kualitas iman mereka, sehingga suatu saat menjadi jemaat dan gereja yang berdiri sendiri, lepas dari naungan Zending Belanda tersebut.


(43)

commit to user

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan data melalui studi pustaka. Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data baik berupa dokumen, buku, karangan, tulisan, catatan maupun sumber tertulis lain yang diperoleh dari museum-museum, perpustakaan, instansi pemerintahan, koleksi swasta maupun perorangan dan di tempat-tempat yang menyimpan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. (Dudung Abdurrahman, 1999: 55). Adapun perpustakaan yang digunakan sebagai berikut .

a. Perpustakaan Akademi Kristen Wiyata Wacana Pati b. Perpustakaan Universitas Kristen Duta Wacana Jogjakarta c. Perpustakaan Sekolah Tinggi Teologi Gamaliel Surakarta d. Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran Surakarta

e. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

f. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

g. Perpustakaan Pusat Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini mulai dari disetujuinya judul skripsi yaitu pada bulan Juli 2010, sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini yaitu pada bulan Maret 2011.


(44)

commit to user

B. Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian, peranan metode ilmiah sangat penting karena keberhasilan tujuan yang akan dicapai tergantung dari penggunaan metode yang tepat. Kata metode berasal dari Bahasa Yunani methodos yang terdiri dari dua kata, yaitu methos berarti jalan atau cara dan theodos yang berarti masalah. Menurut Helius Sjamsudin (1994:2), metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknik yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek/ bahan-bahan yang diteliti. Lebih lanjut kata metode diartikan sebagai cara atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1977: 16).

Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan, mendiskripsikan dan memaparkan Kristenisasi di Margorejo pada tahun 1852-1942. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah. Dengan metode sejarah ini, penulis mencoba merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan demikian metode historis merupakan langkah (cara) ilmiah yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Tujuan penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif (Sumadi S, 1992, 16).

Menurut Louis Gottchalk (1985:32) metode historis adalah: proses menguji dan menganalisa secara kritis terhadap sumber yang berupa rekaman, tulisan, dan peninggalan masa lampau, kemudian diadakan rekonstruksi yang imajinatif, berdasarkan data yang diperoleh sehingga menghasilkan historiografi.

Menurut Nugroho Notosusanto (1971:17) metode historis terdiri dari empat langkah, yaitu : (a) heuristik, yang merupakan kegiatan menghimpun jejak masa lampau. Dalam penelitian ini heuristik dilakukan dengan cara mengumpulkan sumber-sumber informasi baik yang tertulis maupun lisan; (b)


(45)

commit to user

kritik, yang merupakan kegiatan menyelidiki apakah jejak-jejak itu sah baik isi maupun bentuknya; (c) interpretasi, yaitu menetapkan makna yang saling berhubungan dari data-data yang diperoleh tersebut; (d) penyajian atau penulisan, yaitu kegiatan yang menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah atau historiografi.

Hadari Nawawi (1995: 78-79) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang. Gilbert J.Garraghan yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 43), mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.

Menurut Louis Gottschalk yang dikutip Dudung Abdurrahman (1999: 44), menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya. Menurut Helius Sjamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti-bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan ceritera sejarah yang dapat dipercaya.

Nugroho Notosusanto (1971: vii) menyatakan pengertian tentang metode penelitian sejarah yaitu :

“Metode penelitian sejarah merupakan proses pengumpulan, menguji, menganalisis secara kritis rekaman-rekaman dan penggalian-penggalian masa lampau menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya, metode ini merupakan proses merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga menjadi kisah yang nyata”.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan


(1)

commit to user

yang tercerai berai akibat serbuan Pemuda Ansor mulai dicari dan dikumpulkan kembali. Sekalipun waktu itu masih dalam pengawasan Pemerintahan Jepang, namun kehidupan Jemaat dapat berangsur-angsur pulih. Kemandirian jemaat makin terlihat karena saat itu mereka benar-benar harus sanggup mengatur segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan dari Zending. Biaya untuk operasional pelayanan jemaat berasal dari hasil tanah milik jemaat seluas 150 bau (diantaranya sawah seluas kurang lebih 45 bau), ditambah sedikit dengan kolekte atau persembahan proliman yang dikumpulkan tiap kebaktian Minggu sejumlah f 120 per tahun dan iuran anggota. (Wawancara dengan Dirdjotono, tanggal 8 Februari 2011).

Gereja Jawa Muria di Margorejo di kemudian hari disebut Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Margorejo. Pada tahun 2011 telah berkembang menjadi gereja yang dewasa dan dikelola sendiri oleh jemaat pribumi. Sesuai data yang dimiliki oleh Majelis, jumlah jemaat GITJ Margorejo sebanyak 768 kepala keluarga, atau sekitar 3.072 jiwa. Jumlah yang besar ini disebabkan karena hampir semua warga penduduk di Margorejo merupakan anggota jemaat gereja. Biaya operasional gereja berasal dari persembahan warga jemaat, ditambah dengan hasil sewa sawah dan tambak milik gereja seluas 12 hektar. Desa persil ini disewa selama 70 tahun sehingga ketika batas waktu sewa tanah itu habis maka tanah itu seharusnya di kembalikan pada pemerintah Belanda. Tapi karena saat waktu sewa sudah habis, Belanda sudah tidak berkuasa lagi maka urusan tanah diurus oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1950-an ada peluang bagi penduduk untuk memiliki sertifikat atas tanah desa Margorejo. Ada hak guna bangunan sehingga penduduk bisa mendapatkan sertifikat tanah. Jadi saat ini sebagian besar tanah yang ada sudah dibeli oleh penduduk Margorejo. Namun beberapa bagian tanah masih dimiliki oleh pihak gereja, tanah tersebut dikenal dengan tanah pasamuwan. Tanah pasamuwan atau tanah milik gereja ini meliputi RT 05, RT 01 dan daerah di sebelah selatan makam. (Wawancara dengan Suparsono, 8 Februari 2011).


(2)

commit to user

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari permasalahan yang telah diuraikan dimuka, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kegiatan pekabaran Injil di Margorejo diawali oleh Pieter Jansz yang merupakan utusan dari Zending Mennonit di Belanda (DZV). Pieter Jansz mengawali pekerjaannya dengan memberikan ceramah pada para kepala desa di Cumbring, Jepara. Upaya pertama yang ia lakukan kurang berhasil karena kurang mempertimbangkan pola pikir dan kebudayaan setempat. Usaha pekabaran Injil yang ia lakukan akhirnya dapat berkembang setelah ada bantuan tenaga yang dikirim oleh rekannya dari Mojowarno, Jawa Timur, yang bernama Sem Sampir. Utusan tersebut merupakan orang pribumi, sehingga dapat menjangkau orang-orang Jawa untuk lebih mengenal dan menerima Injil dengan baik. Dalam perkembangannya, Pieter Jansz memiliki ide untuk membuka sebuah lahan dan mengumpulkan seluruh jemaatnya di dalam suatu tempat. Daerah tersebut terbuka untuk siapapun, baik orang Kristen maupun bukan Kristen, dengan syarat mereka yang bersedia masuk harus menuruti tata hidup Kristen. Pembukaan desa persil (sewaan) baru dapat terealisasi ketika Zending DZV dipimpin oleh Pieter Anthonie Jansz, putra Pieter Jansz. Setelah mencari-cari akhirnya P.A Jansz menemukan sebuah tanah untuk dijadikan desa persil yang akan menampung jemaat dan melanjutkan usaha Kristenisasi. Setelah proses pembukaan dan pembangunan sarana serta prasarana selesai, daerah tersebut dinamakan Margorejo yang berarti jalan menuju kesejahteraan.

2. Pekerjaan Zending di Indonesia tidak akan bisa lepas dari pendirian sekolah dan rumah sakit di wilayah kerjanya. Hal itu terjadi karena kondisi penduduk Indonesia yang masih sangat terbelakang dan tingkat kehidupan yang rendah sehingga dimungkinkan tidak akan dapat menerima ajaran Kristen dengan


(3)

commit to user

baik. Oleh karena itu para zendeling berusaha untuk meningkatkan taraf hidup penduduk dengan pelayanan kesehatan dan pendidikan supaya penduduk dapat lebih mudah diajari tentang Agama Kristen. Sekolah yang didirikan Zending DZV ada dua, yakni Sekolah Jemaat dan Sekolah Guru. Sekolah jemaat ini terbagi dalam dua tahap, yang pertama adalah sekolah yang didirikan oleh Pieter Jansz di Jepara dan Kedungpenjalin, kedua, adalah sekolah yang didirikan oleh Pieter Anthonie Jansz di Margorejo. Sekolah yang pertama tadi akhirnya dipindahkan di Margorejo. Sekolah jemaat ini memiliki jenjang pendidikan tujuh tahun dan dalam perkembangannya dibuka Sekolah petang dan sekolah Taman Kanak-Kanak yang dinamakan Pamong Rini. Sekolah yang kedua adalah Sekolah Guru Margorejo, yang dibuka pada bulan Juni 1896. Sekolah ini memiliki tujuan ganda, yakni mencetak lulusan yang mampu mengajar di sekolah-sekolah jemaat binaan Zending, dan mencetak lulusan yang mampu menjadi penginjil atau pendeta. Karena tujuan yang kurang fokus akhirnya pada tahun 1925 sekolah guru ini ditutup dan digantikan dengan Sekolah peralihan dimana murid-murid Sekolah Guru yang akan melanjutkan sekolah untuk mendapatkan pelajaran Bahasa Belanda dapat melanjutkan sekolah di Sekolah Peralihan di Tayu.

3. Gereja Jawa Muria berdiri atas prakarsa Zending sehingga otomatis

pelaksana kegiatan dan pengelola gereja adalah pihak Zending. Sampai tahun 1909 jemaat sama sekali tidak dilibatkan dalam pengelolaan gereja karena dirasa belum mampu karena tidak mempunyai pengetahuan mengenai hal itu. Tahun 1917 terjadi perubahan dalam hierarki gereja, yakni jemaat diberi kesempatan untuk menjadi majelis gereja. Hal tersebut digunakan oleh jemaat untuk berlatih mengelola gereja atas bimbingan para zendeling. Tahun 1928, zendeling DZV di Margorejo mengusulkan pada pengurus pusat DZV si Belanda supaya mengijinkan gereja Margorejo untuk dewasa. Setelah mengalami proses yang cukup panjang,maka pada tahun 1933 Gereja Margorejo resmi menjadi gereja yang dewasa, namun masih berada dalam perlindungan dan bimbingan Zending. Pada tahun 1939 terjadi Perang Dunia II yang menimbulkan perubahan besar dalam poltik internasional. Dengan


(4)

commit to user

jatuhnya negeri Belanda ke tangan Jerman maka terputuslah hubungan antara pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Indonesia dengan pusatnya. Putusnya hubungan ini berarti pula putusnya hubungan Zending yang bekerja di Indonesia dengan pengurus pusat Zending di Belanda. Para zendeling masih bertahan di Margorejo sampai tahun 1942 dengan keadaan yang tidak stabil. Di penghujung tahun 1942, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, semua pengaruh Barat dihapuskan, termnasuk para pekerja Zending dari Belanda. Pada masa itu terjadi penganiayaan, pembakaran, dan penjarahan tergadap aset orang Cina dan orang Kristen. Kehidupan jemaat kristen turun secara drastis, para zendeling dibunuh dan banyak yang kembali ke negeri asalnya. Semenjak itu dimulailah babak baru bagi jemaat untuk benar-benar memperbaiki keadaan gereja dan jemaat secara mandiri, lepas dari campur tangan Zending.

B. Implikasi

1. Teoritis

Zending adalah organisasi keagamaan yang menyebarluaskan Agama Kristen Prostestan dan menegakkan gereja-gereja Protestan, bersifat universal dan supranasional yakni mewartakan ajaran Kristen kepada semua bangsa di dunia. Seseuai dengan definisinya, Zending utusan Belanda di Indonesia juga menjalankan tugasnya untuk mengabarkan Injil kepada penduduk Indonesia. Usaha-usaha Kristenisasi oleh Zending menitiberatkan pemberian bantuan kepada penduduk Indonesia dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Usaha tersebut dimaksudkan untuk mengangkat derajat dan martabat penduduk Indonesia serta memperbaiki kelayakan hidup penduduk. Apabila hal tersebut sudah tercapai maka penyebaran pengaruh Agama Kristen akan lebih mudah diserap oleh penduduk Indonesia.


(5)

commit to user

2. Praktis

Implikasi praktis dari hasil penelitian terutama dikaji mengenai masuknya pengaruh praktek kolonialisme Belanda di Indonesia. Pengaruh tersebut dapat dilihat secara positif dan negatif. Secara negatif, Indonesia mengalami banyak penindasan dan kesengsaraan akibat pratek kolonialisme. Secara positif, bangsa kolonial sedikit banyak telah menyumbang bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Sumbangan dalam hal pendidikan itu terbukti dengan pendirian berbagai sekolah untuk pribumi yang dibuka oleh Zending Kristen. Hal tersebut terjadi karena Zending Kristen, selain menyebarkan Agama Kristen di Indonesia juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang terbuka untuk penduduk pribumi bukan untuk tujuan komersil tetapi untuk misi kemanusiaan.

Implikasi di bidang pendidikan formal yang dapat diambil dari penelitian ini adalah menambah wacana baru bagi materi pengajaran sejarah di Indonesia. Wacana baru tersebut berupa materi pelajaran sejarah perkembangan Agama Kristen dan pelaksanaan pendidikan kolonial di Indonesia. Selama ini pelajaran sejarah hanya terfokus pada pembahasan mengenai praktek politik kolonial tanpa melihat sisi lain pengaruh kolonialisme di bidang agama dan pendidikan. Diharapkan dengan penelitian ini maka pelajaran sejarah kolonialisme di sekolah menengah akan lebih kaya dan berwawasan luas.

3. Metodologis

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode historis yang bertujuan untuk merekonstruksi kembali suatu peristiwa di masa lampau sehingga dapat menghasilkan historiografi yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah melalui prosedur sejarah yang sistematis dengan menggunakan tahap-tahap tertentu. Dalam tehnik pengumpulan data, peneliti kesulitan dalam mencari sumber-sumber primer terutama buku maupun arsip-arsip yang berangka tahun 1852-1942, disebabkan karena sumber-sumber tersebut sudah rusak dan beberapa sumber primer yang masih berbahasa Belanda maupun bahasa Jawa yang ditulis dengan huruf Jawa.


(6)

commit to user

C. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat diajukan saran sebagai berikut :

1) Bagi Peneliti Lain

Sampai saat ini penelitian-penelitian sejarah di Indonesia yang bertema Kristen masih terbatas sehingga perlu dikaji dan dikembangkan lebih lanjut.

2) Bagi Mahasiswa Pendidikan Sejarah

Sampai saat ini pembahasan mengenai Zending di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena seringkali Zending dibahas dengan cara yang kurang seksama dan diletakkan sebagai salah satu bagian dari berbagai macam aspek kehadiran Belanda di Indonesia. Oleh karena itu diperlukan sebuah kecermatan dan pendalaman khusus dalam mempelajari Zending di Indonesia.