Aspek Hukum Pidana Pembakaran Lahan Perkebunan

BAB III MODEL PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN PERKEBUNAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN

A. Aspek Hukum Pidana Pembakaran Lahan Perkebunan

Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang rutin terjadi setiap tahunnya, telah membawa kerugian nyata yang tentunya tidak lepas dari berbagai faktor penyebab. Eliezer P. Lorenzo dan Canesio P. Munoz menunjuk bahwa setidaknya terdapat dua hal pokok sebagai penyebab kebakaran lahan: 223 1. Pembakaran yang dilakukan oleh pemilik perkebunan yang luas untuk menghilangkan biomassa 224 yang tidak diinginkan selama persiapan lahan; dan 2. Pembakaran yang dilakukan penduduk miskin dan petani yang memiliki ladang kecil untuk membuka lahan. Sejalan dengan pendapat ini dan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, BNPB telah menjelaskan bahwa motif untuk memperoleh keuntungan ekonomi 223 Eliezer P. Lorenzo dan Canesio P. Munoz, “Pembukaan Lahan tanpa Pembakaran – Sebuah Model Pembukaan Lahan tanpa Bakar dalam Mempersiapkan Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia ”, http:www.cifor.orgpublicationspdf_filesBooksBSuyanto0301I4.pdf, diakses pada tanggal 20 Mei 2016. 224 Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetik, baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain adalah tanaman, pepohonan, rumput, limbah pertanian, limbah hutan, tinja dan kotoran ternak. Selain digunakan untuk tujuan primer serat, bahan pangan, pakan ternak, minyak nabati, bahan bangunan dan sebagainya, biomassa juga digunakan sebagai sumber energi bahan bakar. Yang digunakan adalah bahan bakar biomassa yang nilai ekonomisnya rendah atau merupakan limbah setelah diambil produk primernya Universitas Sumatera Utara merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Hal ini termanifestasikan dalam beberapa cara: 225 1. Membakar merupakan cara yang paling mudah dan murah dalam kegiatan persiapan lahan. 2. Kegiatan pembalakan kayu meningkatkan kerawanan kebakaran di dalam hutan. 3. Api merupakan cara yang paling murah dan efektif yang digunakan dalam konflik sosial; terutama masalah konflik kepemilikan lahan antara berbagai pihak terkait. Tomich et al., menggunakan sebuah hipotesa bahwa kebakaran yang terjadi disebabkan oleh 3 faktor yaitu api yang digunakan sebagai: 226 1. Alat tools, seperti aktivitas penggunaan atau persiapan lahan baik dalam skala kecil maupun besar. 2. Senjata weapon, dalam usaha perolehan atau konflik lahan 3. Kecelakaan accident, tergantung pada karakteristik lahan atau suatu implikasi dari 2 faktor diatas. Secara lebih rinci penyebab kebakaran langsung yang terjadi selama ini di Indonesia menurut BNPB terdiri dari 4 situasi, yaitu: 227 1. Api digunakan dalam pembukaan danatau penyiapan lahan. 225 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Rencana Kontinjensi Nasional... op.cit, diakses pada tanggal 3 Maret 2016, hlm. 5. 226 Yayat Ruchiat, “Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan”, Makalah Lokakarya Perencanaan Proyek Community development through rehabilitation of Imperata grasslands using trees: A model approach growing Vitex Pubescens for charcoal production in Kalimantan Indonesia , Pontianak 23 Februari 2001 227 Badan Nasional Penanggulangan Bencana, op.cit, hlm. 5. Universitas Sumatera Utara Penggunaan api dalam rangka penyiapan lahan sudah dilakukan sejak lama, baik oleh pengusaha perkebunan, pengusaha hutan tanaman industri HTI, petani, dan pembangunan pemukiman transmigrasi. Hal ini dikarenakan penggunaan api merupakan cara yang lebih murah, mudah, dan efektif. Selain itu, degradasi hutan dan lahan mengakibatkan keadaan yang peka terhadap bahaya kebakaran seperti padang alang-alang. 2. Api menyebar secara tidak sengaja. Kebakaran timbul dari api yang tidak terkendali dari kegiatan penyiapan lahan yang menyebar ke area hutan atau HTI. 3. Api yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam. Walaupun bukan merupakan faktor utama, namun kebakaran juga disebabkan penggunaan api guna mempermudah akses dalam mengekstraksi sumberdaya alam, seperti pengambilan ikan, berburu, dan mengumpulkan madu. 4. Api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah. Pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit rentan terhadap konflik, terutama konflik kepemilikan lahan. Kebijakan alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat, tidak adil, dan tidak terkoordinasi menyebabkan masalah di mana api digunakan untuk mengusir masyarakat yang sudah terlebih dahulu mengolah lahan tersebut; atau digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh kembali lahan- lahan mereka. Beberapa temuan ini pada dasarnya bermuara pada suatu kesimpulan bahwa kebakaran lahan yang terjadi sesungguhnya merupakan akibat dari aktivitas pembukaan maupun persiapan lahan dengan cara membakar. Pengertian Universitas Sumatera Utara “pembukaan lahan” itu sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 7 PermenLH No. 10 Tahun 2010, adalah upaya yang dilakukan dalam rangka penyiapan dan pembersihan lahan untuk kegiatan budidaya maupun non budidaya. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa upaya pembukaan lahan dengan cara membakar slash and burn, telah menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik nasional maupun lintas batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Kerugian akibat pembakaran lahan tersebut, antara lain: 1. Emisi gas karbon ke atmosfer sehingga meningkatkan pemanasan global Jika berkaca pada kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015, peristiwa tersebut sesungguhnya didominasi oleh kebakaran lahan gambut. Lahan gambut memiliki nilai non ekstraktif sebagai habitat pendukung keanekaragaman hayati, yaitu lahan kehutanan, perkebunan, dan pertanian. 228 Saat ini luas lahan gambut di Asia Tenggara adalah sekitar 27 juta hektare atau sekitar 12 dari luas keseluruhan kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki sekitar 20,6 juta hektare lahan gambut. 229 Gambut terbentuk dari material organik seperti dedaunan, cabang, batang, dan akar tumbuh-tumbuhan yang terakumulasi dalam kondisi lingkungan yang tergenang air, keasaman tinggi, dan sedikit oksigen di suatu areal dalam jangka waktu yang lama, ratusan sampai ribuan tahun. Lahan gambut secara global menyimpan setidaknya 550 gigaton karbon, setara dengan seluruh biomas terestrial lainnya hutan, rerumputan, perdu, dan lainnya dan dua kali lipat dari seluruh karbon yang tersimpan di hutan secara 228 Maya Rahmayanti, Kontribusi pembakaran Lahan Gambut Terhadap Pemanasan Global , Jurnal Kaunia Vol. III No. 2, Oktober 2007, hlm. 102. 229 Ibid. Universitas Sumatera Utara global. Dengan demikian, peran gambut terkait isu pemanasan global adalah sangat penting, karena kerusakan lahan gambut menyebabkan fungsinya sebagai penyimpan karbon menjadi terganggu. Itulah sebabnya, sejumlah pakar lingkungan menganggap lahan gambut sebagai ”pendingin netto ” iklim bumi. Masalahnya, lahan gambut sangat tidak stabil. Jika terganggu karena land clearing, drainase, dibakar, dll, lahan gambut fungsinya berubah total. Dari semula sebagai penyerap karbon carbon sink, berubah menjadi pelepas karbon carbon emitter. Ketika berfungsi sebagai pelepas karbon, lahan gambut menjadi kontributor besar dalam kenaikan suhu bumi global warming. 230 2. Polusi asap sehingga mengganggu aktivitas masyarakat dan menimbulkan berbagai penyakit pernafasan Asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan kayu, gambut, dan bahan organik lain mengandung campuran gas, partikel, dan bahan kimia akibat pembakaran yang tidak sempurna. Komposisi asap kebakaran hutan dan lahan terdiri dari gas seperti karbon monoksida, karbon dioksida, nitrogen oksida, ozon, sulfur dioksida, dan lain sebagainya. Dalam jangka cepat akut, asap kebakaran hutan dan lahan akan menyebabkan iritasi selaput lendir mata, hidung, tenggorokan, sehingga menimbulkan gejala berupa mata perih dan berair, hidung berair dan rasa tidak nyaman di tenggorokan, mual, sakit kepala, dan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernapasan akut ISPA. 231 Selama 230 Sindonews, Kebakaran Hutan Gambut dan Global Warming, http:nasional.sindonews.comread105867618kebakaran-hutan-gambut-global-warming- 1446577496, diakses pada tanggal 18 Mei 2016. 231 Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Masalah Kesehatan Akibat Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia 2015, Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015, hlm. 3. Universitas Sumatera Utara periode Juli-Oktober 2015 di daerah dengan tingkat kebakaran hutan dan lahan tertinggi di wilayah Indonesia Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan telah terdapat 582.127 kasus ISPA 232 , dengan lebih dari 43 juta jiwa 233 yang terpapar asap di seluruh wilayah Indonesia. Gejala ini dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan, khususnya bagi kelompok rentan seperti bayi, balita, ibu hamil, lanjut usia, dan orang dengan masalah kesehatan pada paru-paru danatau jantung. Selain itu, asap yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan juga turut mengganggu aktivitas masyarakat seperti kegiatan belajar-mengajar dan instansi yang terpaksa diliburkan, juga menyebabkan banyaknya penerbangan domestik maupun internasional yang dibatalkan lumpuh. 234 3. Hilangnya habitat bagi satwa liar sehingga terjadi ketidakseimbangan ekosistem; Selain merugikan manusia, kebakaran hutan dan lahan juga pada dasarnya mengganggu habitat asli satwa liar. Ani Mardiastuti menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan dapat menyebabkan: 235 1 satwa liar kekurangan oksigen akibat menghirup asap pembakaran; 2 hilangnya habitat tempat tinggal 232 Ibid., hlm. 4. Data dikutip berdasarkan penelitian Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 233 Pernyataan Resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Pusat sebagaimana dikutip dari BBC Indonesia, Asap Kebakaran Hutan Sampai Jakarta , http:www.bbc.comindonesiaberita_indonesia201510151024_indonesia_jakarta_kabutasap, diakses pada tanggal 18 Mei 2016. 234 Kompas, Kabut Asap Telah Membahayakan Penerbangan, Puluhan Penerbangan Lumpuh, http:print.kompas.combaca20150903Kabut-Asap-Telah-Membahayakan- Kesehatan2c-Puluhan-P, diakses pada tanggal 18 Mei 2016. 235 Prof. Ani Mardiastuti: Dampak Kebakaran Hutan, Satwa Liar Bisa Punah, http:ipbmag.ipb.ac.iduploadsdocumentPDFProf-Ani-Mardiastuti-Dampak-Kebakaran-Hutan- Satwa-Liar-Bisa-Punah_bcfb07b4384b41256fc3cc876b7d0693.pdf, diakses pada tanggal 18 Mei 2016. Universitas Sumatera Utara satwa liar; 3 hewan menderita kelaparan dan kehausan akibat rusaknya ekosistem; 4 kepunahan akibat satwa liar tidak dapat meneruskan keturunannya. Dampak tersebut tidak dapat diabaikan, karena terganggunya habitat bagi satwa liar juga mempengaruhi rantai makanan dan sekaligus berpengaruh pada keseimbangan ekosistem. 4. Terjadinya degradasi lahan; Kebakaran hutan dan lahan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dapat mengakibatkan degradasi lahan. Degradasi lahan adalah proses di mana kondisi lingkungan biofisik berubah akibat aktivitas manusia terhadap suatu lahan. Perubahan kondisi lingkungan tersebut cenderung merusak dan tidak diinginkan. Walaupun bencana alam tidak termasuk faktor yang mempengaruhi degradasi lahan, namun beberapa bencana alam seperti banjir, longsor, dan kebakaran hutan merupakan hasil secara tidak langsung dari aktivitas manusia sehingga dampaknya bisa disebut sebagai degradasi lahan. Degradasi lahan memiliki dampak terhadap produktivitas pertanian, kualitas lingkungan, dan memiliki efek terhadap ketahanan pangan. Diperkirakan hingga 40 lahan pertanian yang ada di dunia saat ini telah terdegradasi. 236 5. Kerugian ekonomis yang diderita negara baik dalam hal penanggulangan maupun akibat kebakaran hutan dan lahan Kebakaran hutan dan lahan yang rutin terjadi di Indonesia mencapai puncaknya pada periode Juni-Oktober 2015 yang lalu. Biaya ekonomi yang harus ditanggung Indonesia diperkirakan mencapai Rp. 221 triliun, atau sekitar US 236 Ai Dariah, Achmad Rachman, dan Undang Kurnia, Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia ,http:balittanah.litbang.pertanian.go.idinddokumentasibukubuku20lahan20ker ing01erosi_dan_degradasi.pdf diakses pada tanggal 18 Mei 2016. Universitas Sumatera Utara 16,1 miliar, setara dengan 1,9 persen dari prediksi Produk Domestik Brutto PDB tahun 2015. 237 Dalam laporan kuartalan tentang perekonomian Indonesia, Bank Dunia juga menyebutkan kebakaran hutan dari bulan Juni sampai Oktober telah memusnahkan 2,6 juta hektar hutan dan lahan pertanian di seluruh Indonesia. Ini juga berdampak pada hilangnya Sumber Daya Alam potensial yang biasa dimanfaatkan untuk kebutuhan industri seperti kayu, kertas, pakan hewan ternak, dan lain sebagainya. Kunjungan wisatawan mancanegara juga menurun akibat bencana kabut asap kebakaran hutan dan lahan, di mana berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik terjadi penurunan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi yang pada Oktober 2015 mencapai 825,8 ribu, atau menurun sekitar 4,99 dibandingkan periode September yang mencapai 869,2 ribu kunjungan. 238 Atas pertimbangan kerugian tersebut, serta mempertimbangkan fakta bahwa kebakaran hutan dan lahan yang diakibatkan oleh upaya pembukaan lahan telah bertahun-tahun terjadi dan tidak kunjung dapat ditanggulangi, maka diaturlah ketentuan dalam hukum positif Indonesia 239 mengenai larangan 237 DW, Kebakaran Hutan dan Lahan Menyebabkan Kerugian Dua Kali Lipat Dibanding Tsunami 2004 , http:www.dw.comidkebakaran-hutan-menyebabkan-kerugian-dua-kali-lipat- dibanding-tsunami-2004a-18918701, diakses pada tanggal 18 Mei 2016. 238 Berita Satu, BPS: Kunjungan Wisman Menurun Akibat Kabut Asap, http:www.beritasatu.comekonomi326483-bps-kunjungan-wisman-menurun-akibat-asap.html, diakses pada tanggal 18 Mei 2016. 239 Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 5. Hukum pada dasarnya ditujukan untuk mencapai keamanan, perdamaian, kesejahteraan, keselamatan alam, dan keberlanjutan manusia. Untuk itu keseluruhan peraturan perundang-undangan itu sesungguhnya merupakan satu kesatuan tanpa pertentangan, dikarenakan sifat hukum yang pada hakikatnya adalah mengatur dan menata. Universitas Sumatera Utara pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar. 240 Aturan tersebut dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan; 5. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan danatau Lahan; 6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran danatau Kerusakan Lingkungan Hidup 240 Namun, pembakaran lahan tetaplah diperbolehkan dengan memperhatikan ketentuan pasal 69 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2009 , yang menyebutkan bahwa “ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf h mengenai larangan pembukaan lahan dengan cara pembakaran lahan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing- masing.” Selanjutnya dijelaskan bahwa kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.. Aturan ini kembali diuraikan dalam ketentuan Pasal 4 PermenLH No. 10 Tahun 2010, yang menegaskan bahwa masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 dua hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupatenkota. Hal ini dapat dilakukan dengan catatan sesuai ketentuan Pasal 4 ayat 3 PermenLH No. 10 Tahun 2010 : “pembakaran lahan dengan luas maksimum 2 hektar per keluarga, tidak dapat dilakukan pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang danatau iklim kering. Kondisi tersebut sesuai dengan publikasi dari lembaga non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang meteorologi klimatologi dan geofisika.” Universitas Sumatera Utara Secara teoritis jika ditinjau dari sudut pandang keilmuan Hukum Pidana, tindakan pembakaran lahan perkebunan oleh manusia maupun korporasi telah memenuhi unsur untuk ditetapkan sebagai tindak pidana. Unsur-unsur tersebut dapat ditemukan dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pembakaran lahan, dan setidak-tidaknya meliputi tiga hal: 241 1. Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: tindak pidana aktifpositif yang dapat juga disebut tindak pidana komisi delicta commissionis dan tindak pidana pasifnegative yang disebut juga sebagai tindak pidana omisi delicta omissionis. 242 Tindak pidana komisi adalah perbuatan berupa pelanggaran terhadap larangan atau berbuat sesuatu yang dilarang. 243 Dalam hal ini, pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar pada dasarnya telah bertentangan dengan ketentuan KUHP, antara lain: Pasal 187 Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam: 1. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang; 2. dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain; 3. dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati. 241 Mahrus Ali, Op.cit hlm. 55. Mahrus Ali menyebutkan ketiga unsur tindak pidana ini adalah manakala tindak pidana dikonsepkan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melakukannya. 242 Adami Chazawi, op.cit, hlm. 118. 243 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 56. Universitas Sumatera Utara Pasal 189 Barang siapa pada waktu ada atau akan ada kebakaran, dengan sengaja dan melawan hukum menyembunyikan atau membikin tak dapat dipakai perkakas- perkakas atau alat- alat pemadam api atau dengan cara apa pun merintangi atau menghalang-halangi pekerjaan memadamkan api, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Terlihat dalam ketentuan KUHP tersebut, pembakaran lahan dapat dipidana, namun dikategorikan sebagai delik materil, bahwa pembakaran lahan perkebunan dapat dipidana jika mengakibatkan kebakaran, meskipun tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan kebakaran tersebut. Selanjutnya, dalam perundang-undangan khusus mengenai pembakaran lahan perkebunan diatur dalam ketentuan Pasal 56 ayat 1 UU No. 39 Tahun 2014 yang dengan tegas menyebutkan bahwa: “Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka danatau mengolah lahan dengan cara membakar.” Pelanggaran atas larangan ini diancam dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 108 dan Pasal 113 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 2014. Larangan ini juga didasarkan atas norma hukum yang menjadi payung aturan hukum perkebunan, yakni Pasal 69 ayat 1 huruf h UU No. 32 Tahun 2009 yang secara eksplisit menyebutkan, “setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”, pelanggaran atas larangan ini diancam sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 108, Pasal 116, dan Pasal 118 sehingga bagi para pelanggar larangan tersebut, dapat diberlakukan ketentuan hukum pidana dengan dasar argumentasi hukum telah melakukan tindak pidana komisi. Selain itu, pelarangan juga muncul dalam PP No. 4 Tahun 2001, p ada Pasal 11 menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan”, Universitas Sumatera Utara pelanggaran atas larangan ini diatur dalam ketentuan berupa ganti kerugian atau melakukan tindakan tertentu pada Pasal 49. Mengenai besaran ganti rugi, dapat mengacu pada ketentuan PermenLH No. 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran danatau Kerusakan Lingkungan Hidup, yang penghitungannya didasarkan pada 5 komponen, yaitu: 244 penghitungan gas rumah kaca hasil kebakaran lahan, kerugian lingkungan hidup, kerugian ekonomi, kerusakan tidak ternilai immateriel, biaya pemulihan lingkungan lahan bekas terbakar. Sedangkan tindak pidana omisi adalah berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintahkan. 245 Timbulnya tindak pidana omisi dapat terjadi dalam berbagai situasi. 246 Pembakaran lahan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana omisi, karena timbulnya situasi kewajiban yang didasarkan atas undang-undang. Mengenai kewajiban yang didasarkan atas undang-undang, Lamintang menyatakan bahwa: 247 “Apabila suatu kewajiban untuk melakukan sesuatu timbul dari undang- undang, maka tidak melakukan apa yang diwajibkan oleh undang-undang itu dengan sendirinya merupakan suatu tindakan yang bersifat wederrechtelijk. Apabila tidak melakukan apa yang diwajibkan oleh undang-undang, maka adanya suatu hubungan sebab-akibat yang adaequaat atau yang memadai akan membuat si pelaku dapat dianggap di mana telah menimbulkan akibat tertentu, sebagian 244 Perhatikan Lampiran Kedua PermenLH No. 7 Tahun 2014 Tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran danatau Kerusakan Lingkungan Hidup. 245 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 57. 246 Wayne dan Austin dalam Mahrus Ali, Ibid, hlm. 59. Menyebutkan bahwa terdapat tujuh situasi yang menimbulkan terjadinya delik omisi, yaitu: 1. Kewajiban yang didasarkan atas hubungan kepercayaan; 2. Kewajiban yang didasarkan atas undang-undang; 3. Kewajiban yang didasarkan atas kontrak; 4. Kewajiban yang didasarkan atas asumsi sukarela menjaga; 5. Kewajiban karena menciptakan bahaya; 6. Kewajiban karena mengawasi tindakan orang lain; 7. Kewajiban pemilik tanah. 247 P.A.F. Lamintang, op.cit, hlm. 382. Universitas Sumatera Utara orang kemudian tinggal mempermasalahkan apakah tindakan dari pelaku tersebut adalah sesuai dengan tindakan seperti yang dimaksudkan dalam sesuatu rumusan delik tertentu atau tidak.” Dalam rangka menindaklanjuti larangan yang telah diuraikan sebelumnya, pemerintah Indonesia telah menyusun sebuah mekanisme pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup dengan sebuah metode Pembukaan Lahan Tanpa Bakar, yang diatur dalam PermenLH No. 10 Tahun 2010. Pasal 1 angka 8 PermenLH No. 10 Tahun 2010 menjelaskan bahwa Pembukaan Lahan Tanpa Bakar selanjutnya disebut PLTB adalah suatu cara pembukaan lahan pertanian tanpa melakukan pembakaran. Di mana PLTB dilaksanakan dengan cara: a manual; b mekanik; danatau c kimiawi, serta sesuai dengan pedoman danatau petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh instansi teknis terkait. Kelebihan sistem PLTB ini menurut Majid sebagaimana dikutip dalam Onrizal, antara lain: 248 melindungi humus dan mulsa yang telah terbentuk selama bertahun-tahun, mempertahankan kelembaban tanah, meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga akan meningkatkan kesuburan tanah, mempertahankan kelestarian lingkungan terutama tidak menyebabkan polusi udara, menjaga pH tanah, mengurangi biaya perawatan setelah penanaman, karena tanggul telah dicabut seluruhnya, memungkinkan mekanisasi untuk seluruh kegiatan pembukaan lahan, kecuali pada kondisi tertentu. Dengan mempertimbangkan kelebihan tersebut, maka Pasal 3 PermenLH No. 10 Tahun 2010, menegaskan bahwa: “Penanggung jawab usaha danatau kegiatan yang memanfaatkan hutan danatau lahan wajib melakukan PLTB ”. Diaturnya ketentuan mengenai PLTB dalam hal ini 248 Onrizal, Pembukaan Lahan Dengan dan Tanpa Bakar, http:library.usu.ac.iddownloadfphutan-onrizal8.pdf, diakses pada tanggal 18 Mei 2016. Universitas Sumatera Utara merupakan konsekuensi dari hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat 249 , guna mencegah dan menanggulangi pencemaran danatau kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pembukaan lahan dengan metode bakar slash and burn . Artinya, pembukaan lahan dengan cara membakar secara implisit ditegaskan kembali pelarangannya melalui aturan ini, oleh karena pembukaan lahan dengan metode bakar dapat mencemari dan merusak fungsi lingkungan hidup maka metode yang dipakai seharusnya adalah PLTB. Kemudian apabila dicermati lebih dalam, PP No. 4 Tahun 2001 menjabarkan mengenai perbuatan pencegahan dalam Pasal 12 dan Pasal 13. Pasal 12 mempertegas kewajiban bagi setiap orang untuk mencegah terjadinya kerusakan danatau pencemaran lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan, sedangkan Pasal 13 menekankan kewajiban mencegah tersebut terhadap setiap penanggung jawab usaha 250 yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan. 251 249 Alvi Syahrin, op.cit, hlm. 7. Guna mencegah dan menanggulangi pencemaran danatau kerusakan lingkungan maka setiap orang diwajibkan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup. Adanya kewajiban tersebut berarti bahwa lingkungan hidup dengan segala sumberdayanya merupakan kekayaan yang dapat digunakan setiap orang, dan karena itu harus dijaga untuk kepentingan masyarakat dan generasi yang akan datang. 250 Lihat Penjelasan Pasal 13 PP No. 4 Tahun 2001. Yang dimaksud dengan penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan,antara lain usaha di bidang kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. 251 Penanggung jawab usaha yang dimaksud ini wajib menyediakan sarana dan prasarana pencegahan terjadinya pencegahan kebakaran hutan danatau lahan, yang berdasarkan Pasal 14 ayat 2 meliputi: a sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan danatau lahan; b alat pencegahan kebakaran hutan danatau lahan; c prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan danatau lahan; d perangkat organisasi yang bertanggung jawab dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan; e pelatihan penanggulangan kebakaran hutan danatau lahan secara berkala. Perhatikan pula, Pasal 56 UU No. 39 Tahun 2014, yang memberikan kewajiban penyediaan sarana dan prasarana ini kepada setiap pelaku usaha perkebunan. Universitas Sumatera Utara Ketentuan dalam kedua pasal ini mempunyai arti bahwa setiap orang mempunyai kewajiban untuk mencegah kebakaran hutan danatau lahan. Penanggung jawab usaha tersebut juga diwajibkan untuk melakukan pelaporan mengenai usahanya secara berkala kepada pihak terkait. 252 Setelah pencegahan, selanjutnya diatur mengenai penanggulangan kebakaran lahan dalam Pasal 17 PP No. 4 Tahun 2001, yang mewajibkan setiap orang menanggulangi kebakaran hutan danatau lahan di lokasi kegiatannya, dan Pasal 18 ayat 1 PP No. 4 Tahun 2001 yang juga turut menegaskan bahwa penanggungjawab usaha bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan danatau lahan di lokasi usahanya. Selanjutnya, Pasal 20 dan Pasal 21 PP No. 4 Tahun 2001 menegaskan bahwa setiap orang yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan danatau lahan wajib melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup di lokasi lahannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan Pasal 17, 18, 20, dan 21 ini menjelaskan lahirnya kewajiban melakukan pertanggungjawaban yang dengan sendirinya timbul apabila terjadi kebakaran hutan danatau lahan di lokasi usahanya. Kebijakan penanggulangan ini juga terkait dengan situasi kewajiban yang timbul karena menciptakan bahaya 253 , yang dapat menyebabkan seseorang maupun penanggungjawab usaha melakukan 252 Jika merujuk ketentuan Pasal 15 PP No. 4 Tahun 2001, setiap penanggungjawab usaha danatau lahan wajib melaporkan kegiatan yang terkait dengan pencegahan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan kepada bupatiwalikota dengan tembusan kepada gubernur dan Menteri paling sedikit 1 satu kali dalam 6 enam bulan. Laporan tersebut kemudian akan digunakan oleh Menteri, gubernur, dan bupatiwalikota sebagai bahan: a pemantauan; dan b penyusunan kebijakan pencegahan pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan danatau lahan. 253 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 59. Kewajiban karena menciptakan bahaya dijelaskan Wayne dan Austin dengan menganalogikan seseorang yang berada dalam posisi bahaya, apakah secara sengaja atau lalai, atau tanpa adanya kesalahan sama sekali: Bukankah orang tersebut memiliki kewajiban untuk menyelamatkan orang lain dari bahaya tersebut? Universitas Sumatera Utara pertanggungjawaban atas bahaya yang ditimbulkan atas kebakaran hutan danatau lahan di lokasi usahanya, baik perbuatan itu terjadi karena sengaja, maupun akibat kelalaian. Pengabaian atas kewajiban-kewajiban yang diuraikan terakhir, dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana omisi, karena kewajiban tersebut merupakan tuntutan untuk melakukan sesuatu. 254 Maka berdasarkan uraian terkait dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pelarangan pembukaan lahan perkebunan dengan metode bakar slash and burn, maka perbuatan pembukaan lahan perkebunan dengan cara membakar sesungguhnya telah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai suatu tindak pidana baik tindak pidana komisi maupun tindak pidana omisi, yang dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran lahan dengan segala kerugian yang ditimbulkannya sehingga terjadi kerusakan danatau pencemaran lingkungan hidup. 2. Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya yang formil maupun materil. Salah satu unsur esensial dalam suatu tindak pidana adalah adanya sifat melawan hukum. Menurut Andi Zainal Abidin, alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana ketika melakukan perbuatan yang tidak mempunyai sifat melawan hukum wederrechtelijkheid. 255 Sejalan dengan pendapat tersebut, 254 Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 78. Menurut Jan Remmelink, tidak dipenuhinya tuntutan untuk melakukan sesuatu itu akan memunculkan delik omisi omissiedelict yang terfokus pada sikap tidak melakukan atau melalaikan suatu kewajiban atau perintah gebod hukum. 255 Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 47. Universitas Sumatera Utara Roeslan Saleh juga menyatakan bahwa memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak ada artinya. 256 Oleh karena itulah dikenal penggolongan sifat melawan hukum, yang secara umum dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu: Sifat melawan hukum umum 257 , sifat melawan hukum khusus 258 , sifat melawan hukum formil 259 , dan sifat melawan hukum materil. 260 Membahas aspek hukum pidana dari pembakaran lahan perkebunan tentunya harus pula membahas sifat melawan hukum dari tindak pidana pembakaran lahan perkebunan tersebut melalui konsep sifat melawan hukum formil maupun materil. Dalam konsep sifat melawan hukum formil, tindak pidana pembakaran lahan perkebunan telah terpenuhi apabila setiap unsur dalam ketentuan “setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka danatau mengolah lahan dengan cara membakar” sebagaimana diatur Pasal 56 UU No. 39 Tahun 2014 telah 256 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Tindak Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1987, hlm. 47. 257 P.A.F. Lamintang, op.cit, hlm 194. Sifat ini diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana, yaitu suatu rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Sifat melawan hukum umum merupakan sifat melawan hukum sebagai syarat tidak tertulis tidak disebutkan dari dalam suatu rumusan delik. Untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, dengan sendirinya berlaku syarat bahwa perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yang dalam hal ini berarti: bertentangan dengan hukum, tidak adil. 258 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Edisi Kedua Medan: USU press, 2013, hal. 132. Sifat melawan hukum khusus biasanya kata “melawan hukum”nya dicantumkan dalam rumusan delik. Artinya merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidanya suatu perbuatan, yang oleh jaksa penuntut umum harus dibuktikan . 259 Moeljatno, op.cit, hlm. 130. Sifat melawan hukum formil mengandung arti semua bagian unsur-unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini, melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Sifat ini besumber dari asas legalitas. 260 Ibid. Sifat melawan hukum materil ini berpendapat belum tentu kalu semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Hukum bukanlah undang- undang saja. Selain undang-undang hukum tertulis ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Universitas Sumatera Utara terpenuhi. Unsur “setiap Pelaku Usaha Perkebunan” 261 sebagai pelaku sebagai unsur subjektif dari suatu tindak pidana yang mensyaratkan adanya pelaku. Tidak ada dijelaskan apakah perbu atan tersebut adalah harus “dengan sengaja” maupun karena “kelalaian”. Namun merujuk pada unsur objektif atau perbuatan berupa “membuka danatau mengolah lahan dengan cara membakar”. Pengertian membuka, mengolah, dan membakar, sesungguhnya mengandung maksud perbuatan yang dilakukan sengaja. Dalam rumusan Pasal 56 juga terdapat unsur melawan hukum wederrechtelijkheid dalam kata “dilarang”, untuk menunjukkan sifat melawan hukum dari tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 56 tersebut, yakni apabila melakukan t indakan yang “dilarang” tersebut maka telah terjadi perbuatan “melawan hukum”, sehingga terpenuhilah unsur “sifat melawan hukum” secara formil. Sedangkan sifat melawan hukum materil, yang terbagi dalam dua pandangan, yakni: Pertama, sifat melawan hukum materil dilihat dari sudut perbuatannya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. 262 Kedua, sifat melawan hukum materil dilihat dari sudut sumber hukumnya. Sifat kedua ini mengandung makna bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial 261 Lihat Pasal 1 angka 8 UU No. 39 Tahun 2014. Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun danatau perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha Perkebunan. 262 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2014, hal.198. Universitas Sumatera Utara dalam masyarakat. 263 Selanjutnya, sifat melawan hukum materil ini dibagi lagi kedalam 2 fungsi, yaitu: a. Sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif Sifat ini diartikan bahwa meskipun dalam perbuatan memenuhi semua unsur delik, jika menurut pandangan yang hidup dalam masyarakat perbuatan itu bukan merupakan perbuatan yang tercela berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, maka perbuatan itu tidak dijatuhi pidana. 264 Fungsi ini merupakan alasan pembenar dan telah dianut dalam praktek pengadilan. Hakikat dari perbuatan pidana adalah perbuatan yang anti sosial, sehingga jika terdapat keragu-raguan dalam pengertian di satu sisi telah memenuhi unsur delik, namun di sisi lain tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka terdakwa harus di bebaskan. 265 b. Sifat melawan hukum dalam fungsinya yang positif Sifat ini mengandung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam rumusan delik atau undang-undang, namun jika perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. 266 Sifat ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas dan prinsip fundamental dalam hukum pembuktian pidana yang berbunyi: “actori incumbit onus probandi, actore 263 Ibid. 264 Mohammad Ekaputra, op.cit, hal.133 265 Eddy O.S. Hiariej,op.cit, hal. 203 266 Mohammad Ekaputra, op.cit, hal. 134. Universitas Sumatera Utara non probante, reus absolvitur ” artinya siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan, jika tidak dapat dibuktikan, terdakwa harus dibebaskan. 267 Dalam konsep sifat melawan hukum materil, ditekankan mengenai pentingnya untuk tidak hanya mengandalkan pandangan positivistik terhadap suatu perbuatan, bahwa perbuatan tidak boleh hanya dilihat dari hukum tertulis namun juga harus dilihat hukum tidak tertulis. 268 Hal ini berlaku pula apabila membahas mengenai pembakaran lahan perkebunan, yang termasuk dalam hukum lingkungan kepidanaan. Rumusan Pasal 56 UU No. 39 Tahun 2014, serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang mengatur mengenai pembakaran lahan sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan yang diciptakan pembentuk undang-undang demi kepentingan umum. Ini sekaligus memberikan peluang bagi penegak hukum untuk senantiasa menerapkan hukum yang progresif dalam menyikapi persoalan pembakaran lahan dengan senantiasa menggali norma-norma dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Hal ini menurut Alvi Syahrin, adalah konsekuensi yang ditemukan pada penerapan hukum pidana dalam setiap masyarakat yang cukup berkembang. 269 3. Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. 267 Eddy O.S. Hiariej,op.cit hlm. 203. 268 Lihat Mahrus Ali, op.cit, hlm. 61.Pendapat ini juga turut dikemukakan oleh Vos dan Enschede, yang menyatakan perbuatan yang bersifat melawan hukum juga harus memperhatikan norma dalam masyarakat. 269 Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 51. Dalam masyarakat yang cukup berkembang, hukum pidana memenuhi dua fungsi, yatu penegakan norma-norma etis dan juga penegakan norma-norma pengatur lainnya yang nonetis yang diperlukan demi pengaturan ketertiban kehidupan sosial. Universitas Sumatera Utara Unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda- beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang- undang. Mahrus Ali, mengklasifikasikan unsur ini menjadi empat jenis: 270 berkaitan dengan diri pelaku tindak pidana, tempat terjadinya tindak pidana, keadaan tertentu sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan. Keempat jenis tersebut dalam kaitannya dengan tindak pidana pembakaran lahan perkebunan dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, berkaitan dengan diri pelaku tindak pidana. Hal ini berkaitan dengan rumusan tindak pidana yang secara khusus diperuntukkan bagi subjek delik tertentu. 271 UU No. 39 Tahun 2014 dalam hal ini telah membedakan ketentuan pidana yang berlaku secara khusus apabila pembakaran lahan perkebunan dilakukan oleh perseorangan dan apabila pembakaran lahan perkebunan dilakukan oleh korporasi. 272 Apabila pembakaran lahan perkebunan dilakukan oleh perseorangan, ketentuan pidana yang dikenakan adalah Pasal 108 273 , sedangkan khusus terhadap korporasi itu sendiri dikenakan Pasal 113 ayat 1. 274 270 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 55. 271 Ibid. Mahrus Ali mencontohkan hal ini dengan menunjuk pada eksistensi Pasal 418, 419, dan Pasal 420 KUHP, yang secara khusus diperuntukkan untuk subjek delik tertentu, yakni pejabat. 272 Perhatikan Pasal 103 dan Pasal 108 UU No. 39 Tahun 2014. 273 Bunyi Pasal 108: “Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka danatau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah. ” 274 Bunyi Pasal 113: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 13 sepertiga dari pidana denda dari masing-masing tersebut. ” Universitas Sumatera Utara Kedua, tempat terjadinya tindak pidana. Poin kedua menjelaskan bahwa perbuatan yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana adalah hanya apabila dilakukan pada suatu tempat tertentu. 275 UU No. 39 Tahun 2014 tidak membedakan ketentuan hukum pidana yang dikenakan terhadap pelaku usaha perkebunan yang melakukan pembakaran lahan perkebunan berdasarkan tempat. Namun yang dimaksud pembakar lahan perkebunan yang masuk dalam cakupan UU No. 39 Tahun 2014 adalah pembakaran lahan perkebunan yang masuk dalam lingkup wilayah usaha perkebunan yang pada korporasi pengelolaannnya didasarkan pada Hak Guna Usaha yang dimiliki korporasi yang bersangkutan. Ketiga, keadaan tertentu sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan. Berkaitan dengan syarat tambahan bahwa untuk dapat disebut telah terjadi tindak pidana yang pelakunya dapat dikenai sanksi pidana, pelaku tersebut harus berbuat secara sengaja. 276 UU No. 39 Tahun 2014 tidak mengatur mengenai syarat tambahan tersebut, meskipun telah diuraikan sebelumnya, bahwa pada dasarnya tindakan membuka, mengolah, ataupun membakar lahan pada dasarnya telah mengandung unsur kesengajaan dalam diri pelaku perbuatan tersebut. Namun, untuk dapat dikenakan sanksi pidana akibat melakukan pembukaanpengolahan lahan dengan cara membakar berdasarkan rumusan UU No. 39 Tahun 2014 pelaku tidak selalu harus melakukan tindak pidana komisi, melainkan juga dapat 275 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 55. Contohnya tindak pidana yang diatur dalam pasal 160 KUHP, yang mensyaratkan tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum. 276 Ibid., hlm 56. Mahrus Ali mencontohkan dengan Pasal 304 yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.” Di mana menurut delik ini, harus terdapat unsur dengan sengaja dalam ketentuan tersebut untuk dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana penelantaran. Universitas Sumatera Utara dikenakan apabila pelaku melakukan tindak pidana omisi dengan memperhatikan variabel-variabel yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang turut menjadi acuan dalam larangan pembakaran lahan tersebut. Keempat, keadaan yang memberatkan pemidanaan. Terkait dengan jenis keadaan yang memberatkan pemidanaan, sesungguhnya dalam ketentuan tentang tindak pidana pembakaran lahan dalam UU No. 39 Tahun 2014 hal tersebut secara implisit diatur dalam ketentuan Pasal 113 Ayat 1. Karena, jika merujuk pada sifat pemberatan pemidanaan, hal ini bisa terjadi apabila tindak pidana pembakaran lahan dilakukan korporasi bersama-sama dengan pengurus, di mana tidak hanya pengurus yang dimintai pertanggungjawaban, namun dimungkinkan jika terbukti korporasi juga dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.

B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Pembakaran Lahan Perkebunan