Pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afganistan

(1)

PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT

TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Zaenal Arifin NIM: 101033221853

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA

SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 03 Januari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. J

a k a r t a , 0 3 J a n u a r i 2 0 0 8

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota

Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Drs. Edwin Syarif, M.A.

NIP. 150 262 447


(3)

Anggota

. A . M , Sirojuddin Aly .

Dr .

Si . M , Haniah Hanafi .

Dra

NIP. 150 318 684

NIP. 150 299 932

. Bamualim MA .

Chaider S .

Drs


(4)

KATA PENGANTAR

îm h mân al ra h

Bismillâh al ra

Dengan penuh rasa syukur atas selesainya skripsi ini, penulis memanjatkan

lah Dzat yang Maha Agung yang

-Dia .

ânah wa Ta‘âla h

Sub

puji kepada Allah

telah menciptakan manusia dan seluruh ciptaan-Nya baik di bumi maupun di langit. Dia-lah yang selalu ada ketika manusia fana. Shalawat dan salam tetap penulis haturkan kepada Nabi dan Rasul Allah, Muhammad shalla Allâh ‘alaih wa sallam yang telah meletakkan pondasi yang kuat bagi peradaban manusia. Perjalanan menempuh sarjana bagi penulis memang tidak semudah yang

dibayangkan. Berbagai halangan yang mengganggu baik selama perkuliahan maupun dalam penyelesaian skripsi ini selalu ada. Namun dengan kekuasaan-Nya, Allah memperlihatkan kasih sayang-Nya dengan cara-Nya sendiri sehingga penulis mampu menuntaskan skripsi ini sesuai ketentuan tradisi akademik. Dalam hal ini penulis mengangkat tema tentang “Pengaruh Invasi Militer Amerika

Serikat Terhadap Proses Demokrasi Di Afghanistan.”

Skripsi ini disusun untuk menambah khazanah keilmuan dan pengembangan wacana politik Islam di Afghanistan pasca invasi Amerika Serikat. Atas selesainya skripsi ini, penulis sangat berterima kasih kepada semua

pihak yang telah memberikan peranan penting dan kontribusi berharga terhadap penulis, baik selama penyusunan skripsi ini maupun ketika menjalani masa perjuangan di kampus tercinta sampai menempuh jenjang pendidikan sarjana. Dengan segala kerendahan hati, penulis menghaturkan rasa terima kasih dari


(5)

lubuk hati yang dalam atas kerjasamanya.Ucapan terima kasih ini saya haturkan kepada: 1. Kedua orang tuaku, H. Ali Murtadlo dan Hj. Siti Rahmah. Tanpa mereka

penulis mustahil bisa menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi ini. Merekalah sesungguhnya yang telah berhasil melewati masa-masa sulit dengan segala kesabarannya. Adik-adikku yang sangat aku sayangi yaitu Rien Zumaroh, Nurul Afifah Marwatin, dan Fatmawati (Almh) yang selalu bertanya: mas …, kapan skripsinya selesai? Pertanyaan inilah yang mengusik hati penulis untuk secepatnya menyeselasikan studi ini. 2. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, beserta para pembantu rektor lainnya, semoga cita-cita UIN Jakarta menjadi universitas Islam bertarap internasional segera terwujud. Amin…..

3. Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah berusaha menciptakan lingkungan intelektual yang kondusif sehingga memungkinkan penulis khususnya dan mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat umumnya bisa belajar dengan nyaman.

4. Drs. Agus Darmaji, M.Fils., Ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah memberikan masukan dan saran yang berharga pada draft awal pengajuan skripsi ini.

5. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A., Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam yang telah memberikan pelayanan akademik sebaik-baiknya.


(6)

6. Drs. Chaider S. Bamualim MA. selaku pembimbing yang dengan segala kesibukannya bersedia menyempatkan waktunya untuk membimbing penulis serta mendukung penulis dalam kehidupan kampus yang lain. 7. Penguji Skripsi yaitu Bpk. Dr. Sirojuddin Aly MA. Dan Ibu Dra. Haniah

Hanifie M.Si. yang telah banyak memberikan masukan-masukan dan saran-saran atas skripsi ini.

8. Kyai saya, guru saya KH. Abdurrahman Wahid selaku pengasuh PONPES Luhur Mahasiswa Ciganjur, KH. Jamaluddin Ahmad selaku pengasuh PONPES Tambak Beras Jombang, K. Imam Syafa’at selaku pengasuh PONPES Nurul Isyhar Nganjuk, K. Syamsul Hadi (Alm) selaku pengasuh PONPES Mambaul Ulum Bojonegoro, beserta kyai-kyai yang lain.

9. Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Utama UIN, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Freedom Institute, CSIS, Deplu, dan LIPI.

10.Semua Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan pelayanan pengetahuan dengan profesional, memberikan ruang diskusi yang dialogis, terbuka dan memberikan kebebasan berpikir pada setiap pokok bahasan yang disampaikan, telah memberikan wawasan intelektual dengan penuh rasa saling menghargai, terbuka, dengan tetap bertumpu pada kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku. Mereka juga telah memberikan apresiasi terhadap aneka ragam pemikiran yang muncul sehingga memungkinkan terjadinya pendewasaan intelektual.


(7)

11.Bapak HM. Mukri dan Mr. Foo Kim Chooi, pimpinan saya di PT. Pertamina, UPms-III Cab. Bandara Internasional Soekarno-Hatta atas partisipasinya selama proses penelitian ini.

12.Giyono dan Lek Lilin beserta keluarga di Pondok Ranji yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan selama proses perkuliahan. 13.Keluarga besar Yayasan Wahid Hasyim khususnya kepada Bpk. H.

Muhammad Musthafa, Prof. KH. Said Aqiel Siroj, H. Syaifullah Yusuf, H. Muhaimin Iskandar M.Si, dan H. Aris Junaidi.

14.Para kawan-kawan di organisasi HMI, PMII, IMM, Formaci, Kompak, HIMABI, dll.

15.Teman-temanku angkatan 2001 di program studi Pemikiran Politik Islam: Abdul Muhid, Abdul Manaf, Bahrul Ulumuddin, Nyai Susilawati, Ramdan Muhaimin, Sondang Ria, dll.

Penulis yakin masih banyak nama yang belum disebutkan yang memiliki andil besar dalam penulisan karya ilmiah ini, baik langsung maupun tidak langsung. Kepada mereka semua, penulis tetap menghaturkan rasa terima kasih yang banyak. Semoga Allah membalas amal mereka dengan balasan yang

lebih…..Amin Ya Robbal Alamin.

Jakarta, 3 Januari 2008

Z

a e


(8)

n a l

A r i f i n


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... ... ... . KATA PENGANTAR ... ... ... i DAFTAR ISI ... ... ... v PEDOMAN TRANSLITERASI ... ... ... vii BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Batasan dan Rumusan Masalah... 8

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D.Metode Penelitian ... 9

E. Sistematika Pembahasan ... 10

BAB II DINAMIKA POLITIK AFGHANISTAN A.Dinamika Kehidupan Sosial dan Politik Afghanistan... 12

B.Kegagalan Pemerintahan Mujahidin: Lahirnya Taliban 19

C. Akar-akar Sosial dan Doktrinal Taliban ... …. 28

D. Sikap Amerika Serikat terhadap Taliban ... ... 30

BAB III PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN A. Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan .... tahun 2001: Akhir Pemerintahan Taliban ... ... 34

A.1. Pelaksanaan Invasi Militer ... .. ... 35


(10)

A.2. Di Balik Invasi Militer Amerika Serikat terhadap ..

Afghanistan ...

... ...

36

B. Proses Menuju Demokrasi ... 44 B.1. Terjadinya Transisi Rezim di

Afghanistan ...

... ..

45

B.2. Terbentuknya Pemerintahan Transisional Afghanistan 47 B.3. Peran AS dalam Proses Rekonstruksi

Pasca Transisi di Afghanistan ...

... 56

C. Proses Demokrasi di Afghanistan ... 60 C.1. Peran AS dalam Proses

Demokrasi di Afghanistan ...

... 63

C.2. Pemilihan Umum 2004 Wujud dari Demokrasi ...

... 66

BAB IV PENUTUP


(11)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia Konsonan ا ب b ت t ث ts ج j ح h خ kh د d ر r ز z س s ش sy ص s ض d ط t ظ z ع ‘ غ g ف f ق q ك k ل l م m ن n و w ﻩـ h ء ’ ي y Arab Indonesia Vokal ـــ a ـــ i ـــ u Vokal Panjang ــا â ــو û ــي î ى â ﺁ ’â Difthong ـــو aw/au ـــي ay Kata Sandang

الـ...

al-الشــ al-sy

والـ... wa’l-Lainnya ــات ât ــاة âh


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Serangan teroris internasional terhadap World Trade Center (WTC) dan

Pentagon pada 11 September 2001 secara langsung membuktikan kepada bangsa Amerika termasuk dunia internasional mengenai rendahnya kesiapsiagaan sistem pertahanan domestik Amerika sebagai negara adidaya dalam melindungi masyarakat sipil dan infrastruktur- infrastruktur yang vital dari suatu serangan yang dipola secara lokal. WTC dan Pentagon sebagai lambang supremasi ekonomi dan militer untuk pertama kalinya dilumpuhkan oleh suatu serangan

yang non-militer oleh satu kelompok teroris. Kejadian katastropik itu menciptakan celah kerawanan dan celah kesempatan bagi setiap teroris lokal atau internasional untuk menyerang Amerika Serikat kembali. Hal tersebut menimbulkan suatu ketakutan yang mendalam

dalam masyarakat atau pemerintah Amerika.1 Sejak peristiwa 11 September 2001, tampak jelas Amerika Serikat (AS) telah mendemonstrasikan praktek politik unilateralis2 dan arogansi tanpa ragu-ragu. Tanpa proses penyidikan dan penyelidikan yang seksama atas kasus itu,

1

Perasaan takut itu seperti terungkap dalam kata-kata Menteri Pertahanan Amerika Serikat, William J. Perry (1994-1997), “As Deadly as the World Trade Center disaster was, it could have produced a hundredfold more victims if the terrorist had possessed nuclear or biological weapons. And the future threat could come form hostile nations as well as terrorist”. Lihat Badan pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Wilayah Amerika Program Pasca-Sarjana Universitas Indonesia, “Penanganan Terorisme Internasional dan Perubahan Corak Politik Luar Negeri Amerika Serikat,” (Jakarta: UI Press, 2003), h. 2

2

Unilateralis adalah kebijakan sepihak dalam urusan internasional tanpa mengindahkan aturan, kesepakatan, atau lembaga internasional atau kepentingan negara serta pihak non-negara lainnya. Sebagaimana telah kita lihat, Unilateralisme itu ditampakkan secara terang-terangan dalam sikap Amerika Serikat terhadap PBB, terutama dalam hal terorisme global. Dimana Amerika Serikat menunjukkan penolakan nyata terhadap resolusi Dewan keamanan PBB.


(13)

dengan serta merta Amerika Serikat melancarkan serangan militer terhadap Afghanistan tanpa mandat yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mendapatkan pembenaran atas serangan militer yang sangat kejam itu, Afghanistan dituduh melindungi teroris bernama Osama bin Laden tanpa bukti yang nyata. Jadilah negara Islam yang lemah itu sebagai korban kekerasan militer Amerika Serikat yang dengan gencar membombardir tanah para mullah

yang lemah dan sedang tercabik pertikaian internal itu. Inilah peristiwa pertama dalam sejarah, melancarkan serangan militer besar-besaran dengan dalih mengejar teroris yang sedang dicari. Menurut Presiden George W.Bush, tindakan atas

negeri naas itu sengaja dilakukan demi kebebasan dan Demokrasi.3 Tetapi mengapa dalam upaya untuk menyebarluaskan kebebasan dan demokrasi Amerika Serikat menggunakan cara yang tidak berkeprimanusiaan, misalnya dalam kasus Afghanistan dan Irak. Amerika Serikat mengaku ingin menggulingkan rezim otoriter dari kedua negara tersebut demi terjaminya perdamaian dunia serta menciptakan dunia yang menghargai hak asasi manusia. Namun, proses ini di lakukan dengan menggunakan kekerasan, yaitu melalui

invasi militer.4 Dengan tindakan militer itu, seluruh infrastruktur Afghanistan hancur dan belasan ribu warga tidak berdosa tewas sia-sia. Ternyata Osama pun tidak tertangkap, dicari pun tidak ditemukan hingga kini. Pastinya, serangan militer Amerika Serikat itu berakhir dengan kehancuran segala fasilitas dan infrastruktur sosial ekonomi, kerugian jiwa raga dan psikologi rakyat Afghanistan, pendepakan rezim berkuasa yang sah di Afghanistan dan dipasangnya rezim boneka yang

3

Mohammad Shoelhi, Di Ambang Keruntuhan Amerika (Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 32-34

4


(14)

bersedia disetir. Jadi, jelas sepak terjang Amerika Serikat sangat bertentangan dengan demokrasi, sebagaimana ditunjukkan dengan pembunuhan umat manusia secara kejam dan melampaui batas kemanusiaan. Apakah tindakan menangkap seorang teroris dengan pengerahan kekuatan militer dan membombarder besar-besaran terhadap negara kecil, lemah, dan tidak bersalah dapat dibenarkan?

Apalagi tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ). Sangat jelas, bahwa apa yang dimaksud Amerika Serikat sebagai serangan balasan (Counter Attack) terhadap terorisme itu sesungguhnya merupakan invasi militer yang tidak dapat diterima karena negara Afghanistan tidak terbukti berbuat salah terhadap Amerika Serikat dan juga tanpa dasar yang kuat dituduh sebagai pelindung teroris. Serangan militer itu juga merupakan serangan yang melawan hukum internasional karena dilancarkan pada saat keadaan dalam negeri Afghanistan sedang dilanda kecamuk pertikaian antar faksi yang berkepanjangan

dan melelahkan. Jadi, Invasi militer sepihak tanpa mandat PBB itu ternyata bertujuan untuk menyelamatkan wajah teroris yang sebenarnya yang berada di dalam jaringan birokrasi tingkat tinggi pemerintahan Amerika Serikat.5 Hal ini tampak jelas karena kuatnya pengaruh faksi garis keras di lingkaran elit politik Gedung Putih. Mereka yang dimotori Wapres Dick Cheney, Menhan Donald Rumsfeld, Deputi Menhan Paul Dundes Wolfowitz, serta Penasehat Keamanan Nasional (NSC) Condoleezza Rice, memang dikenal sebagai kelompok “neokonservatif“ yang selalu mengedepankan pendekatan pragmatis dan sangat militeristik. Yang ada dalam benak mereka hanya perang dan perang. Sementara persoalan HAM dan 5


(15)

demokrasi justru dikesampingkan. Tidak mengherankan, jika seorang Nelson Mandela (mantan Presiden Afrika Selatan) menuduh AS di bawah Bush sebagai negara yang sama sekali tidak memiliki sopan santun dalam pergaulan

Internasional.6 Tindakan pembalasan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap rezim

Taliban di Afghanistan, untuk kejahatan yang dilakukan oleh individu-individu dari negara lain yang tidak berkaitan langsung dengan rezim tersebut, melangkah jauh dari perang pembalasan yang diperbolehkan oleh piagam PBB ketika menghadapi agresi militer dari negara lain. Namun hal ini tampaknya tidak diperdulikan oleh pemerintahan Bush, walaupun aksi militer Amerika Serikat di Afghanistan mendapat banyak kecaman Internasional. AS berdalih bahwa rezim Taliban membiarkan wilayah Afghanistan dipakai oleh kelompok Al-Qaeda yang tetap merupakan ancaman bagi Amerika Serikat, Sehingga untuk menghancurkan

Al-Qaeda dan mencegah aksi teror selanjutnya rezim Taliban pun harus ikut dihancurkan. Dalam perang melawan teroris yang dicanangkan Amerika Serikat negara yang membiarkan kelompok teroris berada di wilayahnya tampaknya juga dianggap sebagai teroris atau pendukung terorisme sehingga perlu diperangi,

sebelum ancaman itu menjadi kenyataan. Sikap Pemerintah Bush itu merupakan kelanjutan dari doktrin pre- emptive

strike7 yang dikemukakan Pentagon tahun 1992, sama sekali tidak mengindahkan piagam PBB dan hukum internasional lainnya tentang perang yang sah. Doktrin ini membenarkan tindakan agresi terhadap negara lain hanya berdasarkan kecurigaan Amerika Serikat terhadap niat atau kemampuan yang dimiliki negara

6

Riza Sihbudi, Menyandera Timur-Tengah (Jakarta : Mizan, 2007) Cet. I h.151

7


(16)

tersebut. Tentara Amerika Serikat dapat melakukan serangan dimana saja, kapan saja, melawan siapa saja sesuai persepsi ancaman Washington, tanpa memerlukan mandat PBB ataupun dukungan internasional.8 Secara sepihak upaya yang telah dilakukan Amerika Serikat dalam melawan terorisme adalah: pertama, mengisolasi negara yang memberi dukungan terhadap kelompok teroris agar negara tersebut menghentikan bantuannya. Kedua, memperkuat peraturan dan hukum yang pada intinya melawan tindakan terorisme melalui berbagai kerjasama internasional. Ketiga, bersikap tegas dan menolak

upaya tawar-menawar maupun negosiasi yang diminta kelompok teroris. Amerika Serikat menekan negara yang dianggap sebagai sponsor atau

melindungi teroris. Bagi Amerika, hal itu penting dilakukan karena selama masih ada dukungan dana dan moral, menyediakan tempat persembunyian, memasok senjata, maupun memberikan bantuan logistik maka upaya pemberantasan terorisme akan sulit dilakukan. Setiap tahun pemerintah Amerika Serikat melakukan pemetaan dan menganalisa kebijakan setiap negara terhadap terorisme dalam tiga kelompok, yaitu negara sponsor terorisme, negara yang tidak mau bekerjasama menanggulangi terorisme, dan negara yang tidak sungguh-sungguh menanggulangi kegiatan terorisme.9 Kebijakan yang diterapkan apakah itu tekanan ekonomi, diplomatik maupun militer akan dilakukan sebagai tindak lanjut

dari hasil pemetaan dan pengelompokan tersebut terhadap negara-negara terkait.10 8

Tatanan Dunia Pasca Invasi Amerika ke Irak, “ Jurnal Demokrasi & HAM,Vol.3 No.2 , (Mei – September 2003), h.21-22

9

Setiyo Budhi Cahyo Padma Gandhi, “ Respon Amerika Serikat menghadapi terorisme ( Studi Kasus ); Pasca serangan 11 September 2001 Di Amerika Serikat ( WTC dan Pentagon ),

Tahun 2001-2002,“ (Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Ahmad Yani, 2003), h.7

10

Contoh upaya Amerika Serikat agar negara tersebut mau bekerjasama dengan Amerika Serikat dalam melawan terorisme adalah melalui tekanan ekonomi. Amerika Serikat akan memveto pinjaman yang akan diberikan lembaga-lembaga donor internasional kepada negara


(17)

Sementara, pemerintah George W. Bush telah bekerja cepat dan menyimpulkan bahwa dalang dari serangan terorisme ke negaranya adalah Osama bin Laden dengan jaringan al-Qaedanya yang bermarkas di Afghanistan sejak tahun 1996. Keputusan Taliban untuk tidak menyerahkan Osama bin Laden kemudian dianggap sebagai upaya pemerintah negeri itu melindungi terorisme, dan ini menimbulkan kemarahan Amerika Serikat. Osama bin Laden sendiri dianggap menjadi gembong teroris yang menjadi perhatian Amerika Serikat sejak

terjadinya serangan bom terhadap kedutaan Besar Amerika Serikat di Afrika.11 Taliban merupakan suatu kelompok kekuatan politik yang berkuasa di

Afghanistan. Osama memang sedang dicari oleh intel Amerika Serikat beberapa tahun terakhir ini, karena tuduhan melakukan beberapa aksi teror terhadap fasilitas Amerika Serikat di luar negeri. Kelompok Taliban menjadi kuat karena bantuan Amerika Serikat ketika perang melawan Uni Soviet (1979-1989).12 Sebelum memutuskan untuk melakukan serangan militer terhadap

Afghanistan, Amerika Serikat terlebih dahulu melakukan negosiasi dengan pemerintahan Taliban di Afghanistan, tetapi upaya ini gagal karena pemerintahan

pendukung terorisme ini, sehingga negara-negara tersebut mengalami kesulitan ekonomi untuk pembangunan nasionalnya. Tekanan ekonomi baru dihentikan setelah negara tersebut mau mematuhi keinginan Amerika Serikat. Kuba, Irak, Iran, Libya, Korea Utara, Sudan, dan Suriah sejak 1993 selalu masuk dalam daftar negara sponsor terorisme yang dibuat oleh Amerika Serikat. Sedangkan Afganistan sejak tragedi 11 September 2001 telah dikategorikan sebagai negara yang tidak mau bekerjasama menanggulangi terorisme karena menolak menyerahkan Osama bin Laden dan menolak tuduhan memberi pelatihan militer bagi pejuang Chechnya, sehingga telah lama mendapat hukuman sanksi ekonomi dari PBB dan embargo bahan bakar.

11

Jauh sebelum peristiwa 11 September 2001 terjadi, al-Qaeda telah memiliki catatan pembunuhan dan penghancuran yang panjang. Pada Oktober 1993, mata-mata yang dilatih jaringan al-Qaeda membunuh 18 tentara Amerika Serikat yang sedang bertugas sebagai penjaga perdamaian PBB di Somalia. Pada Agustus 1998, organisasi ini mengebom kedutaan Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania dan membunuh 223 orang dan melukai lebih dari 4000 orang, yang sebagian merupakan warga negara Kenya. Lalu pada Oktober 2000, para teroris tersebut menyerang kapal Angkatan Laut Amerika Serikat USS Cole dengan menabrakkan perahu kecil yang membawa bom. Sebanyak 17 awak berkebangsaan Amerika tewas. Al-Qaeda disinyalir juga memiliki jaringan dengan gerakan jihad Islam di Mesir, gerakan Islam Uzbekisan dan beberapa kelompok teroris.

12


(18)

Taliban merasa diintimidasi oleh Amerika Serikat. Pemerintahan Taliban merasa keberatan untuk menyerahkan Osama bin Laden yang telah berjasa dalam membangun Afghanistan, tanpa ada bukti-bukti yang jelas mengenai keterlibatan Osama bin Laden dalam serangan 11 september 2001. Keputusan Pemerintahan Taliban telah membuat Amerika Serikat marah, sehingga konflik di antara kedua negara tidak dapat dihindarkan.13 Amerika Serikat memutuskan untuk jalan terus dan menyatakan perang

terhadap terorisme. Menghancurkan basis kelompok teroris yang dituding berada di balik serangan 11 September, al-Qaeda adalah tujuan terdekat dan paling

mendesak. Hal ini menyebabkan serangan militer berkelanjutan di Afghanistan. Sebelas bulan setelah operasi militer dimulai, Amerika berhasil

menjatuhkan Taliban dari tampuk kekuasaan di Afghanistan dan telah mengguncang serta memperlemah, jaringan sel-sel al-Qaeda. Namun, Pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden belum tersentuh. Demikian pula Mullah Muhammad Omar, Pemimpin Taliban yang sudah dijatuhkan namun sulit ditangkap.14 Dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dan dengan bersendikan kepada ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama mengikuti perkuliahan di Jurusan Pemikiran Politik Islam maka, penulis tertarik untuk mengkaji, memahami, dan menganalisa fenomena yang menjadi perhatian dunia internasional ini. Dengan ini, penulis mengambil judul, " Pengaruh Invasi

Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi Di Afghanistan.”

13

Setiyo Budhi C., Respon Amerika Serikat Menghadapi Terorisme, h.22

14


(19)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Mengingat kompleksitas masalah di atas, penulis perlu membatasi

penelitian ini pada pelaksanaan serangan militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan pada Oktober 2001 hingga berakhirnya proses pemilihan umum di Afghanistan pada Oktober 2004, yang menandakan hadirnya sebuah pemerintahan baru. Maka dari itu, dalam skripsi ini penulis merumuskan masalah

sebagai berikut: Bagaimanakah pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Umum

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu hubungan internasional dan pengetahuan tentang ilmu pemikiran politik Islam khususnya kepada peneliti umumnya kepada pembaca.

2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan.

2. Untuk menjelaskan terjadinya transisi rezim di Afghanistan pasca kekalahan Taliban.

3. Untuk menjelaskan pengaruh Amerika Serikat dalam suksesi pemerintahan di Afghanistan sampai pelaksanaan Pemilu 2004.


(20)

4. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri ( UIN ) Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Di dalam karya ilmiah metode penelitian merupakan hal yang harus dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku. Untuk mencapai maksud ini, maka secara metodologis penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Pendekatan penelitian kualitatif ini, didasarkan pada pertimbangan untuk

menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu tentang pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan.15 Dalam hal ini penulis berusaha menggambarkan fenomena pengaruh invasi militer Amerika Serikat terhadap proses demokrasi di Afghanistan secara sistematis, faktual, dan akurat, kemudian mengkritisinya dengan menggunakan berbagai literatur yang tersedia.16 Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

studi kepustakaan (library research), yaitu tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan mempelajari buku-buku wajib dan bahan-bahan tertulis lainya seperti dokumen Surat Kabar, Majalah, Internet dan lain-lain dari literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

15

Lexi J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000), h. 4 – 8

16


(21)

Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara memeriksa

seluruh data yang terkumpul untuk dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam proses penelitian. Adapun dalam penulisan Skripsi ini, Penulis berpedoman kepada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah ( Skripsi, Tesis, Disertasi ) Ceqda, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Tahun 2006.

E. Sistematika Pembahasan

Untuk memudahkan secara keseluruhan pembahasan Skripsi ini, Maka

diperlukan suatu sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan Skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Bab I berisi Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

BAB II : Bab II adalah bagian pembahasan yang akan diarahkan untuk

menggambarkan dinamika kehidupan sosial dan politik di Afghanistan yang dipengaruhi oleh etnisitas dan selalu mengalami pergolakan, kegagalan pemerintahan mujahidin: lahirnya Taliban, dan akar-akar sosial doktrinal Taliban serta sikap Amerika Serikat terhadap Taliban dari keempat bagian ini, diharapkan akan dapat terlihat jelas mengenai kemunculan Taliban dan hubungannya

dengan alasan Amerika Serikat melakukan invasi tersebut.

BAB III : Bab III merupakan bagian dari pembahasan, namun akan lebih


(22)

dan pengaruhnya terhadap proses demokrasi di Afghanistan, transisi menuju demokrasi, proses menuju demokrasi, proses demokrasi di Afghanistan, serta terlaksananya pemilihan umum 2004 sebagai

wujud dari demokrasi.

BAB IV : Kesimpulan, bab ini merupakan akhir dari Skripsi yang berisikan


(23)

BAB II

DINAMIKA POLITIK AFGHANISTAN

A. Dinamika Kehidupan Sosial dan Politik Afghanistan

Afghanistan merupakan sebuah negara yang terletak di kawasan Asia

Barat Daya. Negara ini berbatasan dengan Turkmenistan, Uzbekistan, dan Tajikistan di sebelah utara, dengan Pakistan di sebelah timur dan selatan, serta dengan Iran di sebelah barat.17 Afghanistan memiliki nama nasional Dowlat-e Eslami-ye Afghanestan, atau Emirat Islam Afghanistan, dan mendapat kemerdekaannya dari Inggris pada 19 Agustus 1949. Luas area Afghanistan adalah 647.500 km2 yang dihuni oleh 28.513.677 penduduk menurut sensus tahun 2004. Pertumbuhan penduduk di Afghanistan kira-kira mencapai 4,9%

per-tahun.18 Terdapat 34 provinsi di Afghanistan, yaitu Badakhsthan, Badghis,

Baghlan, Balkh, Bamian, Daykondi, Farah, Faryab, Ghazni, Ghor, Helmand, Herat, Jowzjan, Kabul, Kandahar, Kapisa, Khost, Konar, Kunduz, Laghman, Loghar, Nangarhar, Nimruz, Nurestan, Oruzgan, Pakhtia, Paktika, Panjshir, Parvan, Samangan, Sar-e Pol, Takhar, Vardak, dan Zabol. 19 Kelompok-kelompok suku utama adalah Pashtun (35-40%), Tajik (25-30%), Uzbek (10%), Hazara (10-15%), Turkman (5%) dan lain-lain (2%). Bahasa resmi Afghanistan adalah Pashto

1.

Verinder Grover, “Afghanistan: An Introduction,” dalam Verinder Grover (ed).,

Government and Politics of Asian Countries 1: Afghanistan (New Delhi: Deep&Deep Publication PVT.LTD, 2002), h.1.

18

“Afghanistan,” diakses pada 13 November 2007 dari http://www.infoplease.com/ipa /A0107264. html.

19

“Afghanistan,” diakses pada 16 November 2007 dari http://www.odci.gov /cia/ publication /factbook /geos/af.html,


(24)

dan Dari.20 Sementara itu, agama mayoritas adalah Islam, yang terdiri dari 84% Islam Sunni dan 15% Islam Syi’ah.21 Afghanistan bukan merupakan unit etnis yang self-contained22 dan

kebudayaan nasionalnya tidaklah seragam. Hanya sedikit di antara kelompok etnis di Afghanistan yang benar-benar berasal dari negara tersebut.23 Hal ini menjadi salah satu penyebab adanya sejarah perang yang panjang di negaranya, sehingga kehidupan sosial dan politik rakyat Afghanistan dapat dikatakan tidak pernah berjalan mulus. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menjelaskan masalah dan

pengaruh etnisitas dalam kehidupan sosial dan terutama politik Afghanistan. Seperti halnya negara-negara ataupun wilayah-wilayah lain yang dilanda

konflik, salah satu akibat sosial yang paling terlihat adalah munculnya masalah pengungsian yang sangat serius. Hampir sepanjang sejarah Afghanistan, terutama dalam kurun waktu 20-30 tahun terakhir, kehidupan rakyat Afghanistan diwarnai dengan kegiatan pengungsian ke negara-negara tetangga terdekatnya, terutama Pakistan dan Iran. Pada masa perang internal misalnya, yaitu sekitar 1992 hingga 1994, jumlah pengungsi Afghanistan di Pakistan adalah sekitar 3,2 juta penduduk dan di Iran sebanyak 2,9 juta penduduk.24 Walaupun kemudian sejak 1993 banyak pengungsi Afghanistan dibantu oleh PBB untuk pulang ke negara mereka, namun jumlah pengungsi Afghanistan masih besar. Ketika invasi militer Amerika Serikat ke Afghanistan, pengungsian rakyat Afghanistan secara besar-besaran ke

negara-negara terulang kembali. 20

Dari adalah dialek Afganistan dari bahasa Persia

21

Verinder Grover, “Afghanistan: An Introduction,”hlm. 2.

22

Self-Contained adalah negara yang dapat berdiri sendiri.

23

P. Bajpai dan S. Ram (eds), encyclopedia of Afghanistan Vol. 1, Afghanistan: The Land and People (New Delhi: Anmol Publications PVT. LTD., 2002), h. 62.

24

Diakses pada 17 November 2007 dari http://www.encyclopedia.laborlawtalk.com /Afghanistan_ timeline_1991-1995,


(25)

Gambaran seperti inilah yang kerap terjadi ketika Afghanistan dilanda

perang besar. Para pengungsi Afghanistan telah mengalami gangguan-gangguan yang radikal dalam kebudayaan, organisasi sosial, serta kehidupan perekonomian mereka, terutama sejak mereka diharuskan mengungsi akibat perang yang

berkepanjangan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kehidupan sosial budaya rakyat

Afghanistan sangat kental dengan unsur agama Islam. Hal ini dikarenakan hampir seluruh rakyat Afghanistan, terutama etnis Pashtun, merupakan muslim taat bahkan cenderung fanatik. Pihak-pihak yang berusaha mempropagandakan ajaran agama selain Islam diancam oleh hukum adat dengan hukuman mati. Sekitar 40% rakyat Afghanistan mengikuti aliran sunnah wal jama’ah dari mazhab Hanafiah Maturidiyah (sunni hanafi). Mazhab Hanafi dikembangkan oleh Abu Hanifah, salah seorang pelajar Islam pertama yang berupaya menginterpretasikan syari’at-syari’at Islam ke dalam kehidupan sehari-hari manusia. Interpretasinya terhadap hukum Islam sangat toleran terhadap perbedaan di dalam komunitas-komunitas umat Islam. Beliau juga membedakan antara kepercayaan dan pelaksanaan, di mana beliau menganggap bahwa kepercayaan lebih penting.25 Aliran ini memiliki ciri-ciri pemahaman agama yang sangat tekstual, sesuai dengan apa yang tersurat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan sikap hidup keagaman seperti itu kaum muslimin Afghanistan dengan cepat dapat memutuskan apa yang halal (diperbolehkan dalam Islam) dan apa yang haram (dilarang oleh Islam), tanpa melalui banyak prosedur yang membutuhkan interpretasi yang tinggi dari para ulama mereka. Kepercayaan tersebut juga sebenarnya membuat rakyat

25


(26)

Afghanistan menjadi toleran terhadap perbedaan, dengan syarat ada kepercayaan antara satu kelompok dengan yang lainnya. Rakyat Afghanistan hidup dengan berpedoman pada prinsip-prinsip ajaran

agama Islam yang disesuaikan dengan norma-norma suku Pashtun dan adat-istiadat lokal lainnya. Meski demikian, terdapat perbedaan pandangan terhadap implementasai syari’ah Islam di antara mereka. Ada yang liberal, konservatif, maupun ortodoks. Walaupun beberapa pemimpin Afghanistan pernah mencoba untuk melakukan reformasi yang radikal terhadap nilai-nilai yang dianut oleh rakyat Afghanistan, misalnya penghapusan kewajiban menggunakan cadar bagi perempuan Afghanistan yang digantikan dengan pakaian bergaya internasional, nilai-nilai Islam telah tertanam dengan mendalam di kehidupan sehari-hari rakyat Afghanistan. Selain itu, tradisi-tradisi kesukuan juga tidak memperbolehkan

perubahan yang diusulkan tersebut. Dengan demikian, dari sisi norma-norma sosial yang berlaku, kehidupan

masyarakat Afghanistan secara sosial diatur berdasarkan syari’ah Islam, yang oleh pihak asing disebut hukum adat. Kewibawaan para ulama yang lebih dikenal dengan gelar mullah sangat kuat. Untuk memenuhi kebutuhan menghadapi tantangan dunia modern, pemerintah Afghanistan mendirikan sekolah-sekolah agama untuk mempersiapkan para ulama yang diharapkan akan lebih handal.26 Berkaitan dengan syari’at Islam di atas, ketika Taliban mengambil alih

kekuasaan pada September 1996, kehidupan di Afghanistan bagi kaum wanita seolah-olah berhenti. Perlu diingat bahwa organisasi Taliban sendiri sebagian besar beranggotakan rakyat Afghanistan dari kelompok etnis Pashtun. Di bawah

26

Z.A. Maulani, Perang Afghanistan: Perang Menegakkan Hegemoni Amerika di Asia Tengah (Jakarta: Dalancang Seta, 2002), h. 4-5.


(27)

pemerintahan Taliban, wanita direnggut dari hak asasinya sebagai manusia, antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk memberikan dan mendapatkan pelayanan kesehatan, hak untuk bekerja, dan hak untuk dapat secara bebas berjalan di rumah.27 Padahal, sebelum Taliban mengambil alih kekuasaan, kaum perempuan Afghanistan menikmati kebebasan dalam menjalani hidup. Pada saat itu, sebagian besar perempuan Afghanistan bukan saja berpendidikan tinggi, tetapi juga merupakan 70% dari seluruh guru sekolah Afghanistan, setengah dari

pejabat pemerintah, dan 40% dari seluruh dokter di Kabul.28 Dari sisi kehidupan sehari-hari, perjalanan kehidupan rakyat Afghanistan

sangat memprihatinkan. Perang yang berkepanjangan menyebabkan banyak terjadinya masalah sosial seperti: pengungsian, kelaparan, angka kematian yang tinggi (terutama balita), banyaknya perempuan yang menjadi janda perang, serta pendidikan rakyat yang semakin tidak terurus. Anak-anak terbuka terhadap risiko trauma, terpisah dari keluarga, mengalami gangguan perekonomian, tidak memiliki negara, marjinalisasi sosial, serta tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal. Kenyataan ini didukung oleh data yang dikumpulkan oleh CIA, yaitu bahwa tingkat kematian bayi di Afghanistan adalah 163,07 kematian per 1.000 jiwa, usia harapan hidup rata-rata adalah 42,9 tahun, penyakit menular utama yang berisiko tinggi berupa diare, hepatitis A, typhus, malaria, rabies, dan tingkat buta huruf hanya 36% dari seluruh populasi. 29

27

Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.Thesustainablevillage. com/partners/wapha. html.

28

P. Bajpai dan S. Ram (eds), encyclopedia of Afghanistan Vol. 6: US War on Terror in Afghanistan and Aftermath (New Delhi: Anmol Publications PVT.LTD, 2002), h.127.

29

Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.dur.ac.uk/anthropology/projects/ Afghan refugees/project.html.


(28)

Sementara, dalam kehidupan politik, pergolakan selalu terjadi di

Afghanistan. Kudeta pemerintahan telah terjadi sejak sejarah politik kontemporer Afghanistan dimulai pada 1919, hingga Afghanistan mengalami invasi eksternal oleh Uni Soviet. Pada 1979 pun perebutan kekuasaan politik terus berlangsung. Pada Desember 1979, pasukan Uni Soviet menginvasi Afghanistan berkaitan dengan perjanjian persahabatan 1978. Dewan Revolusi kemudian memilih Dr. Sayid Mohammed Najibullah sebagai Presiden Afghanistan pada September 1987. Setelah melakukan perundingan pada November 1991 dengan gerakan

oposisi Afghanistan (Mujahidin),pemerintah Uni Soviet setuju untuk mentransfer dukungannya dari rezim Najibullah ke rezim Islamic Interim Government atau pemeritahan Islam Interim. Ketika pasukan mujahidin mulai menguasai Kabul, Presiden Najibullah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada 16 April 1992. Setelah kepergian Presiden Najibullah, power di Afghanistan dipegang

dan dikuasai penuh oleh dewan pemimpin yang beranggotakan 10 orang, dipimpin oleh Burhanuddin Rabbani yang dinobatkan menjadi presiden Interim Afghanistan pada 28 Juni 1992. Pada Desember 1992, pertemuan dewan yang terdiri dari 1.335 delegasi nasional mengikuti konvensi dan memilih kembali Burhanuddin Rabbani sebagai presiden Afghanistan. Mandat Presiden Rabbani seharusnya berakhir pada Juni 1994, namun ia tetap memegang jabatannya, sehingga kembali terpilih menjadi presiden Afghanistan secara resmi pada 30 Januari 1995.


(29)

Setahun berikutnya, Taliban telah berhasil mengendalikan dua pertiga

Afghanistan, termasuk Kabul. Sejak saat itu, Afghanistan terpecah antara wilayah selatan yang dikuasai oleh kelompok fundamentalis Taliban dan wilayah utara yang dikuasai faksi yang lebih liberal.30 Hanya tiga negara, yaitu Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab yang mengakui Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan. Pengakuan internasional sebagai pemerintahan yang sah merupakan salah satu agenda kebijakan luar negeri yang menjadi prioritas Taliban pada saat mereka berkuasa. Perlu dicatat bahwa kursi Afghanistan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih didelegasikan kepada perwakilan pemerintahan yang dijatuhkan oleh Taliban pada 1996, yang masih juga diakui dan dilayani oleh

faksi United Islamic Front for the Salvation of Afghanistan (UIFSA). UIFSA merupakan cikal bakal kelompok Aliansi Utara yang didirikan

oleh Ahmad Shah Mashood. UIFSA merupakan koalisi anti-Taliban yang melibatkan pihak-pihak yang merupakan bagian dari rezim pemerintahan yang didukung oleh Uni Soviet, serta beberapa kelompok yang berbasis suku minoritas yang sangat menentang pemerintahan Taliban yang keras serta menentang prinsip untuk dipimpin oleh pemerintahan yang sangat didominasi oleh tokoh-tokoh dari kelompok etnis Pashtun, seperti Abdul Rashid Doshtum dari kelompok milisi Uzbek dan Ahmad Shah Mashood yang mendapatkan dukungan dari Tajikistan. Komponen kunci dari kekuatan ini adalah kelompok etnis Tajik yang mengendalikan lembah Panshjir yang sangat penting secara strategis. Taliban gagal mengusir mereka dari wilayahnya meskipun telah melakukan serangan-serangan hebat. Namun mereka telah berhasil memberikan pukulan hebat terhadap

30

Diakses pada 24 November 2007 dari http://www.tiscali.co.uk/reference/encyclopedia / country facts /afghanistan.html.


(30)

kelompok oposisinya dengan membunuh ketua militer Aliansi Utara yang menjadi tokoh kunci, yaitu Ahmad Shah Mashood, “Singa Lembah Panshjir”. Pasukan Aliansi Utara hanya menguasai lima persen dari total wilayah

negara Afghanistan, namun pemerintahan Taliban yang keras telah membangkitkan rasa benci yang semakin berkembang, bahkan di antara rakyat Afghanistan yang pada awalnya menyambut baik pengambil-alihan mereka atas pemerintahan Afghanistan.31

B. Kegagalan Pemerintahan Mujahidin: Lahirnya Taliban

Sejarah Afghanistan modern memperlihatkan bahwa tidak ada satu

kelompok etnis pun yang mampu memerintah Afghanistan sendirian. Maka cara terbaik untuk membentuk pemerintahan adalah dengan melakukan koalisi tradisional yang memiliki legitimasi nasional. Untuk mencapai kesepakatan dalam hal ini, para pemimpin kelompok-kelompok mujahidin harus membagi kekuasan antara mereka sendiri, karena terciptanya stabilitas di Afghanistan banyak tergantung pada penyelesaian elit, di mana banyak pemimpin mujahidin tidak hanya bertindak atas nama kelompok atau faksinya, namun juga merepresentasikan perbedaan etnolinguistik. Hasil dari pemikiran di atas adalah

Peshawar Accord pada 24 April 1992, yang melibatkan para pemimpin mujahidin yang berbasis di Pakistan serta pemerintah Pakistan yang saat itu berada di bawah pimpinan Perdana Menteri Nawaz Syarif. Secara esensial kesepakatan ini dirancang untuk menghasilkan kerangka kerja pemerintahan sementara yang diimplementasikan dalam dua tahap. Pertama, menobatkan Sibghatullah

31

Tony Karon, “Understanding Bin Laden’s Hosts, the Dilemma He Poses for Them,and the Politics of the Neighborhood,” Artikel ini diakses pada 24 November 2007. Dari


(31)

Mojaddedi sebagai pemimpin pemerintahan transisi. Kedua, memberikan kesempatan kepada pemerintahan sementara selanjutnya yang dipimpin oleh

Burhanuddin Rabbani.32 Hekmatyar, yang juga tidak sempat menandatangani Peshawar Accord

tersebut, mengacaukan pelaksanaan kesepakatan ini. Dia berpendapat, sesuai dengan kesepakatan mengenai kedudukan perdana menteri (yang ada pada penandatanganan dari Hezb), ia tidak harus tunduk kepada presiden dan kedudukan menteri pertahanan, dijabat oleh Mashood yang diangkat oleh Mojaddedi, berada di bawah kontrol perdana menteri. Hekmatyar kemudian mengambil inisiatif untuk menempatkan tangan kanannya, Abdul Sabur Farid, untuk menempati posisi perdana menteri. Hekmatyar sendiri menolak memasuki Kabul dan menggunakan segala alasan untuk meruntuhkan pemerintahan Rabbani. Pada awal Agustus 1992, Hekmatyar melancarkan serangan roket ke Kabul dengan tujuan melemahkan dominasi faksi Jami’at Islami. Serangan dan konflik antara Hekmatyar dan Rabbani menjadikan Afghanistan sekali lagi menjadi medan perang, di mana keadaan sudah tidak aman bagi rakyatnya sendiri. Oleh karena itu, pemerintahan mujahidin tidak dapat bertahan lama, dan diambil alih oleh Taliban pada September 1996.33 Beberapa literatur telah berupaya menjelaskan asal mula gerakan Taliban.

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk menjelaskan asal usul Taliban adalah bahwa sosok Taliban relatif dapat mudah ditemui diperbatasan Barat Laut Pakistan di daerah itu bertebaran para penuntut ilmu (Talib-ul-ilm) mereka bukan hanya muncul dari Afghanistan namun juga dari Pakistan, yaitu dari partai ulama 32

Amin Saikal,“Pemerintahan Rabbani 1992-1996,” dalam William Maley, Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 45.

33


(32)

Islam pimpinan maulana Fazlur Rahman yang menyediakan sarana pendidikan agama konservatif bagi anak laki-laki dari kamp-kamp pengungsi Afghan, khususnya anak-anak dhuafa’. Mereka mengenyam pendidikan madrasah di sekitar Quetta dan Peshawar yang tidak puas dengan keadaan mereka di Afghanistan. Para pejabat senior pemerintah Pakistan menyangkal dengan mengatakan bahwa tidak ada madrasah di Pakistan yang menjadi tempat belajar

para anggota Taliban, walaupun terdapat bukti kuat yang menunjukkan demikian. Professor Ahmad Hasan Dani mempercayai bahwa Taliban mendapatkan

pendidikan madrasah di Pakistan dan juga mendapatkan dukungan dari elemen-elemen atau pihak-pihak tertentu di Pakistan. Dani menegaskan bahwa para pelajar muda tersebut dipersiapkan untuk melakukan jihad melawan siapa pun yang dirasa tidak mentaati syari’at Islam. Hal inilah yang menyebabkan mereka dilaporkan memiliki rasa tidak suka terhadap kelompok-kelompok Afghan, yang mereka salahkan sebagai pihak yang mengakibatkan begitu banyak kematian dan kehancuran tanah kelahiran mereka.34 Sementara itu, terdapat alasan langsung yang dianggap menyebabkan

munculnya gerakan Taliban. Pada 1992 rata-rata penduduk Afghanistan sudah merasa muak dan lelah akan terus berlangsungnya perang saudara di negeri mereka yang telah berkobar selama tiga tahun. Masoom Afghani menyatakan bahwa sekitar 50.000 penduduk Afghanistan terbunuh dalam pertikaian untuk mendapatkan kekuasaan antara Hekmatyyar dan Rabbani. Rakyat Afghanistan kemudian kehilangan kepercayaan mereka terhadap para pemimpin, yang terus beraliansi ataupun memutuskan aliansi hampir setiap hari. Rakyat juga

34

P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan Vol. 5: Taliban and Muslim Fundamentalism (New Delhi: Anmol Publications PVT.LTD., 2002), hal. 182.


(33)

menganggap tidak ada satupun di antara pemimpin tersebut yang dapat dipercayai lagi karena kenyataannya tidak ada yang menepati janji. Pesimisme terhadap kepemimpinan para elit politik Afghanistan ini semakin meningkat ketika rakyat melihat tidak ada tanda-tanda bahwa perang dan pembunuhan yang terjadi akan segera berakhir saat itu. Kondisi yang selalu nyaris kelaparan terus menambah kemarahan rakyat Afghanistan dan menumbuhkan keinginan untuk melawan

kepemiminan Afghanistan yang sangat mereka hormati pada awalnya.35 Dengan demikian, seiring berjalannya waktu, popularitas mujahidin di

Afghanistan semakin lama semakin berkurang. Mereka tidak saja gagal dalam mewujudkan perdamaian di negara mereka yang dilanda perang, namun yang lebih buruk lagi adalah mereka mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan asusila. Beberapa di antara mereka memiliki peran ganda sebagai bandit yang memeras uang dari para pemilik toko dan memajak kendaraan-kendaraan berpenumpang yang melalui wilayah-wilayah kekuasaan mereka. Salah satu alasan mereka meminta uang dengan paksa, selain keserakahan pribadi, adalah kenyataan bahwa para pejuang tidak lagi menerima bayaran tetap dari pemimpin yang merekrut mereka. Selain itu banyak di antara para pejuang juga terlibat dalam kasus-kasus korupsi, penjarahan, pengedaran narkoba, dan pemerkosaan. Kondisi di atas memperlihatkan bahwa telah terjadi kesalahan fatal dalam

tata pemerintahan dan tata kehidupan di seluruh Afghanistan. Kepemimpinan mujahidin pada saat itu tidak mau dan tidak mampu meredam berkembangnya anarkisme di Afghanistan. Kondisi kacau mewarnai seluruh Afghanistan pada saat itu, kecuali enam provinsi di bagian utara Afghanistan yang dipimpin dan dikelola 35


(34)

oleh Jenderal Uzbek, Abdul Rashid Dostum. Kondisi yang terjadi membuat Afghanistan masuk dalam kategori failed state, seperti halnya Somalia, Rwanda dan Burundi. Walaupun perbatasan fisik masih ada, dan negaranya masih memiliki bendera nasional, lagu kebangsaan, pemerintahan, keanggotaan PBB, dan perwakilan di luar negeri, namun perintah tertulis bagi pemerintah sama sekali tidak dijalankan, bahkan di ibukota sekalipun. Warlord dan kepala-kepala suku telah mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, yang terjadi ketika keamanan Afghanistan berada dalam kondisi kacau balau akibat konflik perebutan

kekuasaan antara Hekmatyar dan Rabbani. Ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinan mujahidin Afghanistan

semakin lama semakin meningkat. Kerukunan yang telah terbentuk di antara mereka pada masa jihad Afghanistan telah pudar dan rakyat Afghanistan kembali mencari “juru selamat” yang baru. Oleh karena itu, tidaklah sulit bagi Taliban untuk mendapatkan dukungan dari rakyat yang berharap mereka dapat

menghentikan anarkisme yang telah menyebar ke seluruh Afghanistan. Pendidikan yang didapatkan oleh para anggota Taliban menjadikan

mereka orang-orang yang fanatik dalam beragama. Mereka diyakinkan bahwa tidak ada seorang pun dari pemimpin Afghanistan saat itu yang tulus dalam niat dan upaya untuk membentuk negara Islam di Afghanistan. Mereka juga diinformasikan bahwa perselisihan antara Rabbani dan Hekmatyar dan juga para pemimpin lain merupakan suatu proses perebutan kekuasan dan power, bukan mengenai upaya untuk memperkenalkan praktik-praktik Islam dan perbedaan pandangan mereka mengenai Islam.36 Hal ini mudah untuk dilakukan terhadap 36


(35)

rakyat Afghanistan karena secara tradisional, rakyat Afghanistan selalu sangat hormat kepada tetua suku atau tokoh agama untuk membantu mereka menyelesaiakan masalah, sehingga ketika seseorang muncul dan mampu mengeluarkan mereka dari masalah yang melanda saat itu, mereka akan patuh

tanpa banyak pertimbangan. Mullah Mohammad Omar, seorang veteran jihad dari distrik Maiwand di

sebelah barat Kandahar, yang ikut berperang melawan pasukan Uni Soviet untuk membantu mewujudkan pemerintahan Islam di negaranya, sangat kecewa terhadap kejadian-kejadian yang menimpa negaranya setelah pembunuhan Dr. Najibullah. Setelah memutuskan untuk kembali menuntut ilmu di Madrasah Sang i-Hisar di Maiwand, akhirnya pada September 1994 ia menghentikan studinya untuk mengupayakan secara konkret tercapainya perdamaian dengan cara menghancurkan kelompok pro-komunis serta memperkenalkan nilai-nilai Islam di Afghanistan. Pada 20 September 1994, sebuah keluarga di Herat, dalam perjalanan mereka menuju Kandahar, diberhentikan di sebuah post pemeriksaan sekitar 90 kilometer sebelum Kandahar oleh sekelompok bandit mujahidin. Seluruh anggota keluarga tersebut dibunuh dan jasadnya dibakar. Ketika itu Mullah Mohammad Omar merupakan orang pertama yang mendatangi tempat kejadian itu. Ia mengumpulkan para talib (pelajar) untuk membantunya mengangkat jenazah para korban, dan sejak saat itu ia bersumpah untuk memulai kampanye serta tindakan untuk melawan para kriminal untuk melindungi rakyat Afghanistan. Untuk mencapai tujuannya diatas, Mullah Mohammad Omar pergi dari


(36)

yang tidak bersedia untuk bergabung dengannya karena merasa bahwa tugas yang ditawarkan terlalu berat bagi mereka. Pada akhirnya, Mullah Muhammad Omar berhasil mengumpulkan kurang lebih 50 pelajar yang bersedia mendukung misinya. Ia kemudian menjelaskan tujuan-tujuan pergerakannya, dan ia tidak memiliki uang ataupun persenjataan yang dapat ia tawarkan kepada para pelajar. Namun, Haji Bashar, anak laki-laki dari Haji Isa Khan, seorang mantan komandan mujahidin dari Hizb-i-Islami memberikan Mullah Mohammad Omar dan pasukannya persenjataan serta kendaraan. Inilah permulaan dari gerakan Taliban, sebuah faksi politik baru dengan nama resmi Tehreek-i-Islam-i-Taliban Afghanistan.37

Gerakan Taliban didirikan oleh para santri militan di Kandahar, sebuah

kota di seberang perbatasan Pakistan, pada Juli 1994. Organisasi itu baru secara resmi diproklamasikan pada Oktober 1994. pada 1996, Taliban resmi berkuasa di Afghanistan dan membentuk pemerintahan Emirat Islam Afghanistan, dengan syari’at Islam sebagai dasar negara. Para pejabat negara Emirat Islam Afghanistan

dipilih di antara para ulama dan tokoh Islam yang amanah sebagaimana masa Rasulullah SAW. Dengan misi nasional untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.38

Tujuan langsung dari organisasi yang baru terbentuk ini adalah pertama,

untuk melucuti senjata milisi yang menjadi musuh. Kedua, melawan pihak yang menolak untuk menyerahkan senjata mereka. Ketiga, menerapkan hukum Islam di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan oleh organisasi Taliban. Keempat, mempertahankan seluruh wilayah yang telah menjadi kekuasaan Taliban.

37

P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan., hal.186. 38


(37)

Pemimpin terkemuka yang bergabung dengan Mullah Mohammad Omar antara lain: Mullah Mohammad Rabbani, Mullah Mohammad Shahod, Mullah Mohammad Hassan, Mullah Borjan, dan Haji Amir Mohammad Agha. Semua tokoh ini tadinya merupakan anggota faksi Younus Khalis dari Hizb-e-Islami.

Tokoh-tokoh lain yang ikut bergabung dengan Taliban adalah Syeikh Nuruddin Turabi, Ustad Sayyaf, Mullah Abbas, Mullah Muhammad Sadiq, dan Syeikh

Abdus Salam Rocketi.39 Dalam praktik pemerintahannya, setelah berhasil menguasai kota Kabul

hanya dalam hitungan hari, para pemimpin Taliban mengeluarkan sederet aturan sosial yang melumpuhkan aktivitas kota Kabul. Kaum wanita yang selama empat dekade leluasa melakukan aktivitas sosialnya dan mendominasi Universitas Kabul, sekarang tiba-tiba dilarang keluar rumah, kecuali memakai Burqah

(pakaian yang menutupi muka dan seluruh badan). Kaum pria diharuskan memanjangkan jenggot.40 Namun lama-kelamaan, karena keinginannya untuk mewujudkan hukum Islam yang ketat, maka rakyat Afghanistan, terutama kelompok-kelompok oposisi lantas menganggap Taliban menjadi terlalu keras dan

ekstrem dalam pemberlakuan hukum Islam tersebut. Sebenarnya terdapat beberapa tindakan positif yang dilakukan oleh

pemerintahan Taliban, salah satu yang terpenting adalah pelanggaran pengedaran obat-obatan terlarang. Para pecandu ditahan dan dilakukan investigasi terhadap bandarnya, yang diberi hukuman berat. Walaupun tidak terlalu berhasil karena Afghanistan hampir tidak memiliki sumber penghasilan lain, namun langkah ini patut dipuji. Selain itu, pada dasarnya Taliban meyakini wajib sekolah bagi anak 39

P. Bajpai dan S. Ram (eds.), Encyclopedia of Afghanistan, hal. 187.

40

Iwan Hadi Broto dkk, Perang Afghanistan: di Balik Perseteruan AS vs Taliban


(38)

laki-laki dan perempuan. Namun, keikutsertaan perempuan dalam pendidikan dan sekolah diberhentikan dengan alasan keamanan dan keadaan finansial negara yang tidak memungkinkan untuk menyokong biaya pendidikan bagi banyak anak

Afghanistan.41 Taliban juga dituduh menyulitkan pihak asing untuk memberikan bantuan

kemanusiaan bagi rakyat Afghanistan. Namun, terdapat beberapa kasus yang menunjukkan bahwa pihak Taliban bersedia bekerjasama demi kesejahteraan dan kebaikan rakyatnya. Sebagai contoh, vaksinasi polio berhasil dilaksanakan pada September 2001 sebelum pemboman dimulai dan kemudian dilanjutkan kembali pada November, walaupun beberapa bahkan banyak daerah yang tidak dapat dicapai pada saat perang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor yang mengganggu proses vaksinasi atau proses pemberian bantuan kemanusiaan lainnya-bukanlah Taliban, melainkan konflik dan perang yang terus menerus

terjadi di Afghanistan.42 Berdasarkan realitas yang ada, di mata Taliban, masalah yang terjadi di

Afghanistan tidak terlalu serius pada masa pemerintahannya. Satu-satunya tindakan terpenting yang dianggap Taliban harus segera dilakukan justru bagi negara-negara di dunia untuk mengakui Taliban sebagai pemerintahan yang sah di Afghanistan. Mereka menyatakan bahwa merupakan bagian dari

41

P. Bajpai dan S, Ram (eds), Vol 5, hal.199-200.

42

Stephen R. Shalom dan Michael Albert, “45 Questions and Answers: 9-11 and Afghanistan One Year Later,” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.globalissues.org geopolitics/WarOnTerror/ 45qaAfghan.asp


(39)

tanggungjawab dunia internasional untuk membantu Afghanistan membangun kembali negaranya di bawah pemerintahan Taliban.43

C. Akar-akar Sosial dan Doktrinal Taliban

Doktrin Taliban tampaknya banyak dipengaruhi oleh Pashtunwali, hukum

tradisional suku Pashtun. Pashtunwali menjadi pedoman hidup bagi anggota suku Pashtun, dan dijunjung tinggi terutama di kalangan Pashtun pedesaan di berbagai kawasan Rural di timur dan selatan Afghanistan. Nilai-nilai dalam Pashtunwali di antaranya adalah: badal, yaitu tuntutan untuk membalas dendam dengan darah,

tureh, keberanian, istiqamat, kegigihan, kesabaran, budi pekerti yang mulia, dan pembelaan terhadap kehormatan perempuan. Di antara nilai-nilai utama Pashtunwali, dua nilai yang sangat dijunjung tinggi adalah malmastiya, yaitu kewajiban untuk bertingkah laku sopan terhadap tamu tanpa pamrih dan

nanawati, yaitu memberikan suaka kepada yang meminta, bahkan kalau perlu membela sampai mati siapapun yang telah diberikan suaka. Meski Islam memiliki tempat yang khusus di dalam kehidupan masyarakat Afghanistan, tetapi tidak semua nilai dalam Pashtunwali sesuai dengan ajaran Islam. Badal misalnya, yaitu kewajiban untuk membalas dendam, jika perlu dengan nyawa, hal ini bertentangan dengan agama Islam yang melarang sesama muslim untuk saling

membunuh.44

43

Laili Helms, “The Taliban and Afghanistan Implications for Regional Security and Options for International Action”, diakses pada tanggal 18 Desember 2007 dari

http://www.usip.org/pubs/special reports/early/srafghan.html

44

Wilhendra Akmam, “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994: Penelaahan terhadap Struktur Politik Zaman Modern Negara Afganistan,” (Skripsi S1 Fakultas IIlmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2004), h. 76.


(40)

Doktrin Taliban banyak juga dipengaruhi oleh mazhab Deoband (berasal dari Darul Ulum Deoband), sebuah institusi pendidikan yang didirikan di kota Deoband, India pada tahun 1867. Mazhab Deoband mengajarkan agama dengan cara-cara ortodoks,45 dan madrasah-madrasah yang berada di bawah pengaruhnya, telah menghasilkan sejumlah ulama terkemuka di Afghanistan.46 Ciri khas dari ajaran Deoband adalah mereka melihat bahwa dunia ini

pada dasarnya adalah sebuah ketidakberdayaan dan melihat masa lalu dan teks keagamaan sebagai sumber kebanggaan budaya dan peta jalan yang harus ditempuh menuju kebangkitan kembali. Diperlengkapi dengan telaah Hadist, mereka kaum Deoband menyesali sejumlah upacara dan praktek-praktek adat, termasuk apa yang mereka pandang sebagai perilaku yang berlebihan di kuburan-kuburan orang suci, perayaan-perayaan siklus kehidupan yang rumit, dan praktek-praktek yang dihubungkan dengan pengaruh syi’ah. Kaum Deoband juga memberlakukan pembatasan yang ketat terhadap

perempuan yang mereka lihat sebagai simbol moral masyarakat. Mereka lebih suka bergerak secara independen yang terlepas dari institusi kenegaraan dan tidak terlibat dalam politik praktis. Kelompok lain yang terpengaruh ajaran Deobandi adalah Jamaah Tabligh47 dan Partai Ulama Islami di Pakistan. Doktrin Taliban merupakan bentuk ekstrim dari ajaran Deoband. 48 Di samping Deobandi, Doktrin Taliban memiliki beberapa kesamaan dengan aliran Wahabi yang muncul pada abad ke-18 di Arab Saudi. Gerakan yang

45

Aliran yang berpegang teguh pada ajaran murni.

46

William Maley, Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan, h.29

47 Jamaah Tabligh adalah jamaah dakwah yang pertama kali muncul di Pakistan pada

pertengahan abad ke-19, mengikuti ajaran pemimpin mereka Maulana Muhammad Ilyas. Pengikut Jamaah Tabligh memfokuskan kegiatan dakwahnya kepada sesama muslim yang dinilai telah lepas dari hakekat agama Islam. Di dalam perkembangannya Jamaah Tabligh telah membangun jaringan yang luas di seluruh dunia, bahkan sampai ke Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika Utara.

48


(41)

dipelopori oleh Abdul Wahab (1703-1792) bertujuan untuk membersihkan suku-suku Badui di Semenanjung Arab dari pengaruh sufisme. Penyebaran wahabisme menjadi bagian penting di dalam kebijakan luar negeri Arab Saudi setelah tahun 1970-an wahabisme dan deobandisme memiliki beberapa kesamaan dalam hal sikap mereka yang menyesalkan tradisi dan praktek-praktek adat yang telah bercampur dengan agama dan pelarangan terhadap representasi bentuk makhluk hidup yang merupakan dasar pelarangan segala seni lukis dan gambar, serta foto dan televisi. Beberapa kesamaan ini ikut menjelaskan tergabungnya kelompok-kelompok non-Afganistan khususnya Arab yang di dalamnya gerakan Taliban. Kaum Wahabi telah terlibat di Afganistan sejak masa perlawanan terhadap

penduduk Soviet. 49

D. Sikap Amerika Serikat terhadap Taliban

Awalnya, Amerika Serikat ikut menyambut positif lahirnya Taliban dan

memberikan dukungan atas kekuasaan milisi tersebut di Kota Kabul. Amerika Serikat punya kepentingan politik dari lahirnya Taliban yang menganut madzhab Sunni, yaitu dalam upaya meredam pengaruh Iran yang menganut madzhab

Syi’ah di Afganistan.50 Kecurigaan AS semakin kuat, setelah Iran juga turut mendukung koalisi

anti Taliban yang berbasis di Afganistan Utara. Hal ini membuat Amerika Serikat menuding Iran telah melampaui garis merah permainan di Afganistan. Gelagat

49

Akmam, “Kebangkitan Gerakan Taliban di Afganistan tahun 1994,” h. 76-77.

50

AS menganggap dukungan penuh Iran atas milisi Syi’ah pimpinan Abdul Karim

Khalili yang menguasai wilayah Afghanistan Tengah, sebagai bagian dari upaya Teheran ikut nimbrung menanamkan pengaruh di Afghanistan. Lihat Mushafa Abdurrahman, Afghanistan di Tengah Arus Perubahan: Laporan dari Lapangan(Jakarta: Kompas, 2002.), h.28.


(42)

Iran tersebut sudah dianggap mengancam kepentingan Amerika Serikat di Afganistan. Seperti dimaklumi, hubungan AS-Iran sangat buruk pasca revolusi Iran tahun 1979. Dalam konteks tersebut, AS memilih berkoalisi dengan Taliban meskipun diketahui sangat puritan dan konservatif dalam pemahaman agama,

sebagai bagian dari strategi Washington mengepung musuh lamanya, Iran.51 AS juga melihat milisi Taliban yang notabene berasal dari etnik Pashtun,

sebagai penyanggah yang efektif bagi kemungkinan meluasnya pengaruh Rusia di Afghanistan. Rusia dicurigai main mata dengan etnik-etnik minoritas di Afghanistan seperti etnik Uzbek dan Tajik. Dua etnik minoritas Afghanistan tersebut menjalani hubungan khusus dengan Uzbekistan dan Tajikistan yang berada di bawah atmosfir pengaruh Rusia. Faktor ekonomi juga berada di balik dukungan AS atas Taliban. Sebuah

perusahaan minyak AS, Delta Oil saat itu berniat membangun pipa untuk menyalurkan gas alam dari Turkmenistan ke pesisir Pakistan melalui Afghanistan. Panjang pipa tersebut sekitar 1000 mil dengan menelan biaya 2,5 juta dollar Amerika Serikat. Tentu saja pihak Delta Oil sangat mendukung kekuasaan Taliban yang telah mengeluarkan fatwa agama bahwa mendorong investasi asing

bagian ajaran agama. 52 Afghanistan juga merupakan bagian dari suatu mata-rantai yang dikenal dengan nama ‘Cekungan Kaspia’ (Caspian Basin) yang merentang dari Turkmenistan, Azerbaijan, Uzbekistan, Afghanistan, Tajikistan, dan Kirgystan dengan deposit minyak Cekungan Kaspia yang ditaksir tidak kurang dari 30

51

Musthafa Abdurrahman, Afghanistan di Tengah Arus Perubahan, h.29.

52


(43)

trilyun barrel, suatu jumlah yang mampu memasok paling tidak untuk 80-100 tahun kebutuhan minyak Amerika Serikat. Selama itu rezim Taliban yang ada di Afganistan merupakan kekuatan

satu-satunya di kawasan itu yang bebal dan menentang kehendak Amerika Serikat yang ingin menguasai minyak di kawasan tersebut. Ketakukan Taliban kepada hegemoni Amerika Serikat di kawasan Asia Tengah itu membuat Taliban mempertimbangkannya untuk memberikan konsesi kepada sebuah negara Amerika Latin. Resikonya lebih kecil, tetapi hal itu membuat Amerika Serikat murka sekali. Sebuah delegasi presiden Amerika Serikat menemui Mullah Muhammad Omar, pimpinan Taliban, bekas sekutu Amerika Serikat ketika memerangi Uni Soviet. Utusan itu kesal sekali ketika pihak Taliban tetap bersikeras dengan kebijakan mereka. Kesabaran delegasi Amerika Serikat habis dan ditutup dengan pernyataan, “If you agree with us, we will provide you with golden carpet; but if you don’t agree with us, we will pump you with carpet bombing!” Taliban tetap menolak. Kesimpulannya, Taliban harus dihabisi!53 Selain itu, ada empat faktor khusus yang menyebabkan ketidakpuasan Amerika Serikat terhadap Taliban: pertama, Taliban dianggap tidak mampu untuk mengontrol Afghanistan akibat ekspansinya yang terlalu cepat. Washington mengharap bahwa dengan menangnya Taliban, bisa tercipta rasa damai di seluruh kawasan Afghanistan. Namun harapan itu tidak menjadi kenyataan. Pengambilalihan Kabul oleh Taliban malah melahirkan “negara polisi” di ibukota, pembersihan etnis di wilayah utara, dan banyaknya kerusuhan di wilayah-wilayah yang sebelumnya malah relatif aman. Pendapat yang menyatakan bahwa Taliban 53


(44)

akan menyebar stabilitas dalam negeri sama sekali tidak terbukti. Kedua, harapan Taliban akan segera menghentikan penanaman ganja dan opium, seperti banyak diramalkan akhirnya hanyalah sebuah ilusi. Bukannya Taliban menjadi partner dalam memerangi beredarnya obat-obat terlarang, namun sebaliknya malah mereka mengambil untung yang sebesar-besarnya. Di akhir 1997, 7,5% dari keseluruhan hasil panen opium yang berjumlah 2.500 ton dilaporkan berasal dari Kandahar, tempat Taliban bermarkas. Dan 90% dari hasil panen opium itu berada di bawah kontrol Taliban. Ketiga, Taliban sama sekali tidak sensitif terhadap kebijakan politik AS, tidak seperti yang diharapkan oleh Washington, contoh paling jelas adalah perlindungan yang diberikan Taliban pada Osama bin Laden, seorang milliyuner asal Arab Saudi, yang dituduh Amerika Serikat telah mendanai orang-orang yang anti terhadap Amerika seperti pengeboman barak militer di Arab Saudi di mana beberapa personil tentara Amerika mati terbunuh. Keempat, perlakuan Taliban terhadap wanita, yang secara luas disebarkan lewat media massa menyusul jatuhnya Kabul, dianggap sebagai penghinaan terhadap

nilai-nilai HAM dan Amerika menyatakan diri sebagai pembelanya. Dan itu menjadikan harapan Taliban untuk diakui oleh Amerika Serikat setelah setahun penaklukan kota Kabul adalah sia-sia. Amerika Serikat beranggapan lebih baik menutup kedutaan Afghanistan di Washington, ketimbang

memberikannya kepada orang-orang Taliban.54

54


(45)

BAB III

PENGARUH INVASI MILITER AMERIKA SERIKAT TERHADAP PROSES DEMOKRASI DI AFGHANISTAN

A. Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan tahun 2001: Akhir Pemerintahan Taliban

Amerika Serikat melakukan invasi militer sebagai bagian dari pendirian

ideologi, di mana tujuan akhir invasi militer yang dilakukannya adalah untuk mengubah struktur negara agar sesuai dengan sistem demokrasi yang dianutnya. Satu hal yang dapat menyebabkan invasi militer ini menjadi sah adalah apabila alasan penyelenggaraan berdasarkan self-defence, yang didefinisikan sebagai tindakan untuk melawan kekerasan dengan kekerasan juga. Alasan inilah yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyerang Afghanistan, dengan tujuan untuk menggulingkan rezim otoriter yang dianggap tidak kooperatif dan

menggantikannya dengan rezim demokratis seperti negaranya. Menurut John J. Hamre dan Gordon R. Sullivan, 55 Amerika Serikat sering

kali memiliki peran dalam upaya-upaya rekonstruksi pasca konflik internasional serta memimpin invasi militer ke berbagai negara. Namun, bagi Amerika Serikat, keputusan untuk terlibat atau tidak dalam proses semacam itu tergantung pada seberapa besar kepentingan Amerika Serikat. Ketika kepentingan vital nasionalnya dipertaruhkan, Amerika Serikat berinisiatif untuk mengambil peran

utama. 55

John J. Hamre dan Gordon R. Sullivan, “Toward Postconflict Raconstruction,” dalam


(46)

A.1. Pelaksanaan Invasi Militer Amerika Serikat

Tekad Amerika Serikat untuk menggulingkan rezim Taliban semakin

terlihat ketika dalam waktu empat hari pada November 2001, kota-kota kunci Afganistan berhasil direbut pasukan anti-Taliban. Pada 9 November, Mazar-i-Syarif jatuh ke tangan pasukan yang dipimpin Dostum, pemimpin Syiah Ustad Mohaqqeq, dan Komando Atta Muhammad. Sehari berikutnya, pasukan Front Persatuan melancarkan serangan-serangan simultan ke bagian utara Afganistan, di Khwajaghar, Eshkamesh, Baghlan, Pul-e Khumri, Nahrin, Aibak, dan Bamiyan. Semua kota tersebut berhasil direbut, bersamaan dengan kota Hairatan dan Shibarghan ke tangan pasukan Dostum. Kota Maimana berhasil direbut pada 11 November, disusul oleh Herat pada 12 November. Pada 13 November, Taliban melarikan diri dari Kabul, dengan merampok pusat penukaran mata uang asing dan bank nasional Afganistan, yaitu Da Afghanistan Bank. Front Persatuan kemudian berhasil menguasai ibukota Kabul tanpa perlawanan. Pada 11 Desember, pasukan bin Laden melarikan diri ke pegunungan di sekitar Gua Tora Bora yang terletak di Afganistan bagian timur. Amerika Serikat kemudian melancarkan bom terhadap gua-gua yang diduga sebagai tempat persembunyian

bin Laden dan pasukannya.56 Setelah dibombardir habis-habisan oleh Amerika Serikat, kekuatan pertahanan Taliban akhirnya ambruk. Kabul pun jatuh dan pasukan Aliansi Utara hampir tanpa perlawanan berhasil mamasuki ibukota Afghanistan yang selama 56

Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.infoplease.com/sport/taliban-time. html.


(47)

lima tahun terakhir ini dikuasai rezim Taliban. Dengan hengkangnya pemimpin dan pasukan Taliban dari Kabul, harapan akan berakhirnya konflik dan peperangan tampak dirasakan oleh penduduk setempat.57 Sebuah koran Jakarta berbahasa Inggris menulis judul dengan huruf yang besar “Kabul Falls, Taliban Flee” Kabul jatuh, Taliban Melarikan Diri.58

A.2. Di Balik Invasi Militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan

Terdapat beberapa prinsip yang dapat mendasari suatu aktor eksternal

untuk melakukan invasi militer dengan tujuan melakukan transisi rezim, di antaranya: kediktatoran pemimpin, profilerasi senjata pemusnah massal, dan genosida.59 Dalam kasus Afghanistan, alasan yang digunakan Amerika Serikat adalah kediktatoran rezim. Pemerintahan negara dunia ketiga yang otoriter atau totaliter dinilai sangat potensial mendukung kelompok pemberontak, bahkan kelompok teroris untuk melawan negara-negara maju yang dianggap menindas seperti Amerika Serikat. Oleh sebab itu, negara dengan pemerintahan totaliter seperti Afghanistan sangat dicurigai menampung al-Qaeda yang menyebabkan Amerika Serikat menyerang Afghanistan. Dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya, Amerika Serikat

memang memiliki kepentingan untuk melindungi kemerdekaan, harkat dan martabat manusia, kebebasan, kesejahteraan, dan perdamaian, baik di dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, Amerika Serikat seringkali memutuskan untuk melakukan invasi militer ke suatu negara dengan misi “membebaskan” 57

T. Yulianti, “Rekonstruksi Afghanistan Pasca – Taliban,” Suara Pembaharuan, 21 November 2001, h.1.

58

The Jakarta Post, 14 November 2001.

59

Pascal Boniface, “What Justifies Regime Change”, dalam The Washington Quarterly,


(48)

negara yang bersangkutan, dengan tujuan meninggalkan negara tersebut dalam keadaan yang lebih baik, dalam hal ini artinya lebih bebas dan demokratis dibandingkan dengan keadaan sebelum invasi militer Amerika Serikat. Hal ini antara lain dilakukan dengan secara aktif melibatkan diri di seluruh dunia dalam mendukung negara-negara lain untuk mengkonsolidasikan lembaga-lembaga pemerintahan yang demokratis, menyokong demokrasi baru, serta memberikan pencerahan kepada pemerintah yang menginginkan masyarakatnya akan

kebebasan dan kemerdekaan.60 Presiden Bush dalam pidatonya di depan sidang gabungan Kongres

Amerika Serikat pada 20 September 2001, menyatakan dimulainya perang Amerika Serikat melawan teror atau war on terror. Dalam kesempatan ini Presiden Bush meminta kepada Taliban untuk menyerahkan seluruh pemimpin kelompok (teroris) al-Qaeda yang bermarkas di Afghanistan, menutup seluruh kamp pelatihan teroris, menyerahkan seluruh anggota kelompok teroris kepada aparat yang berwajib, dan memberikan akses penuh terhadap kamp pelatihan teroris kepada Amerika Serikat. Presiden Bush juga menyatakan bahwa perang melawan terorisme dimulai dengan perang melawan al-Qaeda, namun Amerika Serikat tidak berhenti sampai di situ saja. Amerika Serikat memang menghormati seluruh rakyat Afghanistan, namun mengutuk rezim Taliban yang dianggap oleh pemerintah Amerika Serikat menindas rakyatnya sendiri dan mengancam orang di belahan dunia dengan mendukung dan menampung kelompok-kelompok teroris. Lebih lanjut, secara spesifik Presiden Bush mengatakan bahwa musuh Amerika Serikat bukanlah kaum muslimin ataupun bangsa Arab, tetapi jaringan teroris 60

Paula J. Dobriansky, “Shining a ligh: US Efforts to Strengthen Democracy Worldwide “ (Jurnal US Foreign Policy Agenda: 2003), hal. 25.Vol. 8 No. 1.


(49)

radikal dan semua pemerintah di dunia yang mendukung mereka.61 Terdapat pernyataan penting dalam pidato Bush di atas yang sangat menggambarkan motivasi dan tujuan Amerika Serikat melakukan invasi militer terhadap

Afghanistan :

“In Afghanistan, we see al-Qaeda’s vision for the World. Afghanistan’s people have been brutalized – many are starving and many have fled. Women are not allowed to attend school. You can be jailed for owning a television. Religion can be practiced only as their leaders dictate. A man can be jailed in Afghanistan if his beard is not long enought… Americans are asking : why do they hate us? They Hate what we see right here in this chamber – a democratically elected government. Their leaders are self-appointed. They hate our freedoms – our freedoms of religion, our freedom of speech, our freedom to vote and assemble and disagree with each other….. these terrorist kill not merely to end lives, but to disrupt and end a way of life. With every atrocity, they hope that America grows fearful, retreating from the world and forsaking our friend. They stand against us, because we stand in their way. We are not deceived by their pretenses to piety. We have seen their kind before. They are the heirs of all the murderous ideologies of the twentieth century. By sacrificing human life to serve their radical visions – by abandoning every value except the will to power – they follow in the path of fascism, and Nazism, and totalitarianism. And they will follow that path all the way, to where it ends: in history’s unmarked grave of discarded lies… This is not, however, just America’s fight. And what is at stake is not just America’s freedom. This is the world’s fight. This is civilization’s fight. This is the fight of all who believe in progress and pluralism, tolerance and freedom.”

Dari retorika ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Amerika Serikat

ingin mengubah total kehidupan di Afghanistan menjadi kehidupan seperti yang dianut Amerika Serikat, yaitu kehidupan yang demokratis – sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia serta perlindungan bagi hak-hak (rakyat) sipil.62 Salah satu alasan paling kuat bagi Amerika Serikat untuk melakukan hal ini adalah karena tren ancaman keamanan baru bagi Amerika Serikat adalah anarchy

61

Text: Bush Announces Start of a “War on Terror” Distributed by the office of International Information Programs, US Departmen of State,” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov.

62


(50)

abroad—kekacauan lain yang terjadi di belahan dunia lain.63 Hal ini dikarenakan anarki yang terjadi di negara lain memiliki karakteristik di mana pemegang kekuasaan adalah pihak yang memenangkan peperangan terakhir dan di mana orang asing dapat bebas untuk keluar masuk perbatasan negara tersebut tanpa ada catatan apapun, membuat negara tersebut menjadi tempat yang sangat nyaman bagi kelompok-kelompok teroris untuk mengembangkan rencana mereka. Untuk mencegah hal ini, maka pemerintah baru di negara-negara semacam ini memerlukan bantuan dari pihak eksternal hal inilah yang dilakukan oleh Amerika

Serikat terhadap Afghanistan. Mendukung pernyataan Presiden Bush, wakil Menteri Pertahanan Amerika

Serikat, Donald Rumsfeld dalam pernyataannya mengenai invasi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan kepada wartawan di Pentagon pada 7 oktober 2001, mengatakan bahwa serangan tersebut tidak ditujukan kepada rakyat Afghanistan, tetapi kepada kaum teroris yang mendapatkan perlindungan di Afghanistan, yang tindakan-tindakannya mengancam bukan hanya Amerika Serikat tetapi juga pemerintah-pemerintah lain di seluruh dunia. Dampak yang diharapkan oleh Amerika Serikat melalui invasi militernya, menurut Rumsfeld, adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif bagi operasi-operasi militer yang dilaksanakan pada akhir 2001 dan 2002 memiliki tujuan untuk memperjelas kepada para pemimpin Taliban dan pendukungnya bahwa memberikan perlindungan kepada kelompok teroris tidak dapat diterima dan menimbulkan konsekuensi sanksi tertentu, mendapatkan informasi intelijen untuk memfasilitasi operasi-operasi di masa depan dengan kelompok-kelompok di Afghanistan yang 63

Kimberly Zisk Marten, “Defending against Anarchy: From War to Peacekeeping in Afghanistan:, dalam The Washington Quarterly, Vol. 26 No. 1, 2002-2003, hal. 35.


(51)

menentang rezim Taliban dan kelompok teroris asing yang didukung oleh Taliban menciptakan kondisi yang sangat sulit bagi para teroris untuk memanfaatkan Afghanistan secara bebas sebagai markas besar operasi, dan menyediakan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Afghanistan yang menderita dari kondisi kehidupan

serba tertindas dibawah rezim Taliban.64 Dalam kesempatan lain, Rumsfeld mengungkapkan kepada pasukan

Amerika Serikat di Afghanistan bahwa tugas mereka adalah untuk membela keamanan negara dengan cara menegaskan hukuman terhadap pelaku serangan terorisme 11 September 2001. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu, Colin Powell, menyatakan sejak awal bahwa pasukan Amerika Serikat akan tetap berada di Afghanistan hingga mereka menuntaskan misi mereka, yaitu

mengalahkan Taliban untuk adanya pemerintahan baru.65 Keberadaan pasukan Amerika Serikat, menurut wakil Presiden Amerika

Serikat Dick Cheney, merupakan sebuah kesempatan untuk mengingatkan rakyat Afghanistan bahwa Amerika Serikat senantiasa mendampingi mereka dalam membangun negara agar menjadi demokratis. Amerika Serikat semakin menyadari keberadaan musuh yang memiliki kebencian tidak terbatas terhadap Amerika Serikat. Dengan demikian, pemerintah Amerika Serikat memutuskan bahwa musuh semacam ini bukanlah musuh yang dapat diajak bernegosiasi atau berkompromi. Singkatnya, teroris merupakan musuh yang harus dikalahkan dan dimusnahkan.

64

Transcript “Rumsfield, Myers Brief on Military Operation in Afghanistan , Distributed by the Office of International Information Programs, US Department of state.” Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov.

65


(52)

Untuk memenangkan perang melawan musuh tersebut, Amerika Serikat

menerapkan sebuah doktrin, bahwa “setiap orang, kelompok, atau rezim yang memberikan perlindungan atau dukungan bagi aksi-aksi teror sama bersalahnya dalam tindak kriminal terorisme, dan akan dimintai pertanggungjawabannya”. Invasi terhadap Afghanistan yang ditujukan untuk mengalahkan Taliban yang dianggap memberikan perlindungan kepada dalang aksi teror 11 September 2001, Osama bin Laden, sebagai salah satu bentuk implementasi dari doktrin tersebut. Amerika Serikat meyakini bahwa ketika manusia diberikan hak-hak dan kesempatan untuk hidup dalam masyarakat yang bebas, mereka akan menggunakan energi mereka untuk mewujudkan perdamaian. Tindakan invasi militer terhadap Afghanistan dipercaya oleh Amerika Serikat dapat mewujudkan perdamaian di Afghanistan, karena invasi itu ditujukan untuk menjatuhkan rezim diktator yang dianggap melindungi jaringan teror sehingga dapat membantu

meningkatkan keamanan Amerika Serikat dan bangsanya.66 Selanjutnya, menurut beberapa analis, Amerika Serikat melakukan invasi

ke Afghanistan dalam rangka mencapai tujuan utamanya. Pertama, menghancurkan kekuatan pasukan al-Qaeda yang diduga kuat berada di Afghanistan sebagai bagian dari kampanye global Amerika Serikat untuk memberantas kelompok tersebut hingga tuntas. Kedua, menangkap atau membunuh Osama bin Laden, walaupun Amerika Serikat menganggap bahwa keberhasilan invasi militer ke Afghanistan tidak tergantung akan hal ini. Ketiga,

66

“Komentar oleh Wakil Presiden Amerika Serikat dalam sarapan pagi bersama pasukan tentara A.S. di lapangan udara Bagram, Kabul, Afghanistan, 7 Desember 2001,“ diakses pada 18 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov./mena/Archive/2004/Dec/09-572457.html.


(53)

melumpuhkan serta menjatuhkan rezim pemerintahan Taliban yang menurut banyak sumber terkait dengan al-Qaeda.67 Setelah Amerika Serikat berhasil menggulingkan rezim Taliban, masih

terdapat banyak hal yang harus dilakukan untuk mengembalikan keadaan aman di Afghanistan, yaitu pertama, membantu Afghanistan menciptakan situasi dan kondisi yang sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi kelompok teroris untuk kembali ke Afghanistan dan kedua, mendukung pembentukan kembali struktur politik, ekonomi, sosial, dan keamanan yang memungkinkan rakyat Afghanistan untuk membangun masa depan yang lebih baik.68 Pendapat dari pihak yang kontra mengenai tujuan dan motivasi Amerika

Serikat dalam melakukan invasi ke Afghanistan antara lain datang dari Noam Chomsky, analis yang seringkali mengambil posisi berseberangan dengan kebijakan–kebikajakan Amerika Serikat. Chomsky menyatakan bahwa jelas terjadi perbaikan-perbaikan yang dihasilkan sejak dijatuhkannya rezim Taliban. Apalagi sejak lama, sebagian besar pihak sangat mendukung digulingkannya rezim Taliban, kecuali pemerintah Amerika Serikat. Chomsky berupaya mengingatkan bahwa pada awalnya, penggulingan rezim Taliban bukanlah tujuan utama dari invasi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan. Tujuan perang, yang diumumkan pada 12 Oktober 2001 atau lima hari setelah pemboman terhadap Afghanistan dimulai, adalah agar Taliban mau menyerahkan orang-orang yang dinyatakan sebagai tersangka yang terlibat dalam aksi teror terhadap Amerika Serikat. Dalam kesempatan tersebut, Amerika Serikat tidak memberikan bukti yang cukup bagi Taliban untuk melakukan penyerahan itu. Lebih dari dua 67

Frederick W. Kagan, “Did We Fall in Afghanistan?”, dalam commentary Vol. 115 No. 3 March 2003, hal. 40.

68


(1)

Dobriansky, Pula J. “Shining a light: US Efforts to Strengthen Democracy Worldwide.“ US Foreign Policy Agenda, Vol. 8 No. 1, Agustus 2003. Gandhi, Setiyo Budhi Cahyo Padma. “Respon Amerika Serikat Menghadapi

Terorisme (Studi Kasus): Pasca Serangan 11 September 2001 Di Amerika Serikat ( WTC dan Pentagon ) Tahun 2001-2002.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Ahmad Yani, 2003.

Grover, Verinder. “Afghanistan: An Introduction,” In Verinder Grover (ed)., Government and Politics of Asian Countries 1: Afghanistan. New Delhi: Deep&Deep Publication PVT.LTD, 2002.

Hamre, John J. and Gondor R. Sullivan. “Toward Postconflict Raconstruction,” The Washington Quarterly. Vol25 No.4 Autumn 2002.

“Jurnal Politik Internasional.” Global vol.7 No.2 Mei 2005.

Kagan, Frederick W. “Did We Fall in Afghanistan?”, Commentary Vol. 115 No. 3

March 2003.

Maulani Z.A. Perang Afghanistan: Perang Menegakkan Hegemoni Amerika di Asia Tengah. Jakarta: Dalancang Seta, 2002.

Maulani Z.A. Mengapa? Barat Memfitnah Islam. Jakarta : Daseta, 2002

Moloeng Lexi J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000.

Muzaffar, Chandra. Muslim, Dialog dan Teror. Jakarta : Profetik, 2004. Cet.I. Nasir Moch. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998. Saikal, Amin. “Pemerintahan Rabbani 1992-1996,” Dalam William Maley,

Taliban dan Multi Konflik di Afghanistan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999.

Saikal, Amin. Afghanistan after the Loya Jirga. Survival vol. 44 No.3 Autumn 2002.

Shoelhi, Mohammad. Di Ambang Keruntuhan Amerika. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007.

Sihbudi, Riza. Menyandera Timur-Tengah. Jakarta : Mizan, 2007.


(2)

Zisk Marten, Kimberly. “Defending Against Anarchy: From War to Peacekeeping in Afghanistan.” The Washington Quarterly. Vol. 26 No. 1 Winter 2002-` 2003

Media Cetak

Aco Manafe, Tekad Presiden Hamid Karzai Menata Kembali Afghanistan,_ Suara Pembaharuan, 7 Juli 2002.

“Amerika Serikat Kibarkan Bendera di Kedubes Kabul,” Kompas Senin 14 Januari 2002.

Powell, Colin L.. “Demokrasi Bangkit di Afghanistan,” Kompas 1 Oktober 2004.

“Pemilu Afghanistan Kacau, Calon di luar Karzai Minta Ulang,” Kompas 11

Oktober 2004.

Yulianti, T. “Rekonstruksi Afghanistan Pasca – Taliban,” Suara Pembaharuan, 21 November 2001.

“Pemilu Afghanistan, Ujian Berat Demokratisasi Versi AS,” Kompas 10 Oktober 2004.

“Kerawanan Keamanan, Jadi Ancaman Utama Pemilu Afghanistan,” Kompas 18

Oktober 2004.

Setelah Karzai Dilantik, Afghanistan Mulai Menapak Era Baru,_ Kompas 9 Desember 2004.

“Redupnya Nilai Strategis Taliban,” Kompas, 23 September 2001. The Jakarta Post, 14 November 2001.

Media Internet

Abdul Halim Mahally, AS, Afghanistan, Irak, dan Ekspor Demokrasi dari http://www.republika.co.id diakses pada 18 November 2007.


(3)

A Special Elektronic Journal. “U.S Department of State September 2002.” Diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.asiasociety.org /publication/asianUpdeteContent.pdf,

“Afghanistan.” Diakses pada 13 November 2007 dari http://www.infoplease.com- /ipa/A0107264.html.

“Bir dan Rok Mini Mulai Bebas di Kabul.” Diakses pada 18 November 2007 dari http://www.hidayatullah.com /modules.php?name=News&file=article&sid =120.

“Constitution Making Process.” Diakses pada 22 November 2007 dari http://www.constitution-afg/.

Diakses pada 18 Desember 2007 dari http://www.encyclopedia.laborlawtalk.com /Afghanistan_timeline_1991-1995,

Diakses pada 17 November 2007 dari http://countrystudies.us/afghanistan /65.htm,

Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.Thesustainablevillage. com/partners/wapha.html.

Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.dur.ac.uk/anthropology /projects/Afghan_refugees/project.html,

Diakses pada 24 November 2007 dari http://www.tiscali.co.uk/reference/ encyclopedia /countryfacts/afghanistan.html

,

Diakses pada 23 Novermber 2007 dari http://www.sabawoon.com/news/mini head lines.asp?dismode=article&artid=8517.

Feiser, Jonathan. “Separating Symptoms From Sources: The Ghost of Greater Afghanistan.” Artikel diakses pada 30 November 2007 dari http://www.pinr.com/report.php?ac=view_report&report_id=70&language _id=1.

Field Report. “Afghanistan Desember 2001.” Diakses pada 12 Desember 2007dari http://www.usaid.gov/hum_response/oti/country/afghan/rpt1201.html, Helms, Laili. “The Taliban and Afghanistan Implications for Regional Security


(4)

Human Right Watch. “Afghanistan: Worlord Face Internastional Criminal Court.” Artikel diakses pada 11 November 2007 dari http://www.globalpolicy.org/ security/issues/afghan/2003 0211 war.html.

Karon, Tony. “Understanding Bin Laden’s Hosts. The Dilemma He Poses for Them and the Politics of the Neighborhood.” Artikel Diakses pada 24 Nov 2007 dari http://www.time.com/time/nation/article/0,8599,175372,00.html.

Komentar oleh wakil Presiden Amerika Serikat dalam sarapan pagi bersama pasukan tentara A.S. di lapangan udara Bagram, Kabul, Afghanistan, 7 Desember 2001. diakses pada 12 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov./mena/Archive/2004/Dec/09-572457.html

Maley, William. “Terrorism, Freedom, and Institution: Raconstructing the State in Afghanistan.” Artikel Diakses pada 11 November 2007 dari http://www.cesindia. org/maley.doc,

Marquardt, Erich. “Reintegration of Factional Armies a Priority in Afghanistan.” Artikel diakses pada 18 November 2007 dari http://www.pinr.com/report. php?ac=view_report&report_id=170&language_id=1.

Mark Oliver, Sarah Left, Ewen Mac Askill. “Explainet: The Afghan Election.” Artikel diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.guardian.co.uk/ theissues /article/0,6512,1299137,00.html,

“Regime Change in Afghanistan.” Diakses pada 21 November 2007 dari http://www.abawoon.com/news/miniheadlines.asp?dismode=article&arti d=8517.

Report of the Internastional Peace Mission to Basilan, Philippines, 23-27 March 2002, Basilan:the Next Afghanistan?” Diakses pada 26 November 2007 dari http://www.bwf.org/pamayanan/peacemission.html.

Rumsfeld, Transcript. “Myers on Military Operation in Afghanistan.” Distributed by the Office of International Information Programs, US Departmen of state. Diakses pada 10 Desember 2007 dari http://www.usinfo.state.gov, Schmeidl, Susanne. “The Transition from Relief to Development from a Human


(5)

2007dari http://www.humansecurity-chs.org/activities/research/fghanistan .pdf.

Shalom, Stephen R. and Michael Albert. “45 Questions and Answers: 9-11 and Afghanistan One Year Later.” Artikel diakses pada 12 Maret 2007 dari http://www.globalissues.org/geopolitics/WarOnTerror/45qaAfghan.asp,

Text. “Bush Announces Start of a War on Terror.” Distributed by the office of International Information Program. US Departmen of State. Diakses pada 10 Desember 2007 dari http://usinfo.state.gov,

The Secretariat of the Constitutional Commission of Afghanistan. “10 March 2003, the Constitutional-Making Process in Afghanistan.” Diakses pada 23 November 2007 dari http://www.constitution-afg.com/resrouces /Constitution-Making%20Proces%20final.doc.

Wawancara David Barsamian terhadap Noam Chomsky. “US Intervention from Afghanistan to Iraq.” Diakses pada 12 Desember 2007 dari http://www.isreview.org/issue/25/chomsky_interview.shtml,


(6)