hakim pada tingkat akhir pasal 1858.
25
Meskipun demikian, perjanjian perdamaian dapat dibatalkan dalam hal:
26
a. Terjadi kekhilafan mengenai orangnya dan mengenai pokok yang diperselisihkan
pasal 1859. b.
Melanggar asas umum dalam perjanjian seperti penipuan, atau paksaan pasal 1320. c.
Tentang surat palsu pasal 1861 d.
Tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu pihak, padahal sudah diakhiri dengan putusan hakim pasal 1862.
b. Perdamaian dalam Hukum Adat
Konsep penyelesaian perkara secara damai sudah lama dikenal dalam hukum adat Indonesia. Dalam hukum adat, termasuk didalamnya hukum pidana adat, penyelesaian
sengketa dengan jalan damai yang sering ditempuh tidak dapat dipisahkan dari konsepsi masyarakat Indonesia yang memandang penyesalan dan reputasi buruk sebagai unsur
esensial dalam pelanggaran adat. Dalam alam pikiran masyarakat tradisional Indonesia, yang bersifat kosmis, yang penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya
suatu keseimbangan evenwicht antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya.
Segala perbuatan yang mengganggun perimbangan tersebut, merupakan pelangaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan- tindakan yang perlu guna
menimbulkan kembali perimbangan hukum.
27
Penyelesaian perkara secara musyawarah antara para pihak telah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi diperkenalkan oleh pemerintah
Kolonial Belanda. Penyelesaian perkara secara adat melalui lembaga musyawarah lebih diarahkan kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena adanya
sengketa tersebut dan tidak bersifat penghukuman. Ketua adat dalam menyelesaikan
25
Ibid
halaman 12.
26
Ibid
halaman 14.
27
Soepomo.
Bab-Bab Tentang Hukum Adat
. Padnya Paramita, Jakarta, 1979, halaman 92-93.
Universitas Sumatera Utara
sengketa tidak untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan lebih mengacu pada musyawarah mufakat dan damai.
Sanksi adat reaksi adat yang dijatuhkan merupakan bentuk tindakan ataupun usaha-usaha
untuk mmengembalikan
ketidakseimbangan termasuk
pula ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan
pelanggaran adat. Jadi sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dengan dunia ghaib untuk
merehabilitasi, bukan penciptaan derita.
28
Schepper memberikan ilustrasi reaksi adat dalam “ Indisch Tijdschriftvan het Recht
” No. T.129, muka 334, sebagai berikut: penyesalan, kerendahan hati, penghapusan fitnah , meminta maaf dengan pemberian sirih, perbaikan kerusakan
disebabkan oleh seseorang yang dengan tangannya sendiri atau atas namanya , kompensasi dalam arti luas, pembayaran yang melebihi uang ganti kerugian denda
menurut hukum pidana, mengurus kuburan orang terhormat yang terbunuh, tawaran berdamai sebagai suatu perbuatan pembersihan, berbagai macam hukuman yang bersifat
mencemoohkan, pengusiran dan sebagainya.
29
Penyelesaian perkara secara damai sudah dikenal pada zaman Mataram II. Pada saat sultan Agung berkuasa, urusan peradilan dilaksanakan oleh penghulu agama atas
nama raja yang didampingi oleh beberapa ulama sebagai majelis peradilan yang disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini dilaksanakan dengan dasar musyawarah dan
mufakat collegiale rechtspraak. Hasil putusan musyawarah menjadi putusan terakhir oleh raja.
30
28
I Made Widnyana Suarda,
Kapita Selekta Hukum Pidana Adat
, Eresco, Bandung, 1993, halaman. 8
29
Oemar Seno Aji,
Hukum Hakim Pidana
, Erlangga, Jakarta, 1980, halaman. 66
30
Hilman Hadikusuma,
Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia
, CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, halaman.61
Universitas Sumatera Utara
Pada zaman tersebut, disamping adanya peradilan serambi, di daerah-daerah juga berlaku peradilan “padu”, yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan
olehperadilan keluarga peradilan desa secara damai, dan apabila tidak dapat diatasi secara kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara damai di bawah
pimpinan sseorang pejabat kerajaan yang disebut jaksa.
31
Kemudian pola-pola penyelesaian perkara tersebut tetap dikenal dalam hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman ini, dikenal Hakim perdamaian
desa. Lembaga hakim perdamaian desa mendapat pengakuan secara hukum berdasarkan pasal 3a RO Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie RO
Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijakan Pengadilan, yaitu yang antara lain menyatakan bahwa hakim-hakim adat tidak boleh menjatuhkan hukuman ayat 3.
Oleh karena itu tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman, ditempuhlah suatu usaha “perdamaian”.
32
dalam menegakkan hukum adat, lembaga perdamaian desa ini menjalankan peranan mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam pasal 3a
Reglement Indonesia yang diperbaharui RIB. Kekuasaan hakim perdamaian desa itu tidak terbatas pada perdamaian saja, tetapi
meliputi kekuasaan memutus semua sengketa dalam semua bidang hukum, tanpa membedakan antara pengertian pidana, perdata, publik maupun sipil. Kedudukan bidang
kehakiman atau peradilan itu barulah memperoleh perubahan jika masyarakat hukum adat menundukkan dirinya kepada kekuasaan yang lebih tinggi yang membatasi
mengenai hak-hak kehakiman itu.
33
Hazairin menulis tentang kedudukan hakim desa sekarang dan kemudian hari. Dalam Undang-Undang Darurat No. 1 PS 51, LN 9 1951 pasal 1 ayat 3, tetap
31
Ibid
32
Tjok Istri Putra Astiti,
Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan,
Buletin Musyawarah 1 Juli 1997, halaman 6
33
Buhsar Muhammad,
Pokok-Pokok Hukum Adat
, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, halaman73-74.
Universitas Sumatera Utara
mengakui kekuasaan dorps justitiehakim-hakim peradilan dalam masyarakat hukum adat sebagai yang dimaksud dalam RO pasal 3. Hakim-hakim tersebut disamakan dengan
hakim perdamaian desa, ialah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam masyarakat hukum adat merupakan suatu condition sine qua non sebagai alat pelengkap kekuasaan
desa selama itu mampu mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat keistimewaannya sebagai kesatuan politik, sosial, ekonomi yang dapat berdiri sendiri.
34
Namun dewasa ini, hakim perdamaian desa mengalami banyak hambatan dalam menegakkan hukum dan mendamaikan para pihak sehingga timbul kesan seolah-olah
tidak berdaya menghadapi situasi konflik di pedesaan saat ini. Di beberapa tempat, perdamaian desa tidakk berfungsi lagi, namun di beberapa tempat lainnya masih
berfungsi seperti biasanya. Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai tetap bertahan di dalam masyarakat hukum adat Indonesia saat ini. Dalam
masyarakat Batak, misalnya, masih mengandalkan forum runggun adat yang pada intinya adalah penyelesaian perkara secara musyawarah perdamaian dan kekeluargaan.
Dalam masyarakat Minang Kabau juga, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian Minang Kabau, yang secara umum bertindak sebagai mediator dan konsiliator.
35
c. Perdamaian Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas