43
BAB 4 Basis Data Penduduk
A. Kesimpangsiuran Data Penduduk
Meskipun Indonesia sudah lebih dari setengah abad merdeka, soal akurasi data penduduk negeri ini masih merupakan masalah besar. Banyak instansi
melakukan pendataan penduduk, namun hal itu justru memperbesar masalah. Kementerian Dalam Negeri atau dulu Departemen Dalam Negeri
Depdagri dengan kantor catatan sipil di setiap pemerintah daerah kabupatenkota mestinya memiliki data penduduk lengkap karena instansi
inilah yang mendapat amanat undang-undang untuk melakukan administrasi kependudukan.
Namun sudah diketahui, data penduduk dari Depdagri yang dikumpulkan dari pemerintah daerah itu selalu dipertanyakan akurasinya. Banyaknya
warga negara yang mempunyai hak pilih tetapi tidak masuk dalam DPT
daftar pemilih tetap Pemilu 2009 bukan semata kesalahan KPU, tetapi juga bersumber dari Data Penduduk Potensi Pemilih Pemilu DP4 yang dikeluarkan
oleh Depdagri dan pemerintah daerah. Padahal masalah rendahnya kualitas data DP4 ini sudah diketahui sejak pemilu kepala daerah gelombang pertama
sepanjang 2005-2008.
Selain Depdagri, lembaga yang aktif melakukan pendataan penduduk adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional atau BKKBN. Sesuai dengan
fungsinya sebagai lembaga negara yang mengendalikan jumlah penduduk melalui program keluarga berencana, pendataan penduduk merupakan
tugas rutinnya. Namun jika diperhatikan, data penduduk yang dikeluarkan oleh BKKBN dengan data penduduk yang dikeluarkan Depdagri tidak pernah
klop. Kecenderungannya, jumlah penduduk dalam data BKKBN selalu lebih sedikit daripada data Depdagri.
Kenyataan itulah yang menyulitkan KPU ketika hendak menetapkan jumlah dan alokasi kursi DPRDPRD, mengingat tidak ada data yang bisa jadi
pegangan. Kondisi seperti itu pada pemilu-pemilu Orde Baru tidak pernah dipermasalahkan mengingat tidak ada pihak yang berani mempertanyakan
akurasi data penduduk yang digunakan oleh Lembaga Pemilihan Umum atau LPU yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
44
Pada Pemilu 1999, KPU kesulitan mencari sumber data penduduk. Meskipun Pemilu 1997 menyediakan data penduduk dan pemilih lengkap, namun KPU
tidak mau menanggung risiko menggunakan data tersebut. Sudah lazim diketahui bahwa akurasi data penduduk dan pemilih pada pemilu Orde Baru
selalu diragukan karena data yang dikumpulkan sering tidak mencerminkan kenyataan lapangan akibat beban politik untuk memenangkan Golkar. Sudah
lazim diketahui, pada daerah-daerah di mana pendukung Partai Persatuan Pembangunan PPP dan Partai Demokrasi Indonesia PDI tampak kuat,
jumlah penduduk dan pemilih cenderung dikurangi. Sebaliknya, pada daerah- daerah di mana pendukung Golkar tampak dominan, jumlah penduduk dan
pemilih cenderung ditambah.
Untuk penetapan jumlah dan alokasi kursi DPRDPRD pada Pemilu 1999, semula KPU memutuskan akan menggunakan data penduduk dari Depdagri.
Namun hingga waktu yang ditentukan terlewati, data yang dijanjikan Depdagri belum tersedia. Sementara waktu terus berjalan dan jadwal pemilu
tidak bisa mundur, KPU melakukan berbagai cara untuk mengumpulkan data penduduk yang akan digunakan sebagai basis penetapan jumlah dan
alokasi kursi. Caranya dengan mengumpulkan data penduduk di beberapa provinsi, lalu membuat estimasi jumlah penduduk nasional maupun provinsi
berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1990. Data penduduk hasil estimasi itulah yang digunakan sebagai dasar untuk mengalokasikan kursi DPR pada Pemilu
1999. Padahal penentuan jumlah dan alokasi kursi seharusnya memakai data riil hasil pendataan penduduk.
Menyadari tiadanya data penduduk lengkap yang bisa dipercaya untuk menetapkan jumlah dan alokasi kursi serta perencanaan pemungutan suara,
pada Pemilu 2004 KPU melakukan Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan P4B. Kegiatan ini merupakan kerjasama KPU,
Depdagri, dan Badan Pusat Statistik BPS. KPU perlu menggandeng BPS karena lembaga tersebut memiliki kompetansi sekaligus dipercaya dalam
pendataan penduduk. KPU tidak mungkin melakukan sendiri karena tidak mempunyai aparat sampai tingkat bawah dengan kemampuan khusus untuk
melakukan pendataan penduduk.
Pada Pemilu 2009, undang-undang mewajibkan KPU untuk menerima DP4 dari pemerintah.
36
Sesuai dengan perkiraan pengamat dan pemantau
36 UU No. 102008 Pasal 32 dan 33
45
pemilu, data itu ternyata menjadi sumber masalah pada Pemilu 2009 karena ketidakakuratan data tersebut ternyata berlanjut pada data pemilih sementara
DPS dan data pemilih tetap DPT. Yang terjadi kemudian adalah saling menyalahkan dan saling lempar tanggung jawab antara Depdagri dan KPU.
Depdagri merasa tidak bersalah karena tugasnya adalah menyiapkan data awal yang harus diperbaharui oleh KPU. Sementara KPU merasa pihaknya
tidak mungkin menghasilkan data yang akurat karena data awalnya buruk.
Ilustrasi untuk menunjukkan kesimpangsiuran data penduduk bisa dilihat pada Tabel 4.1. Tabel tersebut memperlihatkan: 1 data penduduk Pemilu
1999 yang merupakan data hasil estimasi; 2 data penduduk Pemilu 2004 yang merupakan hasil P4B; 3 data penduduk versi Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 15 Tahun 2005; 4 data penduduk versi Keputusan KPU Nomor 106 Tahun 2008 yang sesungguhnya merupakan data DP4 dari Depdagri, dan;
4 data Sensus Penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Dengan membandingkan empat data penduduk tersebut, setidaknya terdapat
satu kejanggalan, yakni peningkatan total nasional jumlah penduduk yang tinggi antara hasil P4B dengan Kepmendagri, meski selisih waktunya hanya
satu tahun. Bahkan jika dibandingkan dengan data penduduk Pemilu 2009
dengan memperhatikan laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 sebesar 1,49 persen dan sepanjang 2000-2005 sebesar 1,34 persen, jumlah tersebut
masih terlalu tinggi. Ketidakakuratan data penduduk yang disusun oleh Depdagri dan pemerintah
daerah, terlihat jelas pada DP4, baik pada pemilu kepala daerah 2005-2008, Pemilu 2009, maupun pemilu kepala daerah 2010-2011. Sementara Program
P4B yang dirintis oleh KPU, Depdagri, dan BPS pada Pemilu 2004 tidak berlanjut. Padahal kegiatan ini berhasil mengumpulkan data penduduk yang
cukup bagus akurasinya.
B. Keterlambatan Data Penduduk