hakimlah yang menentukan untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan perdamaian tersebut.
125
C. Dapat Menghapuskan Pidana
Perdamaian sebagai hal yang dapat menghapuskan pidana tidak terdapat dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan dalam perkara kecelakaan lalu lintas. Hal ini
disebabkan karena dalam KUHP telah disebutkan secara limitatif hal-hal yang dapat menghapuskan pidana. Walaupun dalam surat pernyataan tersebut menyatakan para
pihak tidak akan meneruskan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut secara pidana dan tidak akan menuntut pelaku, dan dibuat secara tertulis di atas materai, surat perdamaian
tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan oleh hakim sebagai alasan untuk menghapus pidana bagi pelaku. Bahkan, walaupun ada kalanya pihak korban maupun keluarga
korban memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, permohonan korban tersebut tidak dapat diterima
secara utuh dalam putusan untuk sama sekali tidak menjatuhkan pidana.
126
Menurut penulis, Hakim Pengadilan Negeri Medan masih menganut pandangan yang hanya bersumber kepada undang-undang saja legalistik. Menurut Montesquie,
sumber hukum bukan hanya undang-undang. Sumber hukum itu terdiri dari sumber hukum formil dan materil. Sumber hukum dalam arti formal yaitu tertulis dan tidak
tertulis, yang tertulis adalah undang-undang, sedangkan yang tidak tertulis adalah hukum kebiasaan, hukum adat, traktat, doktrin, perjanjian, asas-asas hukum internasional
dan lain-lain. Sedangkan dalam arti materil adalah Pancasila. Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia
harusalah merupakan nilai yang dapat
memelihara dan
125
Ibid
126
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antar kepentingan individu satu pihak dan kepentingan masyarakat di lain pihak.
127
Tetapi karena pendidkan hukum aparatur penegak hukum masih rendah, maka sulit baginya berpikir berdasarkan sumber-sumber hukum tersebut di atas untuk
mengaplikasikannya ke dalam masalah hukum yang sedang di proses di dalam praktek. Misalnya, dalam kasus pembunuhan antara suku adat di Jambi, yang kemudian diakhiri
dengan perdamaian secara adat, sehingga selesailah masalahnya. Tetapi oleh kepolisian, kasus yang sudah selesai dengan perdamaian tersebut diproses lagi dengan alasan
adanya perdamaian tidak menghapus delik. Inilah yang menjadi dasar proses tersebut diteruskan dan ini secara juridis bertentangan dengan hukum adat yang masih diakui di
Indonesia. Sebenarnya, jika ketentuan adat tersebut ingin diakui kepastian hukumnya di Indonesia, maka perdamaian tersebut tidak diajukan ke pengadilan. Maka untuk
dijadikan sebagai legalitas, tidak perlu diproses lebih lanjut lagi. Demikian juga dengan perkara kecelakaan lalu lintas, adanya perdamaian antara korban dengan pelaku tindak
pidana kecelakaan lalu lintas secara ikhlas dan suka rela merupakan wujud konsesualitas yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Sebagai pengejawantahan sila keempat Pancasila, nilai musyawarah ini seharusnya lebih dihormati dan dihargai sebagai kebiasaan yang hidup dalam
masyarakat. Seharusnya perdamaian yang telah dilakukan tersebut, dijadikan sebagai akhir penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas karena memang itu yang dikehendaki
oleh pelaku dan juga korban. Hal ini sejalan dengan teori Hukum Pidana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister dan N. Keijzer, seorang ahli hukum Belanda, yang
menyatakan bahwa unsur perbuatan pidana itu adalah jika seseorang terbukti melakukan bahwa perbuatannya itu sifatnya tercela atau dilakukan dengan kesalahan atau merugikan
127
Ediwarman,
Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi
, Genta Publishing, Medan, 2014, halaman 11
Universitas Sumatera Utara
orang lain. Seseorang bisa dipidana jika perumusan deliknya terpenuhi, baik formal maupun materil dan sifat perbuatan melawan hukum terpenuhi baik formal maupun
materil serta perbuatan itu tercela. Akan tetapi, jika perbuatan itu tidak lagi tercela dan tidak ada yang dirugikan, maka seseorang itu tidak dapat dipidana.
128
Demikian juga dengan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tersebut, dengan adanya pemaafan, ganti kerugian, biaya perawatan maupun biaya pemakaman yang
diberikan oleh pelaku terhadap pihak korban dan pihak korban menerimanya dengan ikhlas dan memaafkan pelaku, maka sebenarnya tidak ada lagi pihak yang dirugikan
serta sifat tercela dari perbuatan pelaku tersebut menjadi hilang karena adanya itikad baik dari pelaku untuk meminta maaf dan bertanggungjawab terhadap perbuatannya.
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, perdamaian yang dilakukan dalam menyelesaikan perselisihan mendukung atau sejalan dengan tujuan pemidanaan,
khususnya sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Perdamaian yang dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga mempunyai arti yang penting dalam mengaspirasikan dua kepentingan
yaitu kepentingan si korban dan juga kepentingan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas mengingat struktur hukum pidana Indonesia saat ini, secara khusus yang mengatur
mengenai kecelakaan lalu lintas belum mengakomodasikan kepentingan korban dimana hanya ditempatkan sebagai saksi korban yang hanya bergantung nasibnya pada jaksa
yang mewakili kepentingannya. Keseimbangan perlindungan berbagai kepentingan merupakan hal yang perlu
diperhatikan sebagaiamana yang telah dinyatakan oleh Muladi bahwa dalam masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengatur berbagai kepentingan masyarakat serta
128
Ibid
, halaman 12.
Universitas Sumatera Utara
sarana perlindungan hak-hak warga negara dibutuhkan adanya keterpaduan sistem peradilan pidana integrated criminal justice system, yaitu suatu sistem yang berusaha
menjaga keseimbangan perlindungan kepentiingan, baik kepentingan negara, masyarakat individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Perdamaian
sekaligus dapat dijadikan alternatif pidana yatitu sebagai tindakan non penal dalam menyelesaikan permasalahan mengingat bahwa upaya penal merupakan ultimum
remedium apabila upaya lain tidak mampu mengatasi. Perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas juga
mempunyai peranan yang penting sebagai sarana pembaharuan hukum pidana yang bermakna upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosio politik, sosio filosofik, dan sosio kultural masyarakat Inonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia,
129
yang dalam hal ini khususnya nilai-nilai positif yang terkandung dalam perdamaian dan merupakan nilai kultural yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia
dapat menjadi sumbangan dalam rangka pembaharuan hukum pidana tersebut. Selain hal-hal tersebut, ada beberapa hal yang menjadi urgensi perlunya
perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas menjadi alasan yang dapat menghapus pidana: a.
Perdamaian dilihat dari tujuan pemidanaan. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan rasional dalam
menetapkan suatu jenis pidana mengandung arti bahwa pidana yang dipilih itu harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang rasional yang sesuai dengan
tujuan yang dikehendaki yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Tujuan pemidanaan wajib dipertimbangkan oleh hakim sebab persepsi hakim tentang fiilsafat pemidanaan dan
tujuan pemidanaan memegang peranan penting di dalam penjatuhan pidana . Molly
129
Barda Nawawi Arief,
Bunga Rampai Kebija kan Hukum Pidana,
PT. Citra Aditya Bandung, 1996, halaman 30-31.
Universitas Sumatera Utara
Cheang sebagaimana di sitir Muladi, pernah menyebut tujuan pemidanaan sebagai kesulitan utama seorang hakim yang mungkin berpikir bahwa tujuan berupa pencegahan
hanya bisa dicapai dengan pidana penjara, namun di lain pihak dengan tujuan yang sama, hakim yang lain akan berpendapat bahwa pengenaan pidana denda akan lebih efektif.
Seorang hakim yang memandang aliran klasik lebih baik daripada aliran modern akan memidana lebih berat sebab pandangannya adalah pidana harus cocok dengan
perbuatannya dan sebaliknya yang berpandangan modern akan member pidana yang lebih ringan, sebab ia berpendapat bahwa pidana harus cocok dengan orangnya. Apalagi
dari segi teoritis, mengenai tujuan pemidanaan ini belum pernah tercapai suatu kesepakatan di antara para sarjana.
130
Perumusan tujuan pemidanaan telah dicantumkan dalam RUU KUHP 2013 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51 1
Pemidanaan bertujuan untuk: a.
Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna. c.
Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan
d. Membebaskan rasa bersalah terpidana.
2 Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia. Menurut Djoko Prakoso, tujuan pidana dan pemidanaan menurut konsep RUU
KUHP bertolak dari suatu pandangan filosofis tertentu, yakni filsafat pembinaan. Perdamaian yang terjadi antara korban dengan pelaku tindak pidana pada dasarnya
bertujuan untuk menyelesaikan suatu konflik yang terjadi antara mereka dengan cara
130
Alef Musyahadah R.
Op. Cit
. halaman 106
Universitas Sumatera Utara
kekeluargaan . ini berarti perdamaian telah mendukung tujuan pemidanaan seperti yang tercantum dalam konsep KUHP tersebut.
131
Perdamaian tersebut sesungguhnya sesuai dengan tujuan pemidanaan dalam hukum adat. Perwujudan perdamaian berupa permintaan maaf, rasa penyesalan,
pemberian ganti kerugian baik berupa biaya pemakaman, biaya perobatan, maupun biaya perbaikan merupakan pengembalian ke keadaan yang seimbang atas kegoncangan yang
terjadi. Bila dikaitkan dengan ajaran postulat Krannenburg, yang mengatakan bahwa sifat tata susuna masyarakat tradisional sudah mencerminkan asas yang universal dalam
ilmu hukum pidana modern, yaitu melalui pengembalian keseimbangan dalam masyarakat yang disebabkan oleh tindakan salah seorang warganya yang mengakibatkan
kerugian materil psikologik warga masyarakat lain. Perwujudan kea rah pemulihan keseimbangan dalam tata hidup masyarakat demikian itu mengandung aspek edukatif
yang tidak hanya berlaku bagi si pelaku tindak pidana tetapi juga kepada anggota masyarakat lainnya.
132
b. Perdamaian mengandung wujud tanggung jawab pelaku terhadap korban.
Perdamaian merupakan salah satu cara yang digunakan oleh masyarakat dalam menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik melalui perdamaian ini tampaknya banyak
dilakukan pada masyarakat Batak, Jawa dan Bali yang memandang bahwa penyelesaian dengan jalan damai merupakan nilai terpuji dan dijunjung tinggi sehingga mendapat
dukungan yang kuat. Hukum adat Indonesia memandang bahwa setiap penyimpangan terhadap aturan-
aturan adat akan menimbulkan kegoncangan ketidakseimbangan , sehingga terhadap
131
Ibid
132
Hermien Hadiati Koeswadji,
Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana
, Citra AdityaBakti, Bandung, 1995, halaman 117
Universitas Sumatera Utara
orang yang melanggr aturan tersebut dikenakan sanksi reaksi adat. Sanksi reaksi adat yang dijatuhkan merupakan bentuk tindaklan ataupun usaha untuk mengembalikan
ketidakseimbangan, termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magisakibat adanya gangguan yang berupa pelanggaran adat.pemberian sanksi adat tersebut berfungsi
sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dan dunia ghaib, bukan penderitaan. Soepomo menyebutkan ada beberapa bentuk sanksi adat,
yaitu: a.
Penggantian kerugian immaterial dalam berbagai rupa seperti paksaan menikah gadis yang telah dicemarkan.
b. Pembayaran uang adat kepada orang yang terkena yang berupa benda sakti
sebagai pengganti kerugian rohani. c.
Selematan korban sebagai upaya untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran ghaib.
d. Penutup malu, permintaan maaf.
e. Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati.
f. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.
Hukum kebiasaan itu biasanya yang lebih menyesuaikan konflik -konflik sosial disbanding hukum positif yang ada, sebab dalam masyarakat yang majemuk seperti
Indonesia ini tidak mustahil di samping tunduk kepada hukum positif masih mengikuti hukum kebiasaannya sendiri, termasuk sistem mediator seperti yang terdapat di
Kalimantan, Irian Jaya dan sebagainya.
133
Nilai-nilai yang menjelma dalam perdammaian tersebut merupakan hukum yang hidup the living law sebab ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari
masyarakat. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji, hukum yang hidup dalam suatu
133
Alef Musyahadah R.
Op. Cit
. halaman 109.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat merupakan suatu sistem hukum hukum dalam arti yang sebenarnya, yaitu hukum sebagia suatu proses nyata dan aktual. Hukum yang hidup ini harus digali melalui
suatu penemuan hukum rechtsvinding para hakim yang dasar kekuatan hukumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
dalam pasal 25 ayat 1 dan 28 ayat 1 dan 2.
134
Pasal 25 ayat 1 menyatakan sebagai berikut:
“ segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan atau sum ber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa hakim harus menentukan hal-hal yang harus duipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana. Pasal 28 ayat 1 dan 2 berbunyi
sebagai berikut: 1
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
2 Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan
pula sifat yang baik dan jahta dari terdakwa. Ketentuan tersebut mengharuskan hakim dalam menjatuhkan pidana selalu
mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat bahkan sifat baik dan juga sifat jahat terdakwa. Adanya sifat baik dari terdakwa untuk berdamain dalam
bentuk permohonan maaf, pemberian ganti kerugian, pembayaran biaya perobatan dan biaya pemakaman atas kecelakaan lalu lintas yang terjadi seharusnya dipertimbangkan
juga oleh hakim dalam putusannya. c.
Perdamaian dilihat dari perspektif kemanfaatan bagi korban dan pelaku tindak pidana lalu lintas.
134
Hermien Hadiati Koeswadji,
Op. Cit,
halaman 138
Universitas Sumatera Utara
Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yang berupa penjatuhan pidana pemidanaan mengandung arti telah terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku
dan pemindahan pengasingan pelaku dari masyarakat lingkungannya. Tidak hanya pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terkena stigmacap jahat, tetapi juga
keluarganya menanggung beban malu dan direndahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka dalam masyarakat menjadi sangat marginal. Narapidana dianggap orang yang
berbahaya dan masyarakat akan menerima bekas narapidana masih ragu-ragu dan khawatir terhadap kelakuan baik narapidana tersebut, sehingga sulit untuk bersosialisasi
kembali dengan masyarakat termasuk sulit untuk mencari nafkah mendapatkan pekerjaan.
Berbagai kritik pidana dijatuhkan terhadap efek negative pidana perampasan kemerdekaan. Usaha-usaha untuk mencari alternatif pidana banyak dilakukan. Melihat
kenyataan tersebut, perdamaian dapat menjadi alternatif pidana perampasan kemerdekaan. Manfaatnya, terpidana akan terhindar dari stigmaisasi jahat dari
masyarakat dan terhindar dari pengaruh negative subkultur pidana penjara, anak istri dan sanak saudara tidak menanggung beban malu. Terpida juga tetap dapat menghidupi
keluarga. Hal ini seharusnya perlu dipertimbangkan bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas karena pelaku telah meminta maaf, menyampaikan rasa penyesalan
dan memberikan sejumlah ganti kerugian dan korban telah memaafkan pelaku. Dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana, pelaku kejahatan tidak pernah
didikutsertakan sehingga pada gilirannya, mereka tidak dapat ikut menentukan tujuan akhir dari pidana yang telah diterimanya. Bahkan para korban kejahatan juga tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan, sehingga belum tentu pihak korban merasa puas dengan hasil akhir dari putusan hakim. Penderitaan kerugian korban diwakilkan
kepada jaksa penuntut umum dan kerban tersebut sebenarnya tidak sepakat jika perkara
Universitas Sumatera Utara
tersebut diproses dengan hukum melalui perdamaian yang telah disepakati dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sehingga pada esensinya, perwakilan tersebut
dipandang mencuri kesempatan dari konflik antara para pihak dan diwujudkan dalam dua pihak, pertama negara dan dilain pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.
Melalui perdamaian, hak tersebut dapat dikembalikan kepada pihak korban. Pemberian ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban dapat mengurangi beban
penderitaan yang berwujud material, terutama bagi korban yang ekonominya tidak mampu. Ganti rugi yang diberikan oleh pelaku dapat digunakan untuk biaya
perawatanpengobatan, pemakaman apabila korban meninggal dunia meskipun sebenarnya penderitaan moril korbankeluarga korban tidak dapat dihilangkan sama
sekali. Bahkan apabila terdakwa kebetulan mampu dan mempunyai kedudukan yang terpandang dapat membantu dengan berbagai cara sehingga terjalin hubungan baik antara
pelaku tindak pidana dengan korbankeluarga korban. Hal tersebut merupakan pengejawantahan penyesalan dan tanggung jawab terhadap korban dn dapat juga
mengembalikan hubungan baik antara pembuat dengan korbankeluarga korban. d.
Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dilihat dari persepektif keadilan restoratif Pasca perkembangan orientasi pemidanaan yang mendudukkan korban sebagai
bagian penting dari tujuan pemidanaan. Perkembangan pemikiran tentang pemidanaan selanjutnya bergerak ke ranah orientasi baru di mana penyelesaian perkara pidana
merupakan suatu hal yang seharusnya menguntungkan para pihak. Keadilan restoratif ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang dapat menjawab tuntutan tersebut.
135
Duff sebagaimana yang dikutip oleh Lode Walgrave menyatakan bahwa restorative justice are not “alternative to punishment but alternative punishment”.
Sementara Stephen VP. Grey menyatakan keadilan restorative sebagai a way of
135
Eva Achjani Zulfa,
Pergeseran Pardigma Pemidanaan
, CV Lubuk Agung. Bandung, 2011, halaman. 63.
Universitas Sumatera Utara
responding to crime . PBB melalui Basic Principles yang telah digariskannya menilai
bahwa pendekatan keadilan restorative merupakan pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G.P.
Hoefnagels yang mengatakan bahwa politik criminal harus rasional a rational total of the responses to crime
. Pendekatan restoratif merupakan suatu paradigm yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan
menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.
136
Penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan keadilan restoratif pada dasarnya terfokus kepada upaya mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku
dengan upaya perbaikan. Termasuk dalam upaya ini adalah perbaikan hubungan antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Hal ini diimplementasikan dengan
adanya perbuatan yang merupakan gambaran dari perubahan sikap para pihak yang sering diistilahkan dengan stakeholder yang merupakan pihak-pihak yang terkait baik
secara langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana yang terjadi. Stakeholder utama dalam hal ini adalah pelaku yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, korban
sebagai pihak yang dirugikan dan masyarakat dimana peristiwa tersebut terjadi. Program dari keadilan restorative adalah adanya kesepakatan para pihak yang terlibat.
Kesepakatan di sini adalah kesepakatan para pihak yang didasarkan pada adanya pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat di atas kerugian yang timbul dari tindak
pidana yang terjadi. Kesepakatan berupa perdamaian dalam hal ini bisa diartikan sebagai suatu upaya memicu proses reintegrasi antara korban dan pelaku, oleh karenanya
kesepakatan tersebut dapat berbentuk pemberian biaya perobataan, biaya pemakaman ataupun ganti kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Dalam konsep restoratif ini
pentingnya dibuka suatu akses korban untuk menjadi salah satu pihak yang menentukan
136
Ibid
, halaman 65
Universitas Sumatera Utara
penyelesaian akhir tindak pidana karena korban adalah pihak yang paling dirugikan dan paling menderita. Selain itu, melalui pendekatan restorative ini, terdapatnya suatu
kerelaan pelaku untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Makna kerelaan dalam hal ini harus diartikan sebagai adanya introspeksi diri dari pelaku
sehingga muncul kesadaran untuk menilai perbuatannya dengan pandangan yang benar.
137
Demikian pula dalam perkara kecelakaan lalu lintas ini, maka pendekatan keadilan restorative merupakan hal yang akan menempatkan pelaku ikut serta dalam
menentukan keputusan, tidak menggantungkan keinginannya melalui jaksa penuntut umum. Pada sistem pemidanaan selama ini, korban bukanlah pihak yang ikut
menentukan hasil dari putusan. Korban hanya ditempatkan sebagai pelengkap penderita yaitu salah satu alat bukti yang dipakai untuk menggiring pelaku ke arah pertanggung
jawaban pidana berupa penjatuhan sanksi yang telah ditentukan oleh undang-undang. Apakah sanksi yang dijatuhkan memberikan keuntungan kepada korban atau tidak, hal
demikian bukanlah merupakan bagian penting yang harus dipertimbangkan oleh hakim. Hal inilah yang sering menimbulkan kegamangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap perkara yang sudah mengandung perdamaian.
138
Sehingga penyelesaian yang diperoleh melalui pendekatan restoratif ini adalah sesuai dengan kehendak korban dan
juga pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sehingga hukum yang diterapkan menuju kepada hukum yang hidup living la w dan berjiwa progresif.
Jika dilihat dalam RUU KUHP 2013, sebagai ius constituendum bangsa Indonesia, perdamaian dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapuskan pidana. Hal
ini dapat dilihat dengan diaturnya pedoman pemidanaan yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana. Salah satu pedoman pemidanaan bagi hakim yang
137
Ibid
, halaman 76
138
Ibid
, halaman. 169
Universitas Sumatera Utara
diatur dalam RUU KUHP 2013 mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan putusan.
Disebutkan dalam pasal 55 ayat 1 bahwa dalam pemidanaan, hakim wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat setelah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat hidup, keadaan sosial dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban danatau keluarga korban; danatau:
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Ketentuan dalam ayat tersebut memberikan pedoman pemidanaan yang sangat membantu hakim dalam memberikan takaran atau berat ringannya pidana yang akan
dijatuhkan. Dengan mempertimbangkan butir-butir pemidanaan tersebut, diharapkan pidana yang akan dijatuhkan bersifat proporsional dan dapat dipahami baik masyarakat
maupun terpidana. Dikaitkan dengan konsep perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana
kecelakaan lalu lintas, maka berdasarkan penelitian ini, bentuk perdamaian yang antara lain terdiri atas permintaan maaf, pernyataan rasa penyesalan, pemberian ganti rugi, baik
pemberian biaya perawatan, biaya perbaikan maupun biaya pemakaman,merupakan wujud tanggung jawab pelaku kepada korban atas perbuatan yang telah dilakukan. Hal
Universitas Sumatera Utara
ini dapat disamakan dengan sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 55 ayat 1 huruf f RUU KUHP 2013.
Ketentuan mengenai perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidan juga telah diatur secara eksplisit dalam pasal 55 ayat 1 huruf j, yang menyatakan bahwa pemaafan
dari korban danatau keluarganya wajib dipertimbangkan hakim dalam sistem pemidanaan. Pernyataan maaf dari pelaku tindak pidana terhadap korban kecelakaan
lintas merupakan salah satu bentuk perdamaian yang sering terjadi dalam masyarakat, dimana pihak korban secara ikhlas memaafkan pelaku tinda pidana kecelakaan lalu
lintas. Perkembangan hukum pidana dalam RUU KUHP 2013 memberikan kewenangan
kepada hakim untuk memberikan pengampunan pemaafan kepada terdakwa meskipun ia terbukti bersalah. Pengaturan perdamaian dalam RUU KUHP 2013 ini mulai
dipertimbangkan sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas Hal ini dapat dilihat dalam pasal 55 ayat 2 RUU KUHP
2013 yang menyatakan bahwa: “ ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan
perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan”. Ayat 2 ketentuan tersebut dikenal dengan asas rechterlijke pardon yang memberi
kewenangan kepada hakim untuk member maaf kepada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang sifatnya ringan tidak serius. Pemberian maaf ini
dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Universitas Sumatera Utara
Jika melihat pada isi pasal tersebut, maka unsur-unsur atau kriteria bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana meskipun seseorang terlah terbukti bersalah adalah:
1. Ringannya perbuatan;
2. Keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang
terjadi kemudian; Pada kriteria kedua bagi hakim untuk
memberikan pengampunan yaitu “keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi
kemudian,” maka dimungkinkan bagi pelaku baik pada waktu maupun sesudah terjadinya tindak pidana melakukan perbuatan-perbuatan seperti permintaan maaf,
menyatakan rasa menyesal, memberikan ganti kerugian baik berupa uang maupun perbaikan barang atas perbuatan yang dilakukannya kepada korban dan korban
memaafkan serta tidak akan menuntut pelaku atas perbuatannya. Tindakan-tindakan tersebut merupakan bentukwujud dari perdamaian, oleh karena itu,
perdamaian yang telah dilakukan oleh korban dengan pelaku, menurut hemat penulis dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memeberikan pengampunan rechterlijk
pa rdon judicia l pa rdon. Hal ini berdasarkan kenyataan yang terjjadi di masyarakat
dalam menyelesaikan konflik yang sering ditempuh melalui jalur perdamaian. Perdamaian yang dilakukan berupa permintaan maaf, pemberian ganti kerugian, biaya
perawatan maupun biaya pemakaman dapat disamakan dengan keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian sebagaimana yang diatur dalam pasal 55
ayat 2 RUU KUHP 2013 ini. Oleh karena itu, upaya perdamaian antara korban dengan pelaaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas ini memiliki prospek yang besar sebagai
alasan untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Perdamaian dalam hal ini sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang akan
memberikan manfaat yang lebih besar bagi para pihak. Bagi pelaku tindak pidana itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri akan terbebas dari rasa bersalah dan stigmatisasi dari masyarakat sebagai orang yang pernah melakukan tindak pidana dan bagi para korban sendiri akan terbebas dari
perasaan dendam dan pada akhirnya akan menciptakan hubungan yang harmonis antara korban dengan pelaku tindak pidana.
RUU KUHP 2013 mulai menempatkan penyelesaian perkara pidana secara damai sebagai alasan untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku. Konsep RUU KUHP 2013
ini lebih menekankan kepada upaya restorasi daripada penjatuhan pidana. Namun, pemikiran mengenai perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas sebagai alasan
yang dapat menghapus pidana masih menuai kontroversi. Jika dilihat dalam perspektif yang berbeda, perdamaian sebagai alasan menghapus pidana akan menimbulkan adanya
ketidaktertiban dalam masyarakat. Pengemudi kendaraan tidak akan mempunyai kehati- hatian dalam mengemudikan kendaraannya. Golongan masyarakat yang mempunyai
kemampuan ekonomi yang memadai akan sesukanya mengemudikan kendaraan tanpa adanya rasa takut akan mengakibatkan kecelakaan. Upaya preventif dalam
penanggulangan pidana tidak akan tercapai. Pemberian ganti kerugian akan menyelesaikan masalah tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut
secara pidana. Hal ini tentu akan mengakobatkan kekacauan chaos di masyarakat. Sementara di pihak lain, pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang tidak
mempunyai uang untuk berdamai dengan pihak korban, pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. Pada akhirnya, hukum itu hanya
berlaku hanya untuk orang-orang yang miskin bukan untuk semua orang tanpa terkecuali sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum equality before the la w .
139
Selain itu, jika perdamaian ini diakomodir dalam hukum pidana akan mengakibatkan terjadinya pergeseran sekat antara hukum pidana dengan hukum perdata. Hal ini
139
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014.
Universitas Sumatera Utara
diakibatkan karena, pada dasarnya, hukum pidana merupakan ranah hukum publik yang mengandung konsekuensi bahwa setiap terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan
pidana, maka negaralah yang mempunyai wewenang untuk menyelesaikannya. Pernyelesaian perkara pidana tidak dapat diselesaikan secara sepihak oleh para pihak
yang berperkara tanpa peran serta aparatur negara.
140
140
Ibid
Universitas Sumatera Utara
102
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENGENAI PERDAMAIAN ANTARA
KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI
MEDAN
A.
Kebijakan Penal
Istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” Inggris atau “politiek” Belanda. Bertolak dari kedua istilah ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat
juga disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal
policy ”, “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. Pengertian kebijakan atau
politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut
Prof. Sudarto, “politik hukum” adalah:
141
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat. b.
Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicit-citakan.
Bertolak dari pengertian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana”berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai
hasil perundang-undangan pidana yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.
Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “politik
141
Barda Nawawi Arief,
Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru,
Kencana, Jakarta, 2008, halaman 1.
Universitas Sumatera Utara
hukum pidana” berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa -masa yang akan
datang. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakn atau membuat dan merumuskan suatu
perundang- undangan yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam defenisi “penal
policy ” dari Marc Ancel dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara l ebih baik”. Dengan
demikian, yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” the positif rules dalam defenisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana.
Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.
142
Kebijakan hukum pidana dalam bahasa Hofgels disebut Criminal Policy. Kebijakan hukum pidana sering disebut dengan istilah kebijakanpolitik kriminal. Prof Sudarto,
S.H pernah mengemukakan tiga arti penting mengenai kebijakan kriminal, yaitu:
143
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b.
Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti yang paling luas yang beliau ambil dari Jorgen Joseph, ialah keseluruhan
kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Dalam kesempatan lain, beliau mengemukakan defenisi singkat bahwa politik criminal merupakan “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dari menanggulangi
kejahatan”. Defenisi ini diambil dari Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational
142
Ibid
., halaman. 23.
143
Barda Nawawi Arief,
Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyususnan Konsep KUHP Baru,
Kencana, Jakarta, 2008, halaman 1
Universitas Sumatera Utara
orga niza tion of the control of crime by society ”. Berdasarkan dari pengertian yang
dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels
mengemukakan bahwa “criminal policy is the ra tiona l orga niza tion of the socia l rea ction to crime
”.
144
Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal Policy is the rational organization of the social
rea ction to crime . Hal ini berarti politik kriminal dapat diartikan sebagai usaha yang
rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.
145
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat social defence dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat social welfare. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau
tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
146
Kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy sebagai bagian dari penegakan hukum la w enforcement harus mampu menempatkan setiap komponen
sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi yang aktif
dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat ini sangat penting karena menurut Hoegels, bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan criminal policy selain
merupakan usaha yang rasional dari masyarakat terhadap kejahatan, kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. Oleh karena
itu, kebijakan penanggulangan kejaharan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan meyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan. Kebijakan ini termasuk
144
Ibid
145
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah,
Politik Hukum Pidana, Kajian Kebijaka n Kriminalisasi dan Dekriminalisasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, halaman 13
146
Barda Nawawi Arief
, Op. Cit
, halaman 2
Universitas Sumatera Utara
bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dianggap sebagai kejahatan crimina l policy of designa ting huma n beha vior a s crime
.
147
Politik hukum pidana dalam tataran mikro sebagai bagian dari politik hukum dalam tataran makro, dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang
berlaku dalam masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat
diperhitungkan dan dapat dihormati.
148
Jika demikian halnya, maka menurut Sudarto, melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-
undangan pidana sesuai dengan keadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa -masa yang akan datang. Lebih lanjut, Sudarto mengatakan bahwa pembentukan undang-
undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sanggat penting artinya dan mempunyai pengaruh yang sangat luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur
atau mengendalikan masyarakat. Undang- undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat
dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua fungsi: 1.
Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai;dan 2.
Fungsi instrumental. Menurut Sahetapy, peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan
hukum yang berperan sebagai suatu alat instrument belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan dari
mana hukum itu berasal. Jika hukum di Indonesia bersumber dari Pancasila, maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni dari mana
hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannyya atau diwujudkan dalam bentuk manifestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi
147
Mahmud Mulyadi,
Criiminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kekerasan,
Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, halaman17
148
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah,
Op. Cit.
.
Universitas Sumatera Utara
berfungsi dalam arti yang sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrument. Hukum dalam pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak
dijiwai oleh semangat idealism Pancasila.
149
Marc Ancel pernah menyatakan, bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen “Criminology”, “Criminal law”, dan “Penal Policy”. Dikemukakan
olehnya, bahwa “Penal Policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pad akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan
secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang- undang, tetapi juga kepada Pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga
kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Selanjutnya dinyatakan olehnya:
150
“Diantara studi mengenai faktor-faktor kriminologis disatu pihak dan studi mengenai teknik perundang-undangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan
yang mengamati dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, dimana para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum
dapat bekerja sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan, tetapi sebagai kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk menghasilkan suatu
kebijakan pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maj
u lagi sehat.” Pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata
pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan hukum pidana
juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komparatif, bahkan memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai
disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya. Dengan penegasan di atas berarti, masalah
kebijakan pidana termasuk salah satu bidang yang seyogianya menjadi pusat perhatian kriminologi. Terlebih memang “pidana” sebagai salah satu bentuk reaksi atau respon
149
Ibid
, halaman 14
150
Ibid
., halaman. 19.
Universitas Sumatera Utara
terhadap kejahatan, merupakan salah satu objek studi kriminologi. Dalam penataran kriminologi disajikan bahan-
bahan mengenai kebijakan hukum pidana atau “Penal Policy
” yang pada dasarnya merupakan bagian dari politik kriminal.
151
. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk
mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada
umumnya, maka kebijakan hukum itu termasuk dalam kebijakan sosial, yaitu suatu usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
152
Kebijakan hukum pidana sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yakni meliputi evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk
pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang dan bagaimana peerapan hukum pidana ini melalui komponen sistem peradilan pidana serta tidak kalah
pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi salah satu instrumen mencegah kemungkinan
terjadinya kejahatan. Ini juga berarti bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk mencegah sebelum sesuatu kejahatan terjadi. Berkaitan
dengan hal ini, maka ada yang menjadi permasalahan krusial yaitu apakah penerapan hukum pidana dapat dijadikan instrumen prncrgahan krjahatan. Persoalan ini muncul
karena selama ini banyak menganggap bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan, tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Upaya
mencari jawaban tersebut harus diarahkan untuk mengungkap secar filosofis apa tujuan sesungguhnya pemidanaan. Alasan filosofis ini sangat penting untuk mencari kearah
mana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan.pembabakan tujuan pemidanaan ini
151
Ibid
., halaman. 20.
152
Muladi dan Barda Nawawi Arief,
Teori dan Kebijakan Pidana
, Alumni, Bandung, 1998, halaman. 148
Universitas Sumatera Utara
dapat diuraikan berdasarkan tujuan retributif, detterence, treatment dan social defence.
153
Teori retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa pemidanaan merupakan “ morally justified” pembenaran secara moral karena pelaku
kejahatan dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya. Asusmsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon terhadap suatu kejahatan karena
pelaku kejahatan telah melakukan pelanggaran terhadap norma moral tertentu ya ng mendasari aturan hukum yang dilakukannya secara sengaja dan sadar hal ini merupakan
bentuk tanggung jawab moral dan kesalahan pelaku. Teori retributif ini melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang dilakukan seseorang.
Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu, pelaku kejahatn harus dibalas dengan menjatuhkan pidana. Tujuan
pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.
154
Teori detterence menurut Zimring dan Hawkins digunkan secara lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat
seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the detterence effect” dari anacaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi
ancama bagi seluruh masayarakat untuk tidak melakukan kejahatan. Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif reductivsm karena dasar pembenaran
dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Tujuan pemidanaan sebagai detterence effect ini dapat dibagi menjadi
pencegahan umum general detterence dan pencegahan khusus indivdual detterence. Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberi peringatan kepada
153
Mahmud Mulayadi
, Op. Cit, halaman 67
154
Ibid
, halaman 68
Universitas Sumatera Utara
masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum ini mempunyai 3 tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk
norma. Prevensi khusus dimaksudkan bahwa pidana yang dijatuhkan memberikan detterence effect
kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi kejahatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan masayarakat memungkinkan bahwa dengan pidana
pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan oleh pelaku.
155
Teori treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan sanagt pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan
pada perbuatannya. Namun, pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk memebrikan tindakan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation kepada
pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga
membutuhkan perawatan treatment dan perbaikan rehabilitation. Sementara teori social defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah
perang dunia II dengan tokoh terkenalnya adalah Flippo Gramatica, yang pada tahun 1945 mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan
selanjutnya, pandanag social defence ini pecah menjadi dia aliran, yaitu aliran radikal ekstrim dan aliran moderat reformis. Aliran yang radikal berpendapat bahwa hukum
perlindungan sosial harus menggantikan pidana yang ada sekarang ini. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan
bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Sementara pandangan moderat berpendapat bahwa tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-
peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan utnuk kehidupan bersama
155
Ibid
, halaman 74.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan pemenuhan yang tidak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.
Tujuan pemidanaan tidak boleh dilepaskan dalam kebijakan hukum pidana. Tujuan pemidanaan yang hendak dicapai dengan pemberian pidana darus diperhatikan agar
penegakan hukum pidana sebagai salah satu kerangka kebijakan kriminal lebih terarah. Kebijakan hukum pidana dalam penegakan hukum tindak pidana kecelakaan lalu
lintas dalam sistem pemidanaan melalui kebijakan penal lebih menitik beratkan pada sifat repressive sesudah tindak pidana kecelakaan lalu lintas terjadi. Artinya setelah
terjadi tindak pidana kecelakaan lalu lintas, maka pelaku diberikan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan pasal 359, 360 dan 361 KUHP atau Pasal 310,311 dan 312 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menurut KUHP, pengaturan sanksi pidana diatur dalam pasal 10 KUHP, yang terdiri
atas: a.
Pidana pokok 1.
Pidana mati 2.
Pidana penjara 3.
Pidana kurungan 4.
Pidana denda b.
Pidana tambahan 1.
Pencabutan beberapa hak tertentu 2.
Perampasan barang yang tertentu 3.
Pengumuman keputusan hakim Dalam KUHP, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
kecelakaan lalu lintas adalah berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda maupun pengumuman putusan hakim. Lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa
Universitas Sumatera Utara
tergantung kepada akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Semakin berat akibat tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut, maka ancama pidanya semakin lama
juga. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang disebut dengan istilah “ mengakibatkan orang mati atau luka
karena salahnya”. Pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 359. 360 dan 361. Pada pasal 359, yaitu kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan matinya orang diancam
pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun. Sementara dalam pasal 360 ayat 1 yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas
yang mengakibatkan orang luka berat diancam dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lmanya satu tahun. Pasal 360 ayat 2 yang
mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan luka sederhana sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat
menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, diancam pidana penjara selama - lamanya sembilan bulan atau pidan kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman
denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,-. Pasal 361 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan dalam melaksanakan sesuatu jabatan atau
pekerjaan, maka dinacam pidana dengan ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari pekerjaannya dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu
diumumkan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan ini, adapun sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan maupun denda. Pemberian pidana
tersebut tergantung kepada jenis kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pelaku, baik kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang, maupun kecelakaan lalu
lintas berat. Pasal 310 ayat 1 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu
Universitas Sumatera Utara
lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan kendaraan danatau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 enam bulan danatau denda paling
banyak Rp. 1.000.000,-. Pasal 310 ayat 2 yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban luka ringan dan
kerusakan kendaraan danatau barang, diancam pidana penjara paling lama 1 satu tahun danatau denda paling banyak Rp. 2.000.000,-. Pasal 310 ayat 3 yang mengatur
mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang karena kelalaiannya mengakibatkan korban dengan luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan
ataudenda paling banyak Rp. 10.000.000,- . Sementara dalam pasal 310 ayat 4 , jika tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut mengakibatkan orang lain meninggal dunia,
diancam dengan pidana paling lama 6 enam tahun danatau denda paling banyak Rp. 12.000.000,-
Tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana yang lebih berat daripada karena kelalaian. Hal ini dapat dilihat dari
pengaturannya dalam pasal 311. Dalam pasal 311 ayat 1 mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang secara sengaja dilakukan dengan cara atau keadaan
yang membahayakan bagi nyawa atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp.3.000.000,-. Sementara jika kecelakaan
lalu lintas tersebut dilakukan dengan mengakibatkan kerusakan kendaraan danatau barang, dalam ayat 2 diancam dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau
denda paling banyak Rp. 4.000.000,- Dalam pasal 311 ayat 3, dalam hal kecelakaan lalu lintas itu mengakibatkan korban jiwa dengan korban luka ringan dan kerusakan
kendaraan danatau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,-. Sementara dalam ayat 4, jika kecelakaan
lalu lintas tersebut mengakibatkan korban dengan luka berat, diancam dengan pidana
Universitas Sumatera Utara
penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,- dan jika mengakibatkan korban meninggal dunia, maka diancam dengan pidana paling lama
12 dua belas tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,- sementara dalam pasal 312, bagi setiap pengemudi kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan
dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya dan tidak memberikan pertolongan aau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada kepolisian negara, diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,- Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.
156
Pidana tambahan juga dapat dijatuhkan oleh hakim dalam putusannya mengenai perkara lalu lintas yaitu berupa
pencabutan Surat Izin Mengemudi SIM atau ganti kerugian. Pidana tambahan berupa pencabutan SIM larangan mengemudi adalah agar pelaku dalam hal mengemudi
menjadi jera dan lebih berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya di kemudian hari. Selain itu, pidana tambahan ini juga berguna agar pelaku tidak dapat mengulangi
perbuatannya sebab ia berada dalam kondisi tidak diperkenankan mengemudi hingga berakhir larangan mengemudi tersebut. Selain itu, pidana tambahan berupa ganti
kerugian diputuskan hakim jika sebelumnya belum terdapat kesepakatan mengenai ganti kerugian yang harus diberika pelaku kepada korban. Jika sebelumnya telah terdapat
kesepakatan mengenai ganti kerugian, maka hakim tidak perlu memutus pidana tambahan berupa ganti kerugian.
Dualisme pengaturan kecelakaan lalu lintas yang diatur dalam KUHP maupun Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebabka n
dianutnya asas lex specialis derogate lex generalis. Hal ini disebutka tegas dalam pasal
156
Pasal 314 Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Universitas Sumatera Utara
63 ayat 2 KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang
khususlah yang diterapkan. Sebagai konsekuensi dari asas tersebut, maka untuk saat ini pengaturan hukum yang mengatur mengenai kecelakaan lalu lintas ialah Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Demikian juga mengenai aturan pidananya, maka didasarkan pada undang-undang tersebut karena telah mengatur secara
khusus daripada KUHP. Dari pengaturan tersebut di atas, terlihat jelas bahwa baik dalam setiap perkara
kecelakaan lalu lintas selalu melekat ancaman pidana. Walaupun telah terdapat perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, hal
tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus pertanggungjawaban pidana pelaku. Walaupun kedua belah pihak telah berdamai, pihak korban telah
memaafkan pelaku dan adanya pembayaran ganti kerugian berupa biaya perobatan, biaya perbaikan kerusakan, biaya duka cita maupun biaya pemakaman, proses hukum harus
tetap dilanjutkan. Bahkan, walaupun pihak korban dan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas sepakat untuk tidak meneruskan perkaranya secara hukum, hal ini juga tidak
dapat dijadikan sebagai alasan untuk tidak meminta pertanggungjawaban pidana pelaku. Setelah perkara kecelakaan lalu lintas diperiksa di sidang pengadilan, kekosongan hukum
dalam perdamaian kecelakaan lalu lintas ini mengakibatkan terjadinya perbedaan kedudukan perdamaian dalam putusan hakim. Seharusnya perdamaian dalam kecelakaan
lalu lintas dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang diperiksa di Pengadilan Negeri
Medan, walaupun telah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, kebijakan kriminal lebih ditekankan pada penjatuhan pidana
kepada pelaku. Dalam putusan No.992 Pid. B 2013 PN. Mdn dengan terdakwa Riza
Universitas Sumatera Utara
Vionita Utami yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat, yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, majelis hakim menjatuhkan pidana
penjara selama 6 enam bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan diijalankan kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena
terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatanpelanggaran atau tidak memenuhi sesuatu syarat yang ditentukan sebelum masa percobaan selama 1 satu tahun terakhir.
Sementara dalam putusan No.501 Pid. B 2012 PN. Mdn dengan nama terdakwa Jonfriadi Sitopu karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan
kerusakan kendaraan, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 8 delapan bulan, hakim juga menetapkan bahwa pidana itu tidak akan dijalani kecuali dikemudian
hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam masa percobaan
selama 1 satu tahun berakhir. Dalam perkara dengan terdakwa Riza Vionita Utami, walaupun telah
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat dan meninggal dunia, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana yang berat, melainkan pidana percobaan. Hal
ini dikarenakan karena majelis hakim menilai telah ada itikad baik dari pelaku tindak pidana untuk bertanggunggjawab secara moral melalui perdamaian dengan pihak korban.
Sementara di lain pihak, dalam perkara dengan terdakwa jonfriadi Sitopu, walaupun secara tertulis perdamaian tersebut tidak dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan
pidana, majelis hakim secara moral telah mempertimbangkan perdamaian tersebut untuk menjatuhkan pidana yang lebih ringan kepada terdakwa melalui pemberian pidana
percobaan. Menurut Hakim Pengadilan Negeri Medan perdamaian tersebut sangat penting dilakukan oleh korban dengan pelaku tindak pidana, namun bukan menjadi hal
yang menghapus pidana. Pengenaan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu
Universitas Sumatera Utara
lintas bukan hanya semata-mata untuk ditujukan kepada pelaku tindak pidana, melainkan juga untuk memberikan efek pencegahan kepada masyarakat agar tidak lebih berhati-hati
dalam mengendarai kendaraan bermotornya. Dengan pemberian pidana kepada pelaku walaupun telah terdapat perdamaian dengan pihak korban, maka tujuan pemidanaan
yaitu prevensi umum yang diharapkan memberi peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan dalam kecelakaan lalu lintas. Tanpa pemberian pidana kepada
pelaku kecelakaan lalu lintas akan mengakibatkan kesewenang-wenangan pihak-pihak yang mempunyai banyak uang yang beranggapan bahwa pemberian ganti rugi adalah
jalan yang terbaik. Dengan demikian, pengenaan pidana kepada pelaku diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi angka kecelakaan lalu lintas.
157
B.
Kebijakan Non Penal Menurut G. P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat dtempuh dengan:
158
a. Penerapan hukum pidana criminal law aplication
b. Pencegahan tanpa pidana prevention without punishment
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatn dan pemidanaan lewat
mass media influencing views of society on crime and punishment mass media . Dengan demikian, butir b dan butir c dapat dimasukkan dalam kelompok upaya”
non- penal”. Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal lebih
menitikberatkan pada sifat “preventive” pencegahan penangkalanpengendalian sebelum kejahatan terjadi. Sasaran utama kebijakan penanggulangan kejahatan dengan non penal
adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menumbuhkan atau menimbulkan kejahatan.
157
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014.
158
Barda Nawawi Arief,
Op. Cit
, halaman 40
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kiminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi
sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan.
159
Beberapa aspek-aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahat khususnya dalam masalah “ Urban Crime’,
antara lain disebutkan dalam dokumen A CONF.144L.3 sebagai berikut:
160
a. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan kebodohan, ketiadaan
kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok serasi;
b. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek harapan
karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimpangan- ketimpangan sosial;
c. Mengendurnya ikatan sosial keluarga;
d. Keadaan-keadaan kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang
beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; e.
Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugiankelemahan di bidang
sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; f.
Menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaanyang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya tidak cukupnya pelayanan bagi
tempat-tempat fasislitas lingkungan bertetangga; g.
Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masayarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan keluarga familinya,
tempat pekerjaannya atau lingkungan sekolahnya;
159
Ibid.
160
Ibid
, halaman, 44
Universitas Sumatera Utara
h. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperluas karena faktor-faktor tersebut di atas; i.
Meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian;
j. Dorongan-dorongan khususnya oleh mass media mengenai ide-ide dan
sikap-sikap yang megarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap tidak toleran intoleransi.
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata -mata
dengan penal. Di sinilah keterbatasan jalur penal dan oleh karena itu harus ditunjang dengan jalur non penal. Salah satu jalur non penal untuk mengatasi masalah-masalah
sosial seperti dikemukakan di atas adalah jalur “kebijakan sosial” social policy, yang dalam skema G.P. Hoefnagels di atas juga dimasukkan dalam jalur “prevention without
punishment ”. Pada dasarnya, kebijakan sosial adalah kebijakan atau upaya rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari
pembangunan. Upaya non penal yang paling strategis adalah segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat
secara materil dan immateril dari faktor-faktor kriminogen. Ini berarti, masyarakat dengan seluruh potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau
faktor “anti kriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik kriminal. Sehubungan dengan hal ini, sangatlah tepat apa yang digariskan oleh PBB
bahwa “ the over all organization of society should be conceived as anti criminnogenic. Dilihat dari usaha non penal ini berarti perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan
seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya mengefektifkan dan
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan “extra legal system” atau “informal and traditional system” yang ada dalam masyarakat.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat ditangkap bahwa kejahatan berakar dari faktor-faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh
karena itu, perlu langkah-langkah penanggulangan yang di dasarkan pada penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat community crime prevention. Program-
program yang dapat dilakukan anatra lain :
161
1. Pembinaan terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang;
2. Pembinaan tenaga kerja;
3. Pendidikan;
4. Rekreasi;
5. Pembinaan mental melalui agama;
6. Desain tata ruang fisik kota.
Dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas, pendekatan kebijakan kriminal melalui non penal memegang peranan yang sangat penting. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kebijakan non penal setelah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku sama sekali tidak diatur. Dalam undang-
undang ini, perdamaian tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri perkara kecelakaan lalu lintas. Setiap terjadinya perkara kecelakaan lalu lintas harus diproses
sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan, yang berkaitan dengan perkara
kecelakaan lalu lintas, hakim lebih berorientasi kepada upaya penal. Sementara upaya non penal cenderung kurang diminati. Upaya non penal berupa pemberian ganti kerugian
maupun sanksi administratif tidak pernah dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Negeri
161
Mahmud Mulyadi
, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan
, Pustaka Bangsa Press, Medan, halaman 58
Universitas Sumatera Utara
Medan. Untuk masa yang akan datang, pendekatan non penal perlu mendapat perhatian yang khusus.
162
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kebijakan non penal setelah terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku
tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum di atur. Kebijakan non penal yang diatur adalah pencegahan terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas. Hal ini diatur dengan tegas
dalam pasal 226 yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 226:
1 Untuk mencegah kecelakaan lalu lintas dilaksanakan melalui:
a. Partisipasi para pemangku kepentingan;
b. Pemberdayaan masyarakat;
c. Penegakan hukum; dan
d. Kemitraan global.
2 Pencegahan kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan
dengan pola penahapan yang meliputi program jangka pendek, jangka menengah da n jangka panjang.
3 Penyusunan program pencegahan kecelakaan lalu lintas dilakukan oleh forum LLAJ
di bawah koordinasi kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa adanya penyususnan program
pencegahan kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh forum LLAJ di bawah koordinasi Kepolisian artinya bahwa khusus untuk urusan pencegahan kecelakaan lalu
lintas melibatkan peranan kepolisian. Mengenai forum ini agar lebih jelas maka perlu dikaitkan dengan pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan yang menyatakan sebagai berikut:
162
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Waspin Simbolon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014
Universitas Sumatera Utara
1 Penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
7 ayat 1 dilakukan secara terkoordinasi. 2
Koordinasi penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana yang dimaksud dilakukan oleh forum lalu lintas dan angkutan jalan.
3 Forum lalu lintas dan angkutan jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi
penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan mnyelesaikan masalah lalu lintas dan angkutan jalan.
4 Keanggotaaan forum lalu lintas dan angkutan jalan ini terdiri atas unsur pembina,
penyelenggara, akademisi dan masyarakat. 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai forum lalu lintas dan nagkutan jalan diatur dengan peraturan pemerintah.
Dalam penjelsan pasal 13 ayat 2, yang dimaksud dengan forum adalah badan ad hoc yang berfungsi sebagai wahana untuk menyinergikan tugas okok dan fungsi setiap
instansi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan dalam rangka: a.
Menganalisis permasalahan; b.
Menjembantani, menemukan solusi, dan meningkatkan kualitas pelayanan; dan
c. Bukan sebagai aparat penegak hukum.
Setelah menelaah lebih lanjut, dalam isi pasal tersebut, di atas, pada pokoknya forum merupakan badan ad hoc. Artinya eksistensinya sementara. Kenyataan ini sedidkit
lontradiktif dengan penyelesaian masalah yang memerlkukan soslusi jangka panjang yakni pencegahan kecelakaan lalu lintas dengan dilakukan oleh forum. Artinya di sini,
penyusunan progrm pencegahan kecrlakaan lalu lintas menunggu terbentuknya forum. Hal ini dipahami bahwa masalah kecelakaan lalu lintas dewasa ini merupakan masalah
yang cukup serius mengingat korban dan kerugian yang ditimbulkannya . oleh karna itu,
Universitas Sumatera Utara
upaya pencegahan kecelakaan lalu lintas merupakan tanggung jawab penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan.
Ketentuan lebih lanjut ,mengenai forum di ataur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2011 tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 1 angka 1
disebutkan bahwa definisi forum adalah wahana koordinasi antaraisntansi penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam pasal 10 PP Nomor 37 tahun 2011 ini disebutkan
bahwa terdapat beberapa kriteria masalah yang memerlukan keterpaduan forum. Pasal 10
1 Dalam hal terjadi permasalahan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kompleks dan
memerlkukan keterpaduan dalam penyelesaiannya, dibahas dalam forum. 2
Kriteri permasalahan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang kompleks dan memerlukan keterpaduan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 meliputi:
a. Terganggunya Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berdampak negatif terhadap
sosial ekonomi; danatau b.
Penyelesaiannya memerlukan keserasian atau kesalingbergantungan kewenangan dan tanggung jawab antar instansi pembina.
Permasalahan mengenai kecelakaan lalu lintas menjadi tanggung jawab forum dalam menyelesaikannya dan membuat kebijakan yang diperlukan. Seperti yang telah diketahu
bahwa forum berfungsi untuk menemukan solusi maka sudah barang tentu pembahasan di dalam forum akan menghasilkan kesepakatan. Kesepakatan yang dihasilak oleh forum
ini harus dilaksanakan oleh penyelenggara karena setiap penyelenggara itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Forum terdiri dari forum nasional, forum provinsi dan
kabupatenkota.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pasal 21 ayat 1 PP Nomor 37 Tahun 2011 ini disebutkan bahwa forum diselenggarakan dalam rangka melakukan koordinasi antar instansi penyelenggara lalu
lintas dan angkutan jalan kabupatrnkota, keanggotaan forum terdiri atas: a.
Bupatiwalikota; b.
Kepala kepolisian resortresort Kota; c.
Badan Usaha Milik Negara danatau Badan Usaha Milik Daerah yang kegiatan usahanya di bidang lalu lintas dan angkutan jalan;
d. Asosiasi perusahaan angkutan umum di kabupatenkota;
e. Perwakilan perguruan tinggi;
f. Tenaga ahli di bidang lalu lintas dan angkutan jalan;
g. Lembaga swadaya masyarakat yang aktivitasnya di bidang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan; dan h.
Pemerhati lalu lintas dan angkutan jalan di kabupatenkota Adanya unsur akademisi dan masyarakat sebagai anggota forum telah diamanatkan
dalam pasal 13 undang-undang ini. Unsur akademisi diwakili oleh perguruan tinggi sedangkan unrur masyarakat diwakili oleh asosiasi perusahaan angkutan umum di
kabupatenkota, lembaga swadaya masyarakatyang aktivitasnya di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dan pemerhati lalu lintas dan angkutan jalan di kabupatenkota.
Dilihat dari sisi upaya non penal ini, berati perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk
mengefektifkan dan mengembangkan “extra legal system” atau “informal and tra ditiona l system
” yang ada dalam masyarakat. Mengingat begitu besarnnya peranan forum ini sebagai lembaga dalam pelaksanaan kebijakan non penal dalam kecelakaan
lalu lintas, sangat dibutuhkan peran serta dari seluruh pihak yang terlibat untuk mengupayakan upaya pencegahan secara maksimal.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan