Konsepsi Good Governance dan Hubungannya dengan Pengelolaan

B. Konsepsi Good Governance dan Hubungannya dengan Pengelolaan

Keuangan Negara-Daerah Tata pemerintahan yang baik good governance merupakan isu sentral yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Pola lama penyelenggaraan pemerintahan kini sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah. Miftah Thoha menyatakan: Tata pemerintahan yang baik itu merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara teratur dalam ilmu politik, terutama ilmu pemerintahan dan administrasi publik. Konsep itu lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, civil society, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasawarsa lalu, konsep tata pemerintahan yang baik itu lebih dekat dipergunakan dalam reformasi sektor publik. 93 Dalam pertemuan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia APKASI, Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia ADEKSI, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia APKASI, dan Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia ADKASI yang difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri, telah dihasilkan prinsip- prinsip mengenai tata pemerintahan yang baik good governance. Hal ini dilatarbelakangi pemikiran bahwa kesejahteraan rakyat merupakan tujuan utama dalam pembangunan berkelanjutan melalui pelaksanaan otonomi daerah. Prinsip- 93 S.H. Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Kata Hasta Pustaka, Jakarta, hal. 269 Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 prinsip tersebut beserta dokumen penjelasanpedoman pelaksanaan dituangkan dalam nota kesepatan bersama. 94 Chris Cooper menyebutkan “good governance is a collection of board principles and practices for the efficient, effective and practical running the organization in procedure objective”. 95 Sementara itu Azhar Kasim menyatakan “governance adalah proses pengelolaan berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya dalam suatu negara serta penggunaan sumberdaya alam, keuangan, manusia dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas”. 96 World Bank memberikan definisi governance sebagai “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”. Sedangkan United Nation Development Programme UNDP mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. 97 94 Arlen T. Pakpahan, Reformasi Manajemen Keuangan Sektor Publik, Makalah dalam Kesepakatan Bersama, Seminar Nasional Otonomi dan Tata Pemerintahan yang Baik, UNDP, Jakarta, 2001 95 Chris Cooper dalam Iman Sjahputra Tunggal dan Amin Widjaja Tunggal, Membangun Good Corporate Governance GCG, Harvarindo, Jakarta, 2002, hal. 3 96 Azhar Kasim dalam ibid, hal,5 97 Mardiasmo, op.cit, hal. 23 Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 Dalam hal ini World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat. Sementara menurut definisi yang terakhir, governance menekankan pada 3 tiga aspek yaitu political, economic, dan administrative. Political governance mengacu pada proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan, economic governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life, dan administrative governance yang mengacu pada sistem implementasi proses kebijakan. Arti good dalam good governance itu sendiri mengandung 2dua pengertian: pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginankehendak rakyat, dan nilai- nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat yang dalam pencapaian tujuan nasional kemandirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan sosial; kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. 98 Oleh karena itu World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, 98 Lembaga Administrasi Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, LAN, Jakarta, 2000, hal. 6 Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. 99 Sedangkan UNDP sendiri memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Berdasarkan hal ini UNDP kemudian mengajukan karakteristik good governance sebagai berikut: 100 1. Participation, yaitu setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Rule of law, yaitu kerangka hukum harus adil dan dilaksakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. 3. Transparency, yaitu transparansi yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor. 4. Responsiveness, yaitu lembaga-lembaga dan proses-proses harus cepat dan tanggap melayani stake holders. 5. Concensus orientation, yaitu menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur. 6. Equity, yaitu semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka 7. Effectiveness and efficiency, yaitu proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. 8. Accountability, yaitu para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik atas setiap aktifitas yang dilakukan. 9. Strategic vision, yaitu penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. 99 Mardiasmo, op.cit., hal. 24 100 Lembaga Administrasi Negara …, op.cit., hal. 7 Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 Sebagai suatu bahan perbandingan, dapat dikemukakan adanya pemahaman esensial tentang good governance yang berkembang di Thailand seperti berikut: 101 Good governance is essential to the creation of harmony, stability, and order among all sectors of society, public, private, and individual, as well as to the continuing progress and development of the country. As system based on good governance, one that incorporates the concepts of fairness, transparency, and public participation in accordance with a democratic system under a constitutional monarchy, that adheres to respect for human dignity as well as Thai cultural norms and value, and that is enlightened through a global perspective, will be strong enough to withstand the threat of future crises and able to minimize negative impact. Oleh karena itu dalam pemerintahan yang dikatakan good governance dipastikan tercerminnya suasana harmoni, stabilitas, dan ketertiban antar semua sektor pemerintahan. Dari konsepsi tersebut dijabarkan mengenai 6enam elemen utama good governance, yaitu: 102 1. The Rule of Law: to enact laws, regulations, rule, and directive that are fair, up to date, and that are accepted and conformed to by the citizenry. 2. The Rule of Integrity: to encourage ethical ad exemplary behavior by government officials, and to inculcate the values of integrity, fairness, hard work, and discipline among the Thai people as national characteristics. 3. The Rule of Transparency: to create a climate of mutual trust through a change in processes in all sectors to ensure transparency and enable public scrutiny, to guarantee access to accurate information throughout the system, and to provide information in a straightforward manner in language that is clear and easy to understand. 101 Office of the Civil Service Commission dalam Sukarwo, op.cit., hal. 68 102 ibid Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 4. The Rule of participation: to welcome input from the general public, and to encourage their participation in significant decisions of the country through public hearings, referenda, and public investigations. 5. The Rule of Accountability: to raise public awareness of the rights of individuals, as well as the duties and responsibilities of citizens towards society, and to encourage the general public to be mindful of social problems and difficulties and active in seeking their solution. At the same time they must respects the opinions of others and be willing to accept the consequences of their actions. 6. The Rule of Value for Money: to encourage all sectors to utilize and manage limited resources efficiently and effectively; to conserve natural resources; to promote thrift and economy to maximize the benefits from limited resources for the national good; and to support the production of quality products and services so as to be competitive in the global marketplace. Pada dasarnya konsep good governance sendiri apabila dilihat dari dimensi pemerintahan daerah dapat dinilai melalui aspek-aspek: 103 1. Hukum sebagai formulasi kebijakan publik, ditujukan pada perlindungan kebebasan sosial, politik, dan ekonomi. 2. Administrative competence and transparency. Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin, dan model administratif, keterbukaan informasi. 3. Desentralisasi, desentralisasi regional, dan dekonsentrasi di dalam departemen. 4. Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan mekanisme pasar, peningkatan peran pengusaha kecil dan segmen lain dalam sektor swasta, deregulasi, dan kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan makroekonomi. Dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan negara dan daerah, seperti telah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa pengelolaan keuangan pemerintah yang baik merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan pembangunan dan penyelenggaraan 103 Lembaga Administrasi Negara …, op. cit., hal. 8 Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 pemerintahan. Adanya pengelolaan keuangan pemerintah yang baik akan menjamin tercapainya tujuan pembangunan khususnya, dan tujuan berbangsa dan bernegara umumnya. Oleh karena itu langkah-langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem pengelolaan keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tidak dapat dielakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan. Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya pengelolaan keuangan pemerintah yang dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di satu sisi dan terbatasnya sumberdaya keuangan pemerintah di sisi lain harus segera diwujudkan. Dalam upaya perwujudan pengelolaan keuangan pemerintah yang baik, terdapat pula tuntutan yang semakin besar untuk mengedepankan nilai-nilai good governance. Beberapa nilai yang penting untuk segera diwujudkan antara lain transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, efisiensi, dan efektivitas. Sejalan dengan hal tersebut reformasi keuangan daerah berhubungan dengan perubahan sumber-sumber pembiayaan pemerintahan daerah yang meliputi perubahan sumber-sumber penerimaan keuangan daerah. Oleh karena itu tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah agar pengelolaan uang rakyat public money dilakukan secara transparan dengan mendasarkan konsep value for money efisien dan efektif sehingga tercipta akuntabilitas publik. Berbagai perubahan tersebut harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah yang baik yang didasari oleh prinsip good governance yang berupa rule of law sehingga hal ini berarti bahwa pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 berdasarkan panduan pengaturan hukum yang menjamin perlindungan hukum bagi warga negara. C. Pengaturan Mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah di Kabupaten Langkat Dalam Upaya Pencapaian Good Governance Ketetapan MPR Nomor IVMPR2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Ketetapan MPR No. VIMPR2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung merekomendasikan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar melakukan perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. 104 104 Dalam Tap MPR No. IVMPR2000 dinyatakan bahwa Daerah yang sanggup melaksanakan otonomi secara penuh dapat segera memulai pelaksanaannya terhitung 1 Januari 2001 yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sementara dalam Tap MPR No. VIMPR2002 juga dinyatakan bahwa pelaksanaan undang-undang otonomi daerah selama ini belum diimplementasikan secara utuh sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan KabupatenKota, serta kevakuman hukum dan kesenjangan antardaerah. Keadaan ini mengakibatkan suasana disharmonis, ketidakpastian hukum, dan tambahan beban biaya bagi dunia usaha. S.H. Sarundajang juga menambahkan bahwa penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 termasuk juga penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah sehingga inti dari penyempurnaan undang-undang tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan paket perundang-undangan tentang keuangan negara dan undang-undang tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. S.H. Sarundajang, op.cit., hal. 229 Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 Sejalan dengan amanat Tap MPR tersebut serta adanya perkembangan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebabkan terjadinya perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam sistem Keuangan Negara. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa secara yuridis konseptual, pengertian Keuangan Negara telah tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 yang menyebutkan “Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Dalam PP No. 105 Tahun 2000 juga telah didefinisikan mengenai Keuangan Daerah yaitu dalam Pasal 1 angka 1: Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Penjelasan Umum PP No. 105 Tahun 2000 telah menerangkan mengenai posisi pengelolan keuangan daerah dalam keseluruhan sistem pengelolaan keuangan: Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pemerintah Pusat dengan Daerah merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari kedua undang-undang tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan Keuangan Daerah pada khususnya. Dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan terlihat bahwa sistem pengelolaan keuangan, pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pemerintahan itu sendiri. Sebagaimana sistem keuangan negara yang diamanatkan dalam Pasal 23 ayat 5 Undang-undang Dasar Tahun 1945, aspek pengelolaan Keuangan Daerah juga merupakan subsistem yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 78 sampai dengan Pasal 86. Dalam Pasal 80 ditetapkan bahwa perimbangan keuangan Pusat dan daerah ditetapkan dengan undang- undang. Dengan peraturan tersebut diharapkan terdapat keseimbangan yang lebih transparan dan akuntabel dalam pendistribusian kewenangan, pembiayaan, dan penataan sistem pengelolaan keuangan yang lebih baik dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi Daerah secara optimal sesuai dinamika dan tuntutan masyarakat yang berkembang. Sejalan dengan hal tersebut sudah barang tentu pelaksanaan otonomi Daerah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa besar Daerah akan memperoleh Dana Perimbangan tetapi hal tersebut harus diimbangi dengan sejauhmana instrumen atau sistem pengelolaan Keuangan daerah saat ini mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif dan bertanggungjawab sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang tersebut. Dalam perkembangan terakhir ditetapkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. UU No. 32 Tahun 2004 ini dapat dikatakan sebagai dasar hukum Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 yang utama dalam pengelolaan keuangan daerah selain UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 17 Tahun 2003, dan UU No. 1 Tahun 2004. Secara umum, berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah akan membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem kewenangan pemerintah. Demikian pula berlakunya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, sekaligus memberi dasar perubahan dalam hal keuangan, sehingga hal tersebut akan membawa perubahan secara keseluruhan dalam aspek kesisteman di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan kedua undang-undang ini pula, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat sehingga pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebagaimana sistem keuangan negara dalam Pasal 23 C UUD 1945 amandemen ketiga yang disahkan 10 Nopember 2001, aspek keuangan daerah juga merupakan subsistem yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 155 sampai dengan Pasal 194. Sementara itu Pasal 18A ayat 2 UUD 1945 juga mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan Sumber Daya Alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Dengan dasar ini Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 maka dibentuk UU No. 33 Tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dimana pendanaan dimaksud menganut prinsip money follow function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Pasal 155 sampai dengan Pasal 194 UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang masalah keuangan daerah dimana dalam Pasal 155 UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa: 1 Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah. 2 Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara. 3 Administrasi pendapatan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat 1 dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat 2. Dengan demikian, berarti bahwa dalam setiap kegiatan pengelolaan keuangan daerah terdapat aspek-aspek manajemen Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah APBD dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN. Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 juga telah menetapkan mengenai sumber pendapatan daerah: Sumber pendapatan daerah terdiri atas: a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1 hasil pajak daerah; 2 hasil retribusi daerah; 3 hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 4 lain-lain PAD yang sah; b. dana perimbangan; c. lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dari ketentuan Pasal di atas sumber-sumber pendapatan pemerintahan daerah dapat digali secara luas sehingga dana keuangan daerah menjadi tidak limitatif. Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2004 menetapkan: 1 Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. 2 Pendapatan Daerah sebagaimana pada ayat 1 bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan. 3 Pembiayaan sebagaimana pada ayat 1 bersumber dari: a. sisa lebih perhitungan anggaran daerah; b. penerimaan pinjaman daerah; c. dana cadangan daerah; dan d. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Dengan demikian dasar pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 mengikuti asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Hal ini menimbulkan banyaknya perbedaan persepsi mengenai mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Dalam Pasal 4 UU No. 33 Tahun 2004 dirumuskan: 1 Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD; 2 Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN; 3 Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka Tugas Pembantuan didanai APBN; 4 Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi danatau penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana. Sebelumnya, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 86 UU No. 22 Tahun 1999 dan Pasal 26 UU No. 25 Tahun 1999 terutama mengenai pengelolaan keuangan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, ditetapkan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Akan tetapi, walaupun kemudian UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 namun ternyata ketentuan tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 sampai awal Desember 2005 belum mengalami perubahan, sehingga dikarenakan PP dimaksud belum ada maka banyak Peraturan Daerah mengenai pengelolaan keuangan daerah masih berdasarkan PP No. 105 Tahun 2000. PP No. 105 Tahun 2000 memberikan pedoman yang bersifat umum dan lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat prinsip, norma, asas, dan landasan umum dalam pengelolaan keuangan daerah. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan oleh masing-masing daerah melalui Perda, sementara itu sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah secara rinci diatur dalam Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Perda. Dalam hal ini setiap daerah didorong untuk lebih tanggap, kreatif dan mampu mengambil inisiatif dan perbaikan, serta pemutakhiran sistem dan prosedurnya serta meninjau kembali sistem tersebut secara terus menerus dengan tujuan memaksimalkan efisiensi dan efektivitas berdasarkan keadaan, kebutuhan, dan kemampuan masing-masing daerah. Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 PP No. 105 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan dan kepatutan. Ini merupakan asas umum pengelolaan keuangan daerah yang sejalan dengan prinsip good governance 105 yang seharusnya menjadi tumpuan pengaturan keuangan daerah di seluruh wilayah Indonesia. Dalam PP tersebut juga diatur secara tegas bagaimana Pemerintah Daerah menata sistem pemerintahan, khususnya di bidang keuangan. Penyusunan RAPBD dengan pendekatan kinerja, penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, penyajian Neraca daerah dan Laporan Arus Kas sebagai bentuk pertanggungjawaban kepala Daerah merupakan beberapa hal yang diamanahkan dalam PP tersebut. Dasar- dasar pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini APBD yang merupakan dasar dari pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu telah diatur secara detail di dalam PP yakni tersebut mulai dari perencanaan atau penyusunan APBD, pelaksanaan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Dalam proses perencanaan dan penyusunan APBD, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kinerja performance budget. Pendekatan kinerja dalam hal ini memuat: 1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanjapengeluaran 105 Selain itu untuk pemetaan good governance pada sektor publik telah diformalkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu menyangkut asas atau prinsip tertib penyelenggara negara, akuntabilitas, keterbukaan, kepentingan umum, profesionalitas, proporsionalitas, dan kepastian hukum. Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 2. Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; 3. Sumber pendapatan dalam APBD dan pemanfaatannya. Artinya, apakah seluruh atau sebagian besar dana PAD dipergunakan untuk membiayai belanja rutin daerah di luar belanja pegawai, ataukah ada kebijakan atau pendekatan di dalam pemanfaatan atau penggunaan setiap jenis pendapatan daerah. Performance budget atau anggaran kinerja merupakan suatu sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja dari organisasi pemerintahan. Hal ini berarti bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik. Untuk mencapai kinerja anggaran yang baik, maka prinsip efisiensi dan efektivitas menjadi syarat mutlak. Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD seharusnya disusun secara berimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Paling tidak, terdapat empat metode untuk mengatasi kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran yang umum dilakukan dalam setiap negara, yaitu: 1. Penerimaan-penerimaan tingkat propinsi dapat ditingkatkan meskipun dengan peluang yang sangat kecil di antara semua potensi yang dapat digali. 2. Pengeluaran propinsi dapat dikurangi. Terlepas dari kepopulerannya dari sisi Pusat dan merupakan suatu keharusan. Pendekatan ini juga tidak perlu disarankan jika sistem sudah dirancang dengan baik sejak dini. Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 3. Fungsi-fungsi pengeluaran dapat dialihkan ke jenjang pemerintahan yang lebih tinggi, yang memiliki sumber-sumber penerimaan lebih banyak kewenangan penerimaan lebih banyak, atau dialihkan ke jenjang pemerintahan lebih rendah yang memiliki pengeluaran lebih banyak. Lagi-lagi ini tidak perlu dan tidak bijaksana jika pondasi struktur sistemnya sudah benar. 4. Sebagian dari pendapatan yang dikumpulkan Pusat dapat ditransfer ke Pemerintahan Propinsi. Akhirnya, pada setiap negara, alternatif inilah yang hampir selalu dilaksanakan. 106 Dalam PP No. 105 Tahun 2000 telah diatur mengenai langkah-langkah penyusunan APBD. Pasal 15 sampai dengan Pasal 19 PP No. 105 Tahun 2000 pada dasarnya mengatur tentang struktur dan pengertian mengenai APBD. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan. Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, sementara selisih kurang pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut defisit anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplusdefisit anggaran. Pendapatan daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan, sedangkan belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Adapun pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak tersangka disediakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak tersangka. Sedangkan dalam PP 58 Tahun 2005 penyusunan APBD diawali dengan penyampaian kebijakan umum APBD sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah 106 Richard M. Bird dan Francois Vaillancourt dalam Soekarwo. op.cit, hal. 225 Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijasikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah selanjutnya disingkat SKPD. Kepala SKPD selanjutnya menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD RKA-SKPD yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. RKA ini disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. Rencana Kerja dan Anggaran ini kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan ini disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD. Proses selanjutnya Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai penjelasan dari dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk dibahas dan disetujui. APBD yang disetujui DPRD ini terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Jika DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda APBD tersebut, untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran daerah setinggi- tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya dengan prioritas untuk belanja yang mengikuti dan wajib. Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah juga pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah. Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 Selanjutnya kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah dan dilaksanakan oleh SKPD selaku pejabat pengguna anggaranbarang daerah di bawah koordinasi Sekretaris Daerah. Pemisahan ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme check and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Telah dijelaskan dalam bagian terdahulu bahwa proses pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Langkat masih mengacu pada Perda No. 1 Tahun 2004 dan Keputusan Bupati Langkat No. 1 Tahun 2004 dimana aturan tersebut masih berlandaskan pada PP No. 105 Tahun 2000. Meskipun demikian, pedoman pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam PP No. 105 Tahun 2000 bersifat umum dan lebih menekankan pada hal yang bersifat prinsip, norma, asas, dan landasan umum dalam pengelolaan keuangan daerah, contohnya pokok-pokok muatan yang terkandung dalam PP tersebut antara lain: 1. Prinsip-prinsip bagi transparansi dan akuntabilitas mengenai penyusunan, perubahan, dan perhitungan APBD, pengelolaan kas, tata cara pelaporan, pengawasan intern, otorisasi, serta pedoman bagi sistem dan prosedur pengelolaan. Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 2. Pedoman laporan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan pelayanan yang dicapai, biaya satuan komponen kegiatan, dan standar akuntansi pemerintah daerah, serta persentase jumlah penerimaan APBD untuk membiayai administrasi umum dan pemerintahan umum. Sementara itu sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah secara rinci ditetapkan oleh masing-masing daerah. Pada saat ini pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang berlandaskan prinsip good governance di Kabupaten Langkat menunjukkan kondisi yang rata-rata menuju ruang untuk perbaikan. Hal ini ditunjukkan dari upaya pemerintah daerah untuk menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 dalam proses penyusunan APBD yang akan datang. Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah di Kabupaten Langkat, telah dilakukan analisis atas penerapan Sistem Pengendalian Intern, meliputi: 1. Organisasi Struktur organisasi dan tugas serta fungsi perangkat daerah Kabupaten Langkat telah diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 10 Tahun 2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Langkat. Berdasarkan Perda tersebut, organisasi Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah dibantu oleh 3 tiga asisten, dan 11 sebelas kepala bagian. Sedangkan Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris Dewan Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten yang dalam menjalankan tugasnya bertanggungjawab kepada Pimpinan DPRD dan secara administratif dibina oleh Sekretaris Daerah Kabupaten. Penatausahaan pembukuan atas pelaksanaan APBD diselenggarakan oleh Bagian Keuangan Sekretariat Daerah yang terdiri dari 3 tiga sub bagian, yaitu Sub Bagian Anggaran, Sub Bagian Pembukuan dan Verifikasi, serta Sub Bagian Perbendaharaan dan Gaji. 2. Kebijaksanaan Dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD Kabupaten Langkat telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 tanggal 10 Maret 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Perda tersebut diikuti dengan Surat Keputusan Bupati Langkat No. 900-15SK2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Administrasi Keuangan Daerah. Dalam penyelenggaraan APBD, Pemerintah Kabupaten Langkat belum sepenuhnya mengikuti kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat khususnya ketentuanperaturan perundang-undangan yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan dan penyusunan perhitungan anggaran, bentuk dan susunan APBD dan buku-buku serta catatan- catatan yang digunakan. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Langkat diberi keleluasaan untuk menetapkan peraturan daerah tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah sepanjang hal tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi agar daerah secara terus menerus Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 dapat memaksimalkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah berdasarkan keadaan, kebutuhan dan kemampuan yang ada. Dengan demikian, sejalan dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 2005 dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 terdapat keharusan bagi Pemerintah Kabupaten Langkat untuk menata kembali kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, merubah kembali sistem dan prosedur dengan menerbitkan Perda yang sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan yang ada demi tercipta dan terlaksananya pengelolaan keuangan daerah yang memiliki keabsahan yuridis serta berlandaskan pada peraturan-peraturan yang ada di atasnya dan berdasarkan prinsip-prinsip good governance. 3. Perencanaan Untuk menciptakan agar pengurusan APBD dilaksanakan dengan tertib, sesuai ketentuan, efektif, efisien dan ekonomis, maka untuk anggaran belanja Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan serta Belanja Modal telah ditetapkan rincian kegiatan yang dituangkan dalam DASK Daftar Anggaran Satuan Kerja. Konsep DASK yang disampaikan oleh satuan kerja tersebut, oleh Bagian Keuangan diteliti terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada Bupati untuk disahkan. Dalam proses penyusunan APBD yang sejalan dengan prinsip good governance yang harus diperhatikan adalah membuat APBD yang demokratis dengan mengedepankan unsur peran serta masyarakat. Elemen masyarakat menjadi penting artinya dalam proses pembuatan APBD di samping pemerintah daerah dan DPRD Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 dengan maksud untuk mempertajam substansi APBD sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dijelaskan bahwa dalam tahap penyusunan APBD, pemerintah daerah berfungsi sebagai penyusun rancangan APBD kepada DPRD untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya pemerintah daerah mengkordinasi satuan kerja perangkat daerah dalam hal ini dinas-dinas, badan, dan kantor untuk mempersiapkan usulan kegiatan di bidangnya, serta menyiapkan bahan-bahan rancangan APBD untuk diusulkan kepada masyarakat melalui DPRD lengkap dengan sasaran alokasi anggaran biaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini membutuhkan langkah kerja yang memiliki nilai demokrasi dan sesuai dengan prinsip good governance diantaranya transparansi, akuntabilitas, partisipasi masyarakat, efisiensi, dan efektivitas. Keterlibatan masyarakat ini tidak hanya terbatas pada penyusunan program pembangunan, tetapi secara simultan terlibat juga dalam penyusunan anggaran. Usulan kegiatan dari warga masyarakat diakomodasikan dengan adanya musyawarah pembangunan desakelurahan, selanjutnya rekapitulasi pandangan yang ada pada tingkat kecamatan, dan kemudian pada tingkat kabupatenkota. Hal ini menjadi menjadikan anggaran pembangunan memiliki pijakan yang kuat dari masyarakat karena mempunyai semangat transparansi dan akuntabilitas sehingga pengelolaan keuangan daerah benar-benar bertumpu pada kekuatan masyarakatpublik. Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008 Pada akhirnya good governance tidak mungkin terlaksana bila tidak didasarkan atas pengertian, format hukum yang jelas, transparan, kemandirian, akuntabilitas publik, sehingga memberikan peluang kepada kekuasaan untuk selalu bertindak di luar hukum. Habibi Adhawiyah : Kedudukan Keuangan Daerah Dalam Sistem Pengelolaan Keuangan Negara Menurut…, 2007 USU e-Repository © 2008

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN