12
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Serangan teroris internasional terhadap World Trade Center WTC dan Pentagon
pada 11 September 2001 secara langsung membuktikan kepada bangsa Amerika termasuk dunia internasional mengenai rendahnya kesiapsiagaan sistem
pertahanan domestik Amerika sebagai negara adidaya dalam melindungi masyarakat sipil dan infrastruktur- infrastruktur yang vital dari suatu serangan
yang dipola secara lokal. WTC dan Pentagon sebagai lambang supremasi ekonomi dan militer untuk pertama kalinya dilumpuhkan oleh suatu serangan
yang non-militer oleh satu kelompok teroris. Kejadian katastropik itu menciptakan celah kerawanan dan celah
kesempatan bagi setiap teroris lokal atau internasional untuk menyerang Amerika Serikat kembali. Hal tersebut menimbulkan suatu ketakutan yang mendalam
dalam masyarakat atau pemerintah Amerika.
1
Sejak peristiwa 11 September 2001, tampak jelas Amerika Serikat AS telah mendemonstrasikan praktek politik unilateralis
2
dan arogansi tanpa ragu- ragu. Tanpa proses penyidikan dan penyelidikan yang seksama atas kasus itu,
1
Perasaan takut itu seperti terungkap dalam kata-kata Menteri Pertahanan Amerika Serikat, William J. Perry 1994-1997, “As Deadly as the World Trade Center disaster was, it
could have produced a hundredfold more victims if the terrorist had possessed nuclear or biological weapons. And the future threat could come form hostile nations as well as terrorist”.
Lihat Badan pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Wilayah Amerika Program
Pasca-Sarjana Universitas Indonesia, “Penanganan Terorisme Internasional dan Perubahan Corak Politik Luar Negeri Amerika Serikat,”
Jakarta: UI Press, 2003, h. 2
2
Unilateralis adalah kebijakan sepihak dalam urusan internasional tanpa mengindahkan aturan, kesepakatan, atau lembaga internasional atau kepentingan negara serta pihak non-negara
lainnya. Sebagaimana telah kita lihat, Unilateralisme itu ditampakkan secara terang-terangan dalam sikap Amerika Serikat terhadap PBB, terutama dalam hal terorisme global. Dimana
Amerika Serikat menunjukkan penolakan nyata terhadap resolusi Dewan keamanan PBB.
13 dengan serta merta Amerika Serikat melancarkan serangan militer terhadap
Afghanistan tanpa mandat yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mendapatkan pembenaran atas serangan militer yang sangat kejam
itu, Afghanistan dituduh melindungi teroris bernama Osama bin Laden tanpa bukti yang nyata. Jadilah negara Islam yang lemah itu sebagai korban kekerasan
militer Amerika Serikat yang dengan gencar membombardir tanah para mullah yang lemah dan sedang tercabik pertikaian internal itu. Inilah peristiwa pertama
dalam sejarah, melancarkan serangan militer besar-besaran dengan dalih mengejar teroris yang sedang dicari. Menurut Presiden George W.Bush, tindakan atas
negeri naas itu sengaja dilakukan demi kebebasan dan Demokrasi.
3
Tetapi mengapa dalam upaya untuk menyebarluaskan kebebasan dan demokrasi Amerika Serikat menggunakan cara yang tidak berkeprimanusiaan,
misalnya dalam kasus Afghanistan dan Irak. Amerika Serikat mengaku ingin menggulingkan rezim otoriter dari kedua negara tersebut demi terjaminya
perdamaian dunia serta menciptakan dunia yang menghargai hak asasi manusia. Namun, proses ini di lakukan dengan menggunakan kekerasan, yaitu melalui
invasi militer.
4
Dengan tindakan militer itu, seluruh infrastruktur Afghanistan hancur dan belasan ribu warga tidak berdosa tewas sia-sia. Ternyata Osama pun tidak
tertangkap, dicari pun tidak ditemukan hingga kini. Pastinya, serangan militer Amerika Serikat itu berakhir dengan kehancuran segala fasilitas dan infrastruktur
sosial ekonomi, kerugian jiwa raga dan psikologi rakyat Afghanistan, pendepakan rezim berkuasa yang sah di Afghanistan dan dipasangnya rezim boneka yang
3
Mohammad Shoelhi, Di Ambang Keruntuhan Amerika Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2007, h. 32-34
4
Global, Jurnal Politik Internasional vol.7 No.2 Mei 2005 : h.42
14 bersedia disetir. Jadi, jelas sepak terjang Amerika Serikat sangat bertentangan
dengan demokrasi, sebagaimana ditunjukkan dengan pembunuhan umat manusia secara kejam dan melampaui batas kemanusiaan. Apakah tindakan menangkap
seorang teroris dengan pengerahan kekuatan militer dan membombarder besar- besaran terhadap negara kecil, lemah, dan tidak bersalah dapat dibenarkan?
Apalagi tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB . Sangat jelas, bahwa apa yang dimaksud Amerika Serikat sebagai serangan
balasan Counter Attack terhadap terorisme itu sesungguhnya merupakan invasi militer yang tidak dapat diterima karena negara Afghanistan tidak terbukti berbuat
salah terhadap Amerika Serikat dan juga tanpa dasar yang kuat dituduh sebagai pelindung teroris. Serangan militer itu juga merupakan serangan yang melawan
hukum internasional karena dilancarkan pada saat keadaan dalam negeri Afghanistan sedang dilanda kecamuk pertikaian antar faksi yang berkepanjangan
dan melelahkan. Jadi, Invasi militer sepihak tanpa mandat PBB itu ternyata bertujuan untuk
menyelamatkan wajah teroris yang sebenarnya yang berada di dalam jaringan birokrasi tingkat tinggi pemerintahan Amerika Serikat.
5
Hal ini tampak jelas karena kuatnya pengaruh faksi garis keras di lingkaran elit politik Gedung Putih.
Mereka yang dimotori Wapres Dick Cheney, Menhan Donald Rumsfeld, Deputi Menhan Paul Dundes Wolfowitz, serta Penasehat Keamanan Nasional NSC
Condoleezza Rice, memang dikenal sebagai kelompok “neokonservatif“ yang selalu mengedepankan pendekatan pragmatis dan sangat militeristik. Yang ada
dalam benak mereka hanya perang dan perang. Sementara persoalan HAM dan
5
Mohammad Shoelhi, Di Ambang Keruntuhan Amerika, h. 32-34.
15 demokrasi justru dikesampingkan. Tidak mengherankan, jika seorang Nelson
Mandela mantan Presiden Afrika Selatan menuduh AS di bawah Bush sebagai negara yang sama sekali tidak memiliki sopan santun dalam pergaulan
Internasional.
6
Tindakan pembalasan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap rezim Taliban di Afghanistan, untuk kejahatan yang dilakukan oleh individu-individu
dari negara lain yang tidak berkaitan langsung dengan rezim tersebut, melangkah jauh dari perang pembalasan yang diperbolehkan oleh piagam PBB ketika
menghadapi agresi militer dari negara lain. Namun hal ini tampaknya tidak diperdulikan oleh pemerintahan Bush, walaupun aksi militer Amerika Serikat di
Afghanistan mendapat banyak kecaman Internasional. AS berdalih bahwa rezim Taliban membiarkan wilayah Afghanistan dipakai oleh kelompok Al-Qaeda yang
tetap merupakan ancaman bagi Amerika Serikat, Sehingga untuk menghancurkan Al-Qaeda
dan mencegah aksi teror selanjutnya rezim Taliban pun harus ikut dihancurkan. Dalam perang melawan teroris yang dicanangkan Amerika Serikat
negara yang membiarkan kelompok teroris berada di wilayahnya tampaknya juga dianggap sebagai teroris atau pendukung terorisme sehingga perlu diperangi,
sebelum ancaman itu menjadi kenyataan. Sikap Pemerintah Bush itu merupakan kelanjutan dari doktrin pre- emptive
strike
7
yang dikemukakan Pentagon tahun 1992, sama sekali tidak mengindahkan piagam PBB dan hukum internasional lainnya tentang perang yang sah. Doktrin
ini membenarkan tindakan agresi terhadap negara lain hanya berdasarkan kecurigaan Amerika Serikat terhadap niat atau kemampuan yang dimiliki negara
6
Riza Sihbudi, Menyandera Timur-Tengah Jakarta : Mizan, 2007 Cet. I h.151
7
Pre emptive strike adalah menyerang lebih dulu sebelum kembali diserang.
16 tersebut. Tentara Amerika Serikat dapat melakukan serangan dimana saja, kapan
saja, melawan siapa saja sesuai persepsi ancaman Washington, tanpa memerlukan mandat PBB ataupun dukungan internasional.
8
Secara sepihak upaya yang telah dilakukan Amerika Serikat dalam melawan terorisme adalah: pertama, mengisolasi negara yang memberi dukungan
terhadap kelompok teroris agar negara tersebut menghentikan bantuannya. Kedua, memperkuat peraturan dan hukum yang pada intinya melawan tindakan terorisme
melalui berbagai kerjasama internasional. Ketiga, bersikap tegas dan menolak upaya tawar-menawar maupun negosiasi yang diminta kelompok teroris.
Amerika Serikat menekan negara yang dianggap sebagai sponsor atau melindungi teroris. Bagi Amerika, hal itu penting dilakukan karena selama masih
ada dukungan dana dan moral, menyediakan tempat persembunyian, memasok senjata, maupun memberikan bantuan logistik maka upaya pemberantasan
terorisme akan sulit dilakukan. Setiap tahun pemerintah Amerika Serikat melakukan pemetaan dan menganalisa kebijakan setiap negara terhadap terorisme
dalam tiga kelompok, yaitu negara sponsor terorisme, negara yang tidak mau bekerjasama menanggulangi terorisme, dan negara yang tidak sungguh-sungguh
menanggulangi kegiatan terorisme.
9
Kebijakan yang diterapkan apakah itu tekanan ekonomi, diplomatik maupun militer akan dilakukan sebagai tindak lanjut
dari hasil pemetaan dan pengelompokan tersebut terhadap negara-negara terkait.
10
8
“ Tatanan Dunia Pasca Invasi Amerika ke Irak, “ Jurnal Demokrasi HAM,Vol.3 No.2 , Mei – September 2003, h.21-22
9
Setiyo Budhi Cahyo Padma Gandhi, “ Respon Amerika Serikat menghadapi terorisme Studi Kasus ; Pasca serangan 11 September 2001 Di Amerika Serikat WTC dan Pentagon ,
Tahun 2001-2002,“ Skripsi S1 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Ahmad Yani, 2003, h.7
10
Contoh upaya Amerika Serikat agar negara tersebut mau bekerjasama dengan Amerika Serikat dalam melawan terorisme adalah melalui tekanan ekonomi. Amerika Serikat akan
memveto pinjaman yang akan diberikan lembaga-lembaga donor internasional kepada negara
17 Sementara, pemerintah George W. Bush telah bekerja cepat dan
menyimpulkan bahwa dalang dari serangan terorisme ke negaranya adalah Osama bin Laden dengan jaringan al-Qaedanya yang bermarkas di Afghanistan sejak
tahun 1996. Keputusan Taliban untuk tidak menyerahkan Osama bin Laden kemudian dianggap sebagai upaya pemerintah negeri itu melindungi terorisme,
dan ini menimbulkan kemarahan Amerika Serikat. Osama bin Laden sendiri dianggap menjadi gembong teroris yang menjadi perhatian Amerika Serikat sejak
terjadinya serangan bom terhadap kedutaan Besar Amerika Serikat di Afrika.
11
Taliban merupakan suatu kelompok kekuatan politik yang berkuasa di Afghanistan. Osama memang sedang dicari oleh intel Amerika Serikat beberapa
tahun terakhir ini, karena tuduhan melakukan beberapa aksi teror terhadap fasilitas Amerika Serikat di luar negeri. Kelompok Taliban menjadi kuat karena bantuan
Amerika Serikat ketika perang melawan Uni Soviet 1979-1989.
12
Sebelum memutuskan untuk melakukan serangan militer terhadap Afghanistan, Amerika Serikat terlebih dahulu melakukan negosiasi dengan
pemerintahan Taliban di Afghanistan, tetapi upaya ini gagal karena pemerintahan
pendukung terorisme ini, sehingga negara-negara tersebut mengalami kesulitan ekonomi untuk pembangunan nasionalnya. Tekanan ekonomi baru dihentikan setelah negara tersebut mau
mematuhi keinginan Amerika Serikat. Kuba, Irak, Iran, Libya, Korea Utara, Sudan, dan Suriah sejak 1993 selalu masuk dalam daftar negara sponsor terorisme yang dibuat oleh Amerika Serikat.
Sedangkan Afganistan sejak tragedi 11 September 2001 telah dikategorikan sebagai negara yang tidak mau bekerjasama menanggulangi terorisme karena menolak menyerahkan Osama bin Laden
dan menolak tuduhan memberi pelatihan militer bagi pejuang Chechnya, sehingga telah lama mendapat hukuman sanksi ekonomi dari PBB dan embargo bahan bakar.
11
Jauh sebelum peristiwa 11 September 2001 terjadi, al-Qaeda telah memiliki catatan pembunuhan dan penghancuran yang panjang. Pada Oktober 1993, mata-mata yang dilatih
jaringan al-Qaeda membunuh 18 tentara Amerika Serikat yang sedang bertugas sebagai penjaga perdamaian PBB di Somalia. Pada Agustus 1998, organisasi ini mengebom kedutaan Amerika
Serikat di Kenya dan Tanzania dan membunuh 223 orang dan melukai lebih dari 4000 orang, yang sebagian merupakan warga negara Kenya. Lalu pada Oktober 2000, para teroris tersebut
menyerang kapal Angkatan Laut Amerika Serikat USS Cole dengan menabrakkan perahu kecil yang membawa bom. Sebanyak 17 awak berkebangsaan Amerika tewas. Al-Qaeda disinyalir juga
memiliki jaringan dengan gerakan jihad Islam di Mesir, gerakan Islam Uzbekisan dan beberapa kelompok teroris.
12
Setiyo Budhi C., Respon Amerika Serikat MenghadapiTerorisme, h.5.
18 Taliban merasa diintimidasi oleh Amerika Serikat. Pemerintahan Taliban merasa
keberatan untuk menyerahkan Osama bin Laden yang telah berjasa dalam membangun Afghanistan, tanpa ada bukti-bukti yang jelas mengenai keterlibatan
Osama bin Laden dalam serangan 11 september 2001. Keputusan Pemerintahan Taliban telah membuat Amerika Serikat marah, sehingga konflik di antara kedua
negara tidak dapat dihindarkan.
13
Amerika Serikat memutuskan untuk jalan terus dan menyatakan perang terhadap terorisme. Menghancurkan basis kelompok teroris yang dituding berada
di balik serangan 11 September, al-Qaeda adalah tujuan terdekat dan paling mendesak. Hal ini menyebabkan serangan militer berkelanjutan di Afghanistan.
Sebelas bulan setelah operasi militer dimulai, Amerika berhasil menjatuhkan Taliban dari tampuk kekuasaan di Afghanistan dan telah
mengguncang serta memperlemah, jaringan sel-sel al-Qaeda. Namun, Pemimpin al-Qaeda, Osama bin Laden belum tersentuh. Demikian pula Mullah Muhammad
Omar, Pemimpin Taliban yang sudah dijatuhkan namun sulit ditangkap.
14
Dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dan dengan bersendikan kepada ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama mengikuti
perkuliahan di Jurusan Pemikiran Politik Islam maka, penulis tertarik untuk mengkaji, memahami, dan menganalisa fenomena yang menjadi perhatian dunia
internasional ini. Dengan ini, penulis mengambil judul, Pengaruh Invasi Militer Amerika Serikat Terhadap Proses Demokrasi Di Afghanistan.”
13
Setiyo Budhi C., Respon Amerika Serikat Menghadapi Terorisme, h.22
14
Chandra Muzaffar, Muslim, Dialog dan Teror Jakarta : Profetik, 2004 Cet.I, h.174
19
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.