Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Pembakaran Lahan Perkebunan

dikenakan apabila pelaku melakukan tindak pidana omisi dengan memperhatikan variabel-variabel yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang turut menjadi acuan dalam larangan pembakaran lahan tersebut. Keempat, keadaan yang memberatkan pemidanaan. Terkait dengan jenis keadaan yang memberatkan pemidanaan, sesungguhnya dalam ketentuan tentang tindak pidana pembakaran lahan dalam UU No. 39 Tahun 2014 hal tersebut secara implisit diatur dalam ketentuan Pasal 113 Ayat 1. Karena, jika merujuk pada sifat pemberatan pemidanaan, hal ini bisa terjadi apabila tindak pidana pembakaran lahan dilakukan korporasi bersama-sama dengan pengurus, di mana tidak hanya pengurus yang dimintai pertanggungjawaban, namun dimungkinkan jika terbukti korporasi juga dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.

B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Pembakaran Lahan Perkebunan

Subjek hukum rechtssubject adalah sesuatu yang menurut hukum berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum. 277 Yang dapat bertindak sebagai subjek hukum 278 adalah manusia natural person dan bukan manusia badan hukumlegal person. 279 Dengan demikian, jika korporasi dianggap sebagai subjek 277 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Keenam Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal 228. 278 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2009, hal. 242- 243. 279 Samond dalam GW Paton, A Textbook of Jurisprudence, English Language Book Society , London: Oxford University Press, 1972, hlm. 391 menyebutkan: So far as legal theority is concerned, a person is being whom the law regards as capable of rights and duties. Any being that is so capable is a person, whether a human being or not, and no being that is so capable is a person, even though he be a man. Universitas Sumatera Utara hukum seperti halnya manusia, konsekuensi logis yang melekat padanya adalah bahwa korporasi bisa melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan transaksi bisnis, mengadakan perjanjian kredit, hak untuk memiliki barang dan harta kekayaan, hak untuk menuntut dan dituntut. 280 Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana, haruslah jelas terlebih dahulu siapa yang dipertanggungjawabkan, artinya harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dinyatakan sebagai subjek tindak pidana tertentu. 281 Lahirnya UU No. 39 Tahun 2014 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku aturan sebelumnya, yakni UU No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan telah memberikan paradigma baru mengenai kedudukan korporasi sebagai subjek hukum Perkebunan. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam bagian ketentuan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Melalui ketentuan Pasal 1 angka 8, dijelaskan bahwa “Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun danatau perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha Perkebunan.” Selanjutnya Pasal 1 angka 9 memberikan arti Pekebun sebagai “orang perseorangan warga negara Indonesia yang melakukan Usaha Perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu.” Sedangkan Perusahaan Perkebunan didefenisikan dalam Pasal 1 Angka 10 sebagai: “badan usaha yang berbadan hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala tertentu.” Kemudian kedudukan korporasi dipertegas dalam Pasal 1 angka 15, yang berbunyi: “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum 280 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 5. 281 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 66-67. Universitas Sumatera Utara maupun yang tidak berbadan hukum.” Ketentuan ini mempertegas kedudukan korporasi sebagai subjek hukum Perkebunan, termasuk pula sebagai subjek hukum rechtssubject tindak pidana di bidang Perkebunan. Ketentuan Pasal 1 Angka 15 UU No. 39 Tahun 2014, tidak terdapat dalam UU No. 18 Tahun 2004, yang tidak ada menyebutkan bahkan satu kalipun istilah “korporasi”. Dengan diakuinya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam undang-undang perkebunan, berarti korporasi dianggap mampu melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya dalam hukum pidana corporate criminal responsibility . 282 Menjadi catatan, sebagaimana telah diuraikan secara singkat sebelumnya bahwa sekalipun telah dicabut dan digantikan UU No. 39 Tahun 2014 ketentuan mengenai tindak pidana pembakaran lahan sebelumnya juga ada diatur dalam UU No. 18 Tahun 2004, namun tidak mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pidana Pasal 48 dan Pasal 49 UU No. 18 Tahun 2004: Pasal 48: 1 Setiap orang yang dengan sengaja membuka danatau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah. 2 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 15 1ima belas tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 lima belas miliar rupiah . Pasa1 49 1 Setiap orang yang karena kelalaiannya membuka danatau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan 282 Mohammad Ekaputra, op.cit, hlm. 25. Universitas Sumatera Utara fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 tiga miliar rupiah. 2 Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. Aturan dalam Pasal 48 dan Pasal 49 UU No. 18 Tahun 2004 tidak ada mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Bahkan secara keseluruhan dalam Bab tentang Ketentuan Pidana, UU No. 18 Tahun 2004 tidak mengatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang Perkebunan. Walaupun pada Bab Ketentuan Umum dijelaskan bahwa perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu, batasan “badan hukum” tersebut secara implisit dapat dikatakan memiliki sifat sebagai subjek hukum, namun tidak dapat secara tegas disebut sebagai subjek tindak pidana. Hal ini dikarenakan tidak diaturnya kedudukan korporasi maupun badan hukum dalam ketentuan pidana dalam perumusan UU No. 18 Tahun 2004 283 , sehingga pemaknaan “setiap orang” tidak dapat ditafsirkan sebagai 283 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Berikut Studi Kasus , Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 33. Edi Yunara menyatakan bahwa jika kita hendak menghubungkan pelaku dengan tindakannya dalam rangka mempertanggungjawab- pidanakan pelaku tersebut, harus diteliti dan dibuktikan bahwa: 1. Subjek harus sesuai perumusan undang-undang; 2. Terdapat kesalahan pada petindak; 3. Tindakan itu bersifat melawan hukum; 4. Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang dalam arti luas; 5. Dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan-keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang. Universitas Sumatera Utara “korporasi atau manusia”, hal mana yang justru secara tegas diatur dalam UU No. 39 Tahun 2014. UU No. 39 Tahun 2014 telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum Perkebunan dan telah mengatur pula mengenai hal yang “diperbolehkan”, dan “dilarang” untuk dilakukan korporasi. Penekanan pengaturan tindak pidana dalam UU No. 39 Tahun 2014, sesungguhnya bermuara pada dua jenis tindak pidana, yakni: tindak pidana administrasi dan tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terkait dengan bidang perkebunan. Tindak pidana administrasi adalah tindak pidana yang berhubungan dengan pelanggaran izin atau lisensi. Artinya “hak” untuk melakukan segala kegiatan perkebunan muncul dari adanya “izin” dari pejabat yang berwenang, namun jika tidak ada “izin”, maka tindakan tersebut melahirkan “tindak pidana” yang disebut tindak pidana perkebunan. Sedangkan tindak pidana pencemaran dan perusakan lingkungan hidup adalah tindak pidana dimana tidak dipenuhinya kriteria baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kegiatan perkebunan. Kemudian, selain mengatur tindak pidana dalam bentuk perbuatan yang dilarang tindak pidana komisi, UU No. 39 Tahun 2014 juga mengatur tindak pidana berupa pengabaian kewajiban hukum untuk bertindak tindak pidana omisi. Diperbolehkannya korporasi untuk melakukan perbuatan tertentu merupakan akibat dari pengertian perkebunan itu sendiri, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 1 bahwa: Universitas Sumatera Utara “Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan.” Kata “pengelolaan” dalam pengertian tersebut sesungguhnya memberikan ruang bagi korporasi untuk memanfaatkan wilayah, sumber daya, lingkungan hidup, serta fasilitas umum dan fasilitas penunjang lainnya terkait Perkebunan sepanjang sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku. Adapun kalimat yang menunjukkan dilarangnya korporasi untuk melakukan tindakan tertentu dalam UU No. 39 Tahun 2014 dapat dilihat melalui perumusan pasal- pasal berikut: 1. Pasal 15 Perusahaan Perkebunan dilarang memindahkan hak atas tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. 2. Pasal 17 1 Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 2 Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat 1. 3. Pasal 23 1 Setiap Orang dilarang mengeluarkan sumber daya genetik Tanaman Perkebunan yang terancam punah danatau yang dapat merugikan kepentingan nasional dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2 Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber daya genetik Tanaman Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Menteri. 4. Pasal 50 Menteri, gubernur, dan bupatiwali kota yang berwenang menerbitkan izin Usaha Perkebunan dilarang: a. menerbitkan izin yang tidak sesuai peruntukkan; dan atau b. menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan peraturan perundang undangan. Universitas Sumatera Utara 5. Pasal 55 Setiap Orang secara tidak sah dilarang: a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, danatau menguasai Lahan Perkebunan; b. mengerjakan, menggunakan, menduduki, danatau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan; c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau d. memanen danatau memungut Hasil Perkebunan. 6. Pasal 56 1 Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka danatau mengolah lahan dengan cara membakar. 2 Setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun. 3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan lahan tanpa membakar diatur dengan Peraturan Menteri. 7. Pasal 63 1 Pemerintah Pusat melindungi kelestarian wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik. 2 Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang mengalihfungsikan Lahan Perkebunan di dalam wilayah geografis yang memproduksi Hasil Perkebunan yang bersifat spesifik. 8. Pasal 77 Setiap Orang dalam melakukan pengolahan, peredaran, danatau pemasaran Hasil Perkebunan dilarang: a. memalsukan mutu danatau kemasan Hasil Perkebunan; b. menggunakan bahan penolong dan atau bahan tambahan untuk pengolahan; danatau c. mencampur Hasil Perkebunan dengan benda atau bahan lain; yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, danatau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. 9. Pasal 78 Setiap Orang dilarang menadah hasil Usaha Perkebunan yang diperoleh dari penjarahan danatau pencurian. 10. Pasal 79 Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang mengiklankan hasil Usaha Perkebunan yang menyesatkan konsumen. Penegasan oleh undang-undang terhada p perbuatan yang “dilarang” ini terlihat dari “pengancaman sanksi” terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud Universitas Sumatera Utara dalam Pasal 103 sd Pasal 113 UU No. 39 Tahun 2014. Termasuk dalam hal pembakaran lahan perkebunan yang diatur dalam Pasal 108, yang berbunyi: “Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka danatau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupia h.” Rumusan pasal 108 pada hakikatnya merujuk pada orang perorangan sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Aturan yang secara langsung menyebut korporasi sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, dapat dilihat dalam Pasal 113 Ayat 1, yang berbunyi: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 13 sepertiga dari pidana denda dari masing- masing tersebut.” Rumusan tersebut telah dengan tegas memisahkan korporasi dari manusia sebagai subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Rumusan ini tidak membatasi makna korporasi dengan istilah “badan hukum” atau “tidak berbadan hukum”, melainkan sesuai dengan aturan Pasal 1 Angka 15 UU No. 39 Tahun 2014, yang memberikan konsep “korporasi” dalam arti yang luas, yaitu orang danatau kekayaan yang terorganisir, baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Secara teoritis, artinya korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, walaupun dalam penerapannya sanksi pidana Universitas Sumatera Utara terhadap korporasi harus dianalisis kontekstual sesuai kasus 284 dan senantiasa selalu diuji dalam praktek pengadilan seperti yang terjadi di negeri Belanda. 285 C. Perumusan Sanksi Pidana terhadap Korporasi Pelaku Pembakaran Lahan Perkebunan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Pembakaran hutan atau lahan merupakan kejahatan yang harus diperangi secara komprehensif oleh setiap pihak. Kebijakan hukum pidana penal policy melalui pembaharuan hukum pidana materilsubstantif merupakan salah satu jalan yang dapat dilakukan dalam upaya memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan korporasi. Di samping itu, jika melihat lebih jauh kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial social policy . Kebijakan sosial social policy mencakup upaya kesejahteraan sosial social welfare policy dan perlindungan masyarakat social defence policy . 286 Untuk membantu kebijakan tersebut, criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana penal policy harus memenuhi unsur: kebijakan legislatif tahap formulasi, kebijakan yudikatif tahap aplikasi, dan kebijakan eksekutif tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana. 287 Dalam tahap formulasi, kebijakan legislatif yang diambil dalam rangka penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan bukanlah sekedar masalah 284 Sutan Remy Sajhdeini, op.cit, hlm. 104. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, untuk menentukan directing mind dari korporasi harusalah dilihat dari formal yuris dan menurut kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus. 285 Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 173. 286 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007, hlm.78-79. 287 Teguh Soedarsono, “Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging”, Jakarta: Jurnal Hukum LPSK, 2010, hlm. 63. Universitas Sumatera Utara teknis perundang-undangan, melainkan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari substansi atau materi perundang-undangan itu sendiri. Menurut Achmad Ali, sanksi harus dipandang sebagai salah satu unsur yang esensial, apabila kita melihat hukum sebagai kaidah. Hampir semua juris yang berpandangan dogmatik, memandang hukum sebagai kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, sanksi merupakan “safetybelt” bagi suatu peraturan perundang-undangan. Perumusan sanksi dalam UU No. 39 Tahun 2014, terbagi dalam dua bagian yaitu: sanksi administratif dan sanksi pidana. Berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2009, dalam UU No. 39 Tahun 2014 tidak diatur mengenai sanksi tindakan bagi korporasi pelaku tindak pidana. Sanksi tindakan 288 yang dimaksud justru diatur dalam Pasal 119 UU No. 32 Tahun 2009, yang berbunyi: “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha danatau kegiatan; c. perbaikan akibat tindak pidana; d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; danatau e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tiga tahun.” Hal ini tidak berarti korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan tidak dapat dikenakan sanksi tindakan. Kedudukan UU No. 32 Tahun 2009 sebagai umbrella act atau lex generali dari UU No. 39 Tahun 2014, mengakibatkan pengaturan sanksi tindakan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tetap dapat dikenakan 288 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hlm. 127. Sanksi tindakan diartikan sebagai pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi mendidik dan mengayomi. Menurut Andi Hamzah, sanksi tindakan bertujuan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki terpidana. Universitas Sumatera Utara kepada korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan sepanjang proses peradilan dapat membuktikan perbuatan tersebut merusak dan mencemari lingkungan hidup. Selain sanksi tindakan, dalam tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, korporasi juga dapat dikenai sanksi ganti rugi, berdasarkan Pasal 49 PP No. 4 Tahun 2001. Mengenai besaran ganti rugi, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dapat mengacu pada ketentuan yang terdapat pada Lampiran Kedua PermenLH No. 7 Tahun 2014. Sanksi administratif memiliki ciri khas bahwa sanksi tersebut bersumber dari hubungan pemerintah-warga, tanpa perantara seorang hakim dan langsung dijatuhkan oleh pemerintah. Sanksi ini berkehendak untuk mengenakan derita atau azab kepada pelanggar sehingga unsur kesalahan menjadi sangat penting. Sanksi administratif terutama mempunyai fungsi instrumental, yaitu pengendalian perbuatan terlarang, di samping itu sanksi administratif terutama ditujukan kepada perlindungan kepentingan yang dijaga oleh ketentuan yang dilanggar tersebut sehingga pada dasarnya bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan yang terlarang. 289 Akan tetapi, mengenai sanksi administratif dalam UU No. 39 Tahun 2014 tidak akan dibahas lebih jauh dalam pembahasan ini. Pembahasan akan difokuskan kepada jenis sanksi yang kedua, yaitu sanksi pidana. Sanksi pidana merupakan sarana penanggulangan kejahatan yang paling tua, bahkan setua peradaban manusia itu sendiri. 290 Pada dasarnya, sanksi pidana merupakan pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah 289 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga Surabaya: Airlangga Press, 2005, hlm. 217. 290 Barda Nawawi Arief, “Buku III”, hlm. 18 dalam Marlina, Hukum Penitensier, hlm. 27. Sebagai sarana yang penanggulangan kejahatan paling tua, bahkan ada yang menyebut sanksi pidana sebagai “older philosophy of crime control” Universitas Sumatera Utara melakukan suatu kejahatan tindak pidana melalui suatu rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan hukum yang secara khusus diberikan untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana lagi. 291 Tujuan pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh pandangan tentang tujuan pemidanaan itu sendiri. Pada hakikatnya, dimensi pidana tersebut berorientasi dan bermuara kepada “sanksi pidana” merupakan “penjamingaransi yang utamaterbaik” atau prime guarantor dan sekaligus sebagai “pengancam yang utama” prime threatener, serta merupakan alat atau sarana terbaik dalam menghadapi kejahatan. Sanksi dalam peraturan perundang-undangan pidana lazim dicantumkan dalam bab ketentuan pidana. Ruang lingkup ketentuan pidana ketentuan hukum pidana materil pada dasarnya meliputi keseluruhan struktur sistem hukum the structure of penal system atau pada dasarnya adalah merumuskan “sistem pemidanaan substantif”. Oleh karena itu, maka “ketentuan pidana” harus mengacu pada prinsip dasar “harmonisasi kesatuan sistem”. 292 Pembahasan mengenai perumusan sanksi pidana, setidaknya harus memperhatikan tiga kriteria penting, yaitu: penetapan sanksi pidana, sistem perumusan sanksi pidana, dan perumusan jumlah pidana yang dikenakan. Penetapan sanksi pidana merupakan komponen penting dalam perumusan sanksi pidana terhadap korporasi, hal ini berkaitan dengan tujuan pemidaan 291 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 195. 292 Barda Nawawi Arief, Perumusan Ketentuan Pidana dalam Penyusunan Pembuatan Peraturan Perundang-undangan , Jakarta: BPHN KemenkumHAM RI, 2010, hlm. 66-67. Barda mengklasifikasikan sistem ini ke dalam tiga sub sistem, yaitu: masalah kriminalisasi criminalizing, atau perumusan tindak pidana, masalah pemidanaan atau penjatuhan sanksi sentencing, dan masalah pelaksanaan pidanasanksi hukum pidana execution of punishment. Universitas Sumatera Utara korporasi itu sendiri. Menurut Mahrus Ali, teori pemidanaan yang sesuai untuk dikenakan bagi korporasi adalah teori pencegahan deterrence dan teori rehabilitasi rehabilitation. 293 Asumsi dasar penggunaan teori pencegahan adalah korporasi ketika melakukan suatu aktivitas tertentu berpikir secara rasional untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan maximizing the expected utility. jarang ditemukan ketika korporasi melakukan kejahatan didasarkan motif selain untung rugi. 294 Sedangkan asumsi penggunaan teori rehabilitasi adalah bahwa korporasi merupakan entitas hukum yang tidak sehat yang memerlukan pengobatan. Seperti dokter yang menuliskan resep obat, hakim harus memberikan hukuman yang diprediksi paling efektif untuk membuat korporasi menjadi sehat kembali. Hukuman harus cocok dengan kondisi korporasinya, bukan dengan sifat kejahatannya. Hal ini berarti pemidanaan mengacu pada individualisasi pidana. 295 Penetapan jenis sanksi pidana di Indonesia sejatinya masih mengacu pada ketentuan Pasal 10 KUHP, yang menyatakan bahwa pidana terdiri atas dua jenis: a. Pidana pokok 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tutupan b. Pidana tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim 293 Mahrus Ali, op.cit, hlm. 263. 294 Ibid., hlm. 264. 295 Ibid., hlm. 265-266. Tidak jarang tindak pidana yang dilakukan korporasi menghasilkan efek negatif terhadap lingkungan hidup. Menurut Mahrus Ali, orientasi teori ini adalah lebih kepada rehabilitasi lingkungan yang rusak disebabkan oleh korporasi. Universitas Sumatera Utara Sistem perumusan sanksi pidana baik secara substansial maupun gradual merupakan tahap kebijakan formulatif. Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, ada beberapa jenis perumusan sanksi pidana, yaitu: 296 1. Sistem perumusan tunggalimperatif Sistem perumusan tunggal adalah sistem perumusan di mana jenis pidana dirumuskan sebagai satu-satunya pidana untuk delik yang bersangkutan. Misalnya: Penjara saja atau kurungan saja. kecuali terhadap pidana mati, selalu harus dialternatifkan dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu. 297 Perumusan secara tunggal merupakan peninggalan atau pengaruh yang sangat mencolok dari aliran klasik ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku, oleh karena itulah maka pada awal timbulnya aliran ini sama sekali tidak memberikan kebebasan kepada hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran pemidanaan . perumusan yang demikian sebenarnya menunjukkan kekakuan, namun untuk meretas kekakuan tersebut dapat dibuat semacam pedoman bagi hakim dalam menerapkan sistem perumusan tunggal itu agar menjadi lebih fleksibel dan elastis. 298 2. Sistem perumusan alternatif Sistem perumusan alternatif ditinjau dari aspek pengertian dan substansinya merupakan sistem perumusan dimana pidana penjara dirumuskan 296 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta: Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Cetakan kedua, Jakarta: Djambatan, 2007, hlm. 16-21. 297 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 2. 298 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981, hlm. 55. Universitas Sumatera Utara secara alternatif dengan jenis sanksi pidana lainnya; berdasarkan urutan-urutan jenis sanksi pidana yang paling berat sampai yang paling ringan. 3. Sistem perumusan kumulatif Sistem perumusan kumulatif mempunyai ciri khusus, yaitu adanya ancaman pidana dengan redaksional kata hubung “dan” seperti “pidana penjara dan pencabutan hak tertentu”. Sistem perumusan kumulatif sebenarnya identik dengan perumusan tunggal karena bersifat “imperatif”, sangat kaku dan “mengharuskan” hakim menjatuhkan pidana dan tidak ada kesempatan bagi hakim untuk memilih. Namun demikian, bila polarisasi pemikiran pada sistem perumusan kumulatif dipertajam, maka akan diperoleh beberapa kebaikannya, yaitu: a. Memberikan kepastian hukum kepada terdakwa bahwa pemidanaannya mengacu pada pidana kumulatif tersebut; b. Memberikan pidana yang lebih memberatkan kepada pelaku tindak pidana secara generalisasi tanpa melihat materi perbuatan kasus per kasus. 4. Sistem perumusan kumulatif-alternatif Sistem perumusan ini merupakan gabungan dari sistem sebelumnya. Sistem ini mengandung dimensi-dimensi sebagai berikut: a. Adanya dimensi perumusan kumulatif. Aspek ini merupakan konsekuensi logis materi perumusan kumulatif berupa adanya ciri khusus kata”dan” di dalamnya; dan b. Adanya dimensi perumusan alternatif di dalamnya. Aspek ini tercermin dari kata yang bersifat memilih pada perumusan alternatif “atau”. Universitas Sumatera Utara Jika dibandingkan dengan sistem perumusan sebelumnya, maka perumusan ini relatif signifikan, yaitu: a. Bahwa sistem perumusan kumulatif-alternatif secara substansial juga meliputi sistem perumusan tunggal, kumulatif dan alternatif sehingga secara eksplisit dan implisit telah menutupi kelemahan masing-masing sistem perumusan tersebut; b. Bahwa sistem perumusan ini merupakan pola sistem perumusan sanksi yang secara langsung merupakan gabungan bercirikan nuansa kepasstian hukum rechts-zekerheids dan nuansa keadilan; dan c. Karena merupakan gabungan antara nuansa keadilan dan kepastian hukum maka ciri utama sistem perumusan ini, di dalam kebijakan aplikatifnya bersifat fleksibel dan akomodatif. Sementara itu, mengenai model perumusan jumlah pidana yang diancamkan terdapat tiga bentuk, yaitu pertama, fix model, dalam hal ini rumusan tindak pidana menyebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana maksimum ataupun jika perlu minimumnya yang dapat dijatuhkan hakim. Kedua, categorization model , dengan penyebutan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindak pidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu. Ketiga, free model , dalam hal ini undang-undang tidak menentukan dengan pasti jumlah pidana untuk setiap tindak pidana, melainkan penyerahan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim. 299 299 Chairul Huda, Perumusan Tindak Pidana dalam Peraturan Perundang-undangan, http:ditjenpp.kemenkumham.go.idhtn-dan-puu62-perumusan -tindak-pidana-dalam-peraturan- perundang-undangan.html, Direktorat Jendral Peraturan Perundang-undangan, 2009, diakses pada 27 Mei 2016. Universitas Sumatera Utara Terhadap tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang dilakukan oleh korporasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 108 dan Pasal 113 UU No. 39 Tahun 2014, ancaman sanksi pidananya dapat dilihat sebagai berikut: Pasal 108: “Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka danatau mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.” Pasal 113: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 13 sepertiga dari pidana denda dari masing- masing tersebut.” Melalui bunyi kedua pasal tersebut, terlihat bahwa ancaman sanksi yang dianut oleh UU No. 39 Tahun 2014 merupakan sistem pidana satu jalur single track system , oleh karena tidak diaturnya sanksi tindakan dalam UU No. 39 Tahun 2014, melainkan diatur dalam ketentuan perundang-undangan lain. Kemudian, ancaman sanksi pidana yang dikenakan terhadap tindak pidana pembakaran lahan perkebunan dirumuskan secara kumulatif, yang terlihat dengan digunakannya kata hubung “dan” dalam perumusan sanksi. Terhadap subjek hukum manusia diancam dengan ancaman sanksi pidana penjara paling lama maksimum 10 tahun, yang kemudian dilanjutkan dengan ancaman sanksi pidana denda paling banyak maksimum Rp 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah. Sedangkan bagi korporasi, ancaman sanksi pidana yang dikenakan berdasarkan UU No. 39 Tahun 2014 adalah sanksi pidana denda dengan besaran pidana denda maksimum yang dikenakan pada subjek hukum manusia ditambah 13. Artinya Universitas Sumatera Utara dalam konteks tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, ancaman sanksi pidana bagi korporasi adalah pidana denda, dengan besaran Rp 10.000.000.000,00 + 13 x Rp 10.000.000.000,00. Rumusan sanksi pidana korporasi yang bersifat tunggal ini sejalan dengan pendapat Cella Wells sebagaimana dikutip dalam Dwidja Priyatno, yang membagi bentuk sanksi terhadap korporasi menjadi financial sanction misalnya: pidana denda dan non-financial sanction misalnya: percobaan, adverse publicity, community service, direct compensation order dan punitive injuctions. Financial sanction berkaitan dengan motif ekonomi yang erat hubungannya dengan tindak pidana korporasi. 300 Rumusan pasal ini sekaligus menunjukkan bahwa terhadap korporasi pidana pokok yang dapat dijatuhkan hanya pidana denda financial sanction , yang telah umum dijumpai dalam aturan pidana pada perundang- undangan di Indonesia. 301 Ancaman sanksi pidana denda terhadap tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, baik kepada subjek hukum manusia maupun korporasi, jumlahnya ditentukan dengan menggunakan metode fix model, yaitu dengan menentukan maksimum khusus dari sanksi pidana yang diancamkan. Rumusan sanksi pidana denda terhadap pelaku baik manusia maupun korporasi tindak pidana pembakaran lahan perkebunan adalah rumusan sanksi pidana denda maksimum khusus terberat dalam UU No. 39 Tahun 2014 bersama dengan 300 Cella Wells dalam Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi... op.cit, hlm. 134. 301 Mahrus Ali, op.cit, hlm 266. Mahrus Ali menyatakan, bahwa dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, pidana denda adalah pidana yang paling banyak diancamkan pada korporasi. Universitas Sumatera Utara ketentuan Pasal 105 tentang perusahaan perkebunan yang tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan. 302 Keterkaitan antara perumusan sanksi pidana denda dengan motif ekonomi yang diusung oleh korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan sesungguhnya berakar pada pemikiran Jeremy Bentham mengenai teori tujuan dari segi kemanfaatan utilitas, pandangan yang didasarkan pada the great happiness of the great numbers kebahagiaan terbesar adalah untuk orang banyak. Untuk lebih melengkapi pendapat Bentham tersebut, Ted Hoderich mengatakan, bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai suatu alat pencegahan yang ekonomis economical deterrence apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 303 a. Pidana itu sungguh mencegah; b. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan; c. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya atau kerugian yang lebih kecil. Untuk membuktikan relevansi antara pidana denda dengan korporasi pelaku tindak pidana. Ponser mengatakan bahwa terdapat dua prinsip utama analisis ekonomi atas hukum: 304 302 Bunyi Pasal 105: “Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu danatau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki izin Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah. ” 303 Yesmill Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Jakarta: Grasindo, 2008, hlm. 12. 304 Mahrus Ali, Resensi Buku: Pidana Denda dan Korupsi, http:kphindonesia.freevar.com?p=197, 2011 diakses pada 26 Mei 2016. Buku yang dirsensi tersebut adalah karangan Syaiful Bakhri, Pascasarjana UII Tahun 2009. Universitas Sumatera Utara Pertama, prinsip rasionalitas, yang mengandung suatu pengertian bahwa manusia di dalam melakukan suatu aktivitas tertentu, termasuk melakukan suatu kejahatan, berpikir secara rasional dengan tujuan utama adalah untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan maximizing the expected utility. Konsep rasionalitas dalam hukum pidana berarti pelaku kejahatan merupakan makhluk yang rasional ekonomis yang menimbang antara ongkos yang harus dikeluarkan dari melakukan kejahatan dengan keuntungan yang akan didapat. Ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan maka pelaku akan melakukan kejahatan. Kedua , prinsip efisiensi, yang mengandung makna penghematan, pengiritan, ketepatan, atau pelaksanaan sesuai dengan tujuan. Efisiensi berkaitan dengan tujuan dan sarana yang digunakan untuk mencapa tujuan. Jika sarana yang ingin dicapai membutuhkan lebih banyak biaya dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan tidak efisien. Sebaliknya, jika penggunaan sarana membutuhkan lebih sedikit biaya cost yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan tujuann yang ingin dicapai, maka hal itu dikatakan efisien. Dalam hukum pidana efisiensi berkaitan dengan dua hal. Pertama, apakah perbuatan-perbuatan yang ingin ditanggulangi dengan hukum pidana tidak banyak memerlukan ongkos untuk menanggulanginya sehingga keuntungan yang ingin diraih darinya lebihh besar. Kedua, apakah sanksi pidana yang dijatuhkan lebih besarberat dibandingkan dengan keuntungan yang diraih pelaku dari melakukan perbuatan pidana. Jika sanksi pidana lebih berat dari ongkos yang harus dikeluarkan oleh pelaku, dapat dipastikan bahwa pelakuakan menghindar untuk Universitas Sumatera Utara melakukan kejahatan. Sederhananya, akan selalu ada pertimbangan cost and benefit dalam setiap aktivitas korporasi tersebut. 305 Penjatuhan pidana denda yang tinggi terhadap korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan, justru menjadi tidak relevan dengan prinsip analisis ekonomi atas hukum pidana yang dikemukakan oleh Ponser. Argumentasi ini didasarkan kepada pengancaman sanksi pidana denda menurut analisis ekonomi atas hukum bukan terletak pada tingginya ancaman pidana denda dan tidak dirumuskan secara eksplisit jumlah denda yang harus dibayar oleh pelaku, tetapi cukup dengan mengkalilipatkan pidana denda sesuai dengan keuntungan yang diperoleh pelaku. Semakin banyak keuntungan korporasi dari melakukan tindak pidana pembakaran lahan perkebunan maka semakin tinggi denda yang harus dibayar. Asumsinya, gradasi hukuman melebihi gradasi keseriusan tindak pidana. 306 Akan tetapi, denda semacam ini yang dikenal dengan istilah denda kali lipat atau denda progresif ini belum dapat diterapkan dalam pergaulan hukum sehari-hari. Kendatipun maksud dari denda progresif sebenarnya untuk melakukan pendekatan fiskal terhadap pidana denda yang bertujuan untuk mendekatkan kesenjangan antara terpidana yang mampu dengan yang kurang mampu sehingga dapat mendekati rasa keadilan. Namun, dalam hal ini penting pula untuk tetap memperhatikan landasan formal dan kesiapan piranti operasionalnya dalam tataran aplikatif suatu kebijakan. 307 305 Ibid. 306 Ibid. 307 Ibid. Universitas Sumatera Utara Namun dengan sistem perumusan sanksi pidana bagi korporasi pelaku tindak pidana pembakaran lahan yang berlaku saat ini dalam UU No. 39 Tahun 2014, spesifikasi dan mekanisme penjatuhan pidana denda itu juga perlu diperhatikan dan dilakukan dengan hati-hati. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Muladi dan Barda Nawawi Arief, yang mengatakan bahwa dalam pelaksanaan pidana denda perlu dipertimbangkan mengenai: a. Sistem penetapan jumlah atau besarnya pidana denda; b. Batas waktu pelaksanaan pembayaran denda; c. Tindakan-tindakan paksaan yang diharapkan dapat menjamin terlaksananya pembayaran denda dalam hal terpidana tidak dapat membayar dalam batas waktu yang ditetapkan; d. Pelaksanaan pidana denda dalam hal-hal khusus misalnya, terhadap anak yang asih belum dewasa dan masih dalam tanggungan orang tua; e. Pedoman atau kriteria untuk menjatuhkan pidana denda. Poin-poin inilah yang perlu untuk diperhatikan lebih lanjut dalam pelaksanaan pidana denda bagi korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan. UU No. 39 Tahun 2014 saat ini hanya mengatur mengenai jumlah denda yang harus dibayarkan, namun belum merumuskan secara tegas pedoman atau kriteria pelaksanaan pidana denda tersebut terhadap korporasi tersebut. Universitas Sumatera Utara D. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Pembakaran Lahan Perkebunan menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam berbagai literatur acapkali dikenal dengan istilah “sistem pertanggungjawaban pidana korporasi”. Perkembangan diskusi mengenai model pertanggungjawaban pidana korporasi ini didorong oleh perkembangan pemikiran tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana. Perkembangan pemikiran tersebut dilatarbelakangi oleh aktivitas korporasi dalam bidang perekonomian dunia, yang selain membawa dampak positif bagi pembangunan juga turut pula membawa dampak negatif, berupa kejahatan korporasi itu sendiri. Perumusan korporasi sebagai subjek hukum pidana sejalan dengan pendapat Muladi yang memberikan pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana: 308 1. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, atau keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial; 2. Atas dasar asas kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Untuk memberantas Anomie of success sukses tanpa aturan; 4. Untuk perlindungan konsumen; 5. Untuk kemajuan teknologi. 308 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi..., op.cit, hlm. 58. Universitas Sumatera Utara Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, terdapat setidak- tidaknya empat model pertanggungjawaban pidana korporasi: 309 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab secara pidana 2. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab secara pidana 3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan sebagai yang bertanggung jawab secara pidana. 4. Pengurus dan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus bersama korporasi yang bertanggung jawab secara pidana Model pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut sesungguhnya mengacu pada dua konten pembahasan, yaitu mengenai siapa pembuat dan siapa yang bertanggungjawab. Berbicara mengenai korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan, maka akan muncul pertanyaan tentang bagaimana korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana karena telah melakukan pembakaran lahan perkebunan tersebut. Hal ini dapat dijelaskan dengan mengacu pada Pasal 103 UU No. 39 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 13 sepertiga dari pidana denda dari masing- masing tersebut.” 309 Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 86. Sutan Remy Sjahdeini menambahkan satu bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi, sehingga menurutnya terdapat empat bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi. Lihat Mahmud Mulyadi dan Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 55. Universitas Sumatera Utara Jika memusatkan perhatian kepada tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang dilakukan oleh korporasi, agar lebih mudah dipahami maka tidaklah salah untuk mempersingkat bunyi pasal tersebut menjadi: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan Pasal 108, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 13 sepertiga dari pidana denda dari masing- masing tersebut.” Penggunaan frasa “selain pengurusnya dipidana... korporasinya dipid ana...” pada Pasal 113 ayat 1, menunjukkan bahwa terhadap tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang dilakukan korporasi, pengurus dan korporasi itu sendiri harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU No. 39 Tahun 2014 untuk tindak pidana pembakaran lahan perkebunan ini cenderung mengarah kepada model pertanggungjawaban pidana yang keempat, sebagaimana dikemukakan Sutan Remy Sjahdeini, yang merumuskan pengurus dan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus bersama korporasi pula yang bertanggung jawab secara pidana. 310 Model pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan ini menurut Hasbullah F. Sjawie menunjukkan bahwa tindak pidana korporasi mempunyai dua struktur pertanggungjawaban, yaitu dengan pembebanan pertanggungjawaban dan pemberian sanksi, baik kepada pengurus 310 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 59. Universitas Sumatera Utara maupun kepada korporasi yang bersangkutan. 311 Model pertanggungjawaban pidana ini juga sejalan dengan perumusan Pasal 49 RKUHP 2012, yang berbunyi: “Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi danatau pengurusnya.” Kendatipun dalam rumusan Pasal 49 RUU KUHP 2012 dirumuskan dengan penggunaan frasa “...terhadap korporasi danatau pengurusnya”, frasa “selain pengurusnya dipidana... korporasinya dipidana...” pada Pasal 113 ayat 1 UU No. 39 Tahun 2014 secara implisit mengandung makna bahwa apabila tindak pidana dilakukan korporasi, pertanggungjawaban pidana dilakukan oleh korporasi “dan” juga pengurusnya. Artinya pertanggungjawaban pidana dilakukan secara bersama-sama antara korporasi dan pengurusnya. Perumusan pasal ini telah menganut pula ajaran vicarious liability. Karena pada sistem ini pengurus korporasi yang memiliki elemen mens rea ditempatkan sebagai subjek hukum pidana artinya bisa melakukan tindak pidana dan dapat bertanggung jawab secara pidana, oleh karena korporasi sebagai suatu legal entity hanya bisa berbuat dengan “tangan” pihak lain, dalam hal ini pengurusnya, maka kesalahan pengurus apabila melakukan tindak pidana pembakaran lahan perkebunan dalam rangka mencapai tujuan korporasi, juga menjadi tanggung jawab dari korporasi yang bersangkutan. Dalam hal ini penting untuk ditekankan kembali, bahwa penerapan doktrin vicarious liability hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara korporasi sebagai pemberi kerja dan pengurus yang melakuka tindak pidana tersebut. 312 311 Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 273. 312 Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 87. Universitas Sumatera Utara Perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 113 ayat 1 masih menyisakan pertanyaan, terkait dengan tidak dengan tegasnya kriteria kapankah korporasi dianggap telah melakukan pembakaran lahan perkebunan, sejauh apakah perbuatan pengurus sehingga dapat diidentifikasikan perbuatannya itu menjadi perbuatan korporasi, serta tidak ditetapkannya pedoman pidana denda bagi korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, pertanyaan-pertanyaan ini dapat menimbulkan keragu-raguan bagi aparat penegak hukum dalam menggunakan pasal tersebut terhadap tindak pidana pembakaran lahan perkebunan oleh korporasi. Patut untuk dicermati pendapat Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip Ade Adhari yang mengatakan bahwa: 313 aturan pemidanaan umum dalam KUHP berorientasi pada „orang‟ natural person, tidak ditujukan kepada korporasi legal personslegal entities. Oleh karena itu, apabila Undang-Undang khusus termasuk UU No. 39 Tahun 2014 menyebutkan subjek tindak pidana berupa korporasi, maka seyogyanya disertai juga dengan aturan khusus pemidanaan untuk korporasi, antara lain dapat mencakup: 1. Penegasan korporasi sebagai subjek tindak pidana; 2. Penentuan sanksi pidanatindakan untuk; 3. Penentuan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan; 4. Penentuan kapan korporasipengurus dapat dipertanggungjawabkan; 5. Penentuan aturan pemidanaan khusus bagi korporasi; 313 Ade Adhari, “Masalah Yuridis Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, http:emliindonesia.com201505 masalah-yuridis-sistem-pertanggungjawaban-pidana-korporasi-dalam-undang-undang-nomor-39- tahun-2014-tentang-perkebunan_ftn5, diakses pada tanggal 20 Mei 2016. Universitas Sumatera Utara 6. Penentuan alasan penghapus penuntutan atau penghapus pidana bagi korporasi. Poin 1, 2, 3, sesungguhnya telah dengan tegas dinyatakan dalam ketentuan mengenai tindak pidana pembakaran lahan perkebunan pada Pasal 113 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 2014. Namun, mengenai model pertanggungjawaban pidana oleh korporasi yang tidak mendapatkan penjelasan lebih lanjut dalam bagian penjelasan UU No. 39 Tahun 2014. Perumusan secara lebih lengkap yang mengatur pertanggungjawaban pidana antara korporasi dan pengurusnya dapat dijabarkan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 116 UU No. 32 Tahun 2009: Pasal 116 1 Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; danatau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. 2 Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Perumusan Pasal 116 UU No. 32 Tahun 2009 apabila diperhatikan lebih lanjut memang lebih komprehensif dibandingkan Pasal 113 Ayat 1 UU No. 39 Tahun 2014. Menurut Alvi syahrin jika memperhatikan ketentuan Pasal 116 UU No. 32 Tahun 2009 dan penjelasannya, tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, Universitas Sumatera Utara untuk dan atas nama badan usaha. Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana lingkungan antara lain: 314 1. dilakukan oleh badan usaha; 2. dilakukan untuk badan usaha; 3. dilakukan atas nama badan usaha; 4. dilakukan oleh badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha; 5. dilakukan oleh badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha; 6. dilakukan untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha; 7. dilakukan untuk badan usaha yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha; 8. dilakukan atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha; 9. dilakukan atas nama badan usaha yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha. Selanjutnya dijelaskan oleh Alvi Syahrin, bahwa frasa “oleh badan usaha ” berarti badan usaha sebagai pelaku, badan usaha dalam hal ini sebagai pelaku pasif, sedangkan pelaku aktifnya seperti: para pengurus badan usaha atau 314 Alvi Syahrin, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bagi Kasus- Kasus Pidana Lingkungan Hidup , http:alviprofdr.blogspot.co.id201412pertanggungjawaban- pidana-bagi-kasus.htmlmore, diakses pada tanggal 1 Juni 2016. Universitas Sumatera Utara para manajer badan usaha melakuan perbuatan tersebut oleh karena jabatannya. Kemudian f rasa “untuk badan usaha” berarti badan usaha dinyatakan sebagai pelaku oleh karena badan usaha menerima tindak pidana tersebut sebagai suatu perbuatan sesuai dengan tujuan, maksud atau badan usaha menerima perbuatan tersebut yang dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para manajer badan usaha. Sedangkan frasa “atas nama badan usaha” berarti badan usaha sebagai pelaku oleh karena perbuatan itu dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para manajernya badan usaha. Badan usaha mendapatkan manfaat keuntungan atas perbuatan yang dilakukan oleh para pengurus badan usaha atau para manajer badan usaha. Maka berdasarkan Pasal 116 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2009, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha, yang dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, yaitu: 315 1. Badan usaha dan orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan; 2. Badan usaha dan orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana lingkungan; 3. Badan usaha; 4. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan; 5. Orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana; 315 Ibid. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Pasal 116 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2009, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha dan tindak pidana itu dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain, yang dapat dituntut dan dijatuhkan hukuman, yaitu: 1. Pemberi perintah dalam tindak pidana lingkungan tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama ; 2. Pemimpin dalam tindak pidana lingkungan tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama . Ketentuan Pasal 116 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2009 membuka kemungkinan apabila suatu badan usaha melakukan perbuatan pidana, yang dituntut tidak hanya badan usahanya saja, tetapi juga orang yang telah memerintahkan kejadian tersebut dan orang yang memimpin sendiri secara nyata perbuatan yang dilarang. Artinya, pengurus sebagai pemberi perintah danatau pemimpin tindakan nyata dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan oleh badan usaha. Adanya frasa untuk, oleh, dan atas nama inilah yang membuat model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UU No. 32 Tahun 2009 lebih jelas dibandingkan UU No. 39 Tahun 2014 yang hanya mengatur bahwa korporasi dan pengurus sama-sama dapat bertanggungjawab dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, tanpa menjelaskan menganai “pengurus yang mana” yang dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana. Terkait dengan pengurus dari korporasi tersebut, sebagaimana telah diuraikan sebelumya, hal ini dapat juga dikaitkan dengan identification doctrine yang menganalogikan korporasi sebagai sebuah organisasi memiliki otak dan pusat syaraf yang Universitas Sumatera Utara mengendalikan apa yang dilakukannya. 316 Mengenai “pengurus yang mana” yang mewakili sikap batin sebagai otak dan pusat syaraf pengendali korporasi yang harus bertanggungjawab tidaklah dapat langsung ditunjuk suatu pengurus tertentu misalnya: Direkturnya saja, atau Manajernya saja. UU No. 39 Tahun 2014 juga tidak menjelaskan siapakah yang termasuk dalam “pengurus korporasi” tersebut. Di sinilah doktrin identifikasi seharusnya dapat digunakan untuk melihat siapakah yang berperan paling besar dan dianggap sebagai “directing mind” dari suatu tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Selanjutnya sebagai bahan perbandingan dapat juga dicermati ketentuan Pasal 48 RKUHP Tahun 2012, yakni: Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendirisendiri atau bersama-sama. Pasal ini telah dengan tegas menganut ajaran functioneel daderschaap karena redaksi yang dipergunakan “pelaku fungsional” terhadap pelaku yang mewakili korporasi. Pelaku fungsional tersebut lebih tegas lagi dinyatakan sebagai yang berkaitan dengan struktur organisasi yang tindakannya berada dalam lingkup hubungannya dengan korporasi. Kedudukan fungsional menurut penjelasan Pasal 48 RKUHP Tahun 2012, diartikan bahwa orang tersebut mempunyai kewenangan mengambil keputusan, dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut. Termasuk di sini orang-orang yang berkedudukan sebagai 316 Eric Colvin dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 107. Universitas Sumatera Utara orang yang menyuruhlakukan, turut serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan tindak pidana tersebut. 317 Ajaran pelaku fungsional ini dalam hukum pidana berakibat pada gambaran tentang pelaku tindak pidana tidak lagi yang secara fisik dillakukan fysiek dader, tetapi melalui organ korporasi. 318 Penjelasan mengenai “pengurus yang mana” yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pembakaran lahan perkebunan juga dapat merujuk pada Pasal 51 RKUHP Tahun 2012, di mana pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dijelaskan sebagai berikut: “Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.” Menurut penjelasan Pasal 51 RKHUP Tahun 2012, pengurus korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap semua objek, melainkan hanya yang termasuk dalam lingkup pekerjaan dalam kedudukan fungsionalnya. Guna menentukan siapa yang bertanggungjawab diantara pengurus suatu badan hukum, harus memperhatikan Anggaran DasarAnggaran Rumah Tangga atau akta pendiriannya dan ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. 319 Harus pula ditelusuri segi dokumen AMDAL, Izin lisensi dan pembagian tugas pekerjaan dalam jabatan-jabatan yang terdapat dalam badan hukum korporasi yang bersangkutan. 320 Melalui penelusuran dokumen tersebut akan nyata bagaimana hak dan kewajiban pengurus-pengurus perusahaan untuk memantau, mencegah, dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. 317 Alvi Syahrin, Ketentuan... op.cit, hlm. 68. 318 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi..., op.cit, hlm. 77-78. 319 Lihat Pasal 50 RKUHP Tahun 2012 320 Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 29. Universitas Sumatera Utara Sehingga akan nyata pula apakah pencemaran danatau perusakan lingkungan hidup akibat pembakaran lahan perkebunan tersebut terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian. 321 Dengan demikian apabila dielaborasi secara teoritis, ketentuan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan telah mengalami pembaruan normatif dengan menginternalisasikan kebijakan-kebijakan teoritis di dalamnya jika dibandingkan dengan UU No. 18 Tahun 2004 yang tidak merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana dengan perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi dengan tegas. Akan tetapi pengaturan tersebut terkesan tidak komplit, karena beberapa hal terkait dengan implementasi pertanggungjawaban pidana korporasi dalam pembakaran lahan perkebunan masih harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan lainnya. 321 Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya , Jakarta: Bumi Aksara, 1993, hlm. 180-181. Universitas Sumatera Utara BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan