Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

1. Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Asal mula korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan. Pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu kelompok group, sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi berupa pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani, dan masyarakat Romawi. Perkembangan kelompok-kelompok tersebut di Romawi terlihat dengan dibentuknya suatu organisasi yang dalam banyak hal memiliki fungsi yang mirip seperti korporasi yang sudah kita kenal sekarang. Kelompok tersebut bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum, keagamaan, militer, dan perdagangan. Organisasi ini memiliki kekayaan yang terpisah dari anggotanya. Pada masa ancient time ini mulai dikenal perbedaan kedudukan individu dalam organisasi dan kedudukan individu yang terlepas dari organisasi. Pada Abad Pertengahan dengan ditandai mulai menurunnya kekuasaan Romawi, dan perdagangan pun mulai suram karena pada masa itu orang tidak mungkin melakukan suatu usahaperdagangan tanpa didukung oleh perlindungan militer dan tertib sosial. Pada masa itu dengan terbentuk Dewan Gereja yang dipengaruhi oleh hukum Romawi, Dewan Gereja ini memiliki kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para anggotanya dan berbeda dengan subjek hukum manusia. Gereja sebagai kemudian dikenal sebagai suatu prototype korporasi berdiri untuk pertama kali diperkenalkan oleh Paus Innocent IV 1243-1254. Universitas Sumatera Utara Gereja sebagai suatu korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap the concept of corporate personality, yaitu dalam bentuk kota praja yang dapat menyelenggarakan pemerintahan secara umum. Pada abad ini Abad XIV mulai dikenal apa yang disebut quasi corporate character dengan adanya bentuk kota praja. 106 Pada permulaan zaman modern, sifat bisnis perdagangan yang semakin kompleks sangat mempengaruhi perkembangan korporasi. Pada zaman Raja James I 1566-1625 di Inggris mulai dikenal korporasi sebagai subjek hukum legal person, yang berbeda dengan manusia. 107 Korporasi yang bersifat modern di Inggris dikenal dengan nama Hudson‟s Bay Company yang diresmikan oleh Raja Inggris pada tahun 1670, beroperasi di Kanada dan mempunyai hak monopoli di bidang perdagangan sebagai salah satu sumber dana dari pemerintah kolonial Inggris. Terjadinya Revolusi Industri di Inggris, yang ditandai dengan perkembangan di bidang teknologi industri pemintalan benang dan revolusi di bidang tenaga dengan ditemukannya mesin uap, menimbulkan kebutuhan akan modal yang besar dengan organisasi yang mapan serta perangkat hukum yang memadai, maka pada tahun 1855 mulai dikenal adanya pembatasan terhadap pertanggungjawaban korporasi. Pada tahun 1862, korporasi memakai nama untuk asosiasinya dan di belakang nama tersebut sebagai tanda adanya pembatasan terhadap pertanggungjawaban korporasi dicantumkan kata “limited”. 108 106 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 35. 107 Ibid, hlm. 36. 108 Ibid, hlm.37. Universitas Sumatera Utara Sedangkan di Amerika, pada tahun 1795, tepatnya di North Carolina didirikan korporasi yang pendiriannya didasarkan kepada prinsip hukum yang berlaku pada waktu itu, yang bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum. Seperti di Massachusetts pada tahun 1799, berbentuk korporasi di bidang penyediaan air bersih. Kemudian pada Tahun 1811, New York menjadi negara bagian yang pertama kali memperkenalkan korporasi bersifat umum yang bergerak di bidang Manufaktur. 109 Perancis baru memasukkan korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1807. Bagaimanapun juga, karena Perancis pernah menjajah Belanda, maka terdapat hubungan antara pembuatan rancangan Wetboek van Koophandel W.v.K Nederland yang dibuat pada tahun 1809 dan kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1808. Tampaklah waktunya sangat berdekatan dan dalam hubungan sebagai suatu negara yang dikuasai Perancis akan tercermin dalam W.v.K tersebut, yang mana sistem dan isi W.v.K Nederland ternyata mengacu pada Code de Commerce dan Code de La Marine . 110 Dengan asas konkordansi maka setiap perkembangan W.v.K Nederland memiliki pengaruh di Nederlandsch Indie seperti halnya tentang ketentuan maatschap , kata maatschap sejenis pula dengan kata “societas” dari Romawi, yang terkenal dalam sejarah hukum Romawi Lama dengan Romainse Societas. Pada abad XIII dan XIV pada kota-kota di bagian utara Italia terdapat dua bentuk kontrak kerja sama samenwerkingcontracten, yang agak berbeda dengan dengan 109 M. Natsir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia Perorangan, Bandung: Alumni, 1987, hlm. 3. 110 Ibid., hlm. 3. Universitas Sumatera Utara societas , disebut “Commanditaire Vennotschap” dan “Vennotschap onder Firma”, yang di Belanda sampai sekarang ini diatur dalam W.v.K, sedangkan di Indonesia diatur dalam pasal 16 sampai dengan pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum Dagang KUHD. Pada permulaan abad XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin meluasnya perdagangan pelayanan ke Indonesia di mana banyak yang menanamkan modalnya pada perusahaan pelayanan dengan cara meminjamkan uang geldschieters dengan sistem kepercayaan toevertrouwen. Pada tahun 1602, terbentuknya Vereenigde Oostindische Compagnie VOC yang terdiri antara pengusaha-pengusaha voorcompagnieen, dan menandai terbentuknya suatu “Societe Anonyme” seperti yang diatur di dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUH Dagang. 111 Sesudah tahun 1838, bentuk badan usaha CV maupun Firma dan NV masing-masing diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 56 KUH Dagang secara berturut-turut karena perkembangan perekonomian mengalami banyak perubahan kecuali bentuk CV. Di samping itu, berkembang pula perusahaan pemerintah sejak tahun 1925 yang didirikan berdasarkan Indische Comptabiliteitswet I.C.W Stb. 1927 Nomor 419. Perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian ikut serta dalam suatu perusahaan tersebut terdapat pula dalam bentuk perseroan terbatas atau NV yang tunduk pada hukum perdata dan dagang. 111 Ibid. hlm. 5. Universitas Sumatera Utara Sesudah perusahaan-perusahaan milik Belanda dikenakan nasionalisasi dengan Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, maka berkembanglah perusahaan-perusahaan pemerintah dalam bentuk perseroan terbatas swasta yang tunduk pada KUH Perdata dan KUH Dagang, namun kemudian dengan Undang- Undang No. 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, maka bentuk perusahaan negara dengan bentuk perseroan terbatas negara maupun yang tunduk pada I.C.W dan I.B.W Indische Bedrijvenwet kesemuanya diatur menurut Undang-Undang ini. Akan tetapi, perkembangan perseroan terbatas negara ini sangat menyedihkan dengan banyak mengalami kerugian, sehingga perlu dilakukan reorganisasi perusahaan negara dengan dikeluarkannya UU. No. 1 Prp Tahun 1969 Tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara, yang ditetapkan dengan Undang- undang Nomor 9 Tahun 1969. Pasal 1 Undang-Undang tersebut menetapkan adanya tiga macam bentuk usaha negara, yaitu: 112 a. Perusahaan Jawatan Perja; b. Perusahaan Umum Perum; c. Perusahaan Perseroan Persero. Demikianlah sejarah korporasi yang akhirnya menjadi subjek hukum di samping subjek hukum manusia. Dalam perkembangannya korporasi ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja akan tetapi sekarang ini ruang lingkupnya sudah mulai luas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama. Perkembangan itu 112 M. Natsir Said, op.cit, hlm. 5-8 Universitas Sumatera Utara sendiri tidak dapat terlepas dari perkembangan teknologi dan era globalisasi itu sendiri. Dengan demikian sejak Revolusi Industri di Inggris, peranan teknologi dalam sejarah perkembangan korporasi merupakan pengaruh yang sangat fundamental fundamental influence dalam rangka pertumbuhan korporasi itu sendiri. Dalam sejarah perkembangan itu pula, korporasi pada akhirnya digolongkan ke dalam jenis-jenis tertentu dengan berdasarkan berbagai pandangan. Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan hubungannya dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi itu sendiri. Jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 113 1 Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan publik, contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota; 2 Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi yang dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT. Garuda Tbk; 3 Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang melayani kepentingan umum public service, contohnya PT. Kereta Api Indonesia, Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara. Di Indonesia, secara umum korporasi diartikan secara luas, sehingga terbagi menjadi 2, yakni yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum: 113 Dwidja Prayitno, op.cit, hlm. 14-15 Universitas Sumatera Utara a. Badan hukum Pengertian badan hukum itu sendiri awalnya lahir sebagai akibat dari perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih primitif ataupun didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha dijalankan secara perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan usaha secara bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat menghimpun modal yang lebih berhasil daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu kemudian timbul keinginan untuk membuat suatu wadah seperti badan hukum agar kepentingan-kepentingan masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko yang mungkin timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan. 114 Ada beberapa teori yang sering digunakan dalam rangka mengetahui hakekat badan hukum yaitu antara lain: 1 Teori Fictie Dari Von Savigny Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. 2 Teori Harta Kekayaan Bertujuan Doel Vermogens Theorie Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum, namun ada kekayaan vermogen yang bukan merupakan kekayaan seseorang, 114 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Jakarta: Sofmedia, 2010, hlm. 13. Universitas Sumatera Utara tetapi kekayaan itu terikat dengan tujuan tertentu. Kekayaan inilah yang disebut badan hukum. 3 Teori Organ dari Otto Van Gierke Badan hukum menurut teori ini bukan sesuatu yang abstrak fiksi dan bukan merupakan kekayaan hak yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum merupakan organism yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantara alat-alat yang ada padanya pengurus dan anggota-anggotanya, seperti manusia biasa yang mempunyai panca indera. 4 Teori Propriete Collective Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraff yang mengatakan bahwa hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama semua anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.oleh karena itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja. 5 Teori Kenyataan Yuridis Badan hukum merupakan suatu reliteit, konkrit, rill, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukan oleh Mayers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja. Universitas Sumatera Utara Menurut Rudhy Prasetya, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi, badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu antara lain: 115 1 Ada yang berbentuk perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Bab III Buku I KUHP Pasal 36-57; 2 Berbentuk perkumpulan sebagaiamana diatur dalam Titel IX Buku III KUHP; 3 Dapat berbentuk koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi; 4 Berbentuk BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 berupa perusahaan perseroan, perusahaan jawatan, perusahaan jawatan; 5 Yayasan Stichting merupakan badan hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Penggolongan badan hukum jika dilihat dari jenisnya dapat pula dibedakan menjadi dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik misalnya Negara Republik Indonesia, Pemerintah KotaKabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum privat misalnya 115 Mahmud Mulyadi, Hakekat Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelestarian Lingkungan Hidup , Medan: Pustaka Bangsa Pers, 2004, hlm. 203. Universitas Sumatera Utara Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk menentukan suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat ada dua yaitu: 116 1 Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oelh PemerintahNegara, sedangkan badan hukum privat didirikan orang- perseorangan; 2 Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum tersebut apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika lapangan pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan hukum privat. Berkaitan dengan badan hukum korporasi sebagai subyek hukum, menurut Sudikno Mertokusumo subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hak dan kewajiban dari hukum itu hanyalah manusia. 117 Kenyataan dewasa ini, dalam lapangan masyarakat bukan saja manusia yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum tetapi juga diberikan kepada subyek hukum yang bukan manusia yaitu badan hukum. Menurut Alvi Syahrin, suatu badan hukum merupakan suatu badan entity yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai 116 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 14 117 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999, hlm. 67. Universitas Sumatera Utara subyek hukum secara materil ia badan hukum mencakup hal-hal sebagai berikut: 118 1 Kumpulan atau asosiasi modal yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya. 2 Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum rechtshandeling dalam hubungan-hubungan hukum rechtsbetrekking, dan ini menjadi tujuan dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan. 3 Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4 Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal ini dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus. 5 Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini dengan segala hak dan kewajibannya. 118 Alvi Syahrin, Tinjauan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 862KPID.SUS2010 ,http:alviprofdr.blogspot.com201311tinjauan-terhadap-putusan-mari- no.htmlmore, diakses tanggal 12 April 2016. Universitas Sumatera Utara 6 Sifat keanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya. 7 Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri, anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut. b. Bukan Badan Hukum Adapun badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum dapat dikategorikan menjadi tiga bentuk yaitu: persekutuan perdata, persekutuanperusahaan firma fa persekutuanperusahaan komanditer CV. Perbedaan antara badan hukum yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum terlihat dari perbedaan prosedur pendirian badan usaha tersebut. Untuk pendirian badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum, maka syarat adanya pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan. 119 Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad, badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dapat dikategorikan sebagai: a Perusahaan perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan, misalnya: perusahaan industri, perusahaan dagang dan perusahaan jasa. b Perusahaan persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian, yaitu bidang 119 Mahmud Mulyadi, Hakekat... op.cit, hlm. 209. Universitas Sumatera Utara industri, dagang dan jasa yang dapat berbentuk perusahaan Firma fa dan persekutuan komanditer CV. 120 Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana tentang apa yang dimaksud dengan korporasi sebenarnya terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang sudah berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Pendapat lain adalah yang bersifat luas; dimana dikatakan bahwa korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Selanjutnya menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam hukum pidana, pengertian korporasi tidak hanya badan hukum, melainkan meliputi badan hukum maupun bukan badan hukum., bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum, tetapi juga firma, CV, dan persekutuan yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukanlah suatu badan hukum. 121 Adapun menurut penulis, pada hakikatnya apabila korporasi hanya dimaknai secara sempit sebagai badan hukum, tidaklah dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Karena dalam perkembangan kehidupan perekonomian global yang semakin kompleks, sesungguhnya pelaku 120 Ibid. , hal. 210 121 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006, hlm. 45. Universitas Sumatera Utara usaha, yang dalam tulisan ini adalah pelaku usaha perkebunan nyatanya bukan hanya berasal dari sebuah korporasi berbadan hukum, tetapi juga korporasi tidak berbadan hukum. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam arti yang luas. 2. Tahap-Tahap Pengakuan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana sudah dimulai sejak tahun 1635, ketika itu sistem hukum Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana ringan. 122 Adapun pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana sesungguhnya tidak muncul melalui penelitian yang mendalam dari para ahli, tapi justru merupakan akibat dari formalisme hukum legal formalism. Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya. Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia tidak dapat dilepaskan dari peran pengadilan. Adalah hakim dalam sistem common law yang melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang menciptakannya. 123 Yedidia Z. Stern sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali menyatakan bahwa para hakim yang ada pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk membebankan tindakan para agen kepada korporasi, berusaha mempertanyakan 122 Andrew Weissmann dan David Newman, “Rethinking Criminal Corporate Liability”, Indiana Law Journal, 2007, http:www.corporatecrimereporter.comwp-contentuploads 201307weissmann.pdf, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 419. 123 Ibid., hlm. 418 - 419. Universitas Sumatera Utara apakah suatu korporasi, dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki kondisikeadaan psikologis untuk adanya suatu penuntutan sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain yang mensyaratkan adanya hal itu. 124 Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek hukum pidana manusia. Hambatan-hambatan teoritis tersebut dapat didasarkan pada dua hal, yakni: Pertama, begitu kuatnya teori fiksi fiction theory yang dicetuskan Carl Von Savigny 125 , dan Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. 126 Dominasi asas ini dapat dilihat dalam KUHP Indonesia yang memang tidak mencantumkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Dapat disimpulkan, bahwa KUHP Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh manusia sedangkan badan hukum tidak diakui dalam hukum pidana. 127 Dalam perkembangannya, dua alasan di atas lama kelamaan mulai melemah pengaruhnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal: Pertama, korporasi merupakan aktor utama perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode paling efektif untuk memengaruhi tindakan-tindakan 124 Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 99. 125 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Strict Liability dan Vicarious Liability, Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996, hlm. 30. 126 Bandingkan dengan Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: Utomo, 2004, hlm. 25. Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah semata. Pandangan ini dianut KUHP melalui Pasal 59, yang dipengaruhi asas “societas delinquere non potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik. 127 Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. hlm, 39. Universitas Sumatera Utara aktor rasional korporasi. 128 Kedua, keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang apabila korporasi hanya dijaruhi sanksi keperdataan. Dalam kedua konteks inilah sanksi pidana diperlukan. 129 Dikarenakan anggapan bahwa tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia, maka muncullah tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana. Tahap tersebut antara lain: a. Perkembangan Tahap Pertama Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah semata, tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan natuurlijk persoon. 130 Akibatnya, ketika suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, karena telah di bebankan “tugas mengurus” zorgplicht, maka tindak pidana tersebut dianggap dapat dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut. 131 Perkembangan tahap ini telah terlihat sejak KUHP tahun 1886 dibentuk, di mana pembentuk undang-undang telah mulai memasukkan larangan-larangan dan perintah-perintah terhadap pengurus yang bertanggung jawab, berupa kewajiban-kewajiban dalam beberapa peraturan dan undang-undang khusus tertentu, dengan maksud supaya 128 Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnasional Corporation and Human Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, http:scholarship.law.berkeley.edu cgiviewcontent.cgi?article=1207context=bjil, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 46. 129 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28. 130 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 66 131 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 52 Universitas Sumatera Utara mereka bertanggung jawab dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut terhadap badan atau perusahaan yang dipimpinnya. 132 Alasan tidak dapatnya korporasi dipidana, antar lain: Pertama, asas hukum pidana yang ada di KUHP berlandaskan pada ajaran kesalahan pribadi dan hanya ditujukan kepada orang alamiah. 133 Kedua, hukuman-hukuman pokok yang ada di KUHP mempunyai sifat kepribadian. Ketiga, hukuman yang menyangkut kemerdekaan tidak dapat dilaksanakan oleh korporasi. Keempat, meski hukuman denda dapat dijatuhkan kepada korporasi, yang dijatuhi hukuman denda itu dapat memilih untuk membayar denda atau menjalani hukuman kurungan sebagai penggantinya. 134 Pandangan ini dianut KUHP Indonesia melalui Pasal 59, yang berbunyi: “Dalam hal-hal di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak pidana.” Melalui bunyi pasal tersebut, telah terlihat bahwa secara implisit pidana ditentukan hanya kepada pengurus, pasal ini masih dipengaruhi asas “societas delinquere non potest” 135 , yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik. 136 Oleh 132 Schaffmeister, Nico Keijzer dan Sutorius, Hukum Pidana, diterjemahkan pleh J. E. Sahetapy, Yogyakarta: Liberty, 1995, hlm. 274. 133 Bandingkan dengan Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berikut Studi Kasus, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 28, yang mengatakan bahwa pada mulanya orang tidak menerima pertanggungjawaban korporasi dalam perkara pidana karena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti manusia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan. 134 J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 289. 135 Endsche sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 53. Menyatakan bahwa ketentuan universitas delinquere non potest adalah contoh khas dari pemikiran secara khas dari abad XIX, di mana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan manusia, sehingga erat kaitannya dengan sifat individualisasi KUHP. Universitas Sumatera Utara sebab itu apabila suatu korporasi melakukan delik, itu dianggap dilakukan oleh pengurusnya, karena melakukan delik pada waktu itu diartikan sebagai sesuatu perbuatan fisik dari si pembuat. 137 Dalam perkembangannya pada tahap pertama ini tantangan besar muncul berkenaan dengan tertutupnya kemungkinan menerapkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Dalam hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggung jawab, maka bagimana memutuskan tentang pembuat dan pertanggungjawabannya? Kesulitan inilah yang akan dijawab pada perkembangan tahap kedua. b. Perkembangan Tahap Kedua Ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang, bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi. Namun, tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus korporasi. Perumusan yang khusus ini, yaitu apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu pimpinan atau karena suatu korporasi. Tuntutan pidana dan pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Perumusan ini dilandasi pemikiran bahwa sering terjadi kedudukan dalam korporasi itu yang memberi kesempatan untuk melakukan delik. 138 Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau 136 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 25. 137 Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 277. 138 Ibid, hlm. 277. Bandingkan dengan Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 36-37. Universitas Sumatera Utara kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. 139 Meskipun demikian, Hasbullah F. Sjawie berpendapat bahwa perkembangan yang terjadi ini belum dapat dikategorikan suatu perubahan tahapan karena meski di sini sudah ada pengakuan bahwa subjek hukum pidana meliputi juga korporasi, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan kepada pengurusnya. Oleh sebab itu, pada hakikatnya perkembangan ini tidak dapat dijadikan sebagai tahapan tersendiri karena Pasal 59 KUHP itu juga secara tidak langsung mengakui adanya korporasi walau tidak disebut bahwa korporasi adalah juga subjek hukum pidana, yang dipertanggungjawabkan adalah pengurusnya. 140 c. Perkembangan Tahap Ketiga Merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung korporasi. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasannya sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, 139 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 26. 140 Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm 277. Universitas Sumatera Utara diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan yang bersangkutan. 141 Berkaitan dengan hal di atas, merujuk pada ketentuan dan Memorie van Toelichting MvT Pasal 59 KUHP, bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh seseorang dan keberadaan badan hukum tidak berlaku dalam hukum pidana. Oemar Seno Adji berpendapat bahwa mungkin pembuat undang-undang pada saat itu tidak voorzien menduga bahwa hukum pidana ekonomi, fiskal, dan bahkan hukum pidana politik akan mengandung ketentuan yang meninggalkan asas bahwa hanya orang yang dapat melakukan sesuatu tindak pidana dan fiksi mengenai badan hukum itu tidak berlaku dalam hukum pidana. Teori fiksi sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, menyediakan tempat bagi suatu pandangan yang sebelumnya dikemukakan oleh von Gierke, yang melihat badan hukum itu sebagai suatu realitas dan bukan fiksi lagi, yang terpisah dari orang perorangannya. Karena, jika hukum pidana ekonomi, fiskal, dan hukum pidana politik menerima adanya pemidanaan terhadap korporasi, itu didasarkan tidak saja pada pertimbangan-pertimbangan utilitis, tetapi juga atas dasar-dasar teoritis yang dapat dibenarkan. Hal ini merupakan penyimpangan Pasal 59 KUHP. 142 Berkenaan dengan tahapan ini, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa, baik perundang-undangan maupun ilmu hukum telah mematahkan persoalan mengenai tanggung jawab pidana dari korporasi dan telah mengesampingkan pikiran dalam KUHP bahwa hanya peroranganlah yang dapat dipandang sebagai subjek dari suatu tindak pidana. Ia berpandangan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana 141 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28. 142 Oemar Seno Adji, Hukum Acara Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, 1984, hlm. 159-160. Universitas Sumatera Utara Ekonomi, demikian pula Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, undang-undang dan praktik hukum di luar negeri, ajaran-ajaran yang digariskan oleh von Gierke, adalah petunjuk-petunjuk bahwa harus ditempuh jalan baru mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana karena dalam zaman modern ini korporasi tersebut merupakan faktor yang cukup dominan yang bergerak dalam perekonomian dan perdagangan, maka tentu akan meletakkan jejaknya pula terhadap hukum pidana. 143 3. Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam Perundang-undangan di Indonesia Tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum di Indonesia tidak mengikuti perkembangan di Belanda, yang dewasa ini perkembangannya telah sampai pada tahap di mana ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana tidak lagi tersebar di luar Wetboek van Strafrecht WvS. Sejak lahirnya Undang-undang tanggal 23 Juni 1976 Staatsblad 377 yang disahkan pada tanggal 1 September 1976, mengenai subjek hukum korporasi selain manusia telah ditempatkan dalam ketentuan umum Pasal 51 WvS Strafbarefeiten kunnen worde begaan door natuurlijke personen en rechtspersonen . 144 Sejak itulah korporasi diperlakukan sebagai subjek hukum pidana di Belanda secara keseluruhan. Pasal 51 WvS Belanda tidaklah menggunakan istilah corporatie, tetapi istilah rechtspersoon atau badan hukum, selengkapnya berbunyi: 145 1 Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum; 143 Ibid., hlm. 280. 144 Lihat Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, Jakarta: Ind.Hill-Co., 1993, hlm. 100. 145 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 69-70. Universitas Sumatera Utara 2 Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap: a. Badan hukum, atau; b. Terhadap mereka yang memerintah melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu; c. Terhadap yang disebutkan dalam a dan b bersama-sama. 3 Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan. Dengan lahirnya undang-undang ini, maka di Belanda badan hukum sebagai subjek hukum pidana bukan lagi merupakan penyimpangan asas, karena telah diatur dalam KUHP mereka, karena semua ketentuan perundang-undangan pidana khusus yang tersebar di luar WvS Belanda yang mengatur tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 WvS Belanda, maka sebagai ketentuan umum berdasar Pasal 91 WvS Belanda Pasal 103 KUHP Indonesia, ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di luar kodifikasi sepanjang tidak disimpangi. 146 Perkembangan yang tidak diikuti oleh KUHP Indonesia ini 147 dapat disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, memang perubahan tersebut telah diterima, akan tetapi karena sulitnya melakukan perubahan KUHP sehingga 146 Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 284. 147 Andi Hamzah, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980, hlm. 9. Aturan mengenai korporasi justru terpencar pada perundang-undangan di luar KUHP. Hal tersebut disebabkan oleh: 147 1. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu disertai dan diikuti dengan peraturan-peraturan hukum dengan sanksi pidananya. Hukum di sini telah berfungsi, baik sebagai social engineering maupun social control; 2. Kehidupan modern semakin kompleks sehingga di samping adanya peraturan hukum pidana berupa unifikasi yang tahan lama-KUHP-di perlukan pula peraturan pidana yang bersifat temporer. Universitas Sumatera Utara perubahan hanya dilakukan dalam perundang-undangan pidana khusus. Kedua, adalah mungkin memang secara umum belum dapat diterima di Indonesia badan hukum dianggap sebagai subjek hukum pidana dan atas hal-hal tertentu saja dimungkinkan penyimpangan itu. 148 Di Indonesia dewasa ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung memang hanya terdapat dan berlaku terhadap beberapa perundang- undangan khusus di luar KUHP, 149 yang pada tulisan ini diambil beberapa contoh perundang-undangan yang erat kaitannya dengan bidang perkebunan, antara lain: 1. Undang-Undang Penataan Ruang Ketentuan pasal 1 angka 33 UU No. 26 Tahun 2007 150 telah menyebutkan bahwa “orang adalah orang perseorangan danatau korporasi”. Pengaturan ini selanjutnya diikuti dengan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana yang dapat dilakukan korporasi dalam pasal 74 yang berbunyi: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 tiga kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72. Pengaturan mengenai korporasi dalam UU No. 26 Tahun 2007 telah menunjukkan bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, namun pengaturan ini belum secara eksplisit menjelaskan korporasi manakah yang dirujuknya 148 Loebby Loqman, op.cit, hlm 109. 149 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 60. Perundang-undangan di luar KUHP itu dinamakan perundang-undangan pidana khusus, yaitu semua perundang-undangan di luar KUHP yang mengandung ketentuan pidana. Sedangkan perundang-undangan pidana umum adalah KUHP dan semua perundang-undangan yang mengubah atau menambah KUHP. Lihat juga Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm. 5. 150 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725 Universitas Sumatera Utara sebagai subjek dalam Undang-Undang ini, apakah korporasi berbadan hukum atau bukan berbadan hukum. 2. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 33 UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahw a “setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.” Selanjutnya pengaturan bahwa korporasi dapat dipidana diatur dalam pasal 116 ayat 1: Pasal 116 1 Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; danatau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Istilah korporasi tidak secara eksplisit digunakan dalam UU No. 32 Tahun 2009, istilah yang dipergunakan adalah badan usaha, yang sesungguhnya mengacu pada istilah korporasi, sebagai suatu subjek yang dapat bertindak dan dapat mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang dilakukannya. Korporasi atau dalam hal ini badan usaha pun dimaknai secara luas, yaitu berbadan hukum dan bukan berbadan hukum. 3. Undang-Undang Kehutanan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebutkan bahwa: “setiap orang adalah orang perseorangan danatau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia danatau Universitas Sumatera Utara berakibat hukum di wilayah hukum I ndonesia”. Selanjutnya korporasi sebagai subjek tindak pidana juga dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 119 ayat 1 dan 2, yang berbunyi: Pasal 109 1 Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan danatau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi danatau pengurusnya. 2 Perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama. UU No. 18 Tahun 2013 telah secara eksplisit menegaskan bahwa korporasi merupakan suatu entitas yang dapat melakukan tindak pidana, dan dapat melakukan pertanggungjawaban pidana. Korporasi yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 22, yakni korporasi berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum. 4. Undang-Undang Tentang Perkebunan Sejalan dengan ketiga Undang-Undang yang telah diuraikan sebelumnya, UU No. 39 Tahun 2014 juga menyebutkan secara eksplisit bahwa: “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.” Aturan yang telah mengartikan korporasi dalam pemaknaannya secara luas ini, juga diikuti aturan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi yang tercantum dalam Pasal 113 ayat 1, yang berbunyi: Pasal 113 1 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104, Universitas Sumatera Utara Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 13 sepertiga dari pidana denda dari masing-masing tersebut. Pengaturan ini berbeda dengan Undang-Undang Perkebunan sebelumnya, yakni UU No. 18 Tahun 2004 yang telah dicabut. UU No. 18 Tahun 2004 sama sekali tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung. Pada Pasal 1 Angka 4 memang telah dijelaskan bahwa “pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan. ” Kemudian yang dimaksud dengan perusahaan perkebunan dijelaskan pada Pasal 1 Angka 6 yang berbunyi: “Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu. ” Kedua pasal dalam UU 18 Tahun 2004 ini sebenarnya telah menerangkan bahwa sesungguhnya perusahaan atau yang dalam peraturan lain lazim disebut sebagai badan usaha merupakan subjek hukum di bidang perkebunan. Akan tetapi timbul kerancuan ketika bab mengenai ketentuan pidana justru memakai frasa “setiap orang” 151 yang mana tidak dijelaskan sama sekali dalam bab ketentuan umum tersebut mengenai siapakah yang dimaksud dengan “setiap orang” tersebut. Kemudian, apabila mencermati bab ketentuan pidana dalam UU No. 18 Tahun 2004, memang tidak ada menyebutkan sama sekali mengenai pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, sehingga dapatlah 151 Perhatikan Pasal 46-54 UU No. 18 Tahun 2004. Universitas Sumatera Utara disimpulkan bahwa UU No. 18 Tahun 2004 belum mengklasifikasikan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Melalui perbandingan beberapa undang-undang khusus di atas, terlihat bahwa pengaturan tentang korporasi belum seragam. Nampaknya pembentuk Undang-Undang belum dapat menentukan sebuah defenisi konkrit mengenai korporasi sehingga dapat dijadikan acuan bagi aturan perundang-undangan secara umum. Perkembangan pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana tampak sudah mendunia dan telah dibuktikan, antara lain, dengan diselenggarakannya konferensi internasional ke-14 mengenai Criminal Liability of Corporation di Athena pada tanggal 31 Juli - 6 Agustus 1994. Pada konferensi tersebut, misalnya Finlandia yang semula tidak megatur korporasi sebagai subjek hukum pidana tetapi dalam perkembangannya telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, dan dapat dipertanggungjawabkan. 152 Semakin kuatnya pendirian banyak negara untuk menetapkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana dan kedudukannya yang tidak hanya di dalam hukum pidana khusus, membuat Indonesia mulai menerima pendirian demikian. Melalui Rancangan Undang- Undang KUHP 2012, Indonesia telah mengatur tentang pengertian korporasi dalam ketentuan umum Buku I. Adapun pasal-pasal yang dimaksud adalah sebagai berikut: 152

M. Arief Amrullah, Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,

Makalah disampaikan dalam Workshop Tanggungjawab Sosial Perusahaan PUSHAM UII, Yogyakarta, 6-8 Mei 2008, hlm. 10. Universitas Sumatera Utara Paragraf 6 Korporasi Pasal 47 Korporasi merupakan subjek tindak pidana. Pasal 48 Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pasal 49 Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi danatau pengurusnya. Pasal 50 Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk danatau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Pasal 51 Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Pasal 52 1 Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. 2 Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dinyatakan dalam putusan hakim. Pasal 53 Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk danatau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi. Perubahan aturan-aturan hukum pidana nasional yang terlihat dalam RUU KUHP, dilakukan dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana nasional. 153 153 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan HAM RI, Draft Naskah Akademik Tentang Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , Jakarta, Maret 2015, hlm. 2. Muladi dan Diah Sulistyanti sebagaimana dikutip dari Naskah Akademik RUU KUHP menyatakan bahwa pembaharuan dan pembangunan hukum pidana tidak dapat dilakukan secara ad-hoc partial tetapi harus bersifat mendasar, menyeluruh dan sistemik dalam bentuk rekodifikasi yang mencakup 3 tiga permasalahan pokok hukum pidana yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum criminal act, pertanggungjawaban pidana Universitas Sumatera Utara Rancangan KUHP tahun 2012 ini menghapus keragu-raguan dan sekaligus menegaskan kedudukan subjek hukum korporasi dalam hukum pidana Indonesia.

C. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi