55 Apapun motivasi dan tujuan yang diungkapkan oleh Amerika Serikat,
kenyataan yang harus diperhatikan adalah hingga pemilihan umum presiden diselenggarakan pada 2004, Afghanistan masih sangat bergantung pada dukungan
dan bantuan dari Amerika Serikat dan aktor-aktor eksternal lain untuk membangun kembali negaranya yang hancur akibat perang. Dalam proses
rekonstruksi pasca konflik dan transisi rezim di Afghanistan, aktor eksternal yang berperan bukan hanya aktor negara, melainkan melibatkan pula banyak aktor non-
negara, meskipun “pemeran” utamanya tetap Amerika Serikat. Hal ini memprihatinkan mengingat sebuah negara yang kuat dan stabil harus menentukan
nasib dan sikapnya sendiri, dengan seminimal mungkin intervensi asing, dan ini tidak dimiliki oleh Afghanistan. Ketergantungan secara terus menerus akan
menyebabkan Afghanistan berada dalam kondisi lemah untuk waktu yang lama.
B. Proses Menuju Demokrasi
Proses menuju demokrasi untuk membentuk sebuah pemerintahan yang demokratis di Afghanistan, juga meliputi transisi rezim karena di Afghanistan
sebelumnya selalu dipimpin rezim-rezim otoriter, di mana rakyat Afghanistan memiliki sedikit sekali suara dalam proses-proses pembuatan kebijakan
negaranya. Akibatnya rakyat Afghanistan tidak pernah puas dengan pemerintahannya karena bukan merupakan pilihan mereka, sehingga hampir
selalu terjadi transisi rezim dari satu penguasa ke penguasa yang lainnya, oleh sebab itu pada bagian ini akan dijelaskan tiga hal penting yaitu:
56
B.1 . Terjadinya Transisi Rezim di Afghanistan
Menurut Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, transisi adalah keadaan atau kondisi pemerintahan yang sedang berada dalam interval antara
rezim pertama ke rezim berikutnya. Proses ini berkaitan dengan proses-proses setelah transisi rezim, misalnya konsolidasi demokrasi, namun proses transisi
rezim dianggap berakhir setelah sebuah rezim baru terbentuk, apapun corak dan tipenya. Karakteristik pemerintahan yang mengalami transisi adalah tidak adanya
rules of the game dalam politik yang jelas. Oleh sebab itu, pemerintahan yang
berada dalam transisi sangat rentan dan membutuhkan dukungan. Hal yang menandakan bahwa sebuah transisi rezim telah dimulai adalah apabila terjadi
modifikasi aturan–aturan kearah yang menyediakan jaminan yang lebih pasti sebagai perlindungan hak-hak rakyatnya, baik individu maupun kelompok.
71
Perubahan rezim yang berlangsung secara dramatis dan tiba-tiba terjadi di Afghanistan bukan karena masyarakat dunia memutuskan bahwa rakyat
Afghanistan merupakan orang-orang yang sudah saatnya menyelamatkan diri dari rezim pemerintahan yang telah mengekang kebebasan mereka, tetapi karena
Taliban dan sekutunya dituduh terlibat dalam peristiwa yang sangat merugikan Amerika Serikat. Apabila serangan 11 September 2001 tidak terjadi, maka
kemungkinan besar Taliban masih berkuasa di Afghanistan.
72
Walaupun invasi militer Amerika Serikat menghancurkan sebagian besar infrastruktur dan
kehidupan di Afghanistan, namun, serangan tersebut juga sekaligus merupakan
71
Guillermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclutions about Uncertain Democracies
Baltimore London: The John Hopkins University Press, 1996, p.36.
72
Amin Saikal, Afghanistan after the Loya Jirga, dalam Survival vol.44 No.3Autumn 2002, h.47.
57 jawaban bagi do’a sebagian rakyat Afghanistan yang ingin membebaskan diri dari
apa yang dirasakan sebagai penindasan oleh rezim Taliban. Proses transisi rezim di Afghanistan sebenarnya memiliki sebuah pilihan
paling optimal bagi Afghanistan untuk dapat memperbaiki kondisi negaranya, di mana hukum nyaris tidak berlaku serta diwarnai dengan menjamurnya worlodism.
Para elit politik dan tokoh masyarakat Afghanistan harus mampu mengambil alih kontrol kehidupan di negaranya dan berupaya keras membentuk organisasi-
organisasi berbasis masyarakat sipil di Afghanistan. Elit politik dan kaum intelektual yang memiliki komitmen kuat terhadap terwujudnya demokrasi dapat
benar-benar mewujudkan terciptanya masyarakat sipil serta lembaga-lembaga demokratis yang kuat. Namun, hal ini harus dilakukan dengan melibatkan norma-
norma adat dan nilai-nilai yang dianut di Afghanistan, kemudian diselaraskan dengan konsep Loya Jirga. Ketika Loya Jirga berhasil dibentuk dan masyarakat
Afghanistan dilibatkan dalam proses transisi rezim melalui konsultasi dan partisipasi publik, sebuah budaya politik yang mampu menopang masyarakat sipil
dan lembaga-lembaga demokratis yang berkelanjutan akan dapat berkembang dengan baik. Menyelenggarakan pemilihan umum dan menggalang partisipasi
dalam waktu yang terlalu singkat, dan tanpa adanya kerangka kerja yang terorganisir dengan baik akan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan dalam
upaya-upaya tersebut.
73
Namun sejak awal 2002, terlihat bahwa proses transisi rezim yang semula dirancang sebagai proses demokrasi di Afghanistan tidak berjalan sesuai dengan
pola-pola transisi rezim yang lazim terjadi. Transisi menuju demokrasi justru
73
“Regime Change in Afghanistan,” diakses pada 21 November 2007 dari http:www
. sabawoon.comnewsminiheadlines.asp?dismode=articleartid=8517.
58 diwarnai oleh kembali maraknya warlordism dan kerajaan-kerajaan kecil di tiap-
tiap provinsi dan pinggiran desa, serta sebuah pemerintahan pusat yang masih otoriter di Kabul. Otoritas interim yang terdiri dari Hamid Karzai dan para
anggota Aliansi Utara memiliki sedikit popularitas di Afghanistan belum terlihat adanya kebebasan berkompetisi dalam politik, pluralisme dalam ekonomi, sosial,
dan politik yang signifikan yang dapat membentuk kembali struktur masyarakat sipil dan lembaga-lembaga politik di Afghanistan. Para pegawai negeri sipil yang
bekerja untuk pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap kewenangan para pemimpin rezim. Selain itu, belum ada persaingan antara partai politik, kebebasan
politik dan keadilan etnis pun belum terwujud. Kebebasan sipil dan politik sangat dibatasi, yang menyebabkan para pendukung orientasi ataupun kepentingan
politik tentu tidak dapat mengorganisir serta mengekspresikan pendapat mereka dengan bebas.
B.2. Terbentuknya Pemerintahan Transisional Afghanistan
Pada 27 November 2001. Saat itu, para pemimpin Afghanistan, baik tokoh masyarakat maupun pemuka agama, bertemu dengan perwakilan PBB di Bonn,
Jerman, untuk menyusun pedoman pembentukan pemerintahan baru Afghanistan. Para tokoh mewakili empat faksi dari Afghanistan, yaitu Aliansi Utara, kelompok
utara yang mewakili mantan Raja Afghanistan Mohammad Zahir Shah, kelompok Peshawar yang mewakili para pengungsi Afghanistan di Pakistan, dan kelompok
59 Siprus yang mewakili sekelompok rakyat Afghanistan yang berada di
pengasingan.
74
Persetujuan pertemuan yang dilakukan pada 5 Desember 2001 ini menghasilkan ‘Agreement on Provinsional Arrangement in Afghanistan Pending
the Re-establishment to Permanent Government Institution’ yang dikenal sebagai
Bonn Agreement, dengan pemilihan Hamid Karzai sebagai ketua pemerintah
interim Afghanistan. Periode pelaksanaan Bonn Agreement ini adalah dua sampai tiga tahun,
yang akan diakhiri dengan pemerintahan resmi dan sah Afghanistan yang dipilih melalui pemilihan umum demokratis. Oleh karena itu, dalam bagian ini akan
dijelaskan dua hal:
Pertama
, pembentukan pemerintahan baru. Bonn Agreement menyatakan bahwa sebuah otoritas interim akan dibentuk pada saat peralihan kekuasaan,
pemerintahan resmi akan dilakukan pada 22 Desember 2001 yang mencakup: pertama, sebuah administrasi interim yang dipimpin seorang ketua. kedua, sebuah
komisi independen khusus untuk memanggil rapat Loya Jirga darurat. ketiga, sebuah pengadilan tinggi negara Afghanistan beserta pengadilan-pengadilan lain
yang dapat dibentuk oleh administrasi interim. Pada saat peralihan kekuasaan, otoritas interim secara langsung menjadi
penanggung jawab kedaulatan Afghanistan sebagai suatu negara. Dengan demikian, administrasi interim juga mewakili Afghanistan dalam hubungannya
dengan negara-negara lain dan mewakili Afghanistan di kursi PBB, serta dalam organisasi-organisasi dan konferensi-konferensi internasional lainnya.
74
Diakses pada 24 November 2007 dari http:www.infoplease.comspottaliban-time.
html .
60 Setelah peralihan kekuasaan dilakukan, tahapan selanjutnya adalah
memanggil Loya Jirga darurat dalam waktu enam bulan setelah pembentukan otoritas interim. Loya Jirga ini dibuka oleh H.M. Mohammad Zahir dan akan
memutuskan otoritas transisional, termasuk sebuah administrasi transisional untuk memimpin Afghanistan hingga sebuah pemerintahan yang representatif dapat
dipilih melalui proses pemilihan umum yang bebas, adil, dan demokratis, yang diadakan paling lambat dua tahun setelah persidangan Loya Jirga.
Dalam hal fungsi yudikatif, administrasi interim memiliki wewenang membentuk sebuah komisi yudisial dengan dukungan PBB. Komisi ini dirancang
sedemikian rupa untuk membangun kembali sistem peradilan dalam negeri Afghanistan, yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam, standar internasional,
dan tradisi hukum Afghanistan.
Kedua , perjanjian Bonn juga memuat ketetapan mengenai pembentukan
dua komisi yang tidak kalah penting bagi kelancaran Statebuilding di Afghanistan yaitu, pertama, komisi pelayanan sipil untuk membantu otoritas interim dan
otoritas transisional dalam menyediakan daftar kandidat untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam departemen-departemen administratif pemerintah
Afghanistan. Pembentukan komisi ini juga didukung PBB dan dibentuk untuk menunjang pemilihan pejabat pemerintah yang kompeten. kedua, komisi hak asasi
manusia independen, yang bertanggung jawab terhadap pengawasan hak asasi manusia, serta pengembangan lembaga-lembaga advokasi hak asasi manusia
dalam negeri.
75
75
William Maley, Terrorism, Freedom, and Institution: Raconstructing the State in Afghanistan,
diakses pada 11 November 2007 dari http:www.cesindia.orgmaley.doc
,
61 Berpedoman pada kerangka kerja yang telah disetujui di atas, akhirnya
ketua administrasi interim Afghanistan, Hamid Karzai, disumpah sebagai ketua resmi otoritas interim Afghanistan, bersamaan dengan peresmian terbentuknya
otoritas interim Afghanistan pada 22 Desember 2001. Perwakilan 32 provinsi di Afghanistan hadir dalam acara tersebut, beserta perwakilan negara-negara
tetangga, negara-negara anggota Uni Eropa, organisasi konferensi Islam, dan PBB.
76
Hamid Karzai dipilih karena: satu, dianggap memiliki keahlian politik yang modern serta mengenal budaya tradisionalnya dengan baik. Dua, memiliki
dukungan kuat dari negara-negara Barat termasuk Amerika Serikat. Tiga, memiliki dukungan dari spektrum faksi lokal yang cukup luas, yang merupakan
faktor penting karena identitas etnis dan kesukuannya yang sangat mendominasi politik Afghanistan. Bahkan pendukung Taliban, yang sebagian besar suku
Pasthun, lebih dapat menerima Hamid Karzai sebagai pemimpin dibandingkan para pemimpin Aliansi Utara yang berasal dari suku Tajik atau Uzbek.
77
Visi pemerintahan interim disampaikan oleh Hamid Karzai dalam International Conference on Reconstruction Assistance to Afghanistan
di Tokyo Januari 2002. Menyusul penyampaian visi tersebut, sebuah komisi beranggotakan
21 orang yang bertugas mempersiapkan dan membentuk Loya Jirga darurat dilantik pada 7 Februari 2002. Anggota komisi dipilih dari kelompok-kelompok
etnis dan agama berdasarkan pada kualifikasi tertentu, seperti reputasi dan kedudukan mereka dalam komunitasnya.
Penandatanganan Bonn Agreement mendapat reaksi positif di Afghanistan. Karena pertama, bagi sebagian besar rakyat Afghanistan skema
76
Istiaq Ahmad, Post-War Afghanistan: Rebuilding a Ravaged Nation,_ dalam Perceptions Vol.VII No.1 Maret-Mei 2002, h.62-70.
77
http:www.infoplease.com.sportafghanistan1.com.html.
62 transisi rezim yang direncanakan merupakan kesempatan unik untuk memulai
kehidupan di negara yang sedang berada dalam proses statebuilding. Kedua, Bonn Agreement
menghasilkan struktur pemerintahan yang lebih solid melalui tiga tahap. Otoritas interim yang ditunjuk di Bonn akan digantikan otoritas transisional
yang dipilih Loya Jirga darurat. Berikutnya, otoritas transisional akan memerintah negara sampai pemerintahan resmi dan representatif terpilih melalui pemilihan
umum demokratis. Ketiga, penyusunan sebuah konstitusi baru. Pemerintahan Hamid Karzai
berhasil merumuskan sebuah draf konstitusi baru melalui komisi konstitusi pada November 2003. Melalui perjalanan panjang, Loya Jirga Afghanistan berhasil
meratifikasi sebuah konstitusi baru setelah melalui proses amandemen pada 4 Januari 2004. Konstitusi tersebut berisikan pasal-pasal yang menyangkut nilai-
nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan prinsip kesetaraan bagi perempuan Afghanistan. Konstitusi inipun menjanjikan modernitas dalam kehidupan
masyarakat Afghanistan pasca pemerintahan Taliban, yang menggabungkan nilai demokrasi dengan nilai-nilai Islam. Selain itu, melalui konstitusi baru,
diproklamasikan negara Afghanistan sebagai sebuah negara republik Islam, yang dikenal sebagai Republik Islam Afghanistan. Konstitusi baru Afghanistan
memberikan penekanan pada demokrasi dan HAM. Dalam salah satu pasalnya, disebutkan bahwa negara berkewajiban untuk to Create a prosperous and
Progressive Society Based on Social Justice, “ to Protect Human Right”, dan to
realize democracy. Proses pembuatan konstitusi di Afghanistan merupakan langkah maju
dalam proses transisi menuju demokrasi. Proses ini secara aktif melibatkan rakyat
63 Afghanistan untuk pertama kali dalam pembuatan roadmap menuju perdamaian.
negara transisional Islam Afghanistan memiliki komitmen untuk merancang konstitusi yang akan melibatkan setiap segmen masyarakat Afghanistan,
memperkuat rasa identitas nasional, dan menargetkan tersusunnya dokumen yang dapat diterima oleh seluruh rakyat Afghanistan. Komitmen ini mengikuti prinsip-
prinsip perjanjian Bonn, terutama prinsip yang menyatakan hal rakyat Afghanistan untuk secara bebas menentukan masa depan politik yang selaras
dengan prinsip-prinsip Islam, demokrasi, pluralisme, dan keadilan sosial. Proses pembuatan konstitusi ini akan dicapai melalui tiga badan pembuat konstitusi
yaitu: Drafting Commission, Constitutional Commisssion dan Constitutional Loya Jirga
CLG.
78
Constitutional Drafting Commission. Presiden Afghanistan melantik
sembilan anggota komisi pada 5 Oktober 2002 dan menunjuk wakil presiden Prof. Naematullah Shahrani sebagai ketua komisi. Tanggung jawab komisi ini untuk
menghasilkan sebuah draf awal konstitusi yang sekaligus berfungsi sebagai rekomendasi kepada komisi konstitusional dalam pengaturan-pengaturan
konstitusional. Komisi akan menyerahkan draf awal konstitusional pada pelantikannya dan bersamaan juga dengan laporan yang menjelaskan
rekomendasi-rekomendasi untuk format konstitusional yang baru. Constitutional Commision.
Komisi ini beranggotakan sekitar 30 komisioner yang ditunjuk oleh presiden setelah melakukan konsultasi. Presiden
juga akan mengangkat ketua komisi yang merupakan salah satu komisioner. Tanggung jawab utama komisi ini adalah berkonsultasi dengan rakyat
78
Constitution Making Process’, diakses pada 22 November 2007 dari http:www.constitution-afg
.
64 Afghanistan dan menghasilkan sebuah draf konstitusional yang diserahkan kepada
Loya Jirga konstitusional. Fungsi-fungsi komisi ini antara lain:
1. Menyiapkan dan menerbitkan draf konstitusi
2. Menfasilitasi dan mempromosikan informasi umum mengenai proses
pembuatan konstitusi selama masa kerja komisi. 3.
Melakukan konsultasi publik di setiap provinsi di Afghanistan dan kepada para pengungsi Afghanistan di Iran dan Pakistan serta di negara-negara
lain yang memungkinkan dengan tujuan mengumpulkan pandangan seluruh rakyat Afghanistan dalam aspirasi nasional mereka.
4. Menerima masukan-masukan dari individu atau kelompok rakyat
Afghanistan, baik yang berada di Afghanistan maupun di luar negeri yang berkehendak memberikan kontribusi pada proses perumusan konstitusi,
melakukan kajian mengenai pilihan-pilihan untuk draf konstitusi. 5.
Mempersiapkan laporan yang menganalisis pandangan rakyat Afghanistan yang dikumpulkan dalam konsultasi publik serta menyediakan laporan
tersebut untuk konsumsi publik. 6.
Memberikan pendidikan bagi rakyat mengenai draf konstitusi dengan kembali ke setiap provinsi di Afghanistan dan para pengungsi di Iran dan
Pakistan. Dengan fungsi yang dijalankannya ini, komisi menjamin kesempatan berpartisipasi seluas-luasnya bagi kaum perempuan dalam
pembuatan konstitusi, di mana Constitutional Drafting Commission terdiri
65 dari sembilan anggota, dua di antaranya adalah perempuan. Keseimbangan
gender juga merupakan prioritas bagi pemilihan tim konsultasi regional. Constitutional Loya Jirga
CLJ. Merupakan badan paling representatif yang terbentuk di Afghanistan yang memiliki tugas menyepakati konstitusi baru
Afghanistan. Perannya mencakup meninjau dan mengadopsi konstitusi baru. CLJ menyelesaikan tugasnya pada November 2003.
79
Pencapaian Afghanistan melalui instansi pemerintahan baru meskipun baru berbentuk interim, dan pembuatan konstitusi baru merupakan indikasi yang
baik bahwa terdapat perubahan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan tatanegara Afghanistan. Namun demikian, hingga tahun 2004 banyak ahli
berpendapat bahwa proses demokrasi di Afghanistan masih berada dalam masalah besar. Dalam sejarahnya sebagai medan konflik antara kerajaan-kerajaan dan
kekuatan-kekuatan besar, Afghanistan telah mengembangkan sebuah formula untuk mempertahankan eksistensinya dan juga membantu mempertahankan
identitas wilayah dan sistem kewenangan pribumi. Masalah yang menghadang Afghanistan dalam proses transisinya berakar
dari kemungkinan bahwa proses tawar-menawar dan kompromi untuk mengembalikan kehidupan politik yang baik tidak akan cukup solid untuk mampu
mencegah terjadinya kembali perang sipil atau sebuah Failed State yang terdesentralisasi di mana pemerintahan pusat hanya dapat mengontrol ibukota
negara Kabul.
80
79
“The Secretariat of the Constitutional Commission of Afghanistan, 10 March 2003, the Constitutional-making Process in Afghanistan, diakses pada 23 November 2007 dari
http:www.constitution-afg.comresrouces Constitution-Making20Proces20final.doc.
80
Dr. Michael A. Weinstein, Afghanistan’s Trantition: Decentralization or Civil War,_ Diakses pada 12 Desember 2007 dari http:www.pinr.comreportphp.
66 Di Kabul sendiri kekuasaan rezim Taliban digantikan oleh kelompok
Panjshir, yang mendapatkan kekuasaan seusai invasi Aliansi Utara. Kekuatan
yang mereka miliki didapat dari pemberian jabatan menteri, terutama kepada anggota faksi yang berkuasa pimpinan almarhun Ahmad Shah Mashood. Banyak
rakyat merasa bahwa jumlah Phanjshiri yang cukup besar dalam pemerintahan menghambat kesempatan kelompok lain untuk ikut bergabung hanya karena
mereka berasal dari suku Pasthun atau bukan dari faksi Phanjshir. Selain itu, kenyataan bahwa Presiden Hamid Karzai menggantikan posisi pengawalnya, yang
tadinya diisi anggota kelompok Pansjshir menjadi tentara Amerika Serikat, memperlihatkan betapa minimnya antar etnis di Afghanistan. Tentara nasional
Afghanistan dimiliki kementerian pertahanan, demikian juga dengan kelompok Phanjshiri
. Sedangkan Presiden Hamid Karzai hanya memiliki loyalitas International Security Assistance Force
ISAF,
81
sehingga ia tidak mampu menjamin keamanan di luar Kabul.
Selain membantu Afghanistan, Amerika Serikat juga harus membasmi Taliban dan al-Qaeda, mengendalikan pemerintahan barunya, dan mengakhiri
kekuasaan para panglima etnis. Setelah meredam pertikaian antar panglima etnis yang saling berebut pengaruh, maka AS akan merehabilitasi sarana publik dan
pemerintahan yang rusak. Sebanyak 50.000 ranjau darat di pangkalan udara Kabul dan lainnya, perlu dimusnahkan.
82
81
ISAF dibentuk berdasarkan konferensi Bonn pada Desember 2001 setelah runtuhnya rezim Taliban. ISAF dibentuk untuk membantu menciptakan lingkungan yang aman di
Afghanistan, mengembangkan struktur keamanan Afghanistan, mengidentifikasi keperluan rekonstruksi serta melatih dan membangun pasukan keamanan nasional Afghanistan. Saat ini,
ISAF terdiri dari 8000 pasukan dari 47 negara, baik anggota NATO maupun yang bukan. ISAF bukan pasukan keamanan PBB, namun sebuah koalisi suka rela yang ditugaskan di bawah
pengawasan dewan keamanan PBB.
82
Aco Manafe, Tekad Presiden Hamid Karzai Menata Kembali Afghanistan,_ Suara Pembaharuan,
7 Juli 2002, h.1.
67 Amerika Serikat memainkan peran besar dalam masalah pembentukan
kembali pemerintahan Afghanistan, di antaranya mempromosikan kandidat presiden yang dianggapnya paling dapat berkompromi dengan Amerika Serikat,
yaitu Hamid Karzai. Ketika Hamid Karzai akhirnya disumpah sebagai Ketua Otoritas interim Afghanistan pada 22 Juni 2001, untuk pertama kalinya sejak
tahun 1979 Amerika Serikat secara resmi mengakui pemerintahan Afghanistan di bawah Karzai sebagai pemerintah yang sah.
83
B.3. Peran AS dalam Rekonstruksi Pasca Transisi di Afghanistan
Dalam rentang waktu 2003 hingga 2004, Afghanistan tengah berupaya mendapatkan legitimasi politik, bukan hanya dalam konteks Asia Tengah tetapi
juga secara Internasional. Pemerintahan pimpinan Presiden Hamid Karzai menemui banyak hambatan dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Banyak pihak
dari kelompok etnis serta organisasi politik yang tidak menyukai pemerintahan Kharzai yang diduduki oleh orang Afghanistan berpendidikan Barat. Wakil
Presiden Haji Qadir terbunuh pada bulan juli 2002 dan telah terdapat beberapa upaya untuk membunuh Presiden Karzai. Pasukan koalisi masih terus berhadapan
dengan pemberontakan di Afghanistan, diiringi serangan roket ke ibukota Kabul. Hal ini dikarenakan Afghanistan terbagi oleh kekuatan yang dipegang oleh
warlord di daerah-daerah Afghanistan, sehingga membuat sentralisasi kekuasaan
sangat sulit dicapai. Masalah demi masalah yang dihadapi oleh Afghanistan menyebabkan AS sebagai negara yang paling bertanggungjawab atas apa yang
83
USAID, Rebuilding Afghanistan, dalam September 11: One Year Later, A Special Elektronic Journal of the U.S Department of State, September 2002, h.33.
68 terjadi di Afghanistan masih harus tetap berada di negara tersebut untuk
memantau dan melibatkan diri dalam proses rekonstruksi, khususnya di dalam tata pemerintahan dan lembaga-lembaga negara.
84
Oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan oleh AS bersama-sama dengan negara-negara donor lain untuk membantu Afghanistan bangkit kembali. Salah
satu upaya tersebut diwujudkan melalui konferensi Jenewa yang diselenggarakan pada Juli 2002. Konferensi ini membahas reformasi sektor keamanan diupayakan
untuk mengembangkan suatu rencana komprehensif yang dapat digunakan untuk menangani masalah-masalah ketidakstabilan serta ketidakamanan di Afghanistan
yang muncul setelah jatuhnya Taliban. Agenda reformasi sektor keamanan ini memiliki lima pilar utama, yang masing-masing dikontrol oleh satu negara donor:
reformasi militer oleh AS, reformasi kepolisian oleh Jerman, perlucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi eks-kombatan oleh Jepang, counter narkotika oleh
Inggris, serta pelatihan judicial oleh Italia. Kemajuan reformasi dalam bidang- bidang ini pada 2002 ternyata berjalan lebih lambat dari yang semula diharapkan.
Selain itu, AS juga mewujudkan dukungannya melalui pemberian bantuan dana bagi pembangunan di Afghanistan serta bantuan kemanusiaan bagi rakyat
Afghanistan yang menjadi korban konflik. Dalam hal alokasi dana bantuan, AS merupakan salah satu dari sedikit negara donor yang paling dermawan dan efektif.
Pada 2002, AS menyerahkan 350 juta dolar AS, berarti 17 lebih besar dari jumlah yang dijanjikannya pada konferensi donor di Tokyo. Selain itu,
menanggapi permintaan dari badan-badan bantuan kemanusiaan internasional, AS meningkatkan anggaran belanja non-militernya pada 2003, menjadi lebih dari
84
Global, Jurnal Politik Internasional vol.7 No.2 Mei 2005
69 400 juta dolar AS. Namun demikian, Perbedaan mencolok antara anggaran militer
dan non-militer AS untuk Afghanistan menunjukkan bahwa sebenarnya AS masih mampu memberikan lebih untuk rekonstruksi. Setiap bulannya, AS
menghabiskan satu miliar dolar AS untuk belanja militer, dan hanya 25 juta dolar AS untuk dana bantuan. Kehadiran AS di Afghanistan merupakan hal yang sangat
penting bagi upaya Nations-Building yang sedang dilakukan di Afghanistan. Pada awal 2003, lebih dari 8000 pasukan AS berada di Afghanistan. Namun, setelah
menyadari bahwa operasi militer tampak semakin tidak efektif, dengan aktifitas pemberontakan semakin meningkat, AS memodifikasi strategi keseluruhannya,
yaitu dengan menggabungkan tujuan militer dan pembangunan. Pasukan bersenjata AS ditempatkan di kota-kota di luar Kabul untuk menjaga keamanan
sekaligus mendukung proses rekonstruksi. AS menamakan pasukan tersebut sebagai Provisional Reconstructions Teams PRT, yang mencakup tentara
operasi khusus, Army Civil Affairs Officers, pasukan darat, staff USAID, dan perwakilan dari Departemen Luar negeri AS.
Pada 20 Maret 2003, Departemen Pertahanan AS meluncurkan operasi militer besar-besaran yang melibatkan lebih dari 1000 orang anggota pasukan
koalisi yang ditugaskan ke wilayah-wilayah pedesaan dan gua di provinsi Kandahar bagian selatan, di mana pasukan yang dianggap loyal terhadap Taliban,
yaitu al-Qaeda, dan partai Hizb-I-Islami pimpinan Hekmatyar diduga beroperasi. Hal ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan pihak Taliban mengacaukan
kembali Afghanistan yang sedang diupayakan menuju stabilitas. Terdapat dugaan bahwa kelompok-kelompok yang mendukung Taliban dapat bersatu dan
70 merancang serangan terhadap apa yang sedang berlangsung di Afghanistan saat
itu. Sepanjang 2003, pemerintahan Afghanistan di bawah pimpinan Presiden
Hamid Kharzai masih berjuang untuk membentuk dasar-dasar pemerintahannya. Karzai menemukan bahwa secara umum, semua sistem yang signifikan di
negaranya dalam keadaan hancur. Pasukan militer terpecah akibat faksionalisme, pasukan kepolisian tidak terlatih, sistem hukum didominasi oleh kaum agama
konservatif yang lebih mirip dengan Taliban daripada Kharzai, serta proses pembayaran pajak sangat tidak efektif. Hal ini menyebabkan para pembuat
kebijakan AS, ketika mendiskusikan Afghanistan tidak lagi membicarakan sekolah, jalan, ataupun pelayanan jasa bagi rakyat miskin. Mereka membicarakan
mengenai pembentukan badan-badan pemerintah yang dapat berfungsi dengan baik dan meluaskan wewenang pemerintah pusat Afghanistan ke wilayah-wilayah
Afghanistan di luar Kabul. AS pada awalnya menentang gagasan Nation-Building, pemerintahan Bush telah menyadari bahwa proses tersebut merupakan kunci dari
masa depan Afghanistan. Hal ini dapat dilihat dari proses rekonstruksi yang dilakukan di Afghanistan pada pertengahan 2003, di mana AS berupaya agar
dukungan rekonstruksi darinya dapat menyentuh semua aspek kehidupan di Afghanistan. Pejabat AS menyatakan bahwa jumlah keseluruhan anggaran yang
dikeluarkan AS untuk Afghanistan tahun 2003 di luar biaya mempertahankan 8000 pasukan AS direncanakan akan mencapai jumlah tahun 2002, yaitu 935 juta
dolar AS. Sebagai tambahan, pada tahun 2003 AS lebih menitikberatkan bantuannya pada pembentukan tentara nasional Afghanistan, dan bukan untuk
bantuan kemanusiaan seperti yang dilakukan pada 2002.
71 Selanjutnya di 2003, AS memperluas cakupan Provincial Reconstruction
Teams PRTs, untuk memberikan kontribusi terhadap kehidupan rakyat
Afghanistan di seluruh provinsinya, terutama melalui pembangunan rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur. Namun demikian, Shukraya Barekzai, seorang anggota
komisi konstitusi Afghanistan mengatakan bahwa kekurangan bantuan AS adalah belum melakukan tindakan yang signifikan untuk menghentikan Warlordism,
salah satu ancaman paling berbahaya bagi keamanan Afghanistan. Keamanan juga masih jauh dari sepenuhnya kembali di Afghanistan. Untuk memberikan motifasi
kepada Presiden Karzai, Donald Rumsfeld, menteri pertahanan AS menyatakan bahwa meskipun AS belum berhasil membantu Afghanistan dalam hal
mengembalikan keamanan, ia menjamin bahwa pihak Taliban yang kalah tidak akan dapat kembali, karena AS hanya akan mengakui pemerintahan yang sah di
Afghanistan.
C. Proses Demokrasi di Afghanistan