meningkatkan motivasi untuk memonitor para penerima kuasa, mencegah mereka melakukan kesalahan.
c. Jika penerima kuasa tidak terbukti melakukan kesalahan, maka mereka tidak dapat dikenai pertanggungjawaban lewat identification doctrine karena para
penerima kuasa tidak dapat merespon pertanggungjawaban yang dibebankan kepadanya.
Jika doktrin ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para
pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Namun dapat disimpulkan berdasarkan uraian di
atas, setidaknya terdapat dua syarat penting untuk menerapkan doktrin vicarious liability
, yaitu: harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan dan pekerja, serta tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut
harus berkaitan atau massih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
2. Identification doctrine
Teori ini juga dikenal dengan istilah direct corporate criminal liability
168
pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu
sendiri.
169
Sehingga apabila perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya tindak pidana atau kerugian, sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan tindak pidana
168
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 80 105. Mahrus Ali dalam bukunya membedakan penjelasan mengenai identification doctrine dengan direct corporate criminal liability. Meskipun
dalam penjelasannya, Mahrus Ali menyatakan bahwa corporate criminal liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa tindakan agen tertentu dalam suatu
korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Lihat hlm. 106.
169
Eric Colvin dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan korporasi. Identification doctrine adalah doktrin yang menyatakan bahwa perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung lewat orang-
orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat
pertanggungjawaban pribadi.
170
Doktrin ini juga berpandangan bahwa korporasi dianggap sebagai “directing mind” atau “alter ego”. Artinya, perbuatan mens rea para individu itu
kemudian dikaitkan dengan korporasi . jika individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para
individu itu merupakan mens rea korporasi.
171
Munculnya doktrin ini dilatarbelakangi oleh teori organ
172
, dikarenakan orang-orang yang identik dengan korporasi sangat bergantung kepada jenis dan struktur organisasi. Organisasi
dalam banyak hal disamakan dengan tubuh manusia. Korporasi sebagai sebuah organisasi memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalikan apa yang
dilakukannya. Ia memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf. Beberapa orang di lingkungan korporasi itu
hanyalah karyawan dan agen yang tidak lebih dari tangan dalam melakukan pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan sikap batin atau kehendak perusahaan.
173
170
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 87.
171
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm 89.
172
Lihat Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 307. Dengan menggunakan teori organ, pengadilan bisa secara bijaksana menetapkan dan memperlakukan the state of mind of the senior
officers of the company as being the state of mind of the company.
173
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 91. Bandingkan dengan tanggapan Hakim Denning sebagaimana dikutip dari Dwidja Priyatno, Ia memberi tanggapannya sebagai berikut:
“A company may in many ways be likened to a human body. It has a brain and a nerve centre which can
controls what it does. It also had hands which hold the tools and act in accordance with are mere servants and agents who are nothing more that hands to do the work and cannot be said represent
Universitas Sumatera Utara
Di sisi lain, direktur atau pejabat setingkatnya mewakili sikap batin yang mengarahkan, mewakili kehendak perusahaan dan mengendalikan apa yang
dilakukan. Sikap batin mereka merupakan sikap batin korporasi.
174
Artinya, doktrin ini diharapkan dapat mendorong pertanggungjawaban pidana dari
korporasi atas actus reus dan mens rea dari pejabat berwenang controlling officers
, tapi terbatas pada pejabat tersebut. Directing mind
atau orang-orang yang identik dengan korporasi menurut Yedidia Z. Stern meliputi the general meeting, board of directors, managing
directors , general manager, chief executive, and possibly individual directors,
secretaries and shop managers.
175
Namun timbul pertanyaan apakah jabatan tersebut dengan sendirinya akan bertanggung jawab setiap terjadi tindak pidana
dalam lingkup korporasi? Untuk itulah, pendekatan menggunakan identification doctrine
dalam menentukan directing mind korporasi harus dianalisis secara kontekstual.
176
Sutan Remy Sjahdeini mengutip pendapat Little dan Savoline terkait dianutnya identification doctrine dalam putusan Mahkamah Agung Kanada
dalam perkara Canadian Dredge and Dock vs The Queen
177
, yang menyatakan
the mind or will. Others are directors and managers who represent the directing state of mind of these managers is the state of the mind of the company and is treated by the law as such.”
174
Eric Colvin, op.cit, hlm. 8-9.
175
Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 106. Terkait dengan orang-orang yang identik dengan korporasi Yedidia Z. Stern mengungkapkan terdapat lima pendekatan untuk
menentukan kapan tindakan orang-orang tertentu dalam suatu korporasi dianggap sebagai tindakan korporasi, yaitu: deskripsi yang samar, kriteria formal, pendekatan pragmatis, analisis hierarki, dan
analisis fungsi.
176
Sutan Remy Sajhdeini, op.cit, hlm. 104. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, untuk menentukan directing mind dari korporasi harusalah dilihat dari formal yuris dan menurut
kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus.
177
Ibid. Mahkamah Agung Kanada dalam perkara tersebut berpendapat bahwa directing mind
dari suatu korporasi adalah “the ego”, “the „center‟”, danatau “the „vital organ‟” of
corporation .
Universitas Sumatera Utara
bahwa telah muncul beberapa asas terkait identification doctrine dari putusan tersebut:
178
a. Directing mind dari suatu korporasi tidak terbatas pada satu orang saja. Sejumlah pejabat officer dan direktur dapat merupakan directing mind dari
korporasi tersebut. b. Geografi bukan merupakan faktor. Kenyataan bahwa suatu korporasi memiliki
berbagai operasi multiple operation di berbagai lokasi geografis memiliki berbagai kantor cabang tidak akan mempengaruhi penentuan mengenai siapa
orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu seseorang tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab
hanya karena dia melakukan operasinya dari suatu lokasi yang terpisah dari lokasi di mana tindak pidana itu terjadi.
c. Suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab dengan mengemukakan bahwa orang atau orang-orang yang melakukan tindak pidana
itu telah melakukan tindak pidana yang bersangkutan meskipun telah ada perintah yang tegas kepada mereka agar hanya melakukan perbuatan yang
tidak melanggar hukum.
d. Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana, orang tersebut harus memiliki kalbu yang salah atau niat yang jahat
have a guilty mind andor criminal intent, yaitu yang dikenal dalam hukum pidana pidana sebagai mens rea. Dalam doktrin ini, pejabat atau direktur
korporasi yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut tidak dapat dipertnaggungjawabkan atas suatu tindak pidana apabila tindak pidana itu
tidak disadarinya.
e. Untuk menerapkan identification doctrine harus dapat ditunjukkan bahwa perbuatan dari personil yang menjadi directing mind korporasi itu termasuk
dalam bidang kegiatan yang ditugaskan kepadanya, tindak pidana tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi yang bersangkutan, dan
tindak pidana itu dimaksudkan untuk memperoleh atau menghasilkan manfaat bagi korporasi.
f. Pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis kontekstual contextual analysis. Dengan kata lain, penentuannya harus
dilakukan kasus per kasus on a case by a case basis. Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak dengan sendirinya membuat dia bertanggung jawab.
Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk dapat menentukan kebijakan korporasi atau untuk dapat membuat keputusan-keputusan penting harus
dilengkapi dengan melakukan analisis kontekstual tersebut.
3. Strict Liability
178
Ibid., hlm. 106.
Universitas Sumatera Utara
Doktrin strict liability mengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak
perlu dibuktikan adanya kesalahan kesengajaan atau kealpaan pada pelakunya. Strict liability
ini merupakan konsep pertanggungjawaban tanpa kesalahan liability without fault. Dengan kata lain, konsep strict liability dirumuskan
sebagai “that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at
least one element of their actus reus” suatu bentuk pelanggarankejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan
adanya suatu perbuatan.
179
Roeslan Saleh menambahkan, dalam tindak pidana yang bersifat strict liability yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan
dari pelaku terdakwa, dan hal itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban daripadanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict
liability adalah actus reus perbuatan sehingga yang harus dibuktikan adalah
actus reus perbuatan bukan mens rea kesalahan.
180
Konsep strict liability di negara-negara common law diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah
satu ciri utama tanggung jawab mutlak, yakni tidak adanya persyaratan tentang kesalahan.
181
Sejak pertengahan abad ke-19, asas tanggung jawab mutlak strict liability
telah diperkenalkan, sekurang-kurangnya untuk beberapa kasus, yang sebagian besar berkaitan dengan resiko lingkungan
182
, dan keamanankesehatan makanan, perlindungan konsumen, di samping ketertiban umum, fitnah atau
179
Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 28.
180
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 21.
181
Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 298.
182
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pencemaran nama baik, dan contempt of court, serta pelanggaran lalu lintas.
183
Dengan kata lain, strict liability dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana kesejahteraan public welfare offences yang bersifat tindak pidana ringan yang
diancam tindak pidana denda. Argumen ini dikemukakan pula oleh Muladi dan Dwidja Priyatno sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, yang
menyatakan bahwa:
184
“Penerapan doktrin “strict liability” dan “vicarious liability” hendaknya hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran yang sifatnya
ringan saja, seperti dalam pelanggaran lalu lintas. Doktrin tersebut dapat pula ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama
yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan umummasyarakat, misalnya perlindungan di bidang makanan, minuman, serta kesehatan
lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan
si korban
dijadikan dasar
untuk menuntut
pertanggungjawaban pidana korporasi dengan adagium res ipsa loquitur fakta sudah berbicara sendiri.”
L. B. Curzon sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik mengatakan bahwa strict liability
dianut dalam hukum pidana didasarkan atas tiga premis, yaitu:
185
Pertama, sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu
yang diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Kedua, pembuktian adanya mens
rea akan menjadi lebih sulit dalam pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, tingginya tingkat bahaya sosial yang
ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan. Doktrin strict liability ini terdapat dalam delik-delik yang diatur menurut
undang-undang statutory offences; regulatory offences, mala prohibita, yang pada umumnya merupakan delik kesejahteraan umum. Lord Pearce sebagaimana
183
Ibid.
184
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 83.
185
Hamzah Hatrik, op.cit, hlm. 13-14.
Universitas Sumatera Utara
dikutip dalam Yusuf Shofie menyatakan bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi pembentuk undang-undang menetapkan penggunaan strict
liability dalam hukum pidana, seperti: karakteristik suatu tindak pidana,
pemidanaan yang diancamkan, ketiadaan sanksi sosial, kerusakan tertentu yang ditimbulkan, cakupan aktivitas yang dilakukan, dan perumusan ayat-ayat tertentu
dan konteksnya dalam suatu perundang-undangan.
186
Selanjutnya mengutip pendapat Romli Atmasasmita, pembentuk undang-undang telah menetapkan bila
aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai berikut:
187
a. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat; b. Ancaman hukumannya adalah ringan;
c. Syarat adanya mens rea akan menghambat adanya tujuan perundang-
undangan; d. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-
hak orang lain; e. Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak
diperlukan.
Contoh kasus yang menerapkan strict liability sebagaimana dikutip dalam Hanafi adalah kasus Alphaceel Ltd Vs Woodward 1972:
188
Suatu perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan tuduhan sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang tuduhan
itu dengan mengatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya kesengajaan, kelupaan, atau kesembronoan dari terdakwa. House of Lord menolak argumen
terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.
186
Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia
, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 362-363. Keenam faktor tersebut menunjukkan betapa pentingnya perhatian publik public concern terhadap perilaku-
perilaku yang perlu dicegah dengan penerapan strict liability, agar keamanan masyarakat public safety
, lingkungan hidup environment, dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat the economic interest of the public
, termasuk perlindungan konsumen tetap terjaga.
187
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 78.
188
Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, 1997, hlm. 75.
Universitas Sumatera Utara
4. Management Failure Model Doktrin ini merupakan sebuah bentuk baru kejahatan pembunuhan yang
dilakukan oleh korporasi corporate manslaughter. The Law Comission Inggris
189
berpendapat bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh korporasi terjadi apabila ada kesalahan oleh managemen korporasi yang menyebabkan kematian
orang. Kejahatan ini diartikan sebagai suatu kesalahan dari managemen kebalikan dari kesalahan korporasi, karena The Law Comission berpendapat
bahwa orang-orang yang berada di dalam korporasilah yang melakukan kejahatan dan tindak pidana baru yang ada di Inggris, yaitu kelalaian yang menyebabkan
kematian killing by gross carelessness, tidak dapat diaplikasikan terhadap korporasi.
190
Kejahatan ini sendiri tidak memperhatikan konsep mens rea yang berusahan menangkap kesalahan seseorang yang akan diartikan sebagai kesalahan
korporasi. Sekilas doktrin ini mirip dengan identification doctrine, akan tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan signifikan dari kedua teori ini. Identification
doctrine sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mencari kesalahan dari
individu yang identik dengan korporasi atau beberapa orang yang mempunyai kendali atas korporasi, sedangkan management failure model mencari kesalahan
managemen. Kesalahan managemen oleh The Law Comission didefenisikan sebagai kesalahan untuk tidak menjamin keselamatan di dalam managemen atau
189
Law Comission, http:lawcomission.justic.gov.ukabout-us.html, diakses pada hari Kamis, 28 April 2016. The Law Comission adalah lembaga non-departemen yang berada di bawah
Kementerian Hukum Inggris yang bertugas untuk mengawasi jalannya hukum di Inggris, mengadakan penelitian yang akan digunakan sebagai rekomendassi bagi Parlemen Inggris, dan
mengkodifikasi hukum Inggris agar mengurangi ketidaksesuaian antara hukum yang berlaku.
190
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam RUU KUHP
, Jakarta: ELSAM, 2005, hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
organisasi dari kegiatan korporasi a failure to ensure safety in the management or organisation of the corporation‟s activities.
191
Doktrin ini sesungguhnya berfokus pada struktur dari suatu korporasi dan aktivitasnya, bukan pada
perbuatan individu dalam korporasi. Namun, penting untuk menjadi catatan, bahwa doktrin ini masih belum menjawab pertanyaan klasik, pejabat mana dalam
struktur atau sistem manakah yang dapat disebut sebagai suatu korporasi.
5. Aggregation Doctrine Doktrin ini merupakan tanggapan terhadap doktrin identifikasi yang
dianggap kurang dapat mengatasi realitas proses pengambilan keputusan dalam banyak perusahaan modern.
192
Oleh karena itulah disarankan beberapa metode alternatif untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana suatu korporasi,
salah satunya adalah aggregation doctrine.
193
Ajaran ini memungkinkan aggregasi atau kombinasi kesalahan dari sejumlah orang untuk diatributkan kepada
korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Tindak pidana yang dilakukan seseorang digabungkan dengan kesalahan orang lain, atau dengan
kata lain ia merupakan akumulasi kesalahan atau kelalaian yang merupakan sikap kalbu
194
dari tiap-tiap pelaku. Ketika kesalahan-kesalahan tersebut, setelah
191
Ibid, hlm. 16.
192
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 125. Dalam berbagai kasus seringkali ditemukan bahwa aktivitas korporasi merupakan hasil dari usaha-usaha kolektif beberapa atau bahkan banyak agen.
Dalam situasi ini, jelas tidak terdapat individu khusus yang bertanggung jawab secara penuh atas aktivitas tersebut, sehingga dapat ditarik menjadi kejahatan yang dilakukan korporasi,
sebagaimana yang dianut dalam identification doctrine.
193
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 119.
194
Ibid., hlm. 37.Istilah “sikap kalbu” dipergunakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, dengan
mengingat bahwa apa yang ada di dalam kalbu seseorang itu merupakan hasil dari proses cipta, rasa, dan karsa.
Universitas Sumatera Utara
dijumlahkan, ternyata memenuhi unsur yang dipersyaratkan dalam suatu mens rea
, maka aggregation doctrine terpenuhi di sini.
195
Ajaran ini menurut Clarkson dan Keiting memiliki keuntungan karena dalam banyak kasus tidak mungkin untuk mengisolasi seseorang yang telah
melakukan tindak pidana, dengan memiliki mens rea dalam melakukan tindak pidana itu, dari perusahaan di mana dia bekerja. Ajaran ini dapat mencegah
perusahaan-perusahaan menyembunyikan dalam-dalam tanggung jawabnya dalam struktur korporasi. Namun, ajaran ini mengabadikan personifikasi dari mitos
perusahaan prepetuates the personification of companies myth. Apabila dalam identification doctrine
cukuplah untuk dapat menemukan hanya satu orang yang perbuatannya dapat diatributkan kepada perusahaan, maka dalam ajaran aggregasi
diharuskan untuk menemukan beberapa orang yang aggregasi dari perbuatan mereka secara keseluruhan diatributkan sebagai perbuatan perusahaan.
Dengan demikian, teori aggregasi ini sesungguhnya mengabaikan realitas bahwa esensi riil dari suatu perbuatan yang salah mungkin saja bukan berupa
penyatuan dari apa yang telah dilakukan oleh tiap-tiap orang, tetapi berupa fakta bahwa perusahaan tidak memiliki kebijakan untuk dapat mencegah seseorang
dalam perusahaan itu untuk melakukan suatu perbuatan yang secara kumulatif merupakan suatu tindak pidana.
196
195
Stephanie Earl dalam Mahrus Ali., op.cit, hlm. 126.
196
C.M.V Clarkson dan HM. Keating sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, op.cit,
hlm. 110.
Universitas Sumatera Utara
Ajaran ini diterima di Kanada, Amerika Serikat, dan Australia, namun ditolak di New Zealand dan di Inggris.
197
Kanada memasukkan prinsip-prinsip ajaran aggregasi ke dalam kitab undang-undang hukum pidananya khusus terkait
dengan tanggung jawab pidana organisasi. Pasal 22.2 mengatur tentang bagaimana suatu korporasi dinyatakan sebagai pihak yang bertanggungjawab
secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan.unsur-unsur delik dianggap terpenuhi apabila pengurus korporasi berada dalam lingkup
kewenangannya, atau jika beberapa tindak pidana tersebut dilakukan dua atau lebih pengurus korporasi. Sedangkan unsur kesalahan dianggap terpenuhi apabila
pejabat senior atau semua pejabat-pejabat senior tidak mencegah, dengan cara- cara yang masuk akal, tindakan bawahannya dari melakukan suatu perbuatan yang
dilarang.
198
6. Corporate Mens Rea Doctrine Seringkali dikemukakan bahwa korporasi tidak dapat melakukan tindak
pidana, korporasi tidak dapat berpikir, dan tidak memiliki niat. Hanya orang- orang yang di dalam korporasilah yang dapat melakukan tindak pidana. Akan
197
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 127. The Law Comission Inggris menolak penggunaan teori aggregasi sebagai metode perluasan tanggung jawab pidana korporasi ketika membentuk undang-
undang pidana terkait pembunuhan yang tidak disengaja. Menurut Komisi Hukum Inggris ini, penerapan ajaran aggregasi sebagai perluasan dari teori identifikasi akan menimbulkan
ketidakpuasan. Secara lebih rinci dijelaskan: “...it would be no more than a gloss on the
identification principle, and would not obviate the need to conduct a detailed ivestigation into the conduct and state of mind of particular controlling officers; and it might well give rise to difficult
and perhaps insoluble problems where different controlling officers knew or believed different things.”
198
Ibid., hlm. 217. Pengurus di sini dimaknai secara luas yaitu: director, partner, employee, member, agent or contractor of the organisation.
Sedangkan pejabat senior yang dimaksud berdasarkan pasal 12.1 adalah orang-orang yang memiliki peranan penting dalam
pengambilan kebijakan suatu korporasi atau orang-orang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan aspek-aspek penting kegiatan korporasi.
Universitas Sumatera Utara
tetapi disaat seluruh pemikiran tentang personalitas adalah fiksi tetaplah merupakan suatu yang nyata dan fungsional, maka seakan tidak lagi ada alasan
mengapa hukum tidak menciptakan suatu doktrin mengenai mens rea korporasi yang fiksi. Doktrin-doktrin yang telah diuraikan sebelumnya melibatkan
hilangnya pertanggung jawaban fiksi dari korporasi fictious imputations of responsibility
.
199
Corporate mens rea doctrine memiliki ide dasar bahwa doktrin lainnya
tidak memperlihatkan realita dari kompleksnya organisasi korporasi serta dinamika dari proses, struktur, tujuan, kultur, dan hirarki dari organisasi, yang
dikombinasikan dengan etos yang mendorong suatu kejahatan.
200
Berdasarkan pandangan ini, korporasi dapat dianggap sebagai “culpability-bearing agents”
yang “bertindak” melalui pekerjaannya dimana “mens rea” dapat ditemukan di dalam praktek dan kebijakan korporasi. Penolakan terhadap doktrin ini adalah
kesulitan untuk menentukan apakah kebijakan dan praktek di dalam perusahaan cukup dianggap menyalahi untuk diputuskan bersalah dalam tingkatan yang vital.
Selain itu kesulitan juga dialami jika tidak ada bentuk kesalahan sehingga mempersulit identifikasi dari kebijakan dan prakteknya dalam memenuhi unsur
mens rea .
7. Spesific Corporate Offences The Law Comission di Inggris mengajukan sebuah bentuk kejahatan baru
yaitu pembunuhan oleh korporasi atau corporate killing, yang diintrodusir lewat perundang-undangan di Inggris. Kejahatan ini menciptakan bentuk yang terpisah
199
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, op.cit, hlm. 16.
200
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dari manslaughter serta hanya dapat dilakukan oleh korporasi. Berkaitan dengan penegasan akan pertanggungjawaban pidana korporasi. Jika argumentasi ini dapat
dihubungkan dengan mens rea korporasi dan dapat diterima, tentu saja tidak dibutuhkan kejahatan khusus oleh korporasi. Argumen kuat mengapa doktrin ini
dapat diterapkan adalah usulan Law Comission memiliki beberapa kekurangan yaitu timbul kemungkinan yang mengantarkan pada marginalisasi dari corporate
manslaughter. Kejahatan ini tidak akan dianggap sebagai manslaughter yang
serius dan kesalahan serta simbol dari peranan dalam kejahatan korporasi akan runtuh.
201
Kelemahan doktrin ini adalah perbedaan struktur dalam kejahatan ini mengantar pada persepsi bahwa kejahatan oleh korporasi berbeda tipis dengan
pelanggaran administratif, bahwa kejahatan korporasi tidaklah sejahat tindak pidana yang sebenarnya.
8. Reactive Corporate Fault Fisse and Braithwaite sebagaimana dikutip oleh Clarkson menciptakan
sebuah bentuk baru dari doktrin pertanggungjawaban korporasi, yaitu reactive corporate fault.
Doktrin ini menyatakan bahwa disaat actus reus dari suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan oleh dan atas nama korporasi, pengadilan
sepatutnya memiliki dasar untuk meminta korporasi melakukan investigasi untuk mencari tahu siapakah individu yang bertanggung jawab dan melakukan tindakan
penegakan disiplin terhadap individu tersebut serta melakukan koreksi atas kesalahan yang ia lakukan. Apabila korporasi melakukan koreksi maka korporasi
tidak akan diminta pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban korporasi hanya
201
Ibid., hlm. 17
Universitas Sumatera Utara
dapat diminta jika korporasi gagal untuk memenuhi perintah pengadilan. Kelalaian korporasi adalah apabila korporasi gagal bertindak secara wajar sesuai
permintaan pengadilan terhadap perbuatan salah satu pegawainya.
202
Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa keuntungan dari doktrin ini adalah doktrin “memaksa” korporasi untuk melakukan pemeriksaan, bukan pemerintah
yang melakukan. Tidak hanya menghemat uang dan waktu, doktrin ini menjadikan korporasi mengerti dan bisa memasuki struktur dari organisasinya.
Hal ini dilakukan sebagaimana tujuan utama dari doktrin ini, yaitu agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Sedangkan kelemahan dari doktrin ini adalah terdapat
kemungkinan timbulnya perilaku manipulatif dalam perkara yang melibatkan pejabat tinggisenior korporasi yang berpengaruh, dengan mengorbankan pegawai
lainnya. Lalu penentuan bentuk hukuman apakah yang sesuai untuk mencegah terulangnya tindak pidana oleh pegawai korporasi? Bagaimana cara mengukur
tindakan korektif dan sanksi disiplin seperti apa yang cukup untuk menghindari tanggung jawab pidana? Cukupkah teguran secara formal kepada seorang
karyawan yang dibarengi dengan sirkulasi sebuah memorandum internal yang menasehati staf tentang sejumlah tindakan yang akan dilakukan di masa depan?
203
Sederhananya, the reactive fault doctrine memiliki time frame yang seluruhnya keliru. Perbuatan salah adalah tindakan yang asli atau kelalaian yang
menimbulkan kerugian. Kesalahan harus tetap dinilai dengan mengacu pada perbuatan atau kelalaian tersebut. Bukan hanya pada perbuatan atau kelalaian
yang dilakukan dalam menanggulanginya.
202
Ibid., hlm. 12.
203
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
9. Corporate Cultural Model Doktrin ini diterapkan di Australia, menggantikan konsep vicarious
liability yang sebelumnya dianut hingga tahun 1995. Pertanggungjawaban pidana
yang berbasis pada “budaya korporasi” ...to base corporate criminal liability on a test of the “corporate culture”, mengutip pendapat Alvi Syahrin diartikan
sebagai tingkah laku, kebijakan, peraturan, maksud dari suatu langkah ataupun kegiatan yang terdapat dalam lingkungan perusahaan itu secara umum atau dalam
bagian lain dari perusahaan tersebut dimana kegiatan yang relevan terjadi ...an attitude, policy, rule, course of conduct or practice existing within the body
corporate generally or in the part of the body corporate in which the relevant activities take place
.
204
Dalam ajaran corporate cultural model ini, Alvi Syahrin menyatakan terdapat unsur-unsur yang harus dapat dibuktikan, antara lain:
205
“suatu kebiasaan atau tingkah laku perusahaan yang memerintah, mendorong, mentoleransi ataupun membiarkan suatu tindakan yang tidak sesuai
dengan peraturan;” atau perusahaan tersebut gagal untuk mempertahankan suatu kegiatan yang sesuai dengan peraturan, perlu juga mengetahui bahwa dewan
direktur “secara sengaja, mengetahui atau membiarkan terjadinya suatu tindakan atau secara terang-terangan atau diam-diam memerintah atau mengizinkan suatu
tindakan yang melanggar aturan.”
206
Dengan kata lain, menurut corporate culture model ini tidak perlu ditemukan orang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang melanggar hukum
itu untuk dapat dipertanggungjawabkannya perbuatan orang itu kepada
204
Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 26.
205
Ibid.
206
Ibid. Terkait dengan dewan direksi, dapat mengajukan pembelaan berdasarkan konsep due diligence tindakan yang sesuai dengan tugas dan tanggung jawab, jika orang tersebut telah
membuktikan bahwa ia telah sejalan dengan due diligence tersebut guna menghindari atau memerintah atau memberi izin untuk terjadinya tindakan yang melanggar hukum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
korporasi.
207
Sebaliknya, pendekatan tersebut menentukan bahwa korporasi sebagai suatu keseluruhan adalah pihak yang harus bertanggung jawab karena
telah dilakukannya perbuatan yang melanggar hukum dan bukan orang yang melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab
.
208
Pasal 12.3 ayat 2 KUHP Australia 1995 menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi bila:
209
a. Direksi korporasi dengan sengaja atau mengetahui, atau dengan sembrono telah melakukan tindak pidana yang dimaksud, atau secara tegas, atau
mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.
b. Pejabat tinggi dari korporasi tersebut dengan sengaja, atau mengetahui, atau dengan sembrono telah terlibat dalam tindak pidana dimaksud, atau secara
tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.
c. Korporasi memiliki budaya kerja yang mengarahkan, mendorong, mentolerir, atau mengakibatkan tidak dipenuhinya ketentuan perundang-undangan
d. Korporasi tidak membuat memiliki dan memelihara suatu budaya kerja yang mengharuskan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.
D. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi