Bukan Sekadar Isu Jawa dan Luar Jawa

36 menurun signiikan pada Pemilu 2009 Kepulauan Riau 501.455 dibanding Papua Barat 209.019. Hal itu berarti Pemilu 2009 tidak berusaha mengurangi secara sungguh-sunguuh masalah kesetaraan suara nasional. Kelima, perlakuan yang sama bahwa provinsi baru atau provinsi hasil pemekaran mendapatkan sedikitnya 3 kursi, ternyata berdampak pada perbedaan harga kursi yang signiikan. Pada Pemilu 2009 misalnya, di mana Kepulauan Riau dengan Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Bangka Belitung sama-sama mendapatkan alokasi minimal 3 kursi. Namun Kepulauan Riau harus membayar harga 501.455 penduduk per kursi sekaligus menempati posisi tertinggi mahalnya harga kursi di Indonesia. Sedangkan tiga provinsi lainnya hanya perlu kurang dari 370.000. Keenam, pada Pemilu 2009, kebijakan alokasi kursi DPR ternyata tidak ramah terhadap provinsi dengan populasi sedikit. Hal ini juga terjadi pada Gorontalo dan Maluku Utara yang kursi perwakilannya lebih mahal dibandingkan Sumatera Barat. Situasi ini lebih buruk terjadi pada perbandingan antara Riau dengan Sulawesi Selatan. Pada Pemilu 2009 Sulawesi Selatan seharusnya mendapatkan jatah tidak lebih dari 21 kursi DPR setelah dikurangi 3 kursi untuk provinsi baru Sulawesi Barat. Namun undang-undang menetapkan provinsi ini mendapatkan 24 kursi, sehingga harga kursinya 321.370 penduduk, hampir setara dengan Maluku Utara 319.274 penduduk. Sedangkan Riau yang secara kuota kursi seharusnya mendapatkan jatah maksimal 13 kursi, kenyataannya hanya menerima 11 kursi, sehingga harga kursi harus lebih mahal, yaitu 435.887 penduduk per kursi.

B. Bukan Sekadar Isu Jawa dan Luar Jawa

Masalah ketidaksetaraan suara dalam pemilu, bermula dari kebijakan rezim Orde Baru yang berusaha menyeimbangkan jumlah anggota DPR dari Jawa dan Luar Jawa. Artinya, meskipun penduduk Jawa jumlahnya hampir dari 60 persen dari total penduduk nasional, namun mereka hanya diwakili oleh kurang dari 50 persen anggota DPR yang dipilih melalui pemilu. Sebaliknya penduduk Luar Jawa yang jumlahnya berkisar 40 persen diwakili oleh 50 persen anggota DPR yang dipilih melalui pemilu. 37 Kebijakan inilah yang dilanjutkan pada Pemilu 1999, bahkan pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009; meskipun pasca-Pemilu 1999 telah dilakukan empat kali perubahan konstitusi yang mengharuskan penegakan prinsip kesetaraan suara dalam pemilu. Namun dalam implementasi konsep keseimbangan politik Jawa dan Luar Jawa tersebut terjadi beberapa distorsi, sehingga Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009 tidak secara konsisten membagi kursi DPR masing-masing 50 persen untuk Jawa dan untuk Luar Jawa. Pada Pemilu 1999 misalnya, Jawa yang mempunyai penduduk 123.490.108 atau 59,29 persen, mendapatkan 234 kursi yang berarti 51,09 persen dari 458 kursi DPR yang dipilih lewat pemilu. Sedang Luar Jawa yang mempunyai penduduk 84.791.554 atau 40,71 persen penduduk Indonesia, mendapatkan 224 kursi atau setara dengan 48,91 persen dari total kursi DPR. Selanjutnya Tabel 3.6 menunjukkan, pada Pemilu 2004 dengan jumlah penduduk 127.217.819 atau sama dengan 59,20 persen, Jawa mendapatkan 303 kursi atau 55,09 persen dari total anggota DPR sebanyak 550. Sedang Luar Jawa dengan penduduk 87.666.455 mendapatkan 247 kursi atau 44,91 persen dari total anggota DPR. Lalu pada Pemilu 2009 dengan jumlah penduduk 133.357.509 atau sekitar 59 persen, Jawa mendapatkan 306 kursi atau 54,64 persen dari total anggota DPR. Sedang Luar Jawa dengan penduduk 92.690.620 mendapatkan 254 kursi atau 45,36 persen dari total anggota DPR yang disediakan sebanyak 560 kursi. Jika jumlah penduduk setiap provinsi dibagi jumlah kursi DPR setiap provinsi, akan diperoleh kuota penduduk 1 kursi DPR setiap provinsi. Dengan memilah provinsi-provinsi Jawa dan Luar Jawa, kuota penduduk untuk 1 kursi DPR itu diurutkan dari yang besar ke kecil tampak seperti pada Tabel 3.7, Tabel 3.8, dan Tabel 3.9. 38 Dari ketiga tabel tersebut dapat dilihat, meskipun kuota 1 kursi DPR di Jawa lebih besar daripada Luar Jawa, namun jika masuk ke setiap provinsi, ternyata ada beberapa provinsi di Jawa, seperti Banten, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta, yang kuotanya masih lebih rendah dari beberapa provinsi di Luar Jawa, seperti Sumatera Utara, Kepulauan Riau, dan Riau. Ketiga tabel itu juga menunjukkan bahwa ketimpangan nilai suara tidak hanya terjadi di antara provinsi-provinsi di Jawa, tetapi yang lebih besar justru terjadi di antara provinsi-provinsi Luar Jawa. Itu artinya, pengorbanan penduduk Jawa dalam menurunkan nilai suaranya selama tiga kali pemilu terakhir ini, ternyata tidak dinikmati secara merata oleh penduduk di Luar Jawa. Dengan kata lain, penerapan politik keseimbangan Jawa dan Luar Jawa hanya jadi jargon politik karena kenyataannya yang menikmati hanya provinsi-provinsi tertentu di Luar Jawa.

C. Simulasi: Setara Nasional serta Setara Jawa dan Luar Jawa