meningkatkan  motivasi  untuk  memonitor  para  penerima  kuasa,  mencegah mereka melakukan kesalahan.
c.  Jika  penerima  kuasa  tidak  terbukti  melakukan  kesalahan,  maka  mereka tidak dapat  dikenai  pertanggungjawaban  lewat  identification  doctrine  karena  para
penerima  kuasa  tidak  dapat  merespon  pertanggungjawaban  yang  dibebankan kepadanya.
Jika doktrin ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus  bertanggung  jawab  atas  perbuatan-perbuatan  yang  dilakukan  oleh  para
pegawainya,  kuasanya,  atau  mandatarisnya,  atau  siapapun  yang  bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Namun dapat disimpulkan berdasarkan uraian di
atas,  setidaknya  terdapat  dua  syarat  penting  untuk  menerapkan  doktrin  vicarious liability
, yaitu: harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan  dan  pekerja,  serta  tindak  pidana  yang  dilakukan  oleh  pekerja  tersebut
harus berkaitan atau massih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
2.  Identification doctrine
Teori ini  juga dikenal dengan istilah direct corporate criminal liability
168
pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu
sendiri.
169
Sehingga  apabila  perbuatan  tersebut  mengakibatkan  terjadinya  tindak pidana atau kerugian, sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan tindak pidana
168
Mahrus  Ali,  op.cit,  hlm.  80    105.  Mahrus  Ali  dalam  bukunya  membedakan penjelasan  mengenai  identification doctrine dengan direct corporate criminal liability. Meskipun
dalam  penjelasannya,  Mahrus  Ali  menyatakan  bahwa  corporate  criminal  liability  berhubungan erat  dengan  doktrin  identifikasi,  yang  menyatakan  bahwa  tindakan  agen  tertentu  dalam  suatu
korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Lihat hlm. 106.
169
Eric Colvin dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan korporasi. Identification doctrine adalah doktrin yang menyatakan bahwa perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung lewat orang-
orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan mereka tidak sebagai pengganti  dan  oleh  karena  itu  pertanggungjawaban  perusahaan  tidak  bersifat
pertanggungjawaban pribadi.
170
Doktrin  ini  juga  berpandangan  bahwa  korporasi  dianggap  sebagai “directing mind” atau “alter ego”. Artinya, perbuatan mens rea para individu itu
kemudian  dikaitkan  dengan  korporasi  .  jika  individu  diberi  kewenangan  untuk bertindak  atas  nama  dan  selama  menjalankan  bisnis  korporasi,  mens  rea  para
individu  itu  merupakan  mens  rea  korporasi.
171
Munculnya  doktrin  ini dilatarbelakangi oleh teori organ
172
, dikarenakan orang-orang yang identik dengan korporasi  sangat  bergantung  kepada  jenis  dan  struktur  organisasi.  Organisasi
dalam  banyak  hal  disamakan  dengan  tubuh  manusia.  Korporasi  sebagai  sebuah organisasi  memiliki  otak  dan  pusat  syaraf  yang  mengendalikan  apa  yang
dilakukannya.  Ia  memiliki  tangan  yang  memegang  alat  dan  bertindak  sesuai dengan  arahan  dari  pusat  syaraf.  Beberapa  orang  di  lingkungan  korporasi  itu
hanyalah  karyawan  dan  agen  yang  tidak  lebih  dari  tangan  dalam  melakukan pekerjaannya  dan  tidak  bisa  dikatakan  sikap  batin  atau  kehendak  perusahaan.
173
170
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 87.
171
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm 89.
172
Lihat  Hasbullah  F.  Sjawie,  op.cit,  hlm.  307.  Dengan  menggunakan  teori  organ, pengadilan bisa secara bijaksana menetapkan dan memperlakukan  the state of mind of the senior
officers of the company as being the state of mind of the company.
173
Dwidja  Priyatno,  op.cit,  hlm.  91.  Bandingkan  dengan  tanggapan  Hakim  Denning sebagaimana dikutip dari Dwidja Priyatno, Ia memberi tanggapannya sebagai berikut:
“A company may  in  many  ways  be  likened  to  a  human  body.  It  has  a  brain  and  a  nerve  centre  which  can
controls what it does. It also had hands which hold the tools and act in accordance with are mere servants and agents who are nothing more that hands to do the work and cannot be said represent
Universitas Sumatera Utara
Di  sisi  lain,  direktur  atau  pejabat  setingkatnya  mewakili  sikap  batin  yang mengarahkan,  mewakili  kehendak  perusahaan  dan  mengendalikan  apa  yang
dilakukan.  Sikap  batin  mereka  merupakan  sikap  batin  korporasi.
174
Artinya, doktrin  ini  diharapkan  dapat  mendorong  pertanggungjawaban  pidana  dari
korporasi  atas  actus  reus  dan  mens  rea  dari  pejabat  berwenang  controlling officers
, tapi terbatas pada pejabat tersebut. Directing  mind
atau  orang-orang  yang  identik  dengan  korporasi  menurut Yedidia  Z.  Stern  meliputi  the  general  meeting,  board  of  directors,  managing
directors ,  general  manager,  chief  executive,  and  possibly  individual  directors,
secretaries and  shop  managers.
175
Namun  timbul  pertanyaan  apakah  jabatan tersebut  dengan  sendirinya  akan  bertanggung  jawab  setiap  terjadi  tindak  pidana
dalam  lingkup  korporasi?  Untuk  itulah,  pendekatan  menggunakan  identification doctrine
dalam  menentukan  directing  mind  korporasi  harus  dianalisis  secara kontekstual.
176
Sutan  Remy  Sjahdeini  mengutip  pendapat  Little  dan  Savoline terkait dianutnya identification doctrine dalam putusan Mahkamah Agung Kanada
dalam  perkara  Canadian  Dredge  and  Dock  vs  The  Queen
177
,  yang  menyatakan
the mind or will. Others are directors and managers who represent the directing state of mind of these managers is the state of the mind of the company and is treated by the law as such.”
174
Eric Colvin, op.cit, hlm. 8-9.
175
Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 106. Terkait dengan orang-orang yang identik  dengan  korporasi  Yedidia  Z.  Stern  mengungkapkan  terdapat  lima  pendekatan  untuk
menentukan kapan tindakan orang-orang tertentu dalam suatu korporasi dianggap sebagai tindakan korporasi, yaitu: deskripsi yang samar, kriteria formal, pendekatan pragmatis, analisis hierarki, dan
analisis fungsi.
176
Sutan  Remy  Sajhdeini,  op.cit,  hlm.  104.  Menurut  Sutan  Remy  Sjahdeini,  untuk menentukan  directing  mind  dari  korporasi  harusalah  dilihat  dari  formal  yuris  dan  menurut
kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus.
177
Ibid. Mahkamah Agung Kanada dalam  perkara tersebut berpendapat bahwa directing mind
dari  suatu  korporasi  adalah “the  ego”,  “the  „center‟”,  danatau  “the  „vital  organ‟”  of
corporation .
Universitas Sumatera Utara
bahwa  telah  muncul  beberapa  asas  terkait  identification  doctrine  dari  putusan tersebut:
178
a.  Directing  mind  dari  suatu  korporasi  tidak  terbatas  pada  satu  orang  saja. Sejumlah  pejabat  officer  dan  direktur  dapat  merupakan  directing  mind  dari
korporasi tersebut. b.  Geografi bukan merupakan faktor. Kenyataan bahwa suatu korporasi memiliki
berbagai  operasi  multiple  operation  di  berbagai  lokasi  geografis  memiliki berbagai kantor cabang tidak akan mempengaruhi penentuan mengenai siapa
orang  yang  merupakan  directing  mind  dari  perusahaan  yang  bersangkutan. Oleh  karena  itu  seseorang  tidak  dapat  mengelak  untuk  bertanggung  jawab
hanya  karena  dia  melakukan  operasinya  dari  suatu  lokasi  yang  terpisah  dari lokasi di mana tindak pidana itu terjadi.
c.  Suatu  korporasi  tidak  dapat  mengelak  untuk  bertanggung  jawab  dengan mengemukakan bahwa orang atau orang-orang yang melakukan tindak pidana
itu  telah  melakukan  tindak  pidana  yang  bersangkutan  meskipun  telah  ada perintah  yang  tegas  kepada  mereka  agar  hanya  melakukan  perbuatan  yang
tidak melanggar hukum.
d.  Agar  seseorang  dapat  dinyatakan  bersalah  karena  telah  melakukan  tindak pidana,  orang  tersebut  harus  memiliki  kalbu  yang  salah  atau  niat  yang  jahat
have a guilty mind andor criminal intent, yaitu yang dikenal dalam hukum pidana  pidana  sebagai  mens  rea.  Dalam  doktrin  ini,  pejabat  atau  direktur
korporasi  yang  merupakan  directing  mind  dari  korporasi  tersebut  tidak  dapat dipertnaggungjawabkan  atas  suatu  tindak  pidana  apabila  tindak  pidana  itu
tidak disadarinya.
e.  Untuk  menerapkan  identification  doctrine  harus  dapat  ditunjukkan  bahwa perbuatan  dari  personil  yang  menjadi  directing  mind  korporasi  itu  termasuk
dalam  bidang  kegiatan  yang  ditugaskan  kepadanya,  tindak  pidana  tersebut bukan  merupakan  kecurangan  terhadap  korporasi  yang  bersangkutan,  dan
tindak pidana itu dimaksudkan untuk memperoleh atau menghasilkan manfaat bagi korporasi.
f.  Pertanggungjawaban  pidana  korporasi  mensyaratkan  adanya  analisis kontekstual  contextual  analysis.  Dengan  kata  lain,  penentuannya  harus
dilakukan  kasus  per  kasus  on  a  case  by  a  case  basis.  Jabatan  seseorang dalam  perusahaan  tidak  dengan  sendirinya  membuat  dia  bertanggung  jawab.
Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk dapat menentukan kebijakan korporasi  atau  untuk  dapat  membuat  keputusan-keputusan  penting  harus
dilengkapi dengan melakukan analisis kontekstual tersebut.
3.  Strict Liability
178
Ibid., hlm. 106.
Universitas Sumatera Utara
Doktrin strict liability mengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat  dibebankan  kepada  pelaku  tindak  pidana  yang  bersangkutan  dengan  tidak
perlu  dibuktikan  adanya  kesalahan  kesengajaan  atau  kealpaan  pada  pelakunya. Strict  liability
ini  merupakan  konsep  pertanggungjawaban  tanpa  kesalahan liability  without  fault.  Dengan  kata  lain,  konsep  strict  liability  dirumuskan
sebagai “that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at
least one element of their actus reus” suatu bentuk pelanggarankejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan
adanya  suatu  perbuatan.
179
Roeslan  Saleh  menambahkan,  dalam  tindak  pidana yang  bersifat  strict  liability  yang  dibutuhkan  hanyalah  dugaan  atau  pengetahuan
dari  pelaku  terdakwa,  dan  hal  itu  sudah  cukup  menuntut  pertanggungjawaban daripadanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok  strict
liability adalah  actus  reus  perbuatan  sehingga  yang  harus  dibuktikan  adalah
actus reus perbuatan bukan mens rea kesalahan.
180
Konsep  strict  liability  di  negara-negara  common  law  diartikan  sebagai kewajiban  mutlak  yang  dihubungkan  dengan  ditimbulkannya  kerusakan.  Salah
satu  ciri  utama  tanggung  jawab  mutlak,  yakni  tidak  adanya  persyaratan  tentang kesalahan.
181
Sejak  pertengahan  abad  ke-19,  asas  tanggung  jawab  mutlak  strict liability
telah  diperkenalkan,  sekurang-kurangnya  untuk  beberapa  kasus,  yang sebagian  besar  berkaitan  dengan  resiko  lingkungan
182
,  dan  keamanankesehatan makanan,  perlindungan  konsumen,  di  samping  ketertiban  umum,  fitnah  atau
179
Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 28.
180
Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 21.
181
Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 298.
182
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pencemaran  nama  baik,  dan  contempt  of  court,  serta  pelanggaran  lalu  lintas.
183
Dengan kata lain, strict liability dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana kesejahteraan  public  welfare  offences  yang  bersifat  tindak  pidana  ringan  yang
diancam  tindak  pidana  denda.  Argumen  ini  dikemukakan  pula  oleh  Muladi  dan Dwidja  Priyatno  sebagaimana  dikutip  oleh  Sutan  Remy  Sjahdeini,  yang
menyatakan bahwa:
184
“Penerapan  doktrin  “strict  liability”  dan  “vicarious  liability”  hendaknya hanya  diberlakukan  terhadap  jenis  perbuatan  pelanggaran  yang  sifatnya
ringan  saja,  seperti  dalam  pelanggaran  lalu  lintas.  Doktrin  tersebut  dapat pula  ditujukan  terhadap  pertanggungjawaban  pidana  korporasi,  terutama
yang  menyangkut  perundangan  terhadap  kepentingan  umummasyarakat, misalnya  perlindungan  di  bidang  makanan,  minuman,  serta  kesehatan
lingkungan  hidup.  Dengan  dasar  doktrin  ini  maka  fakta  yang  bersifat menderitakan
si korban
dijadikan dasar
untuk menuntut
pertanggungjawaban  pidana  korporasi  dengan  adagium  res  ipsa  loquitur fakta sudah berbicara sendiri.”
L. B. Curzon sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik mengatakan bahwa strict  liability
dianut  dalam  hukum  pidana  didasarkan  atas  tiga  premis,  yaitu:
185
Pertama, sangat  esensial  untuk  menjamin  dipatuhinya  peraturan  penting  tertentu
yang  diperlukan  untuk  mensejahterakan  masyarakat.  Kedua,  pembuktian  adanya mens
rea  akan menjadi lebih  sulit  dalam  pelanggaran  yang  berhubungan  dengan kesejahteraan  masyarakat.  Ketiga,  tingginya  tingkat  bahaya  sosial  yang
ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan. Doktrin  strict liability  ini  terdapat  dalam  delik-delik  yang  diatur  menurut
undang-undang  statutory  offences;  regulatory  offences,  mala  prohibita,  yang pada umumnya merupakan delik kesejahteraan umum. Lord Pearce sebagaimana
183
Ibid.
184
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 83.
185
Hamzah Hatrik, op.cit, hlm. 13-14.
Universitas Sumatera Utara
dikutip  dalam  Yusuf  Shofie  menyatakan  bahwa  banyak  faktor  yang melatarbelakangi  pembentuk  undang-undang  menetapkan  penggunaan  strict
liability dalam  hukum  pidana,  seperti:  karakteristik  suatu  tindak  pidana,
pemidanaan  yang  diancamkan,  ketiadaan  sanksi  sosial,  kerusakan  tertentu  yang ditimbulkan, cakupan aktivitas yang dilakukan, dan perumusan ayat-ayat tertentu
dan  konteksnya  dalam  suatu  perundang-undangan.
186
Selanjutnya  mengutip pendapat  Romli  Atmasasmita,  pembentuk  undang-undang  telah  menetapkan  bila
aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai berikut:
187
a.  Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat; b.  Ancaman hukumannya adalah ringan;
c.  Syarat  adanya  mens  rea  akan  menghambat  adanya  tujuan  perundang-
undangan; d.  Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-
hak orang lain; e.  Menurut  undang-undang  yang  berlaku  mens  rea  secara  kasuistik  tidak
diperlukan.
Contoh kasus yang menerapkan strict liability sebagaimana dikutip dalam Hanafi adalah kasus Alphaceel Ltd Vs Woodward 1972:
188
Suatu  perusahaan  dihukum  oleh  pengadilan  tingkat  pertama  dengan tuduhan sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang tuduhan
itu  dengan  mengatakan  bahwa  jaksa  harus  membuktikan  adanya  kesengajaan, kelupaan,  atau  kesembronoan  dari  terdakwa.  House  of  Lord  menolak  argumen
terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.
186
Yusuf  Shofie,  Tanggung  Jawab  Pidana  Korporasi  dalam  Hukum  Perlindungan Konsumen  di  Indonesia
,  Bandung:  Citra  Aditya  Bakti,  2011,  hlm.  362-363.  Keenam  faktor tersebut  menunjukkan  betapa  pentingnya  perhatian  publik  public  concern  terhadap  perilaku-
perilaku  yang perlu dicegah dengan penerapan strict  liability, agar keamanan  masyarakat public safety
,  lingkungan  hidup  environment,  dan  kepentingan-kepentingan  ekonomi  masyarakat  the economic interest of the public
, termasuk perlindungan konsumen tetap terjaga.
187
Romli  Atmasasmita,  Perbandingan  Hukum  Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 78.
188
Hanafi,  Strict  Liability  dan  Vicarious  Liability  dalam  Hukum  Pidana,  Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, 1997, hlm. 75.
Universitas Sumatera Utara
4.  Management Failure Model Doktrin  ini  merupakan  sebuah  bentuk  baru  kejahatan  pembunuhan  yang
dilakukan  oleh  korporasi  corporate  manslaughter.  The  Law  Comission Inggris
189
berpendapat  bahwa  pembunuhan yang  dilakukan  oleh  korporasi  terjadi apabila  ada  kesalahan  oleh  managemen  korporasi  yang  menyebabkan  kematian
orang.  Kejahatan  ini  diartikan  sebagai  suatu  kesalahan  dari  managemen kebalikan  dari  kesalahan  korporasi,  karena  The  Law  Comission  berpendapat
bahwa orang-orang yang berada di dalam korporasilah yang melakukan kejahatan dan  tindak  pidana  baru  yang  ada  di  Inggris,  yaitu  kelalaian  yang  menyebabkan
kematian  killing  by  gross  carelessness,  tidak  dapat  diaplikasikan  terhadap korporasi.
190
Kejahatan  ini  sendiri  tidak  memperhatikan  konsep  mens  rea  yang berusahan menangkap kesalahan seseorang yang akan diartikan sebagai kesalahan
korporasi.  Sekilas  doktrin  ini  mirip  dengan  identification  doctrine,  akan  tetapi sesungguhnya  terdapat  perbedaan  signifikan  dari  kedua  teori  ini.  Identification
doctrine sebagaimana  telah  diuraikan  sebelumnya,  mencari  kesalahan  dari
individu  yang  identik  dengan  korporasi  atau  beberapa  orang  yang  mempunyai kendali  atas  korporasi,  sedangkan  management  failure  model  mencari  kesalahan
managemen.  Kesalahan  managemen  oleh  The  Law  Comission  didefenisikan sebagai  kesalahan  untuk  tidak menjamin keselamatan  di  dalam  managemen  atau
189
Law  Comission,  http:lawcomission.justic.gov.ukabout-us.html,  diakses  pada  hari Kamis, 28 April 2016. The Law Comission adalah lembaga non-departemen yang berada di bawah
Kementerian  Hukum  Inggris    yang  bertugas  untuk  mengawasi  jalannya  hukum  di  Inggris, mengadakan  penelitian  yang  akan  digunakan  sebagai  rekomendassi  bagi  Parlemen  Inggris,  dan
mengkodifikasi hukum Inggris agar mengurangi ketidaksesuaian antara hukum yang berlaku.
190
Lembaga  Studi  dan  Advokasi  Masyarakat  ELSAM,  Tanggungjawab  Pidana Korporasi dalam RUU KUHP
, Jakarta: ELSAM, 2005,  hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
organisasi dari kegiatan korporasi a failure to ensure safety in the management or organisation  of  the  corporation‟s  activities.
191
Doktrin  ini  sesungguhnya berfokus  pada  struktur  dari  suatu  korporasi  dan  aktivitasnya,  bukan  pada
perbuatan  individu  dalam  korporasi.  Namun,  penting  untuk  menjadi  catatan, bahwa doktrin ini masih belum menjawab pertanyaan klasik, pejabat mana dalam
struktur  atau sistem manakah yang dapat disebut sebagai suatu korporasi.
5.  Aggregation Doctrine Doktrin  ini  merupakan  tanggapan  terhadap  doktrin  identifikasi  yang
dianggap  kurang  dapat  mengatasi  realitas  proses  pengambilan  keputusan  dalam banyak  perusahaan  modern.
192
Oleh  karena  itulah  disarankan  beberapa  metode alternatif untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana suatu korporasi,
salah satunya adalah aggregation doctrine.
193
Ajaran ini memungkinkan aggregasi atau  kombinasi  kesalahan  dari  sejumlah  orang  untuk  diatributkan  kepada
korporasi sehingga korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban. Tindak pidana yang dilakukan seseorang digabungkan dengan kesalahan orang lain, atau dengan
kata lain ia merupakan akumulasi kesalahan atau kelalaian yang merupakan sikap kalbu
194
dari  tiap-tiap  pelaku.  Ketika  kesalahan-kesalahan  tersebut,  setelah
191
Ibid, hlm. 16.
192
Mahrus  Ali,  op.cit,  hlm.  125.  Dalam  berbagai  kasus  seringkali  ditemukan  bahwa aktivitas korporasi merupakan hasil dari usaha-usaha kolektif beberapa atau bahkan banyak agen.
Dalam situasi ini, jelas tidak terdapat individu khusus yang bertanggung jawab secara penuh atas aktivitas  tersebut,  sehingga  dapat  ditarik  menjadi  kejahatan  yang  dilakukan  korporasi,
sebagaimana yang dianut dalam identification doctrine.
193
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 119.
194
Ibid., hlm. 37.Istilah “sikap kalbu” dipergunakan oleh Sutan Remy Sjahdeini, dengan
mengingat  bahwa  apa  yang  ada  di  dalam  kalbu  seseorang  itu  merupakan  hasil  dari  proses  cipta, rasa, dan karsa.
Universitas Sumatera Utara
dijumlahkan,  ternyata  memenuhi  unsur  yang  dipersyaratkan  dalam  suatu  mens rea
, maka aggregation doctrine terpenuhi di sini.
195
Ajaran  ini  menurut  Clarkson  dan  Keiting  memiliki  keuntungan  karena dalam  banyak  kasus  tidak  mungkin  untuk  mengisolasi  seseorang  yang  telah
melakukan  tindak  pidana,  dengan  memiliki  mens  rea  dalam  melakukan  tindak pidana  itu,  dari  perusahaan  di  mana  dia  bekerja.  Ajaran  ini  dapat  mencegah
perusahaan-perusahaan menyembunyikan dalam-dalam tanggung jawabnya dalam struktur  korporasi.  Namun,  ajaran  ini  mengabadikan  personifikasi  dari  mitos
perusahaan  prepetuates  the  personification  of  companies  myth.  Apabila  dalam identification  doctrine
cukuplah  untuk  dapat  menemukan  hanya  satu  orang  yang perbuatannya dapat diatributkan kepada perusahaan, maka dalam ajaran aggregasi
diharuskan  untuk  menemukan  beberapa  orang  yang  aggregasi  dari  perbuatan mereka secara keseluruhan diatributkan sebagai perbuatan perusahaan.
Dengan demikian, teori aggregasi ini sesungguhnya mengabaikan realitas bahwa  esensi  riil  dari  suatu  perbuatan  yang  salah  mungkin  saja  bukan  berupa
penyatuan dari apa yang telah dilakukan oleh tiap-tiap orang, tetapi berupa fakta bahwa  perusahaan  tidak  memiliki  kebijakan  untuk  dapat  mencegah  seseorang
dalam  perusahaan  itu  untuk  melakukan  suatu  perbuatan  yang  secara  kumulatif merupakan suatu tindak pidana.
196
195
Stephanie Earl dalam Mahrus Ali., op.cit, hlm. 126.
196
C.M.V Clarkson dan HM.  Keating  sebagaimana  dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, op.cit,
hlm. 110.
Universitas Sumatera Utara
Ajaran  ini  diterima  di  Kanada,  Amerika  Serikat,  dan  Australia,  namun ditolak  di  New  Zealand  dan  di  Inggris.
197
Kanada  memasukkan  prinsip-prinsip ajaran aggregasi ke dalam kitab undang-undang hukum pidananya khusus terkait
dengan  tanggung  jawab  pidana  organisasi.  Pasal  22.2  mengatur  tentang bagaimana  suatu  korporasi  dinyatakan  sebagai  pihak  yang  bertanggungjawab
secara  pidana  atas  tindak  pidana  yang  dilakukan  karena  kealpaan.unsur-unsur delik  dianggap  terpenuhi  apabila  pengurus  korporasi  berada  dalam  lingkup
kewenangannya,  atau  jika  beberapa  tindak  pidana  tersebut  dilakukan  dua  atau lebih pengurus korporasi. Sedangkan unsur kesalahan dianggap terpenuhi apabila
pejabat  senior  atau  semua  pejabat-pejabat  senior  tidak  mencegah,  dengan  cara- cara yang masuk akal, tindakan bawahannya dari melakukan suatu perbuatan yang
dilarang.
198
6.  Corporate Mens Rea Doctrine Seringkali  dikemukakan  bahwa  korporasi  tidak  dapat  melakukan  tindak
pidana,  korporasi  tidak  dapat  berpikir,  dan  tidak  memiliki  niat.  Hanya  orang- orang  yang  di  dalam  korporasilah  yang  dapat  melakukan  tindak  pidana.  Akan
197
Mahrus  Ali,  op.cit,  hlm.  127.  The  Law  Comission  Inggris  menolak  penggunaan  teori aggregasi sebagai metode perluasan tanggung jawab pidana korporasi ketika membentuk undang-
undang  pidana  terkait  pembunuhan  yang  tidak  disengaja.  Menurut  Komisi  Hukum  Inggris  ini, penerapan  ajaran  aggregasi  sebagai  perluasan  dari  teori  identifikasi  akan  menimbulkan
ketidakpuasan.  Secara  lebih  rinci  dijelaskan: “...it  would  be  no  more  than  a  gloss  on  the
identification principle, and would not obviate the need to conduct a detailed ivestigation into the conduct and state of mind of particular controlling officers; and it might well give rise to difficult
and  perhaps  insoluble  problems  where  different  controlling  officers  knew  or  believed  different things.”
198
Ibid.,  hlm.  217.  Pengurus  di  sini  dimaknai  secara  luas  yaitu:  director,  partner, employee,  member,  agent  or  contractor  of  the  organisation.
Sedangkan  pejabat  senior  yang dimaksud  berdasarkan  pasal  12.1  adalah  orang-orang  yang  memiliki  peranan  penting  dalam
pengambilan  kebijakan  suatu  korporasi  atau  orang-orang  yang  bertanggung  jawab  dalam pelaksanaan aspek-aspek penting kegiatan korporasi.
Universitas Sumatera Utara
tetapi  disaat  seluruh  pemikiran  tentang  personalitas  adalah  fiksi  tetaplah merupakan  suatu  yang  nyata  dan  fungsional,  maka  seakan  tidak  lagi  ada  alasan
mengapa  hukum  tidak  menciptakan  suatu  doktrin  mengenai  mens  rea  korporasi yang  fiksi.  Doktrin-doktrin  yang  telah  diuraikan  sebelumnya  melibatkan
hilangnya  pertanggung  jawaban  fiksi  dari  korporasi  fictious  imputations  of responsibility
.
199
Corporate  mens  rea  doctrine memiliki  ide  dasar  bahwa  doktrin  lainnya
tidak  memperlihatkan  realita  dari  kompleksnya  organisasi  korporasi  serta dinamika  dari  proses,  struktur,  tujuan,  kultur,  dan  hirarki  dari  organisasi,  yang
dikombinasikan  dengan  etos  yang  mendorong  suatu  kejahatan.
200
Berdasarkan pandangan  ini,  korporasi  dapat  dianggap  sebagai  “culpability-bearing  agents”
yang  “bertindak”  melalui  pekerjaannya  dimana  “mens  rea”  dapat  ditemukan  di dalam  praktek  dan  kebijakan  korporasi.  Penolakan  terhadap  doktrin  ini  adalah
kesulitan  untuk  menentukan  apakah  kebijakan  dan  praktek  di  dalam  perusahaan cukup dianggap menyalahi untuk diputuskan bersalah dalam tingkatan yang vital.
Selain  itu  kesulitan  juga  dialami  jika  tidak  ada  bentuk  kesalahan  sehingga mempersulit  identifikasi  dari  kebijakan  dan  prakteknya  dalam  memenuhi  unsur
mens rea .
7.  Spesific Corporate Offences The Law Comission di Inggris mengajukan sebuah bentuk kejahatan baru
yaitu  pembunuhan  oleh  korporasi  atau  corporate  killing,  yang  diintrodusir  lewat perundang-undangan di  Inggris.  Kejahatan ini menciptakan bentuk yang terpisah
199
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, op.cit, hlm. 16.
200
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dari  manslaughter  serta  hanya  dapat  dilakukan  oleh  korporasi.  Berkaitan  dengan penegasan akan pertanggungjawaban pidana korporasi. Jika argumentasi ini dapat
dihubungkan  dengan  mens  rea  korporasi  dan  dapat  diterima,  tentu  saja  tidak dibutuhkan  kejahatan  khusus  oleh  korporasi.  Argumen  kuat  mengapa  doktrin  ini
dapat  diterapkan  adalah  usulan  Law  Comission  memiliki  beberapa  kekurangan yaitu timbul kemungkinan yang mengantarkan pada marginalisasi dari  corporate
manslaughter. Kejahatan  ini  tidak  akan  dianggap  sebagai  manslaughter  yang
serius  dan  kesalahan  serta  simbol  dari  peranan  dalam  kejahatan  korporasi  akan runtuh.
201
Kelemahan  doktrin  ini  adalah  perbedaan  struktur  dalam  kejahatan  ini mengantar  pada  persepsi  bahwa  kejahatan  oleh  korporasi  berbeda  tipis  dengan
pelanggaran  administratif,  bahwa  kejahatan  korporasi  tidaklah  sejahat  tindak pidana yang sebenarnya.
8.  Reactive Corporate Fault Fisse  and  Braithwaite  sebagaimana  dikutip  oleh  Clarkson  menciptakan
sebuah  bentuk  baru  dari  doktrin  pertanggungjawaban  korporasi,  yaitu  reactive corporate fault.
Doktrin ini menyatakan bahwa disaat actus reus dari suatu tindak pidana  telah  terbukti  dilakukan  oleh  dan  atas  nama  korporasi,  pengadilan
sepatutnya memiliki dasar untuk meminta korporasi melakukan investigasi untuk mencari tahu siapakah individu yang bertanggung jawab dan melakukan tindakan
penegakan  disiplin  terhadap  individu  tersebut  serta  melakukan  koreksi  atas kesalahan yang ia lakukan. Apabila korporasi melakukan koreksi maka korporasi
tidak  akan  diminta  pertanggungjawaban.  Pertanggungjawaban  korporasi  hanya
201
Ibid., hlm. 17
Universitas Sumatera Utara
dapat  diminta  jika  korporasi  gagal  untuk  memenuhi  perintah  pengadilan. Kelalaian korporasi adalah apabila korporasi gagal bertindak secara wajar sesuai
permintaan pengadilan terhadap perbuatan salah satu pegawainya.
202
Oleh  karena  itu,  dapat  dilihat  bahwa  keuntungan  dari  doktrin  ini  adalah doktrin  “memaksa”  korporasi  untuk  melakukan  pemeriksaan,  bukan  pemerintah
yang  melakukan.  Tidak  hanya  menghemat  uang  dan  waktu,  doktrin  ini menjadikan  korporasi  mengerti  dan  bisa  memasuki  struktur  dari  organisasinya.
Hal ini dilakukan sebagaimana tujuan utama dari doktrin ini, yaitu agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Sedangkan kelemahan dari doktrin ini adalah terdapat
kemungkinan  timbulnya  perilaku  manipulatif  dalam  perkara  yang  melibatkan pejabat tinggisenior korporasi yang berpengaruh, dengan mengorbankan pegawai
lainnya.  Lalu  penentuan  bentuk  hukuman  apakah  yang  sesuai  untuk  mencegah terulangnya  tindak  pidana  oleh  pegawai  korporasi?  Bagaimana  cara  mengukur
tindakan  korektif  dan  sanksi  disiplin  seperti  apa  yang  cukup  untuk  menghindari tanggung  jawab  pidana?  Cukupkah  teguran  secara  formal  kepada  seorang
karyawan  yang  dibarengi  dengan  sirkulasi  sebuah  memorandum  internal  yang menasehati staf tentang sejumlah tindakan yang akan dilakukan di masa depan?
203
Sederhananya,  the  reactive  fault  doctrine  memiliki  time  frame  yang  seluruhnya keliru.  Perbuatan  salah  adalah  tindakan  yang  asli  atau  kelalaian  yang
menimbulkan  kerugian.  Kesalahan  harus  tetap  dinilai  dengan  mengacu  pada perbuatan  atau  kelalaian  tersebut.  Bukan  hanya  pada  perbuatan  atau  kelalaian
yang dilakukan dalam menanggulanginya.
202
Ibid., hlm. 12.
203
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
9.  Corporate Cultural Model Doktrin  ini  diterapkan  di  Australia,  menggantikan  konsep  vicarious
liability yang sebelumnya dianut hingga tahun 1995. Pertanggungjawaban pidana
yang berbasis pada “budaya korporasi” ...to base corporate criminal liability on a test  of  the  “corporate  culture”,  mengutip  pendapat  Alvi  Syahrin  diartikan
sebagai  tingkah  laku,  kebijakan,  peraturan,  maksud  dari  suatu  langkah  ataupun kegiatan yang terdapat dalam lingkungan perusahaan itu secara umum atau dalam
bagian  lain  dari  perusahaan  tersebut  dimana  kegiatan  yang  relevan  terjadi  ...an attitude,  policy,  rule,  course  of  conduct  or  practice  existing  within  the  body
corporate  generally  or  in  the  part  of  the  body  corporate  in  which  the  relevant activities take place
.
204
Dalam  ajaran  corporate  cultural  model  ini,  Alvi  Syahrin  menyatakan terdapat unsur-unsur yang harus dapat dibuktikan, antara lain:
205
“suatu  kebiasaan  atau  tingkah  laku  perusahaan  yang  memerintah, mendorong,  mentoleransi  ataupun  membiarkan  suatu  tindakan  yang  tidak  sesuai
dengan peraturan;” atau perusahaan tersebut gagal untuk mempertahankan suatu kegiatan  yang  sesuai  dengan  peraturan,  perlu  juga  mengetahui  bahwa  dewan
direktur “secara sengaja, mengetahui atau membiarkan terjadinya suatu tindakan atau  secara  terang-terangan  atau  diam-diam  memerintah  atau  mengizinkan  suatu
tindakan yang melanggar aturan.”
206
Dengan  kata  lain,  menurut  corporate  culture  model  ini  tidak  perlu ditemukan orang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang melanggar hukum
itu  untuk  dapat    dipertanggungjawabkannya  perbuatan  orang  itu  kepada
204
Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 26.
205
Ibid.
206
Ibid. Terkait dengan dewan direksi, dapat mengajukan pembelaan berdasarkan konsep due diligence tindakan  yang sesuai dengan tugas dan tanggung  jawab,  jika orang tersebut telah
membuktikan  bahwa  ia  telah  sejalan  dengan  due  diligence  tersebut  guna  menghindari  atau memerintah atau memberi izin untuk terjadinya tindakan yang melanggar hukum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
korporasi.
207
Sebaliknya,  pendekatan  tersebut  menentukan  bahwa  korporasi sebagai  suatu  keseluruhan  adalah  pihak  yang  harus  bertanggung  jawab  karena
telah  dilakukannya  perbuatan  yang  melanggar  hukum  dan  bukan  orang  yang melakukan perbuatan itu saja yang harus bertanggung jawab
.
208
Pasal  12.3  ayat  2  KUHP  Australia  1995  menyebutkan  bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada korporasi bila:
209
a.  Direksi  korporasi  dengan  sengaja  atau  mengetahui,  atau  dengan  sembrono telah  melakukan  tindak  pidana  yang  dimaksud,  atau  secara  tegas,  atau
mengisyaratkan,  atau  secara  tersirat  telah  memberi  wewenang  atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.
b.  Pejabat  tinggi  dari  korporasi  tersebut  dengan  sengaja,  atau  mengetahui,  atau dengan  sembrono  telah  terlibat  dalam  tindak  pidana  dimaksud,  atau  secara
tegas, atau mengisyaratkan, atau secara tersirat telah memberi wewenang atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana tersebut.
c.  Korporasi memiliki budaya kerja yang mengarahkan, mendorong, mentolerir, atau mengakibatkan tidak dipenuhinya ketentuan perundang-undangan
d.  Korporasi tidak membuat memiliki dan memelihara suatu budaya kerja yang mengharuskan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.
D.  Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Korporasi