5.2.2 Perilaku Seks Bebas
Berdasarkan hasil penelitian di SMA Swasta Darussalam Medan, didapatkan bahwa 24 19,05 responden pernah melakukan perilaku seks bebas
dan 102 80,95 responden tidak melakukan perilaku seks bebas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yullan dan Parmadi
2009 di SMK Negeri 4 Yogyakarta mengenai hubungan tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dengan perilaku seksual beresiko pada remaja
didapatkan hasil yaitu mayoritas responden berperilaku seksual baik sebanyak 164 responden 64. Hal tersebut disebabkan oleh adanya pengetahuan yang baik
khususnya tentang kesehatan reproduksi dan penyebaran rangsangan seksual di daerah penelitian masih tergolong sedang, serta sudah ada kegiatan Kesehatan
Reproduksi Remaja KRR di Wilayah Kelurahan Keparakan sehingga remaja di daerah tersebut rata-rata memiliki perilaku seksual yang baik.
Perilaku seksual pada remaja dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenisnya maupun sesama jenis.
Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari pasangan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama Sarwono,
2012. Dari hasil penelitian ini, mayoritas responden tidak melakukan perilaku seks
bebas karena memang pengetahuan responden tentang IMS sudah baik dan sumber informasi yang didapat juga sudah mudah didapat. Namun, masih terdapat
24 responden melakukan perilaku seks bebas. Berdasarkan beberapa item kuesioner perilaku, mayoritas responden yaitu 21 orang menjawab pernah
Universitas Sumatera Utara
melakukan perilaku seks bebas pada item saling berciuman bibirmulut dan lidah saat berpacaran. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti hasrat ingin
mencoba hal yang baru dan ada yang beranggapan bahwa berciuman saat pacaran merupakan salah satu wujud kasih sayang dan sudah menjadi hal yang wajar bagi
para remaja. Sedangkan responden yang menjawab tidak melakukan mengatakan bahwa berciuman bibirmulut dan lidah dilarang agama, takut dosa, takut
keterusan, bukan hal yang wajar dalam berpacaran, dan takut kebablasan melakukan hubungan seksual.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wedananta dan Putri 2014 di SMA wilayah kerja puskesmas Sukawati I yaitu
dari 136 responden mayoritas berperilaku seksual dalam bentuk ciuman kissing sebanyak 66,9 sedangkan yang melakukan hubungan seks pranikah
berhubungan kelamin terdapat 19,1. Adapun alasan responden melakukan perilaku tersebut adalah karena ingin mencoba hal baru dan karena dipaksa oleh
pacarnya. Responden yang menjawab pernah melakukan perilaku seks bebas pada
item kedua yaitu saling merangsang dari daerah leher kebawah sebanyak 3 orang 2,4. Responden beranggapan hal tersebut menandakan rasa kasih sayang
kepada pacar, ingin mencoba hal yang baru, dan ingin membuat pacaran menjadi lebih seru.
Sedangkan untuk item pernyataan 3 yaitu saling meraba alat kelamin saat pacaran, pernyataan 4 yaitu saling menempelkan alat kelamin saat berpacaran
dengan atau tanpa menggunakan pakaian dan pernyataan 5 yaitu pernah
Universitas Sumatera Utara
melakukan hubungan seksual, tidak ada responden yang menjawab pernah melakukannya. Hal ini dikarenakan responden merasa perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama, takut dosa, tidak wajar dalam
berpacaran, dan merasa hal tersebut hanya bisa dilakukan setelah menjadi suami istri.
Secara garis besar perilaku seksual pada remaja disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : meningkatnya libido seksual, menurunnya usia kematangan
seksual akan diikuti oleh meningkatnya aktifitas seksual pada usia-usia yang dini. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja.
Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. Penyaluran tersebut tidak dapat disalurkan karena
adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama
semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain. Tabu larangan di mana
norma-norma agama yang berlaku, seperti seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Remaja yang tidak dapat menahan diri
memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan
rangsangan melalui media massa yang dengan teknologi yang canggih sebagai contoh VCD, buku stensilan, foto, majalah, internet, dan lain-lain menjadi tidak
terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau yang didengar dari media massa,
Universitas Sumatera Utara
karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap.
Menurut Hurlock 2004, salah satu ciri-ciri masa remaja adalah sebagai masa peralihan. Dalam periode ini sangat dibutuhkan informasi-informasi yang
jelas dan benar kepada remaja karena pada saat inilah remaja mulai untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat
yang paling sesuai dengan dirinya. Apabila remaja mendapatkan pengetahuan yang baik maka akan membentuk perilaku yang positif. Namun, apabila remaja
tidak dibekali dengan pengetahuan yang baik maka akan membentuk perilaku yang buruk, salah satunya adalah perilaku seks bebas yang berdampak sangat
besar dikalangan remaja seperti kehamilan tidak diinginkan, aborsi, kecanduan narkotika, resiko terkena infeksi menular seksual dan menderita HIVAIDS
Sarwono, 2011.
5.2.3 Hubungan Pengetahuan Remaja Mengenai Infeksi Menular Seksual IMS dengan Perilaku Seks Bebas
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan remaja mengenai IMS dengan perilaku seks bebas di SMA Swasta
Darussalam Medan. Hubungan tersebut diinterpretasikan berdasarkan uji korelasi Spearman dengan hasil pValue = 0.000 p 0.05 dan nilai r = -0,541. Nilai r
menunjukkan tingkat hubungan sedang, artinya pengetahuan mengenai infeksi menular seksual bukanlah faktor utama yang mempengaruhi perilaku seks bebas
remaja namun banyak faktor pendukung lainnya. Berpola negatif artinya semakin
Universitas Sumatera Utara
baik pengetahuan remaja mengenai IMS maka perilaku seks bebas akan semakin kecil. Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesa penelitian Ha diterima.
Pernyataan ini sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Hermawan 2014 mengenai hubungan pengetahuan infeksi menular seksual
dengan perilaku seksual remaja pada siswa kelas XI SMA Negeri 5 Surakarta didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan infeksi menular
seksual dengan perilaku seksual remaja dengan nilai pValue 0,000. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya kecenderungan semakin baik
pengetahuan tentang infeksi menular seksual maka semakin baik pula perilaku seksualnya.
Menurut Notoatmodjo 2013, pengetahuan atau kognitif merupakan domain terpenting bagi terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan psikis dalam
menumbuhkan sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan stimulasi terhadap tindakan seseorang, terutama dalam
hal pengetahuan tentang IMS. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriani
2011 tentang hubungan pendidikan seks dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Prayatna 1 Medan yaitu hasil dengan menggunakan uji Chi-square
menunjukkan hubungan tersebut tidak bermakna, dimana nilai p-value 0,340 p ≥
0,05 atau dengan rumus Pearson Chi Square pada nilai α =0,05 dan df = 1 didapat nilai p = 0,340 atau ≥ 0,05, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada
Universitas Sumatera Utara
hubungan antara pendidikan seks dengan perilaku seksual pada remaja di SMK Prayatna-1 Medan Tahun 2011. Menurut asumsi peneliti, tidak adanya hubungan
tersebut karena tidak adanya pendidikan seks yang benar yang akan memberikan pengetahuan dan mendidik remaja agar berperilaku yang baik dalam hal seksual
sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan sehingga remaja dapat menempatkan diri dan mengendalikan diri dari perilaku seksual yang tidak
bertanggung jawab melalui tindakan pencegahan seks bebas. Akan tetapi pendidikan seks tidak selalu membuat remaja dapat bersikap positif atau negatif
terhadap perilaku seksual, hal ini tergantung dari watak atau keyakinan yang dimiliki oleh setiap remaja, hanya saja untuk hal ini peran orang tua, dan sekolah
untuk lebih menanamkan pendidikan seks tersebut untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada setiap remaja dan menanamkan pendidikan akhlak sehingga
dapat membentengi remaja untuk tidak bersikap kearah yang merugikan dirinya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Hasil penilitian terhadap 126 orang responden d SMA Swasta Darussalam Medan didapat pengetahuan remaja mengenai Infeksi Menular Seksual IMS
mayoritas dalam kategori berpengetahuan baik yaitu 98 responden 77,8 dan mayoritas responden tidak melakukan perilaku seks bebas yaitu sebanyak 102
responden 80,9. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pengetahuan remaja mengenai Infeksi Menular Seksual IMS dengan perilaku seks bebas di SMA Swasta Darussalam Medan dengan nilai r = -0,541 pada
tingkat hubungan “sedang” dan dengan signifikansi pValue 0,000. Hal ini berarti semakin baik pengetahuan maka akan semakin sedikit remaja melakukan perilaku
seks bebas. Dengan demikian, perilaku seks bebas dapat diturunkan atau dicegah dengan pemberian pengetahuan yang jelas dan benar kepada remaja khususnya
mengenai infeksi menular seksual.
6.2 Saran
Saran yang dapat diberikan setelah menyelesaikan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Bagi Instansi Pendidikan
Hendaknya pengetahuan seksualitas khususnya mengenai Infeksi Menular Seksual IMS dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dari tingkat SD
sampai ke perguruan tinggi dan materi pengetahuan seksualitasnya
Universitas Sumatera Utara