BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Fakta telah menunjukkan kemampuan korporasi dalam melakukan tindak pidana pembakaran lahan, yang secara rutin telah terjadi di Indonesia setiap
tahunnya. Meluasnya dampak negatif yang disajikan dari perbuatan membukamengolah lahan dengan cara membakar tersebut, menjadikan penting
kiranya untuk merumuskan korporasi sebagai salah satu subjek hukum, di samping subjek hukum manusia yang telah dikenali selama ini. Perumusan
tersebut hendaknya memperhatikan perbuatan, kesalahan, dan juga kemampuan bertanggungjawab dari korporasi itu sendiri. Tulisan ini secara khusus mengkaji
mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang dikenali dalam dunia hukum dan model pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pembakaran lahan
perkebunan menurut UU No. 39 Tahun 2014, yang pada akhirnya menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat beberapa sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang dikenali dalam dunia hukum dewasa ini antara lain adalah: pengurus korporasi sebagai
pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab secara pidana, yang terlihat dalam KUHP Indonesia yang masih berlaku saat ini; korporasi sebagai
pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang bertanggung jawab secara pidana; korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan sebagai yang
bertanggung jawab secara pidana; pengurus dan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus bersama korporasi yang bertanggung jawab secara
Universitas Sumatera Utara
pidana, yang terlihat dalam berbagai pengaturan perundang-undangan khusus, termasuk UU No. 39 Tahun 2014. Pertanggungjawaban pidana dikenakan
terhadap korporasi yang secara luas, yakni badan hukum dan bukan badan hukum. Sistem ini didapatkan melalui sejarah panjang perkembangan istilah
korporasi tersebut hingga menjadi subjek hukum selain manusia natuurlijk persoon
. Dalam perkembangannya, pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia juga turut dipengaruhi oleh berbagai doktrin yang berkembang di
dunia seperti vicarious liability, identification doctrine, strict liability, management failure model, aggregation doctrine, corporate mens rea
doctrine, spesific corporate offences, reactive corporate fault, dan corporate cultural model.
Ajaran-ajaran ini pada dasarnya hendak mencari suatu alasan yang dapat diterima rasio hukum agar korporasi dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakan pidana yang dilakukannya, yang dalam tulisan ini adalah mengenai tindak pidana pembakaran lahan perkebunan oleh korporasi yang
didasari oleh motif keuntungan ekonomis menghadirkan dampak yang membahayakan kesejahteraan umum endangering the public welfare.
2. Model pertanggungjawaban pidana korporasi korporasi pembakar lahan perkebunan dalam UU No. 39 Tahun 2014 dapat dilihat pada Pasal 113, yang
telah menunjukkan bahwa tindak pidana korporasi memiliki dua struktur pertanggungjawaban, yaitu melalui pengurus dan melalui korporasi. Hal ini
terlihat dari frasa “selain pengurusnya dipidana... korporasinya dipidana...” pada Pasal 113. Model pertanggungjawaban ini menunjukkan diterapkannya
model pertanggungjawaban pidana yang merumuskan pengurus dan korporasi
Universitas Sumatera Utara
sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus bersama korporasi pula yang bertanggung jawab secara pidana. Model ini telah menunjukkan pula, bahwa
pengurus dan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban secara langsung dalam tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang dilakukannya.
Korporasi yang menjadi subjek hukum pidana dalam UU No. 39 Tahun 2014 adalah korporasi dalam pengertiannya yang luas, yang berdasarkan Pasal 1
Angka 15 meliputi badan hukum maupun tidak berbadan hukum. Perumusan sanksi pidana terhadap korporasi pelaku pembakaran lahan perkebunan dalam
UU No. 39 Tahun 2014 merupakan single track system dikarenakan tidak terdapatnya pengaturan mengenai sanksi pidana tindakan maupun tambahan di
dalamnya. Perumusan sanksi dilakukan secara tunggal, yakni berupa denda dengan mengikuti fix model, yaitu dirumuskan dengan menentukan
maksimum khusus dari pidana yang diancamkan dalam Pasal 113 UU No. 39 Tahun 2014¸ yaitu besaran pidana denda maksimum yang dikenakan pada
subjek hukum manusia ditambah 13. Ancaman sanksi berupa pidana denda ini merupakan bentuk financial sanction yang didasarkan atas prinsip
rasionalitas dan efisiensi. Perumusan sanksi dan pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut dikarenakan telah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana
dalam hal pembakaran lahan perkebunan oleh korporasi, hal ini terlihat dengan adanya “larangan” dan kewajiban” bagi korporasi dalam berbagai
aturan yang menyangkut pembakaran lahan perkebunan.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran