45
pemilu, data itu ternyata menjadi sumber masalah pada Pemilu 2009 karena ketidakakuratan data tersebut ternyata berlanjut pada data pemilih sementara
DPS dan data pemilih tetap DPT. Yang terjadi kemudian adalah saling menyalahkan dan saling lempar tanggung jawab antara Depdagri dan KPU.
Depdagri merasa tidak bersalah karena tugasnya adalah menyiapkan data awal yang harus diperbaharui oleh KPU. Sementara KPU merasa pihaknya
tidak mungkin menghasilkan data yang akurat karena data awalnya buruk.
Ilustrasi untuk menunjukkan kesimpangsiuran data penduduk bisa dilihat pada Tabel 4.1. Tabel tersebut memperlihatkan: 1 data penduduk Pemilu
1999 yang merupakan data hasil estimasi; 2 data penduduk Pemilu 2004 yang merupakan hasil P4B; 3 data penduduk versi Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 15 Tahun 2005; 4 data penduduk versi Keputusan KPU Nomor 106 Tahun 2008 yang sesungguhnya merupakan data DP4 dari Depdagri, dan;
4 data Sensus Penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Dengan membandingkan empat data penduduk tersebut, setidaknya terdapat
satu kejanggalan, yakni peningkatan total nasional jumlah penduduk yang tinggi antara hasil P4B dengan Kepmendagri, meski selisih waktunya hanya
satu tahun. Bahkan jika dibandingkan dengan data penduduk Pemilu 2009
dengan memperhatikan laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 sebesar 1,49 persen dan sepanjang 2000-2005 sebesar 1,34 persen, jumlah tersebut
masih terlalu tinggi. Ketidakakuratan data penduduk yang disusun oleh Depdagri dan pemerintah
daerah, terlihat jelas pada DP4, baik pada pemilu kepala daerah 2005-2008, Pemilu 2009, maupun pemilu kepala daerah 2010-2011. Sementara Program
P4B yang dirintis oleh KPU, Depdagri, dan BPS pada Pemilu 2004 tidak berlanjut. Padahal kegiatan ini berhasil mengumpulkan data penduduk yang
cukup bagus akurasinya.
B. Keterlambatan Data Penduduk
Jika pada Pemilu 1999 KPU menggunakan data estimasi karena data yang dijanjikan Depdagri tidak datang tepat waktu, pada Pemilu 2004 KPU
bekerjasama dengan Depdagri dan BPS melakukan pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk melalui kegiatan P4B. Akurasi data P4B jauh lebih baik
daripada data Depdagri. Meski demikian, kegiatan ini tetap menimbulkan masalah karena data P4B ternyata tidak datang serentak, sesuai jadwal yang
46
telah ditentukan. Akibatnya pelaksanaan tahpan pemilu sempat terganggu karena di tengah proses penetapan jumlah dan alokasi kursi DPRDPRD
muncul perubahan data penduduk di beberapa provinsi.
Ketika menetapkan jumlah kursi DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota se- Indonesia pada 14 Juli 2003, KPU belum bisa menetapkan jumlah kursi DPRD
Provinsi dan DPRD KabupatenKota di tiga provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Maluku. Hal itu terjadi karena data P4B dari ketiga
provinsi tersebut belum masuk. Oleh karena itu KPU meminta BPS untuk melakukan estimasi data penduduk ketiga provinsi tersebut berdasarkan
data sementara yang sudah terkumpul. Berdasarkan data estimasi inilah KPU menetapkan jumlah penduduk ketiga provinsi yang kemudian dipakai
sebagai dasar untuk menetapkan jumlah kursi DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota.
Berdasarkan data estimasi tersebut, KPU menetapkan jumlah penduduk Maluku 1.220.800 jiwa. Atas dasar angka ini, pada 21 Agustus 2011 KPU
mengalokasikan 3 kursi DPR untuk Maluku. Namun KPU Provinsi Maluku menyatakan pihaknya pada 2 Agustus 2003 telah melaporkan ke KPU bahwa
jumlah penduduk Maluku adalah 1.277.414 jiwa. Jika mengacu pada data penduduk terakhir ini, Maluku mestinya mendapatkan 4 kursi. Inilah yang
memicu partai-partai politik di Maluku untuk mengancam memboikot pemilu apabila jumlah kursi Maluku tidak ditambah menjadi 4 kursi.
Di bawah tekanan partai-partai tersebut, KPU menyatakan akan menghitung kembali jumlah kursi DPR per provinsi yang sudah telanjur ditetapkan
sebelumnya. KPU mengakui bahwa sesungguhnya ada tiga provinsi yang kursinya masih bisa berubah, yakni Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera
Utara dan Nusa Tenggara Barat. Akhirnya tanpa alasan jelas, KPU “mengambil”
1 kursi Nusa Tenggara Barat untuk Maluku. Masalahnya tidak berlanjut karena partai-partai politik di Nusa Tenggara Barat ternyata tidak banyak menuntut.
Akibat keterlambatan data dan dilatari oleh protes Komisi II DPR atas penafsiran pasal yang mengatur tentang penetapan jumlah dan alokasi kursi
DPRDPRD,
37
jadwal alokasi kursi DPR molor dari yang direncanakan sehingga
37 Panitia Pengawas Pemilihan Umum, Laporan Pengawasan Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Buku 3 Laporan Pengawasan Pemilu Per Tahapan, Jakarta: Panitia Pengawas Pemilihan Umum, 2004, h.
107.
47
mengganggu kegiatan pencalonan. Sebagaimana diatur dalam undang- undang,
38
setelah tahapan penetapan jumlah kursi dan pembentukan daerah pemilihan, kegiatan pemilu diikuti oleh tahapan pencalonan. Pada saat
mengajukan daftar calon, ditentukan bahwa partai politik bisa mengajukan nama calon sebanyak 120 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan di
setiap daerah pemilihan.
39
Karena alokasi kursi setiap provinsi belum bisa ditetapkan, pembentukan daerah pemilihan juga belum bisa dilakukan. Akibatnya, meski sudah memasuki
waktu pengajuan daftar calon, khusus untuk pengajuan daftar calon anggota DPR, partai politik belum bisa segera menyusun daftar calon karena jumlah
kursi setiap daerah pemilihan belum diputuskan. Ketika akhirnya alokasi kursi DPR per provinsi selesai, yang segera diikuti oleh pembentukan daerah
pemilihan, partai politik hanya memiliki sedikit waktu untuk menyusun daftar calon. Padahal penyusunan daftar calon selalu menimbulkan ketegangan
politik internal partai politik.
C. Implikasi Bagian dari Tahapan