B.  Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
1.  Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Asal  mula  korporasi  sampai  sekarang  masih  menjadi  persoalan.  Pada
masyarakat  yang  primitif  dengan  karakteristik  hidup  dalam  suatu  kelompok group,  sebenarnya  sudah  dikenal  perbedaan  individu  yang  terlepas  dari  suatu
kelompok  masyarakat.  Pada  zaman  dahulu  perkembangan  korporasi  berupa pembentukan  kelompok  yang  terjadi  seperti  dalam  masyarakat  Asia  Kecil,
Yunani, dan masyarakat Romawi. Perkembangan kelompok-kelompok tersebut di Romawi  terlihat  dengan  dibentuknya  suatu  organisasi  yang  dalam  banyak  hal
memiliki  fungsi  yang  mirip  seperti  korporasi  yang  sudah  kita  kenal  sekarang. Kelompok  tersebut  bergerak  di  bidang  penyelenggaraan  kepentingan  umum,
keagamaan,  militer,  dan  perdagangan.  Organisasi  ini  memiliki  kekayaan  yang terpisah  dari  anggotanya.  Pada  masa  ancient  time  ini  mulai  dikenal  perbedaan
kedudukan individu dalam organisasi dan kedudukan individu  yang terlepas dari organisasi.
Pada  Abad  Pertengahan  dengan  ditandai  mulai  menurunnya  kekuasaan Romawi,  dan  perdagangan  pun  mulai  suram  karena  pada  masa  itu  orang  tidak
mungkin  melakukan  suatu  usahaperdagangan  tanpa  didukung  oleh  perlindungan militer  dan  tertib  sosial.  Pada  masa  itu  dengan  terbentuk  Dewan  Gereja  yang
dipengaruhi  oleh  hukum  Romawi,  Dewan  Gereja  ini  memiliki  kekayaan  yang terpisah  dengan  kekayaan  para  anggotanya  dan  berbeda  dengan  subjek  hukum
manusia.  Gereja  sebagai  kemudian  dikenal  sebagai  suatu  prototype  korporasi berdiri  untuk  pertama  kali  diperkenalkan  oleh  Paus  Innocent  IV  1243-1254.
Universitas Sumatera Utara
Gereja  sebagai  suatu  korporasi  memberikan  suatu  sumbangan  yang  sangat  besar terhadap the concept of corporate personality, yaitu dalam bentuk kota praja yang
dapat menyelenggarakan  pemerintahan  secara  umum.  Pada abad ini  Abad  XIV mulai dikenal apa yang disebut quasi corporate character dengan adanya bentuk
kota praja.
106
Pada  permulaan  zaman  modern,  sifat  bisnis  perdagangan  yang  semakin kompleks  sangat  mempengaruhi  perkembangan  korporasi.  Pada  zaman  Raja
James  I  1566-1625  di  Inggris  mulai  dikenal  korporasi  sebagai  subjek  hukum legal person,  yang berbeda dengan manusia.
107
Korporasi  yang bersifat modern di  Inggris  dikenal  dengan  nama  Hudson‟s  Bay  Company  yang  diresmikan  oleh
Raja  Inggris  pada  tahun  1670,  beroperasi  di  Kanada  dan  mempunyai  hak monopoli di bidang perdagangan sebagai salah satu sumber dana dari pemerintah
kolonial Inggris. Terjadinya  Revolusi  Industri  di  Inggris,  yang  ditandai  dengan
perkembangan  di  bidang  teknologi  industri  pemintalan  benang  dan  revolusi  di bidang  tenaga  dengan  ditemukannya  mesin  uap,  menimbulkan  kebutuhan  akan
modal  yang  besar  dengan  organisasi  yang  mapan  serta  perangkat  hukum  yang memadai,  maka  pada  tahun  1855  mulai  dikenal  adanya  pembatasan  terhadap
pertanggungjawaban korporasi. Pada tahun 1862, korporasi memakai nama untuk asosiasinya  dan  di  belakang  nama  tersebut  sebagai  tanda  adanya  pembatasan
terhadap pertanggungjawaban korporasi dicantumkan kata “limited”.
108
106
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit,  hlm. 35.
107
Ibid, hlm. 36.
108
Ibid, hlm.37.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan  di  Amerika,  pada  tahun  1795,  tepatnya  di  North  Carolina didirikan  korporasi  yang  pendiriannya  didasarkan  kepada  prinsip  hukum  yang
berlaku  pada  waktu  itu,  yang  bergerak  di  bidang  penyelenggaraan  kepentingan umum. Seperti di Massachusetts pada tahun 1799, berbentuk korporasi di bidang
penyediaan  air  bersih.  Kemudian  pada  Tahun  1811,  New  York  menjadi  negara bagian  yang  pertama  kali  memperkenalkan  korporasi  bersifat  umum  yang
bergerak di bidang Manufaktur.
109
Perancis baru memasukkan korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce Perancis  yang  dibuat  pada  tahun  1807.  Bagaimanapun  juga,  karena  Perancis
pernah  menjajah  Belanda,  maka  terdapat  hubungan  antara  pembuatan  rancangan Wetboek  van  Koophandel
W.v.K  Nederland  yang  dibuat  pada  tahun  1809  dan kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1808. Tampaklah
waktunya  sangat  berdekatan  dan  dalam  hubungan  sebagai  suatu  negara  yang dikuasai Perancis akan tercermin dalam W.v.K tersebut, yang mana sistem dan isi
W.v.K  Nederland  ternyata  mengacu  pada  Code  de  Commerce  dan  Code  de  La Marine
.
110
Dengan  asas  konkordansi  maka  setiap  perkembangan  W.v.K  Nederland memiliki  pengaruh  di  Nederlandsch  Indie  seperti  halnya  tentang  ketentuan
maatschap ,  kata  maatschap
sejenis  pula  dengan  kata  “societas”  dari  Romawi, yang  terkenal  dalam  sejarah  hukum  Romawi  Lama  dengan  Romainse  Societas.
Pada abad XIII dan XIV pada kota-kota di bagian utara Italia terdapat dua bentuk kontrak kerja sama samenwerkingcontracten, yang agak berbeda dengan dengan
109
M.  Natsir  Said,  Hukum  Perusahaan  di  Indonesia  Perorangan,  Bandung:  Alumni, 1987, hlm. 3.
110
Ibid., hlm. 3.
Universitas Sumatera Utara
societas , disebut “Commanditaire Vennotschap” dan “Vennotschap onder Firma”,
yang di Belanda sampai sekarang ini diatur dalam W.v.K, sedangkan di Indonesia diatur  dalam  pasal  16  sampai  dengan  pasal  35  Kitab  Undang-undang  Hukum
Dagang KUHD. Pada  permulaan  abad  XVII  terjadi  perkembangan  atas  pengaruh  semakin
meluasnya  perdagangan  pelayanan  ke  Indonesia  di  mana  banyak  yang menanamkan  modalnya  pada  perusahaan  pelayanan  dengan  cara  meminjamkan
uang  geldschieters  dengan  sistem  kepercayaan  toevertrouwen.  Pada  tahun 1602,  terbentuknya  Vereenigde  Oostindische  Compagnie  VOC  yang  terdiri
antara  pengusaha-pengusaha  voorcompagnieen,  dan  menandai  terbentuknya suatu  “Societe Anonyme” seperti  yang diatur di dalam Pasal 36 sampai dengan
Pasal 56 KUH Dagang.
111
Sesudah  tahun  1838,  bentuk  badan  usaha  CV  maupun  Firma  dan  NV masing-masing  diatur  dalam  Pasal  16  sampai  dengan  Pasal  35  dan  Pasal  36
sampai dengan Pasal 56 KUH Dagang secara berturut-turut karena perkembangan perekonomian mengalami banyak perubahan kecuali bentuk CV. Di samping itu,
berkembang  pula  perusahaan  pemerintah  sejak  tahun  1925  yang  didirikan berdasarkan  Indische  Comptabiliteitswet  I.C.W  Stb.  1927  Nomor  419.
Perusahaan  pemerintah  yang  modalnya  sebagian  ikut  serta  dalam  suatu perusahaan tersebut terdapat pula dalam bentuk perseroan terbatas atau NV yang
tunduk pada hukum perdata dan dagang.
111
Ibid. hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
Sesudah  perusahaan-perusahaan  milik  Belanda  dikenakan  nasionalisasi dengan Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, maka berkembanglah
perusahaan-perusahaan  pemerintah  dalam  bentuk  perseroan terbatas  swasta  yang tunduk pada KUH Perdata dan KUH Dagang, namun kemudian dengan Undang-
Undang  No.  19  Prp  Tahun  1960  tentang  Perusahaan  Negara,  maka  bentuk perusahaan negara dengan bentuk perseroan terbatas negara maupun yang tunduk
pada  I.C.W  dan  I.B.W  Indische  Bedrijvenwet kesemuanya  diatur  menurut
Undang-Undang ini. Akan  tetapi,  perkembangan  perseroan  terbatas  negara  ini  sangat
menyedihkan  dengan  banyak  mengalami  kerugian,  sehingga  perlu  dilakukan reorganisasi  perusahaan  negara  dengan  dikeluarkannya  UU.  No.  1  Prp  Tahun
1969  Tentang  Bentuk-bentuk  Usaha  Negara,  yang  ditetapkan  dengan  Undang- undang  Nomor  9  Tahun  1969.  Pasal  1  Undang-Undang  tersebut  menetapkan
adanya tiga macam bentuk usaha negara, yaitu:
112
a.  Perusahaan Jawatan Perja; b.  Perusahaan Umum Perum;
c.  Perusahaan Perseroan Persero. Demikianlah  sejarah  korporasi  yang  akhirnya  menjadi  subjek  hukum  di
samping  subjek  hukum  manusia.  Dalam  perkembangannya  korporasi  ternyata tidak  hanya  bergerak  di  bidang  kegiatan  ekonomi  saja  akan  tetapi  sekarang  ini
ruang  lingkupnya  sudah  mulai  luas  karena  dapat  mencakup  bidang  pendidikan, kesehatan,  riset,  pemerintahan,  sosial,  budaya,  dan  agama.  Perkembangan  itu
112
M. Natsir Said, op.cit, hlm. 5-8
Universitas Sumatera Utara
sendiri  tidak  dapat  terlepas  dari  perkembangan  teknologi  dan  era  globalisasi  itu sendiri.  Dengan  demikian  sejak  Revolusi  Industri  di  Inggris,  peranan  teknologi
dalam  sejarah  perkembangan  korporasi  merupakan  pengaruh  yang  sangat fundamental  fundamental  influence  dalam  rangka  pertumbuhan  korporasi  itu
sendiri.  Dalam  sejarah  perkembangan  itu  pula,  korporasi  pada  akhirnya digolongkan  ke  dalam  jenis-jenis  tertentu  dengan  berdasarkan  berbagai
pandangan. Ronald  A.  Anderson  et.  al.,  menggolongkan  korporasi  berdasarkan
hubungannya dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi itu sendiri. Jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
113
1  Korporasi  Publik,  adalah  sebuah  korporasi  yang  didirikan  oleh  pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan
publik, contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota; 2  Korporasi  Privat,  yaitu  korporasi  yang  didirikan  untuk  kepentingan  pribadi
yang  dapat  bergerak  di  bidang  industri  dan  perdagangan,  contohnya  PT. Garuda Tbk;
3  Korporasi  Publik  Quasi,  atau  yang  lebih  dikenal  dengan  korporasi  yang melayani  kepentingan  umum  public  service,  contohnya  PT.  Kereta  Api
Indonesia, Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara. Di  Indonesia,  secara  umum  korporasi  diartikan  secara  luas,  sehingga
terbagi  menjadi  2,  yakni  yang  berbentuk  badan  hukum  maupun  bukan  badan hukum:
113
Dwidja Prayitno, op.cit, hlm. 14-15
Universitas Sumatera Utara
a.  Badan hukum Pengertian  badan  hukum  itu  sendiri  awalnya  lahir  sebagai  akibat  dari
perkembangan  masyarakat  menuju  modernisasi.  Dahulu  di  alam  yang  masih primitif  ataupun  didalam  kehidupan  yang  masih  sederhana,  kegiatan-kegiatan
usaha dijalankan secara perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan  usaha  secara  bekerja  sama  dengan  beberapa  orang  yang  mungkin
atas  dasar  pertimbangan  agar  dapat  menghimpun  modal  yang  lebih  berhasil daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu kemudian timbul keinginan untuk
membuat  suatu  wadah  seperti  badan  hukum  agar  kepentingan-kepentingan masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko yang mungkin
timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.
114
Ada  beberapa  teori  yang  sering  digunakan  dalam  rangka  mengetahui hakekat badan hukum yaitu antara lain:
1  Teori Fictie Dari Von Savigny Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan
hukum itu hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan
perbuatan hukum seperti manusia. 2  Teori Harta Kekayaan Bertujuan Doel Vermogens Theorie
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum, namun  ada  kekayaan  vermogen  yang  bukan  merupakan  kekayaan  seseorang,
114
Mahmud  Mulyadi  dan  Feri  Antoni  Surbakti,  Politik  Hukum  Pidana  Terhadap Kejahatan Korporasi,
Jakarta: Sofmedia, 2010, hlm. 13.
Universitas Sumatera Utara
tetapi  kekayaan  itu  terikat  dengan  tujuan  tertentu.  Kekayaan  inilah  yang  disebut badan hukum.
3  Teori Organ dari Otto Van Gierke Badan  hukum  menurut  teori  ini  bukan  sesuatu  yang  abstrak  fiksi  dan
bukan  merupakan  kekayaan  hak  yang  tidak  bersubyek,  tetapi  badan  hukum merupakan organism yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan
hukum,  yang  dapat  membentuk  kemauan  sendiri  dengan  perantara  alat-alat  yang ada  padanya  pengurus  dan  anggota-anggotanya,  seperti  manusia  biasa  yang
mempunyai panca indera. 4  Teori Propriete Collective
Teori  ini  diajarkan  oleh  Planiol  dan  Molengraff  yang  mengatakan  bahwa hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para
anggota  bersama-sama.  Kekayaan  badan  hukum  adalah  kepunyaan  bersama semua  anggotanya.  Orang-orang  yang  berhimpun  tersebut  merupakan  suatu
kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.oleh karena itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja.
5  Teori Kenyataan Yuridis Badan  hukum  merupakan  suatu  reliteit,  konkrit,  rill,  walaupun  tidak  bisa
diraba, bukan khayal tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukan oleh Mayers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan
manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
Universitas Sumatera Utara
Menurut  Rudhy  Prasetya,  sebagaimana  dikutip  oleh  Mahmud  Mulyadi, badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu antara lain:
115
1  Ada yang berbentuk perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Bab III Buku I KUHP Pasal 36-57;
2  Berbentuk perkumpulan sebagaiamana diatur dalam Titel IX Buku III KUHP; 3  Dapat  berbentuk  koperasi  sebagaimana  diatur  dalam  Undang-undang  Nomor
17  tahun  2012.  Dalam  undang-undang  tersebut  yang  dimaksud  dengan koperasi  adalah  badan  hukum  yang  didirikan  oleh  orang  perseorangan  atau
badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal  untuk  menjalankan  usaha,  yang  memenuhi  aspirasi  dan  kebutuhan
bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi;
4  Berbentuk  BUMN  sebagaimana  diatur  dalam  Undang-undang  Nomor  19 tahun  2003  berupa  perusahaan  perseroan,  perusahaan  jawatan,  perusahaan
jawatan; 5  Yayasan  Stichting  merupakan  badan  hukum  berdasarkan  Undang-undang
Nomor  16  tahun  2001  jo.  Undang-undang  Nomor  28  tahun  2004  tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Penggolongan  badan  hukum  jika  dilihat  dari  jenisnya  dapat  pula dibedakan  menjadi  dua  yakni  badan  hukum  publik  dan  badan  hukum  privat.
Badan  hukum  publik  misalnya  Negara  Republik  Indonesia,  Pemerintah KotaKabupaten  dan  sebagainya,  sedangkan  badan  hukum  privat  misalnya
115
Mahmud  Mulyadi,  Hakekat  Pertanggungjawaban  Pidana  Korporasi  dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
, Medan: Pustaka Bangsa Pers, 2004, hlm. 203.
Universitas Sumatera Utara
Perseroan  Terbatas,  Yayasan  dan  lain  sebagainya.  Kriteria  untuk  menentukan suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat ada
dua yaitu:
116
1  Dilihat  dari  pengelolaannya,  badan  hukum  publik  didirikan  oelh PemerintahNegara,  sedangkan  badan  hukum  privat  didirikan  orang-
perseorangan; 2  Dilihat  dari  kepentingannya,  pada  prinsipnya  didirikannya  badan  hukum
tersebut  apakah  bertujuan  untuk  kepentingan  umum  atau  tidak;  artinya  jika lapangan  pekerjaannya  bertujuan  untuk  kepentingan  umum,  maka  badan
hukum  tersebut  merupakan  badan  hukum  publik,  akan  tetapi  jika  tujuannya untuk  kepentingan  perseorangan  maka  badan  hukum  itu  merupakan  badan
hukum privat. Berkaitan  dengan  badan  hukum  korporasi  sebagai  subyek  hukum,
menurut Sudikno Mertokusumo subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh  hak  dan  kewajiban  dari  hukum.  Hak  dan  kewajiban  dari  hukum  itu
hanyalah  manusia.
117
Kenyataan  dewasa  ini,  dalam  lapangan  masyarakat  bukan saja manusia yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum tetapi juga diberikan
kepada subyek hukum yang bukan manusia yaitu badan hukum. Menurut Alvi Syahrin, suatu badan hukum merupakan suatu badan entity
yang  keberadaannya  terjadi  karena  hukum  atau  undang-undang,  dan  sebagai
116
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, op.cit,  hlm. 14
117
Sudikno  Mertokusumo,  Mengenal  Hukum  Suatu  Pengantar,  Yogyakarta:  Liberty, 1999, hlm. 67.
Universitas Sumatera Utara
subyek  hukum  secara  materil  ia  badan  hukum  mencakup  hal-hal  sebagai berikut:
118
1  Kumpulan atau asosiasi modal yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya.
2  Kumpulan  modal  ini  dapat  melakukan  perbuatan  hukum  rechtshandeling dalam hubungan-hubungan hukum rechtsbetrekking, dan ini menjadi tujuan
dari  sifat  dan  keberadaan  badan  hukum,  sehingga  ia  dapat  digugat  atau menggugat di depan pengadilan.
3  Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu, berdasarkan  pada  ketentuan-ketentuan  peraturan  perundang-undangan  yang
mengaturnya.  Sebagai  suatu  perkumpulan  modal,  maka  kumpulan  modal tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang
sepenuhnya  diatur  dalam  statuta  atau  anggaran  dasarnya,  yang  menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4  Kumpulan  modal  ini  mempunyai  pengurus  yang  akan  bertindak  untuk mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara
keberadaan  harta  kekayaan  yang  tercatat  atas  nama  kumpulan  modal  ini dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus.
5  Keberadaan  modal  badan  hukum  ini  tidak  dikaitkan  dengan  keanggotaan tertentu.  Setiap  orang  yang  memenuhi  syarat  dan  persyaratan  yang  diatur
dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini dengan segala hak dan kewajibannya.
118
Alvi Syahrin, Tinjauan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 862KPID.SUS2010
,http:alviprofdr.blogspot.com201311tinjauan-terhadap-putusan-mari- no.htmlmore, diakses tanggal 12 April 2016.
Universitas Sumatera Utara
6  Sifat keanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada siapapun  juga,  meskipun  keberadaan  badan  hukum  ini  sendiri  adalah
permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya. 7  Tanggungjawab  badan  hukum  dibedakan  dari  tanggungjawab  pendiri,
anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut. b.  Bukan Badan Hukum
Adapun  badan  usaha  yang  bukan  berbentuk  badan  hukum  dapat dikategorikan
menjadi tiga
bentuk yaitu:
persekutuan perdata,
persekutuanperusahaan  firma  fa  persekutuanperusahaan  komanditer  CV. Perbedaan  antara  badan  hukum  yang  berbentuk  badan  hukum  dan  bukan  badan
hukum  terlihat  dari  perbedaan  prosedur  pendirian  badan  usaha  tersebut.  Untuk pendirian  badan  usaha  yang  berbentuk  bukan  badan  hukum,  maka  syarat  adanya
pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan.
119
Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad, badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dapat
dikategorikan sebagai: a  Perusahaan  perseorangan,  merupakan  perusahaan  swasta  yang  didirikan  dan
dimiliki  oleh  pengusaha  perseorangan,  misalnya:  perusahaan  industri, perusahaan dagang dan perusahaan jasa.
b  Perusahaan  persekutuan,  merupakan  perusahaan  swasta  yang  didirikan  dan dimiliki  oleh  beberapa  orang  pengusaha  secara  bekerjasama.  Perusahaan  ini
dapat  menjalankan  usaha  dalam  semua  bidang  perekonomian,  yaitu  bidang
119
Mahmud Mulyadi, Hakekat... op.cit, hlm. 209.
Universitas Sumatera Utara
industri,  dagang  dan  jasa  yang  dapat  berbentuk  perusahaan  Firma  fa  dan persekutuan komanditer CV.
120
Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana tentang  apa  yang  dimaksud  dengan  korporasi  sebenarnya  terdapat  dua  pendapat.
Pendapat  pertama  menyatakan  bahwa  yang  dimaksud  dengan  korporasi  adalah suatu  kumpulan  dagang  yang  berbadan  hukum.  Jadi  dibatasi  bahwa  korporasi
yang  dapat  dipertanggungjawabkan  secara  pidana  adalah  korporasi  yang  sudah berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah
jelas  susunan  pengurus  serta  sejauh  mana  hak  dan  kewajiban  dalam  korporasi tersebut.  Pendapat  lain  adalah  yang  bersifat  luas;  dimana  dikatakan  bahwa
korporasi  tidak  perlu  harus  berbadan  hukum.  Setiap  kumpulan  manusia,  baik dalam
hubungan suatu
dagang ataupun
usaha lainnya,
dapat dipertanggungjawabkan  secara  pidana.  Selanjutnya  menurut  Sutan  Remy
Sjahdeini,  dalam  hukum  pidana,  pengertian  korporasi  tidak  hanya  badan  hukum, melainkan  meliputi  badan  hukum  maupun  bukan  badan  hukum.,  bukan  saja
badan-badan  hukum  seperti  perseroan  terbatas,  yayasan,  koperasi,  atau perkumpulan  yang  telah  disahkan  sebagai  badan  hukum,  tetapi  juga  firma,  CV,
dan persekutuan yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukanlah suatu  badan  hukum.
121
Adapun  menurut  penulis,  pada  hakikatnya  apabila korporasi  hanya  dimaknai  secara  sempit  sebagai  badan  hukum,  tidaklah  dapat
memenuhi  kebutuhan  hukum  masyarakat.  Karena  dalam  perkembangan kehidupan  perekonomian  global  yang  semakin  kompleks,  sesungguhnya  pelaku
120
Ibid. , hal. 210
121
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006, hlm. 45.
Universitas Sumatera Utara
usaha,  yang  dalam  tulisan  ini  adalah  pelaku  usaha  perkebunan  nyatanya  bukan hanya berasal dari sebuah korporasi berbadan hukum, tetapi juga korporasi tidak
berbadan hukum. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam arti yang luas.
2.  Tahap-Tahap Pengakuan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Pengakuan  korporasi  sebagai  subjek  hukum  dalam  hukum  pidana  sudah
dimulai  sejak  tahun  1635,  ketika  itu  sistem  hukum  Inggris  mengakui  bahwa korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana ringan.
122
Adapun pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana  sesungguhnya tidak muncul  melalui  penelitian  yang  mendalam  dari  para  ahli,  tapi  justru  merupakan
akibat  dari  formalisme  hukum  legal  formalism.  Doktrin  pertanggungjawaban pidana  korporasi  telah  berkembang  tanpa  adanya  teori  yang  membenarkannya.
Penerimaan  korporasi  sebagai  subjek  hukum  layaknya  manusia  tidak  dapat dilepaskan dari peran pengadilan. Adalah hakim dalam sistem common law yang
melakukan  suatu  analogi  atas  subjek  hukum  manusia,  sehingga  korporasi  juga memiliki  identitas  hukum  dan  penguasaan  kekayaan  dari  pengurus  yang
menciptakannya.
123
Yedidia  Z.  Stern  sebagaimana  dikutip  dalam  Mahrus  Ali  menyatakan bahwa  para  hakim  yang  ada  pada  waktu  itu  tidak  memiliki  banyak  teori  untuk
membebankan  tindakan  para  agen  kepada  korporasi,  berusaha  mempertanyakan
122
Andrew Weissmann dan David Newman, “Rethinking Criminal Corporate Liability”,
Indiana Law
Journal, 2007,
http:www.corporatecrimereporter.comwp-contentuploads 201307weissmann.pdf, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 419.
123
Ibid., hlm. 418 - 419.
Universitas Sumatera Utara
apakah suatu korporasi, dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki kondisikeadaan psikologis untuk adanya
suatu penuntutan
sebagaimana halnya
kejahatan-kejahatan lain
yang mensyaratkan adanya hal itu.
124
Pengakuan  korporasi  sebagai  subjek  hukum  dalam  hukum  pidana  penuh dengan  hambatan-hambatan  teoritis,  tidak  seperti  pengakuan  subjek  hukum
pidana manusia. Hambatan-hambatan teoritis tersebut dapat didasarkan pada dua hal,  yakni:    Pertama,  begitu  kuatnya  teori  fiksi  fiction  theory  yang  dicetuskan
Carl  Von  Savigny
125
,  dan  Kedua,  masih  dominannya  asas  universitas  delinguere non potest
yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.
126
Dominasi  asas  ini  dapat  dilihat  dalam  KUHP  Indonesia  yang  memang tidak  mencantumkan  pengaturan  korporasi  sebagai  subjek  hukum  pidana.  Dapat
disimpulkan,  bahwa  KUHP  Indonesia  masih  menganut  bahwa  suatu  delik  hanya dapat dilakukan oleh manusia sedangkan badan hukum tidak diakui dalam hukum
pidana.
127
Dalam  perkembangannya,  dua  alasan  di  atas  lama  kelamaan  mulai melemah pengaruhnya.  Hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal: Pertama, korporasi
merupakan  aktor  utama  perekonomian  dunia,  sehingga  kehadiran  hukum  pidana dianggap  sebagai  metode  paling  efektif  untuk  memengaruhi  tindakan-tindakan
124
Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 99.
125
Hamzah  Hatrik,  Asas  Pertanggungjawaban  Korporasi  dalam  Hukum  Pidana  Strict Liability dan Vicarious Liability,
Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996, hlm. 30.
126
Bandingkan  dengan  Dwidja  Priyatno,  Kebijakan  Legislasi  Tentang  Sistem Pertanggungjawaban  Pidana  Korporasi  di  Indonesia,
Bandung:  Utomo,  2004,  hlm.  25.  Pada tahap  ini  yang  dipandang  sebagai  pelaku  tindak  pidana  adalah  manusia  alamiah  semata.
Pandangan  ini  dianut  KUHP  melalui  Pasal  59,  yang  dipengaruhi  asas “societas  delinquere  non
potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.
127
Edi  Setiadi  dan  Rena  Yulia,  Hukum  Pidana  Ekonomi,  Yogyakarta:  Graha  Ilmu, 2010. hlm, 39.
Universitas Sumatera Utara
aktor  rasional  korporasi.
128
Kedua,  keuntungan  yang  diperoleh  korporasi  dan kerugian  yang  diderita  masyarakat  dapat demikian  besarnya  sehingga  tidak  akan
mungkin  seimbang  apabila  korporasi  hanya  dijaruhi  sanksi  keperdataan.  Dalam kedua  konteks  inilah  sanksi  pidana  diperlukan.
129
Dikarenakan  anggapan  bahwa tidak  adil  bila  korporasi  tidak  dikenakan  hak  dan  kewajiban  seperti  halnya
manusia,  maka  muncullah  tahap-tahap  perkembangan  korporasi  sebagai  subjek hukum dalam hukum pidana. Tahap tersebut antara lain:
a.  Perkembangan Tahap Pertama Pada  tahap  ini  yang  dipandang  sebagai  pelaku  tindak  pidana  adalah
manusia  alamiah  semata,  tahap  ini  ditandai  dengan  usaha-usaha  agar  sifat  delik yang  dilakukan  korporasi  dibatasi  pada  perorangan  natuurlijk  persoon.
130
Akibatnya, ketika suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, karena telah  di
bebankan  “tugas  mengurus”  zorgplicht,  maka  tindak  pidana  tersebut dianggap  dapat  dilakukan  oleh  pengurus  korporasi  tersebut.
131
Perkembangan tahap  ini  telah  terlihat  sejak  KUHP  tahun  1886  dibentuk,  di  mana  pembentuk
undang-undang telah mulai memasukkan larangan-larangan dan perintah-perintah terhadap  pengurus  yang  bertanggung  jawab,  berupa  kewajiban-kewajiban  dalam
beberapa  peraturan  dan  undang-undang  khusus  tertentu,  dengan  maksud  supaya
128
Beth  Stephens, “The  Amorality  of  Profit:  Transnasional  Corporation  and  Human
Rights”,  Berkeley  Journal  of  International  Law,  2002,  http:scholarship.law.berkeley.edu cgiviewcontent.cgi?article=1207context=bjil, diakses pada tanggal 7 April 2016,  hlm. 46.
129
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28.
130
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 66
131
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 52
Universitas Sumatera Utara
mereka  bertanggung  jawab  dalam  pelaksanaan  peraturan-peraturan  tersebut terhadap badan atau perusahaan yang dipimpinnya.
132
Alasan tidak dapatnya korporasi dipidana, antar lain: Pertama, asas hukum pidana yang ada di  KUHP berlandaskan pada ajaran kesalahan pribadi dan hanya
ditujukan kepada orang alamiah.
133
Kedua, hukuman-hukuman pokok yang ada di KUHP  mempunyai  sifat  kepribadian.  Ketiga,  hukuman  yang  menyangkut
kemerdekaan tidak dapat dilaksanakan oleh korporasi.  Keempat, meski hukuman denda dapat dijatuhkan kepada korporasi, yang dijatuhi hukuman denda itu dapat
memilih  untuk  membayar  denda  atau  menjalani  hukuman  kurungan  sebagai penggantinya.
134
Pandangan  ini  dianut  KUHP  Indonesia  melalui  Pasal  59,  yang berbunyi:
“Dalam  hal-hal  di  mana  ditentukan  pidana  karena  pelanggaran  terhadap pengurus,  anggota-anggota  badan  pengurus  atau  komisaris-komisaris,  maka
pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak pidana.”
Melalui  bunyi  pasal  tersebut,  telah  terlihat  bahwa  secara  implisit  pidana ditentukan  hanya  kepada  pengurus,  pasal  ini  masih  dipengaruhi  asas
“societas delinquere non potest”
135
, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.
136
Oleh
132
Schaffmeister, Nico Keijzer dan Sutorius,  Hukum  Pidana,  diterjemahkan  pleh  J.  E. Sahetapy, Yogyakarta: Liberty, 1995, hlm. 274.
133
Bandingkan dengan Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 28, yang mengatakan bahwa pada mulanya  orang  tidak  menerima  pertanggungjawaban  korporasi  dalam  perkara  pidana  karena
korporasi  tidak  mempunyai  perasaan  seperti  manusia  sehingga  tidak  mungkin  melakukan kesalahan.
134
J.E.  Jonkers,  Buku  Pedoman  Hukum  Pidana  Hindia  Belanda,  Jakarta:  Bina  Aksara, 1987, hlm. 289.
135
Endsche  sebagaimana  dikutip  Muladi  dan  Dwidja  Priyatno,  op.cit,  hlm.  53. Menyatakan bahwa ketentuan universitas delinquere non potest adalah contoh khas dari pemikiran
secara  khas  dari  abad  XIX,  di  mana  kesalahan  menurut  hukum  pidana  selalu  disyaratkan  dan sesungguhnya  hanya  kesalahan  manusia,  sehingga  erat  kaitannya  dengan  sifat  individualisasi
KUHP.
Universitas Sumatera Utara
sebab  itu  apabila  suatu  korporasi  melakukan  delik,  itu  dianggap  dilakukan  oleh pengurusnya,  karena  melakukan  delik  pada  waktu  itu  diartikan  sebagai  sesuatu
perbuatan fisik dari si pembuat.
137
Dalam perkembangannya pada tahap pertama ini tantangan besar muncul berkenaan  dengan  tertutupnya  kemungkinan  menerapkan  pertanggungjawaban
pidana  terhadap  korporasi.  Dalam  hal  pemilik  atau  pengusahanya  adalah korporasi,  sedangkan  tidak  ada  pengaturan  bahwa  pengurusnya  bertanggung
jawab, maka
bagimana memutuskan
tentang pembuat
dan pertanggungjawabannya? Kesulitan inilah yang akan dijawab pada perkembangan
tahap kedua. b.  Perkembangan Tahap Kedua
Ditandai  dengan  pengakuan  yang  timbul  sesudah  Perang  Dunia  I  dalam perumusan  undang-undang,  bahwa  suatu  tindak  pidana  dapat  dilakukan  oleh
korporasi.  Namun,  tanggung  jawab  untuk  itu  menjadi  beban  dari  pengurus korporasi.  Perumusan  yang  khusus  ini,  yaitu  apabila  suatu  tindak  pidana
dilakukan oleh suatu pimpinan atau karena suatu korporasi. Tuntutan pidana dan pidana  harus  dijatuhkan  terhadap  anggota  pimpinan.  Perumusan  ini  dilandasi
pemikiran  bahwa  sering  terjadi  kedudukan  dalam  korporasi  itu  yang  memberi kesempatan  untuk  melakukan  delik.
138
Secara  perlahan-lahan  tanggung  jawab pidana  beralih  dari  anggota  pengurus  kepada  mereka  yang  memerintahkan,  atau
136
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 25.
137
Hasbullah  F. Sjawie,  Direksi  Perseroan Terbatas serta  Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 277.
138
Ibid, hlm. 277. Bandingkan dengan Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 36-37.
Universitas Sumatera Utara
kepada  mereka  yang  secara  nyata  memimpin  dan  melakukan  perbuatan  yang dilarang tersebut.
139
Meskipun  demikian,  Hasbullah  F.  Sjawie  berpendapat  bahwa perkembangan  yang  terjadi  ini  belum  dapat  dikategorikan  suatu  perubahan
tahapan  karena  meski  di  sini  sudah  ada  pengakuan  bahwa  subjek  hukum  pidana meliputi  juga  korporasi,  pertanggungjawaban  pidana  hanya  dapat  dibebankan
kepada  pengurusnya.  Oleh  sebab  itu,  pada  hakikatnya  perkembangan  ini  tidak dapat dijadikan sebagai tahapan tersendiri karena Pasal 59 KUHP itu juga secara
tidak  langsung  mengakui  adanya  korporasi  walau  tidak  disebut  bahwa  korporasi adalah  juga  subjek  hukum  pidana,  yang  dipertanggungjawabkan  adalah
pengurusnya.
140
c.  Perkembangan Tahap Ketiga Merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung korporasi. Dalam
tahap  ini  dibuka  kemungkinan  untuk  menuntut  korporasi  dan  meminta pertanggungjawabannya  menurut  hukum  pidana.  Alasannya  sebagaimana  telah
diungkapkan  sebelumnya  adalah  karena  dalam  delik-delik  ekonomi  dan  fiskal keuntungan  yang  diperoleh  korporasi  atau  kerugian  yang  diderita  masyarakat
dapat  demikian  besarnya,  sehingga  tidak  akan  mungkin  seimbang  bilamana pidana  hanya  dijatuhkan  kepada  pengurus  korporasi  saja.  Juga  diajukan  alasan
bahwa  dengan  hanya  memidana  para  pengurus  tidak  atau  belum  ada  jaminan bahwa  korporasi  tidak  akan  mengulangi  delik  tersebut.  Dengan  memidana
korporasi  dengan  jenis  dan  beratnya  yang  sesuai  dengan  sifat  korporasi  itu,
139
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 26.
140
Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm 277.
Universitas Sumatera Utara
diharapkan  dapat  memaksa  korporasi  untuk  menaati  peraturan  yang bersangkutan.
141
Berkaitan  dengan  hal  di  atas,  merujuk  pada  ketentuan  dan  Memorie  van Toelichting
MvT Pasal 59 KUHP, bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh seseorang  dan  keberadaan  badan  hukum  tidak  berlaku  dalam  hukum  pidana.
Oemar  Seno  Adji  berpendapat    bahwa  mungkin  pembuat  undang-undang  pada saat  itu  tidak  voorzien  menduga  bahwa  hukum  pidana  ekonomi,  fiskal,  dan
bahkan  hukum  pidana  politik  akan  mengandung  ketentuan  yang  meninggalkan asas  bahwa  hanya  orang  yang  dapat  melakukan  sesuatu  tindak  pidana  dan  fiksi
mengenai  badan  hukum  itu  tidak  berlaku  dalam  hukum  pidana.  Teori  fiksi sebagaimana  telah  dikemukakan  sebelumnya,  menyediakan  tempat  bagi  suatu
pandangan  yang  sebelumnya  dikemukakan  oleh  von  Gierke,  yang  melihat  badan hukum  itu  sebagai  suatu  realitas  dan  bukan  fiksi  lagi,  yang  terpisah  dari  orang
perorangannya.  Karena,  jika  hukum  pidana  ekonomi,  fiskal,  dan  hukum  pidana politik menerima adanya pemidanaan terhadap korporasi, itu didasarkan tidak saja
pada pertimbangan-pertimbangan utilitis, tetapi juga atas dasar-dasar teoritis yang dapat dibenarkan. Hal ini merupakan penyimpangan Pasal 59 KUHP.
142
Berkenaan dengan tahapan ini, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa, baik perundang-undangan maupun ilmu hukum telah mematahkan persoalan mengenai
tanggung jawab pidana dari korporasi dan telah mengesampingkan pikiran dalam KUHP  bahwa  hanya  peroranganlah  yang  dapat  dipandang  sebagai  subjek  dari
suatu  tindak  pidana.  Ia  berpandangan  bahwa  Undang-Undang  Tindak  Pidana
141
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28.
142
Oemar Seno Adji, Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, 1984, hlm. 159-160.
Universitas Sumatera Utara
Ekonomi,  demikian  pula  Undang-Undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana Subversi,  undang-undang  dan  praktik  hukum  di  luar  negeri,  ajaran-ajaran  yang
digariskan oleh von Gierke, adalah petunjuk-petunjuk bahwa harus ditempuh jalan baru  mengenai  korporasi  sebagai  subjek  tindak  pidana  karena  dalam  zaman
modern  ini  korporasi  tersebut  merupakan  faktor  yang  cukup  dominan  yang bergerak  dalam  perekonomian  dan  perdagangan,  maka  tentu  akan  meletakkan
jejaknya pula terhadap hukum pidana.
143
3.  Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam Perundang-undangan di Indonesia Tahap  perkembangan  korporasi  sebagai  subjek  hukum  di  Indonesia  tidak
mengikuti  perkembangan  di  Belanda,  yang  dewasa  ini  perkembangannya  telah sampai pada tahap di mana ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum
pidana  tidak  lagi  tersebar  di  luar  Wetboek  van  Strafrecht  WvS.  Sejak  lahirnya Undang-undang tanggal 23 Juni 1976 Staatsblad 377 yang disahkan pada tanggal
1  September  1976,  mengenai  subjek  hukum  korporasi  selain  manusia  telah ditempatkan dalam ketentuan umum Pasal 51 WvS Strafbarefeiten kunnen worde
begaan  door  natuurlijke  personen  en  rechtspersonen .
144
Sejak  itulah  korporasi diperlakukan sebagai subjek hukum pidana di Belanda secara keseluruhan.
Pasal  51  WvS  Belanda  tidaklah  menggunakan  istilah  corporatie,  tetapi istilah rechtspersoon atau badan hukum, selengkapnya berbunyi:
145
1 Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
143
Ibid., hlm. 280.
144
Lihat Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, Jakarta: Ind.Hill-Co., 1993, hlm. 100.
145
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 69-70.
Universitas Sumatera Utara
2 Apabila  suatu  tindak  pidana  dilakukan  oleh  badan  hukum,  dapat  dilakukan tuntutan  pidana,  dan  jika  dianggap  perlu  dapat  dijatuhkan  pidana  dan
tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap: a.  Badan hukum, atau;
b.  Terhadap  mereka  yang  memerintah  melakukan  perbuatan  itu,  demikian
pula  terhadap  mereka  yang  bertindak  sebagai  pemimpin  melakukan tindakan yang dilarang itu;
c.  Terhadap yang disebutkan dalam a dan b bersama-sama. 3 Bagi  pemakaian  ayat  selebihnya  disamakan  dengan  badan  hukum  perseroan
tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.
Dengan  lahirnya  undang-undang  ini,  maka  di  Belanda  badan  hukum sebagai  subjek  hukum  pidana  bukan lagi  merupakan  penyimpangan  asas,  karena
telah  diatur  dalam  KUHP  mereka,  karena  semua  ketentuan  perundang-undangan pidana  khusus  yang  tersebar  di  luar  WvS  Belanda  yang  mengatur  tentang
pertanggungjawaban  pidana  korporasi  dicabut  karena  dipandang  tidak  perlu  lagi sebab  dengan  diaturnya  pertanggungjawaban  korporasi  dalam  Pasal  51  WvS
Belanda,  maka  sebagai  ketentuan  umum  berdasar  Pasal  91  WvS  Belanda  Pasal 103  KUHP  Indonesia,  ketentuan  ini  berlaku  untuk  semua  peraturan  di  luar
kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.
146
Perkembangan  yang  tidak  diikuti  oleh  KUHP  Indonesia  ini
147
dapat disebabkan  oleh  dua  kemungkinan.  Pertama,  memang  perubahan  tersebut  telah
diterima,  akan  tetapi  karena  sulitnya  melakukan  perubahan  KUHP  sehingga
146
Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 284.
147
Andi  Hamzah,  Delik-Delik  Tersebar  di  Luar  KUHP,  Jakarta:  Pradnya  Paramita, 1980,  hlm.  9.  Aturan  mengenai  korporasi  justru  terpencar  pada  perundang-undangan  di  luar
KUHP. Hal tersebut disebabkan oleh:
147
1.  Adanya  perubahan  sosial  secara  cepat  sehingga  perubahan-perubahan  itu  perlu  disertai  dan diikuti  dengan  peraturan-peraturan  hukum  dengan  sanksi  pidananya.  Hukum  di  sini  telah
berfungsi, baik sebagai social engineering maupun social control; 2.  Kehidupan  modern  semakin kompleks sehingga di samping adanya peraturan hukum pidana
berupa  unifikasi  yang  tahan  lama-KUHP-di  perlukan  pula  peraturan  pidana  yang  bersifat temporer.
Universitas Sumatera Utara
perubahan  hanya  dilakukan  dalam  perundang-undangan  pidana  khusus.  Kedua, adalah mungkin memang secara umum belum dapat diterima di Indonesia badan
hukum  dianggap  sebagai  subjek  hukum  pidana  dan  atas  hal-hal  tertentu  saja dimungkinkan penyimpangan itu.
148
Di  Indonesia  dewasa  ini  pertanggungjawaban  pidana  korporasi  secara langsung  memang  hanya  terdapat  dan  berlaku  terhadap  beberapa  perundang-
undangan khusus di luar KUHP,
149
yang pada tulisan ini diambil beberapa contoh perundang-undangan yang erat kaitannya dengan bidang perkebunan, antara lain:
1.  Undang-Undang Penataan Ruang Ketentuan pasal 1 angka 33 UU No. 26 Tahun 2007
150
telah menyebutkan bahwa
“orang  adalah  orang  perseorangan  danatau  korporasi”.  Pengaturan  ini selanjutnya  diikuti  dengan  pengaturan  mengenai  pertanggungjawaban  pidana
yang dapat dilakukan korporasi dalam pasal 74 yang berbunyi: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70,
Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda  terhadap  pengurusnya,  pidana  yang  dapat  dijatuhkan  terhadap  korporasi
berupa  pidana  denda  dengan  pemberatan  3  tiga  kali  dari  pidana  denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.
Pengaturan  mengenai  korporasi  dalam  UU  No.  26  Tahun  2007  telah menunjukkan bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, namun pengaturan
ini  belum  secara  eksplisit  menjelaskan  korporasi  manakah  yang  dirujuknya
148
Loebby Loqman, op.cit, hlm 109.
149
Muladi dan Dwidja Priyatno,  op.cit, hlm. 60. Perundang-undangan di  luar  KUHP  itu dinamakan perundang-undangan pidana khusus,  yaitu semua perundang-undangan di  luar  KUHP
yang mengandung ketentuan pidana. Sedangkan perundang-undangan pidana umum adalah KUHP dan  semua  perundang-undangan  yang  mengubah  atau  menambah  KUHP.  Lihat  juga  Andi
Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm. 5.
150
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2007  Nomor  68,  Tambahan  Lembaran  Negara
Nomor 4725
Universitas Sumatera Utara
sebagai subjek dalam Undang-Undang ini, apakah korporasi berbadan hukum atau bukan berbadan hukum.
2.  Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal  1  angka  33  UU  No.  32  Tahun  2009  menyebutkan  bahw
a  “setiap orang  adalah  orang  perseorangan  atau  badan  usaha,  baik  yang  berbadan  hukum
maupun  yang  tidak  berbadan  hukum.”  Selanjutnya  pengaturan  bahwa  korporasi dapat dipidana diatur dalam pasal 116 ayat 1:
Pasal 116 1 Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a.  badan usaha; danatau
b.  orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau
orang  yang  bertindak  sebagai  pemimpin  kegiatan  dalam  tindak  pidana tersebut.
Istilah korporasi tidak secara eksplisit digunakan dalam UU No. 32 Tahun 2009,  istilah  yang  dipergunakan  adalah  badan  usaha,  yang  sesungguhnya
mengacu  pada  istilah  korporasi,  sebagai  suatu  subjek  yang  dapat  bertindak  dan dapat  mempertanggungjawabkan  suatu  tindak  pidana  yang  dilakukannya.
Korporasi  atau  dalam  hal  ini  badan  usaha  pun  dimaknai  secara  luas,  yaitu berbadan hukum dan bukan berbadan hukum.
3.  Undang-Undang Kehutanan Pasal  1  angka  21  Undang-Undang  Nomor  18  Tahun  2013  tentang
Pencegahan  dan  Pemberantasan  Perusakan  Hutan  menyebutkan  bahwa:  “setiap orang  adalah  orang  perseorangan  danatau  korporasi  yang  melakukan  perbuatan
perusakan  hutan  secara  terorganisasi  di  wilayah  hukum  Indonesia  danatau
Universitas Sumatera Utara
berakibat  hukum  di  wilayah  hukum  I ndonesia”.  Selanjutnya  korporasi  sebagai
subjek tindak pidana juga dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 119 ayat 1 dan 2, yang berbunyi:
Pasal 109 1
Dalam  hal  perbuatan  pembalakan,  pemanenan,  pemungutan,  penguasaan, pengangkutan,  dan  peredaran  kayu  hasil  tebangan  liar  dilakukan  oleh  atau  atas
nama  suatu  korporasi,  tuntutan  danatau  penjatuhan  pidana  dilakukan  terhadap korporasi danatau pengurusnya.
2
Perbuatan pembalakan,
pemanenan, pemungutan,
penguasaan, pengangkutan,  dan  peredaran  kayu  hasil  tebangan  liar  dilakukan  oleh  korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan hubungan  kerja  maupun  hubungan  lain,  bertindak  dalam  lingkungan  korporasi
tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama.
UU  No.  18  Tahun  2013  telah  secara  eksplisit  menegaskan  bahwa korporasi merupakan suatu entitas yang dapat melakukan tindak pidana, dan dapat
melakukan  pertanggungjawaban  pidana.  Korporasi  yang  dimaksud  dalam Undang-Undang  ini  adalah  sebagaimana  diatur  dalam  Pasal  1  Angka  22,  yakni
korporasi berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum. 4.  Undang-Undang Tentang Perkebunan
Sejalan  dengan  ketiga  Undang-Undang  yang  telah  diuraikan  sebelumnya, UU No. 39 Tahun 2014 juga
menyebutkan secara eksplisit bahwa: “Setiap Orang adalah  orang  perseorangan  atau  korporasi,  baik  yang  berbadan  hukum  maupun
yang  tidak  berbadan  hukum.”  Aturan  yang  telah  mengartikan  korporasi  dalam pemaknaannya  secara  luas  ini,  juga  diikuti  aturan  tentang  pertanggungjawaban
pidana korporasi yang tercantum dalam Pasal 113 ayat 1, yang berbunyi: Pasal 113
1 Dalam  hal  perbuatan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  103,  Pasal  104, Pasal  105,  Pasal  106,  Pasal  107,  Pasal  108,  dan  Pasal  109  dilakukan  oleh
korporasi,  selain  pengurusnya  dipidana  berdasarkan  Pasal  103,  Pasal  104,
Universitas Sumatera Utara
Pasal  105,  Pasal  106,  Pasal  107,  Pasal  108,  dan  Pasal  109,  korporasinya dipidana  dengan  pidana  denda  maksimum  ditambah  13  sepertiga  dari
pidana denda dari masing-masing tersebut.
Pengaturan ini berbeda dengan Undang-Undang  Perkebunan sebelumnya, yakni UU No. 18 Tahun 2004  yang telah dicabut. UU No. 18 Tahun 2004 sama
sekali  tidak  menyebutkan  korporasi  sebagai  subjek  hukum  yang  dapat mempertanggungjawabkan  perbuatannya  secara langsung.  Pada  Pasal  1  Angka  4
memang  telah  dijelaskan  bahwa “pelaku  usaha  perkebunan  adalah  pekebun  dan
perusahaan  perkebunan  yang  mengelola  usaha  perkebunan. ”  Kemudian  yang
dimaksud  dengan  perusahaan  perkebunan  dijelaskan  pada  Pasal  1  Angka  6  yang berbunyi: “Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara
Indonesia  atau  badan  hukum  yang  didirikan  menurut  hukum  Indonesia  dan berkedudukan  di  Indonesia  yang  mengelola  usaha  perkebunan  dengan  skala
tertentu. ”  Kedua  pasal  dalam  UU  18  Tahun  2004  ini  sebenarnya  telah
menerangkan  bahwa  sesungguhnya  perusahaan  atau  yang  dalam  peraturan  lain lazim  disebut  sebagai  badan  usaha  merupakan  subjek  hukum  di  bidang
perkebunan. Akan tetapi timbul kerancuan ketika bab mengenai ketentuan pidana justru  memakai  frasa  “setiap  orang”
151
yang  mana  tidak  dijelaskan  sama  sekali dalam  bab  ketentuan  umum  tersebut  mengenai  siapakah  yang  dimaksud  dengan
“setiap  orang”  tersebut.  Kemudian,  apabila  mencermati  bab  ketentuan  pidana dalam  UU  No.  18  Tahun  2004,  memang  tidak  ada  menyebutkan  sama  sekali
mengenai  pertanggungjawaban    pidana  oleh  korporasi,  sehingga  dapatlah
151
Perhatikan Pasal 46-54 UU No. 18 Tahun 2004.
Universitas Sumatera Utara
disimpulkan bahwa UU No. 18  Tahun 2004 belum mengklasifikasikan korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Melalui  perbandingan  beberapa  undang-undang  khusus  di  atas,  terlihat bahwa  pengaturan  tentang  korporasi  belum  seragam.  Nampaknya  pembentuk
Undang-Undang  belum  dapat  menentukan  sebuah  defenisi  konkrit  mengenai korporasi sehingga dapat dijadikan acuan bagi aturan perundang-undangan secara
umum. Perkembangan  pengakuan  terhadap  korporasi  sebagai  subjek  hukum
pidana  tampak  sudah  mendunia  dan  telah  dibuktikan,  antara  lain,  dengan diselenggarakannya konferensi internasional ke-14 mengenai Criminal Liability of
Corporation di  Athena  pada  tanggal  31  Juli  -  6  Agustus  1994.  Pada  konferensi
tersebut, misalnya Finlandia yang semula tidak megatur korporasi sebagai subjek hukum  pidana  tetapi  dalam  perkembangannya  telah  mengakui  korporasi  sebagai
subjek hukum pidana, dan dapat dipertanggungjawabkan.
152
Semakin  kuatnya  pendirian  banyak  negara  untuk  menetapkan  korporasi sebagai  subjek  hukum  yang  dapat  dibebankan  pertanggungjawaban  pidana  dan
kedudukannya  yang  tidak  hanya  di  dalam  hukum  pidana  khusus,  membuat Indonesia  mulai  menerima  pendirian  demikian.  Melalui  Rancangan  Undang-
Undang  KUHP  2012,  Indonesia  telah  mengatur  tentang  pengertian  korporasi dalam  ketentuan  umum  Buku  I.  Adapun  pasal-pasal  yang  dimaksud  adalah
sebagai berikut:
152
M.  Arief  Amrullah,  Ketentuan  dan  Mekanisme  Pertanggungjawaban  Pidana Korporasi,
Makalah disampaikan dalam Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan PUSHAM UII, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008, hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
Paragraf 6 Korporasi
Pasal 47 Korporasi merupakan subjek tindak pidana.
Pasal 48 Tindak  pidana  dilakukan  oleh  korporasi  jika  dilakukan  oleh  orang-orang
yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak  untuk  dan  atas  nama  korporasi  atau  demi  kepentingan  korporasi,
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 49 Jika  tindak  pidana  dilakukan  oleh  korporasi,  pertanggungjawaban  pidana
dikenakan terhadap korporasi danatau pengurusnya. Pasal 50
Korporasi  dapat  dipertanggungjawabkan  secara  pidana  terhadap  suatu perbuatan  yang  dilakukan  untuk  danatau  atas  nama  korporasi,  jika  perbuatan
tersebut  termasuk  dalam  lingkup  usahanya  sebagaimana  ditentukan  dalam anggaran  dasar  atau  ketentuan  lain  yang  berlaku  bagi  korporasi  yang
bersangkutan.
Pasal 51 Pertanggungjawaban  pidana  pengurus  korporasi  dibatasi  sepanjang
pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Pasal 52
1 Dalam  mempertimbangkan  suatu  tuntutan  pidana,  harus  dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna
daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. 2 Pertimbangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1  harus  dinyatakan  dalam
putusan hakim. Pasal 53
Alasan  pemaaf  atau  alasan  pembenar  yang  dapat  diajukan  oleh  pembuat yang bertindak untuk danatau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi
sepanjang  alasan  tersebut  langsung  berhubungan  dengan  perbuatan  yang didakwakan kepada korporasi.
Perubahan aturan-aturan hukum pidana nasional yang terlihat dalam RUU KUHP,  dilakukan  dalam  rangka  pembaharuan  sistem  hukum  pidana  nasional.
153
153
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Draft Naskah Akademik  Tentang  Rancangan  Undang-Undang Tentang  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana
, Jakarta,  Maret  2015,  hlm.  2.  Muladi  dan  Diah  Sulistyanti  sebagaimana  dikutip  dari  Naskah
Akademik RUU KUHP  menyatakan bahwa pembaharuan dan pembangunan  hukum pidana tidak dapat  dilakukan  secara  ad-hoc  partial tetapi  harus  bersifat  mendasar,  menyeluruh  dan  sistemik
dalam  bentuk  rekodifikasi  yang  mencakup  3  tiga  permasalahan  pokok  hukum  pidana  yaitu perumusan  perbuatan  yang  bersifat  melawan  hukum  criminal  act,  pertanggungjawaban  pidana
Universitas Sumatera Utara
Rancangan  KUHP  tahun  2012  ini  menghapus  keragu-raguan  dan  sekaligus menegaskan kedudukan subjek hukum korporasi dalam hukum pidana Indonesia.
C.  Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi