BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup pada hakikatnya merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang mencakup keseluruhan makhluk ciptaan-Nya, baik yang bernyawa
dan tidak bernyawa, besar dan kecil, bergerak dan tidak bergerak, sehingga dapat dikatakan bahwa lingkungan merupakan sumber daya bagi kehidupan manusia.
Sumber daya tersebut memiliki sifat dan karakter yang teramat kompleks dan memenuhi segala unsur yang ada di alam ini.
1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut UUD NRI 1945 pada Pasal 33 ayat 3
2
telah menyiratkan bahwa lingkungan beserta seluruh unsur yang terkandung di dalamnya merupakan
aset negara dalam wujud sumber daya yang diperlukan dalam usaha mencapai kemakmuran rakyat. Adapun pengertian lingkungan hidup sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3
selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2009 adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Upaya perlindungan dan pengelolaan
1
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 4.
2
Bunyi Pasal 33 Ayat 3 UUD NRI 1945 adalah sebagai berikut: “bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.
Universitas Sumatera Utara
lingkungan hidup secara sistematis dan terpadu
4
merupakan kewajiban bagi Negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan agar Lingkungan Hidup Indonesia tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia dan makhluk hidup lain.
5
Pandangan awal tentang lingkungan hidup sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 menjadi penting, hal ini disebabkan oleh kedudukan UU
No. 32 Tahun 2009 sebagai undang-undang payung umbrella act dari Undang- Undang lain sektoral di bidang pelestarian lingkungan hidup.
6
Salah satu Undang-Undang sektoral tersebut adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
Tentang Perkebunan
7
selanjutnya disebut UU No. 39 Tahun 2014. Keselarasan pengaturan lingkungan hidup antara kedua Undang-Undang ini juga turut
ditunjukkan dengan penegasan prinsip kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam penyelenggaraan perkebunan.
8
Dianutnya prinsip kelestarian fungsi lingkungan hidup,
menjadikan penyelenggaraan
perkebunan harus
dilaksanakan menggunakan sarana, prasarana, tata cara, dan teknologi yang tidak mengganggu
4
Pasal 1 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2009, yang berbunyi: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran danatau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
5
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
, Jakarta: Sofmedia, 2011, hlm.1.
6
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan Edisi Revisi, Jakarta: Sofmedia, 2009, hlm. 21. Menurut Alvi Syahrin, perumusan ketentuan mengenai lingkungan
hidup dalam UU No. 32 Tahun 2009 secara umum dan abstrak diharapkan dapat menjangkau perbuatan pencemaran danatau perusakan lingkunga yang diatur atau yang akan diatur dalam
undang-undang sektoral lainnya.
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5613
8
Perhatikan Pasal 2 UU No. 32 Tahun 2009 dan Pasal 2 UU No. 39 Tahun 2014. Prinsip penyelenggaraan perkebunan didasarkan pada asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan,
keberlanjutan keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara
fungsi lingkungan hidup, baik secara biologis, mekanis, geologis, maupun kimiawi.
9
Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 UU No. 39 Tahun 2014 merupakan segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber
daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan. Perkebunan merupakan suatu sub sektor
dari kegiatan pertanian, yang meliputi beberapa jenis tanaman seperti: henep goni, kakao, kapas, karet, kelapa, kelapa sawit, kina, kopi, sisal, tarum, teh, dan
tembakau.
10
Sifat komoditas perkebunan ini sangat kredibel, sehingga komoditas ini diperdagangkan secara internasional. Dalam perdagangan faktor yang
mempengaruhi harga komoditas perkebunan pun bukan sekadar permintaan demand dan penawaran supply tapi juga spekulator.
11
Komoditas perkebunan merupakan salah satu andalan bagi pendapatan nasional dan devisa negara
Indonesia, contohnya dapat dilihat dari kontribusi subsektor perkebunan pada tahun 2013, yang mencapai US 45,54 milyar atau setara dengan Rp.546,42
trilliun asumsi 1 US = Rp. 12.000,- yang meliputi ekspor komoditas perkebunan sebesar US 35,64 milyar, cukai hasil tembakau US 8,63 millyar dan
bea keluar Cruel Palm Oil CPO dan biji kakao sebesar US 1,26 milyar. Kontribusi subsektor perkebunan mengalami peningkatan sebesar 27,78 atau
9
Perhatikan Penjelasan Pasal 2 Huruf j UU No. 39 Tahun 2014.
10
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan,, http:perkebunan.litbang.pertanian. go.id?p=3507 diakses pada tanggal 5 April 2016.
11
Lembaga Pendidikan
Perkebunan, “Problematika Perkebunan Indonesia”,
http:www.lpp.ac.id201510problematika-perkebunan-indonesiadiakses pada tanggal 5 April 2016.
Universitas Sumatera Utara
naik sebesar US 9,90 milyar jika dibandingkan dengan tahun 2012.
12
Besarnya kontribusi tersebut menjadikan perkebunan sebagai subsektor pertanian yang amat
strategis guna membangun perekonomian nasional. Pembangunan dan modernisasi pada hakikatnya adalah suatu kegiatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk membawa masyarakat kepada perubahan yang direncanakan atau dikehendaki.
13
Dalam konteks perkembangan perekonomian dunia yang tidak menguntungkan Indonesia, adanya usaha
pemerintah untuk mendorong peningkatan penanaman modal swasta melalui berbagai kebijakan ekonominya menjadi dapat dimengerti.
14
Berdasarkan hal tersebut, ternyata peranan dunia usaha swasta dalam pertumbuhannya
memberikan peranan lebih terhadap badan hukumkorporasi.
15
Peranan korporasi dalam perkembangan aktivitasnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
melalui pemasukan negara dalam bentuk pajak, devisa, serta penyediaan lapangan kerja yang luas bagi masyarakat dalam berbagai sektor, termasuk pada subsektor
perkebunan. Badan Pusat Statistika mencatat, sampai pada tahun 2014 saja tercatat setidaknya 2452 perusahaan perkebunan yang menjalankan usahanya di
Indonesia dalam berbagai jenis tanaman perkebunan.
16
12
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, “Peran
Perkebunan dalam Perekonomian Nasional”, http:ditjenbun.pertanian.go.idberita-372-peran- perkebunan-dalam-perekonomian-nasional.html, diakses pada tanggal 5 April 2016.
13
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1980, hlm. 193.
14
Mardjono Reksodiputro, “Struktur Perekonomian Dewasa Ini dan Permasalahan
Korban”, makalah disampaikan pada Seminar Viktimologi di Universitas Airlangga, Surabaya 28 Oktober 1988, hlm 5-6.
15
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Prenada Media, 2010, hlm. 13.
16
Badan Pusat Statistika, https:www.bps.go.idlinkTabelStatisviewid1668, diakses pada tanggal 5 April 2016.
Universitas Sumatera Utara
Sejarah panjang usaha perkebunan Indonesia
17
sesungguhnya masih sering terhambat dengan berbagai masalah seperti: sengketa lahan, permasalahan iptek,
dan permasalahan lingkungan. Permasalahan lingkungan yang menjadi kajian dari tulisan ini, memusatkan perhatian kepada pembukaan lahan perkebunan dengan
cara membakar, yang memberikan banyak kerugian baik kerugian ekologi, ekonomi, sosial, maupun budaya yang sulit dihitung besarannnya.
Kebakaran hutan dan lahan telah terjadi sejak tahun 1997-1998. Peristiwa ini rutin terjadi selama 18 tahun terakhir dan telah melahirkan temuan-temuan
yang mengatakan bahwa monopoli kawasan hutan dan lahan untuk pengembangan investasi perusahaan sesungguhnya merupakan penyebab utama
kebakaran dan polusi asap di Indonesia. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Sampai di tahun 2014, 4 empat sektor industri ekstraktif logging,
perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, dan tambang telah menguasai sekitar 57 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia. Penguasaan ini diikuti dengan
praktik buruk pengelolaan konsesi, salah satunya adalah tindak pembakaran hutan dan lahan gambut untuk kemudahan pengembangan produksi.
18
Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB mengatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan
yang terjadi di Indonesia memang sangat dipengaruhi oleh motif untuk
17
Nurma Tisa Meladipa, Sumarjono, dan Kayan Swastika, “Kehidupan Sosial-Ekonomi
Buruh Perkebunan Kalitengah Tahun 1982- 2010”, Jurnal Pancaran, Volume II No. 3, Agustus
2013, hlm. 153. Sejarah usaha perkebunan Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial. Sistem liberal dilaksanakan tahun 1870-1900 dengan keluarnya Agrarische Wet Undang-undang Agraria
tahun 1870, yang memungkinkan investor asing menanam modal di Indonesia. Dampak Agrarische Wet
tahun 1870 dibukalah perkebunan besar di berbagai daerah di Indonesia.
18
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dalam Siaran Pers berjudul “Jejak Asap
Korporasi: Tanggung Gugat Korporasi terhadap Dampak dan Pemulihan Lingkungan Hidup”, http:www.walhi.or.idjejak-asap-korporasi-tanggung-gugat-korporasi-terhadap-dampak-dan-
pemulihan-lingkungan-hidup.html, diakses pada tanggal 19 Februari 2016.
Universitas Sumatera Utara
memperoleh keuntungan ekonomi yang diusung oleh korporasi. Argumentasi ini termanifestasikan dalam beberapa cara:
19
1. Membakar merupakan cara yang paling mudah dan murah dalam kegiatan persiapan lahan.
2. Kegiatan pembalakan kayu meningkatkan kerawanan kebakaran di dalam hutan.
3. Api merupakan cara yang paling murah dan efektif yang digunakan dalam konflik sosial; terutama masalah konflik kepemilikan lahan antara berbagai
pihak terkait. Pada kebakaran hutan dan lahan periode September-Oktober 2015 saja,
BNPB menyatakan total hutan dan lahan yang terbakar mencapai 2.089.911 Ha.
20
Selain berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, kebakaran huutan dan lahan ini juga berdampak pada timbulnya kabut asap yang menyebabkan gangguan
kesehatan berupa Infeksi Saluran Pernafasan Akut ISPA, yang dialami oleh total 582.127 jiwa di 7 provinsi pada kebakaran hutan dan lahan periode Juli-Oktober
2015.
21
Dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 tersebut, setidaknya terdapat 209 orang dan 12 Perusahaan
19
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi
Ancaman Bencana
Asap Akibat
Kebakaran Hutan
dan Lahan
, http:www.bnpb.go.iduploadspublication597rencana_kontijensi.pdf, diakses pada tanggal 3
Maret 2016.
20
CNN Indonesia, “BNPB: Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI Jakarta”,
http:www.cnnindonesia.comnasional20151030133801-20-88437bnpb-kebakaran-hutan-2015- seluas-32-wilayah-dki-jakarta, diakses pada tanggal 3 Maret 2016.
21
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, “Masalah
Kesehatan Akibat Kabut Asap Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia 2015”, Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015, hlm. 4.
Universitas Sumatera Utara
yang ditetapkan sebagai tersangka, yang masing-masing bergerak di bidang Perkebunan maupun Hutan Tanaman Industri HTI.
22
Keberadaan berbagai korporasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup, khususnya perkebunan merupakan konsekuensi pembangunan ekonomi yang
bertujuan mensejahterakan rakyat dengan motif ekonomi yang senantiassa diusung dalam pelaksanaan kegiatannya, namun di sisi lain bisa sangat merugikan
bahkan tidak hanya dari segi ekonomi. Addinul Yakin menyatakan bahwa pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada pertumbuhan sering
bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan sehingga sering dikatakan bahwa antara pembangunan ekonomi dan lingkungan terkesan kontradiktif.
Padahal, kedua faktor ini seharusnya saling berinteraksi dan bergantung satu sama lain. Untuk itulah diperlukan pendekatan yang cocok bagi kepentingan
pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan sustainable development
.
23
Titik keseimbangan dan keserasian yang saling menunjang secara sinergik antara penegakan hukum lingkungan dan pelaksanaan pembangunan penting
untuk dilaksanakan secara arif dan bijaksana.
24
Pesatnya perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang diakibatkan oleh Globalisasi di bidang
ekonomi dan perdagangan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
22
BBC Indonesia, “Polisi Tetapkan 12 Perusahaan Tersangka Pembakar Hutan dan
Lahan”,http:www.bbc.comindonesiaberita_indonesia201510151012_indonesia_tersangka_pe mbakaran, diakses pada tanggal 3 Maret 2016.
23
Addinul Yakin, Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan,
Jakarta: Akademika Presindo, 1997, hlm 1.
24
Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
menjadikan hukum seharusnya menjadi kaidah yang mendahului perkembangan masyarakat tersebut.
25
Untuk memperkuat prinsip penyelenggaraan perkebunan yang berbasis penjagaan kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka lahirlah pengaturan delik-
delik baru dan korporasi sebagai subjek di dalam perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang- Undang Hukum Pidana
26
. Kedudukan korporasi sebagai
subjek hukum pidana juga dapat dilihat dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 2014, yang dalam pasal 1 ayat 8, 9, dan 15, mengidentifikasi subjek hukum
perkebunan antara lain:
27
1. Orang Perseorangan 2. Korporasi Berbadan Hukum
3. Korporasi Tidak Berbadan Hukum Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam sub sektor
perkebunan memungkinkan korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pidana, termasuk juga terhadap tindakan membakar lahan perkebunan.
Pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan hal yang sangat berperan dalam kerangka kebijakan sosial. Kebijakan sosial social policy mencakup upaya
kesejahteraan sosial social welfare policy dan perlindungan masyarakat social
25
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Medan: Sofmedia, 2009, hlm. 9.
26
Selanjutnya disebut KUHP.
27
Bunyi Pasal 1 ayat 8, 9, dan 15 adalah sebagai berikut: 8 Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun danatau perusahaan Perkebunan yang mengelola
Usaha Perkebunan; 9 Pekebun adalah orang perseorangan warga negara Indonesia yang melakukan Usaha
Perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu; 15 Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
Universitas Sumatera Utara
defence policy
.
28
Untuk membantu kebijakan tersebut, criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana penal policy harus memenuhi unsur:
kebijakan legislatif tahap formulasi, kebijakan yudikatif tahap aplikasi, dan kebijakan eksekutif tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana.
29
Kebijakan hukum pidana penal policy pada tataran formulasi berperan besar dalam rangka pengelolaan lahan perkebunan secara profesional dan terencana.
Lingkup pengaturan penyelenggaraan perkebunan dalam perkebunan menurut UU No. 39 Tahun 2014 telah menempatkan penegakan hukum dalam tatanan
pembinaan dan pengawasan, menjadikan pengaturan mengenai perkebunan dalam Undang-undang ini seharusnya menjadi sistem yang bersifat komprehensif untuk
menegakkan hukum terhadap tindak pidana pembakaran lahan perkebunan. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji sekaligus
menuangkannya dalam tugas akhir berupa skripsi yang berjudul:
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI PELAKU
PEMBAKARAN LAHAN PERKEBUNAN BERDASARKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN
28
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan,
Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007, hlm.78-79.
29
Teguh Soedarsono, “Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal Logging”, Jakarta: Jurnal Hukum LPSK, 2010, hlm. 63.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah