Keaslian Penulisan Tidak Dapat Meringankan Pidana

kontribusi pemikiran dan koleksi karya ilmiah yang telah ada sebelumnya berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini. b. Manfaat Praktis. 1 Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan kepada penegak hukum yang menangani kasus kecelakaan lalu lintas, khususnya yang berhubungan dengan adanya perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. 2 Skripsi ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat agar memahami bagaimana pengaruh perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dalam putusan hakim.

E. Keaslian Penulisan

Setelah dilakukan penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum USU dan Kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ada satu pun karya ilmiah dengan judul “Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan.” Demikian pula dari segi permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini belum pernah diangkat oleh skripsi lain. Skripsi ini merupakan karya asli penulis sendiri yang mengumpulkan data dari literatur sebelumnya yang telah membahas tentang perdamaian dalam hukum pidana dan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas, seperti buku-buku yang ada di perpustakaan, skripsi maupun tesis yang sebelumnya telah membahas mengenai perdamaian dalam hukum pidana, serta media massa maupun media elektronik yaitu internet. Penulis tidak meniru karya orang lain sehingga dapat dikatakan bahwa penulisan skripsi ini asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Kajian Hukum Mengenai Perdamaian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas.

Universitas Sumatera Utara Perdamaian berasal dari kata “ damai” atau conciliation dalam bahasa Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perdamaian didefenisikan sebagai penghentian permusuhan perselisihan. 19 Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary: 20 Concilia tion is the a djustment a nd settlement of a dispute in friendly una nta gonistic ma nner used in courts before tria l with a few towa rds a voiding tria l a nd in la bour dispute before a rbitra tion . Sementara menurut Hans Kelsen, perdamaian merupakan suatu kondisi yang disitu tidak terdapat paksaan. Menurut pengertian ini, hukum hanya memberikan perdamaian relatif, bukan absolut. Karena hukum mencabut hak para individu utuk menggunakan paksaan tetapi menyerahkannya kepada masyarakat. Dengan kata lain, ketiadaan hukum, menurut pengertian yang ada di sini pada hakikatnya merupakan keadaan perdamaian. 21 Dari kedua pengertian di atas tentang rumusan pengertian perdamaian, pada intinya, perdamaian adalah satu sarana untuk menyelesaikan konflik secara kekeluargaan tanpa kekerasan. Perdamaian ini dapat dilakukan baik sebelum perkara di ajukan ke pengadilan sebelum sidang maupun saat perkara di pengadilan selama persidangan. Dalam perdamaian lebih mengutamakan suasana kekeluargaan di antara para pihak yang bersengketa sebab dalam perdamaian tidak ditonjolkan pihak yang bersalah atau yang benar namun akan dibahas duduk persoalan yang sebenarnya dan para pihak akan mengambil keputusan berdasarkan kesepakatan. Penyelesaian sengketa dengan perdamaian lazimnya ditempuh dalam lapangan Hukum Perdata dan Hukum Adat Hukum Pidana Adat.

a. Perdamaian dalam Hukum Perdata

19 Departement Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, Jakarta , 1994, halaman 207. 20 Black Law’s Dictionary, dalam Alef Musyahadah R. 2005, “ Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan .” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang. 21 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien dari General Theory of Law and State New York, Russel and Russel, 1971, Nusa media, Bandung, 2011. halaman 27. Universitas Sumatera Utara Dalam Hukum Perdata, itikad perdamaian tidak hanya datang dari para pihak yang bersengketa, namun hakim wajib mengupayakan perdamaian terhadap penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 130 ayat 1 HIR yang berbunyi : jika pada hari yang ditentukan kedua belah pihak datang maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka. Ketentuan mengenai perdamaian dalam hukum perdata dapat dilihat dalam pasal 1851 sampai dengan pasal 1864 KUHPerdata. Dalam pasal 1851, diatur tentang pengertian perdamaian dading yaitu : Suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara. Persetujuan ini tidaklah sah melainkan jika dibuat secara tertulis. Dari rumusan pasal tersebut diatas, terlihat beberapa syarat formal dari putusan perdamaian, yaitu : 22 1. Persetujuan dari kedua belah pihak. 2. Mengakhiri suatu sengketa 3. Perdamaian atas sengketa yang telah ada 4. Berbentuk tertulis Inisiatif untuk melakukan perdamaian harus datang dari inisiatif murni datang dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan atas kehendak sepihak ataupun atas kehendak hakim. Adapun sengketa yang dapat dituangkan dalam persetujuan perdamaian yakni: a. Sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan 22 Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata , Rineka Cipta, Jakarta, 1993.halaman 6. Universitas Sumatera Utara b. Sudah nyata berwujud sengketa perdata yang akan diajukan ke pengadilan, sehingga perdamaian hanya dibuat oleh para pihak mencegah terjadinya perkara di sidang pengadilan Suatu persetujuan perdamaian sah apabila dibuat secara tertulis. Syarat ini sifatnya imperatif. Berdasarkan tingkat cara pembuatan persetujuan perdamaian itu sendiri dibedakan: 23 a. Putusan perdamaian Apabila kedua belah pihak berdamai, kemudian meminta ke pihak pengadilan agar perdamaian itu dijadikan sebagai putusan pengadilan, maka bentu k persetujuan perdamaian ini disebut putusan perdamaian. b. Akta Perdamaian. Yakni suatu persetujuan perdamaian yang dibuat para pihak dan terdapat dalam persetujuan itu. Para pihak tidak meminta pengukuhan dari pengadilan. Dalam perkara perdata sudah ditentukan perkaraobjek yang dapat ataupun tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian. Perkara yang dapat diselesaikan secara damai seperti kepentingan-kepentingan keperdataan yang terbit dari suatu kejahatan pelanggaran pasal 1953. Perkara yang dilarang diselesaikan melalui perdamaian seperti dading tentang sah tidaknya suatu perkawinan, pengesahan anak, sahnya suatu pengakuan anak, hak untuk memilih atau dipilih menjadi anggota badan-badan perwakilan, boedel warisan pasal 1334 ayat 2, barang-barang yang berada di luar perdagangan buiten handel pasal 1332. 24 Kekuatan hukum perjanjian perdamaian sama dengan suatu hukum yang tetap in kracht van gewijsde artinya suatu perdamaian di muka sidang pengadilan negeri mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan 23 Ibid 24 Ibid. halaman 4. Universitas Sumatera Utara hakim pada tingkat akhir pasal 1858. 25 Meskipun demikian, perjanjian perdamaian dapat dibatalkan dalam hal: 26 a. Terjadi kekhilafan mengenai orangnya dan mengenai pokok yang diperselisihkan pasal 1859. b. Melanggar asas umum dalam perjanjian seperti penipuan, atau paksaan pasal 1320. c. Tentang surat palsu pasal 1861 d. Tidak diketahui oleh para pihak atau salah satu pihak, padahal sudah diakhiri dengan putusan hakim pasal 1862.

b. Perdamaian dalam Hukum Adat

Konsep penyelesaian perkara secara damai sudah lama dikenal dalam hukum adat Indonesia. Dalam hukum adat, termasuk didalamnya hukum pidana adat, penyelesaian sengketa dengan jalan damai yang sering ditempuh tidak dapat dipisahkan dari konsepsi masyarakat Indonesia yang memandang penyesalan dan reputasi buruk sebagai unsur esensial dalam pelanggaran adat. Dalam alam pikiran masyarakat tradisional Indonesia, yang bersifat kosmis, yang penting adalah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan evenwicht antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggun perimbangan tersebut, merupakan pelangaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan- tindakan yang perlu guna menimbulkan kembali perimbangan hukum. 27 Penyelesaian perkara secara musyawarah antara para pihak telah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Penyelesaian perkara secara adat melalui lembaga musyawarah lebih diarahkan kepada pemulihan dan keseimbangan tatanan yang terganggu karena adanya sengketa tersebut dan tidak bersifat penghukuman. Ketua adat dalam menyelesaikan 25 Ibid halaman 12. 26 Ibid halaman 14. 27 Soepomo. Bab-Bab Tentang Hukum Adat . Padnya Paramita, Jakarta, 1979, halaman 92-93. Universitas Sumatera Utara sengketa tidak untuk mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, melainkan lebih mengacu pada musyawarah mufakat dan damai. Sanksi adat reaksi adat yang dijatuhkan merupakan bentuk tindakan ataupun usaha-usaha untuk mmengembalikan ketidakseimbangan termasuk pula ketidakseimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat. Jadi sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitator untuk mengembalikan keseimbangan adat dunia lahir dengan dunia ghaib untuk merehabilitasi, bukan penciptaan derita. 28 Schepper memberikan ilustrasi reaksi adat dalam “ Indisch Tijdschriftvan het Recht ” No. T.129, muka 334, sebagai berikut: penyesalan, kerendahan hati, penghapusan fitnah , meminta maaf dengan pemberian sirih, perbaikan kerusakan disebabkan oleh seseorang yang dengan tangannya sendiri atau atas namanya , kompensasi dalam arti luas, pembayaran yang melebihi uang ganti kerugian denda menurut hukum pidana, mengurus kuburan orang terhormat yang terbunuh, tawaran berdamai sebagai suatu perbuatan pembersihan, berbagai macam hukuman yang bersifat mencemoohkan, pengusiran dan sebagainya. 29 Penyelesaian perkara secara damai sudah dikenal pada zaman Mataram II. Pada saat sultan Agung berkuasa, urusan peradilan dilaksanakan oleh penghulu agama atas nama raja yang didampingi oleh beberapa ulama sebagai majelis peradilan yang disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini dilaksanakan dengan dasar musyawarah dan mufakat collegiale rechtspraak. Hasil putusan musyawarah menjadi putusan terakhir oleh raja. 30 28 I Made Widnyana Suarda, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat , Eresco, Bandung, 1993, halaman. 8 29 Oemar Seno Aji, Hukum Hakim Pidana , Erlangga, Jakarta, 1980, halaman. 66 30 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia , CV. Mandar Maju, Bandung, 1992, halaman.61 Universitas Sumatera Utara Pada zaman tersebut, disamping adanya peradilan serambi, di daerah-daerah juga berlaku peradilan “padu”, yaitu penyelesaian perselisihan antara perorangan olehperadilan keluarga peradilan desa secara damai, dan apabila tidak dapat diatasi secara kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara damai di bawah pimpinan sseorang pejabat kerajaan yang disebut jaksa. 31 Kemudian pola-pola penyelesaian perkara tersebut tetap dikenal dalam hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman ini, dikenal Hakim perdamaian desa. Lembaga hakim perdamaian desa mendapat pengakuan secara hukum berdasarkan pasal 3a RO Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie RO Peraturan tentang Susunan Pengadilan dan Kebijakan Pengadilan, yaitu yang antara lain menyatakan bahwa hakim-hakim adat tidak boleh menjatuhkan hukuman ayat 3. Oleh karena itu tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman, ditempuhlah suatu usaha “perdamaian”. 32 dalam menegakkan hukum adat, lembaga perdamaian desa ini menjalankan peranan mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam pasal 3a Reglement Indonesia yang diperbaharui RIB. Kekuasaan hakim perdamaian desa itu tidak terbatas pada perdamaian saja, tetapi meliputi kekuasaan memutus semua sengketa dalam semua bidang hukum, tanpa membedakan antara pengertian pidana, perdata, publik maupun sipil. Kedudukan bidang kehakiman atau peradilan itu barulah memperoleh perubahan jika masyarakat hukum adat menundukkan dirinya kepada kekuasaan yang lebih tinggi yang membatasi mengenai hak-hak kehakiman itu. 33 Hazairin menulis tentang kedudukan hakim desa sekarang dan kemudian hari. Dalam Undang-Undang Darurat No. 1 PS 51, LN 9 1951 pasal 1 ayat 3, tetap 31 Ibid 32 Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Hakim Perdamaian Desa dalam Menyelesaikan Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1 Juli 1997, halaman 6 33 Buhsar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat , Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, halaman73-74. Universitas Sumatera Utara mengakui kekuasaan dorps justitiehakim-hakim peradilan dalam masyarakat hukum adat sebagai yang dimaksud dalam RO pasal 3. Hakim-hakim tersebut disamakan dengan hakim perdamaian desa, ialah suatu lembaga desa yang kehadirannya dalam masyarakat hukum adat merupakan suatu condition sine qua non sebagai alat pelengkap kekuasaan desa selama itu mampu mempertahankan wajah aslinya dan sifat-sifat keistimewaannya sebagai kesatuan politik, sosial, ekonomi yang dapat berdiri sendiri. 34 Namun dewasa ini, hakim perdamaian desa mengalami banyak hambatan dalam menegakkan hukum dan mendamaikan para pihak sehingga timbul kesan seolah-olah tidak berdaya menghadapi situasi konflik di pedesaan saat ini. Di beberapa tempat, perdamaian desa tidakk berfungsi lagi, namun di beberapa tempat lainnya masih berfungsi seperti biasanya. Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai tetap bertahan di dalam masyarakat hukum adat Indonesia saat ini. Dalam masyarakat Batak, misalnya, masih mengandalkan forum runggun adat yang pada intinya adalah penyelesaian perkara secara musyawarah perdamaian dan kekeluargaan. Dalam masyarakat Minang Kabau juga, dikenal adanya lembaga hakim perdamaian Minang Kabau, yang secara umum bertindak sebagai mediator dan konsiliator. 35

c. Perdamaian Dalam Perkara Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, mempunyai arti kemalangan atau kesusahan. Sedangkan kata lalu lintas mempunyai arti yang sangat luas, di mana di dalamnya meliputi pengertian lalu lintas jalan; di udara, di air yang terdiri lagi di laut, pantai, sungai; serta lalu lintas di atas rel. 36 Namun kecelakaan lalu lintas yang dimaksud dalam penelitian ini hany terbatas pada lalu lintas yang terjadi di jalan. 34 I bid . 35 Nirnianingsih Amriani, Mediasi Alternatiff Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan , Rajawali Press, Jakart, 2012, halaman 115 36 Marianna Sutadi, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung RI, 1992, halaman. 1 Universitas Sumatera Utara Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia danatau kerugian harta benda. 37 Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas : 38 1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan Kecelakaan Lalu Lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan danatau barang 2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang; Kecelakaan Lalu lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang. 3. Kecelakaan Lalu Lintas berat; Kecelakaan lalu lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat. Pendapat lain mengatakan bahwa kategori kecelakaan lalu lintas dibedakan berdasarkan jenisnya, tingkat parah korban, faktor penyebab yang berkontribusi, keadaan lingkungan dan waktu. 39 Konsep perdamaian sudah sering dilaksanakan dalam hukum perdata dan juga hukum adat. Dalam hukum pidana, konsep perdamaian belum dikenal. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengikutsertakan negara dalam setiap penyelesaian perkara pidana. 37 Pasal 1 angka 24 , Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 38 Pasal 229 Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 39 Leksmono Suryo Putranto, Rekayasa Lalu Lintas. Cetakan Pertama, PT Mancanan Jaya Cemerlang: Jakarta, 2008, halaman 135 Universitas Sumatera Utara Demikian juga dengan penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas sebagai bagian dari hukum pidana tidak mengenai perdamaian sebagai jalan terakhir dalam menyelesaikan perkara tersebut. Kecelakaan ringan,sedang maupun berat tidak dapat diselesaikan melalui perdamaian saja. Penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas tidak dikenal dalam hukum pidana. Walaupun perdamaian dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas belum diakomodir dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pidana, namun perdamaian tersebut sudah sering dilakukan oleh masyarakat. Bentuk perdamaian tersebut umumnya dilakukan dengan adanya penggantian ganti kerugian, biaya perobatanperawatan, biaya duka cita maupun biaya pemakaman yang diberikan oleh pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas kepada pihak korban. Perdamaian tersebut biasanya dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan pihak korban. Setelah tercapai kesepakatan, pihak korban biasanya memberikan pemaafan dan dengan tulus ikhlas menerima ganti kerugian yang telah disepakati tersebut.

2. Kajian Hukum Mengenai Korban Dalam Kecelakaan Lalu Lintas a. Pengertian Korban

Keberadaan korban dalam kecelakaan lalu lintas sebagai pihak yang terkena penderitaan atas suatu perbuatan tidak dapat dipisahkan dalam suatu tindak pidana. Yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Mereka di sini dapat berarti individu atau kelompok baik swasta maupun pemerintah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan korban adalah Universitas Sumatera Utara seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental danatau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 40 . Berhubung masalah korban pada umumnya adalah masalah manusia, maka sudahlah wajar apabila tetap berpegangan pada pandangan yang tepat mengenai manusia serta eksistensinya. Dengan pandangan pengertian yang tepat mengenai manusia, maka dimungkinkan sikap dan tindakan yang tepat menghadapi manusia yang ikut serta dalam terjadinya lahirnya si pembuat korban tindak pidana dan si korban dan menentukan tanggung jawabnya masing-masing. Penderitaan si korban adalah hasil interaksi antara si pembuat korban dan si korban, saksi bila ada, badan-badan penegak hukum dan anggota masyarakat lainnya. 41 Menurut Muladi, korban victims adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian,termasuk kerugian fisik atau mental, emosi atau ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak -haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing- masing negara, termasuk penyalahgunaanh kekuasaan. 42 Schafer dalam teorinya tentang Crimina l Victims Rela tionship , mengemukakan bahwa suatu kejahatan terjadi karena antar hubungan korban dan pembuat kejahatan. 43 Dalam Black’s Law Dictionary, korban victims adalah: “The Person who is the object of the crime or tort as the victim of a robbery is the person robbed .” 40 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban 41 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan , Penerbit Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009. halaman 335- 336 42 Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Rajawali Press, Jakarta, 2008, halaman. 47. 43 Alef Musyahadah R. 2005, “ Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan .” Tesis, Universitas Dipinegoro, Semarang. Universitas Sumatera Utara Korban juga didefinisikan oleh Van Boven yang merujuk pada deklarasi prinsip- prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan sebagai berikut : 44 Orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan by a ct maupun kelalaian by omission. Dari pengertian di atas, tampak bahwa makna dari korban tidak hanya mengacu pada individu atau perseorangan saja, melainkan juga mencakup korban yang bukan perorangan kelompok dan masyarakat. Yang dimaksud dengan korban perseorangan ialah korban yang hanya terdiri dari satu orang saja, sedangkan yang dimaksud dengan korban yang bukan perorangan, misalnya suatu badan, organisasi atau lembaga. Menurut “ The Declaration of Basic Principles of Justice For Victims Of Crime And Abuse Of Power ”, Perserikatan Bangsa-Bangsa 1985, yang dimaksud dengan korban victims adalah orang-orang yang secara Individual atau kolektif mengalami penderitaan meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran- pembiaran omissions yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. 45 Pengertian korban yang bisa diartikan secara luas adalah yang didefinisikan oleh South Carolina Governor’s Office of Executif Policy and Programs, Columbia, yaitu : 46 “Victims means a person who suffers direct or threatened physical, psychological, or fina ncia l ha rm a s the result of crime a ga inst him. Victim a lso includes the 44 Rena Yulia. Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Cetakan Pertama.Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, halaman 49. 45 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan , Penerbit Universitas Trisaksi, Jakarta, 2009. halaman 335-336. 46 Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, Dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana , Refika Aditama, Bandung,2007, halaman 78 Universitas Sumatera Utara person is decea sed, a minor, incompetent wa s a homicide victim a ndor is physically or psychologically incapacitated.” Pengertian di atas, apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka akan memberikan pengertian mengenai korban secara luas. Menurut pengertian tersebut, pengertian korban bukan hanya merujuk pada korban yang menderita secara langsung, akan tetapi korban tidak langsungpun juga mengalami penderitaan yang dapat diklasifikasikan sebagai korban.. Demikian juga halnya dalam perkara kecelakaan lalu lintas, yang menjadi korban bukan hanya pihak-pihak yang secara langsung terkena dampak kecelakaan lalu lintas, tetapi juga pihak yang secara tidak langsung juga terkena dampak kecelakaan lalu lintas, misalnya keluarga korban dan juga masyarakat. Yang dimaksud korban tidak langsung di sini seperti istri yang kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anaknya, dan sebagainya. Dalam perkara kecelakaan lalu lintas, korban merupakan pihak yang paling menderita akibat kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Kerugian akibat kecelakaan lalu lintas tersebut berupa kerusakan kendaraanbarang, luka berat, luka ringan maupun meninggal dunia.

b. Tipologi Korban

Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu : 47 a. Nonparticipating victims, adalah mereka yang menyangkalmenolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan. b. Latent or predisposed victims, adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu. c. Provocatif victims, adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan. d. Participating victims, adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban. e. False victims, adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri. 47 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Viktimologi , Djambatan, Jakarta, 2007, halaman 124 Universitas Sumatera Utara Hans von Hentig dalam Schafer, melakukan tipologi atau pengelompokan korban atas dasar faktor psikologi sosial dan biologis dalam 13 kategori yaitu: 48 1. the young; 2. the female; 3. the old; 4. the mentally devectif and other mentally deranged; 5. immigrants; 6. minorities; 7. dull normals; 8. depressed; 9. the acquisitif; 10. the wanthom; 11. the lonesome and the heartbroken; 12. tormentors; 13. the blocked, exempted, and fighting;

c. Hak dan Kewajiban Korban

Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian dalam terjadinya suatu tindak pidana atau kejahatan, korban tentunya memiliki hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut diantaranya termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyatakan bahwa korban berhak untuk : 49 a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanannya; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat penerjemah; e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. Mendapat identitas baru; j. Mendapatkan tempat kediaman baru; k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapat nasihat; danatau m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. 48 Ibid 49 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Universitas Sumatera Utara Sementara menurut Arif Gosita, hak korban terdiri atas : 50 1. mendapat pelayanan bantuan, restitusi dan kompensasi; 2. menolak mendapat pelayanan demi kepentingan pelaku; 3. mendapat pelayanan untuk ahli warisnya; 4. mendapat kembali hak milik; 5. menolak menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya; 6. mendapat perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila melapor dan menjadi saksi; 7. mendapat informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya; 8. dapat melangsungkan pekerjaannya; 9. mendapat pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan, selama persidangan dan setelah persidangan; 10. mendapat bantuan penasihat hukum; 11. menggunakan upaya hukum. Adapun kewajiban korban antara lain: 51 1. tidak melakukan tindakan-tindakan pembalasan, main hakim sendiri yang membuat pelaku menderita mental, fisik, sosial; 2. berpartisipasi dengan masyarakat mencegah adanya korban lebih lanjut; 3. berpartisipasi dengan masyarakat membina pelaku; 4. bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi; 5. tidak menuntut ganti kerugian di luar kemampuan pelaku; 6. memberi kesempatan kepada pelaku untuk mengganti kerugian sesuai dengan kemampuannya mencicil bertahap member imbalan jasa; 7. menjadi saksi apabila tidak membahayakan dirinya dan ada perliindungan keamanan untuk dirinya. Situasi dan kondisi pihak korban dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan suatu kejahatan terhadap pihak korban. Dengan kata lain tanpa korban tidak akan terjadi suatu kejahatan. Jadi jelaslah bahwa pihak korban adalah sebagai partisipan utama yang memainkan peranan penting, bahkan setelah kejahatan dilaksanakan dalam masalah penyelesaian konflik dan penentuan hukuman para pelaku dapat juga terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh pihak korban apabila dirasakan ada tindak lanjut yang tidak adil dan merugikan pihak korban. Yang menjadi pertimbangan-pertimbangan penentuan hak dan kewajiban pihak korban adalah taraf keterlibatan dan tanggung jawab fungsional pihak korban dalam tindak pidana itu. Demi keadilan dan kepastian hukum, 50 Arif Gosita Op. Cit, halaman. 260 51 Ibid halaman. 261 Universitas Sumatera Utara perumusan mengenai hak dan kewajiban dalam suatu peraturan atau undang-undang harus dipertanggungjawabkan secara yuridis ilmiah. 52 Walaupun korban berperan dalam terjadinya kejahatan, tetapi korban juga tetap memiliki hak-hak yang harus dipenuhi dalam implementasinya. Dengan melihat beberapa hak dan kewajiban korban yang telah Penulis paparkan di atas, diharapkan masyarakat dapat memahami bahwa korban juga memiliki hak-hak yang harus dihormati seperti layaknya manusia yang merupakan bagian dari anggota masyarakat. Begitu juga dengan pelaku tindak pidana yang tidak jarang menjadi korban main hakim sendiri, adalah sama dengan korban yang lain, mereka juga memiliki hak -hak korban yang dimiliki oleh korban kejahatan lain karena mereka juga merupakan korban kejahatan.

3. Kajian Hukum Mengenai Pelaku Tindak Pidana Dalam Kecelakaan Lalu Lintas

Stra fba a r feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. 53 Menurut Pompe, sebagaimana yang dikemukakan oleh Bambang Poernomo, pengertian strafbaar feit dibedakan menjadi : 54 a. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan 52 Antonio S. Padaga. Tinjauan Sosio Yuridis Terhadap Restitusi Bagi Korban Kecelakaan Lalu Lintas Di Kota Makassar , Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2012, halaman 20. 53 Adami Chadawi, Pengantar Hukum Pidana Bagian I , Grafindo, Jakarta, 2002, halaman. 69 54 Bambang Poernomo , Asas-Asas Hukum Pidana , Ghalia Indonesia, Jakarta, 1991, halaman 91. Universitas Sumatera Utara diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum ; b. Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadiaan feit yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Sejalan dengan definisi atau pengertian menurut teori dan hukum positif di atas, J.E Jonkers juga telah memberikan defenisi strafbaar feit menjadi dua pengertiaan, sebagaimana yang dikemukakan Bambang Pornomo yaitu : 55 a. Definisi pendek memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kejadian feit yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang. b. Definisi panjang atau lebih dalam memberikan pengertian “strafbaar feit” adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapt dipertanggungjawabkan. Menurut definisi pendek pada hakekatnya menyatakan bahwa pastilah untuk setiap delik yang dapat dipidana harus berdasarkan Undang-Undang yang dibuat oleh pembentuk Undang-Undang, dan pendapat umum tidak dapat menentukan lain daripada apa yang telah ditetapkan dalam Undang-undang. Definisi yang panjang lebih menitikberatkan kepada sifat melawan hukum dan pertanggung jawaban yang merupakan unsur-unsur yang telah dirumuskan secara tegas didalam setiap delik, atau unsur yang tersembunyi secara diam-diam dianggap ada. Sementara, secara singkat, pelaku tindak pidana merupakan orang yang melakukan tindak pidana. Pelaku tindak pidana Dader menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam undang-undang menurut KUHP. 55 Ibid Universitas Sumatera Utara Seperti yang terdapat dalam pasal 55 1 KUHP yang berbunyi: 1 Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. Sebagaimana diatur dalam pasal 55 KUHP 1 di atas, bahwa pelaku tindak pidana itu dapat dibagi dalam 4 empat golongan: 56 a. Orang yang melakukan sendiri tindak pidana pleger. Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan plegerpembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah dengan 2 kriteria: 1. perbuatannya adalah perbuatan yang menetukan terwujudnya tindak pidana, 2. perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana. b. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana doen pleger Undang-undang tidak menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan yang menyuruh melakukan itu. Untuk mencari pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan sebagai orang yang melakukan doen pleger, pada umumnya para ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda, yang berbunyi bahwa “yang menyuruh melakukan adalah dia juga yang melakukan tindak pidana, tapi tida k seca ra priba di, mela inka n dengan peranta ra orang la in sebaga i a la t di da la m 56 Adami Chadawi, Percobaan dan Penyertaan Pelajaran Hukum Pidana , Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 86-87 Universitas Sumatera Utara ta nga nnya a pa bila orang la in itu mela kukan perbua tan ta npa kesenga ja a n, kea lpaa n a ta u ta npa tanggungja wa b, ka rena sesua tu ha l yang tida k diketahui, disesa tka n a ta u tunduk pada kekerasan”. a. Orang lain sebagai alat di dalam tangannya Yang dimaksud dengan orang lain sebagai alat di dalam tangannya adalah apabila orangpelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan tindak pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif. Dalam doktrin hukum pidana orang yang diperalat disebut sebagai manus ministra sedangkan orang yang memperalat disebut sebagai manus domina juga disebut sebagai middelijke dader pembuat tidak langsung. Ada tiga konsekuensi logis, terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan cara memperlalat orang lain:  Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pembuat penyuruh, tetapi leh perbuatan orang lain manus ministra;  Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatannya yang pada kenyataannya telah melahirkan tindak pidana;  Manus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah pembuatan penyuruh. b. Tanpa kesengajaan atau kealpaan Yang dimaksud dengan tanpa kesengajaan atau tanpa kealpaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh manus ministra tidak dilandasi oleh kesengajaan untuk mewujudkan tindak pidana, juga terjadinya tindak pidana bukan karena adanya kealpaan, karena sesungguhnya inisiatif perbuatan datang dari pembuat penyuruh, demikian juga niat untuk mewujudkan tindak pidana itu hanya berada pada pembuat penyuruh doen pleger. Universitas Sumatera Utara c. Karena tersesatkan Yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabaklan oleh pengaruh dari orang lain dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas kesalahpahaman itu maka memutuskan kehendak untuk berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain itu timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan pembuat penyuruh sendiri. d. Karena kekerasan Yang dimaksud dengan kekerasan geweld di sini adalah perbuatan yang dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu tidak berdaya. Dari apa yang telah diterangkan di atas maka jelaslah bahwa orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana. Di dalam hukum orang yang disuruh melakukan ini dikategorikan sebgai manus ministra, sementara orang menyuruh melakukan dikategorikan manus dominan.

e. Orang yang turut melakukan tindak pidana mede pleger

KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana haru memenuhi dua syarat ; 1. harus adanya kerjasama secara fisik. 2. harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana Yang dimaksud dengan turut serta melakukan medepleger, oleh MvT dijelaskan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat meedoet dalam melakukan suatu tindak pidana. Penelasan MvT ini, merupakan penjelasan yang singkat yang masih membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Universitas Sumatera Utara Dari berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk menentukan pembuat peserta medepleger, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk menentukan seseorang sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana pleger untuk mewujudkan tindak pidana tersebut. Perbuatan pembuat peserta tidak perlu memenuhi seluruh unsur tindak pidana, asalkan perbuatannya memiliki andil terhadap terwuudnya tindak pidana tersebut, serta di dalam diri pembuat peserta telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan tindak pidana. f. Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana uit lokken Syarat-syarat uit lokken : 1. harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana; 2. harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana; 3. cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang tersebut didalam pasal 551 sub 2e pemberian,perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya; 4. orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai dengan keinginan orang yang menggerakan. Dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas, pada umumnya yang menjadi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas adalah pengemudi. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. Sementara kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel. 57 Jadi, berdasarkan 57 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 1 angka 8 Universitas Sumatera Utara pengertian ini, pengendara kendaraan tidak bermotor seperti pengendara delman tidak dapat disebut sebagia pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas.

4. Kajian Hukum Mengenai Sistem Pemidanaan

Menurut L.H.C. Hulsman, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa sistem pemidanaan the sentencing system adalah aturan perundang- undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan the statutory rules rela ting to pena l sa nctions a nd punishment . 58 Menurut Barda Nawawi Arief: Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas, sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaaan mencakup semua peraturan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi hukum pidana. Ini berarti semua peraturan perundang- undangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal dan hukum pidana pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. 59 Sistem pemidanaan terdiri atas sub sistem pemidanaan. Beberapa hal yang dapat dimasukkan dalam sub sistem pemidanaan antara lain masalah jumlah atau lamanya masa ancaman pidana, pemberatan dan peringanan pidana, perumusan dan penerapan pidana. Berkaitan dengan perumusan diatas, sistem pemidanaan yang dimaksud dalam hal ini adalah proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim yang hanya berkaitan dengan hukum pidana substantif saja.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi penelitian.

Penelitian merupakan usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna 58 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, halaman 129 59 Ibid Universitas Sumatera Utara terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya. 60 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika,dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisnya kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atau permasalahan- permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. 61 Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian deskriptif Deskriptif research yaitu penelitian yang bersifat menemukan fakta-fakta seadanya fact finding. 62 Penemuan gejala- gejala ini tidak sekedar menunjukkan distribusinya tetapi termasuk usaha mengemukakan hubungan satu sama lain dalam aspek-aspek yang sedang diteliti. Hubungan-hubungan yang dimaksud adalah berkaitan dengan eksistensi perdamaian antara kobran dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan di Pengadilan Negeri Medan.

2. Metode Pendekatan

Dalam melakukan langkah-langkah penelitian deskriptif tersebut perlu diterapkan pendekatan masalah sehingga masalah yang akan dikaji menjadi lebih jelas dan tegas. Pendekatan masalah tersebut dilakukan melalui cara yuridis normatif dan yuridis empiris.

a. Pendekatan yuridis normatif adalah membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam

ilmu hukum. 63 Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian 60 Joko P. Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, halaman 2. 61 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum , Jakarta : Raja Grafindo Persada, 20, halaman 38. 62 Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, Bandung : Tarsito,197, halaman 132. 63 H. Zainuddin Ali, Op.Cit, halaman 24. Universitas Sumatera Utara yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai pengaturan kecelakaan lalu lintas jika terjadi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan yang berhubungan dengan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas. Melalui pendekatan yuridis normatif ini diharapkan dapat mengetaui suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya KUHP, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, RUU KUHP 2013 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. b. Pendekatan empiris adalah penelitian terhadap identifikasi hukum hukum tidak tertulis dan penelitian terhadap efektivitas hukum. 64 Pendekatan hukum empiris sering juga disebut sebagai pendekatan hukum sosiologis. Pendekatan empiris, dilakukan dengan cara berhadapan dengan warga masyarakat yang dalam hal ini dilakukan terhadap hakim-hakim yang menjadi objek penelitian untuk mengetahui efektivitas hukum yang berlaku dalam sistem pemidanaan. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan studi lapangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Medan. 3. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel Penelitian ini dilakukan di Kota Medan, dan objek penelitian ini adalah pada Pengadilan Negeri Medan, dengan pertimbangan bahwa lembaga ini memenuhi kriteria untuk mendapatkan gambaran tentang eksistensi perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam sistem pemidanaan. 64 Ibid, halaman 30. Universitas Sumatera Utara Adapun populasi merupakan keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama. Populasi atau universe adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. 65 Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh putusan hakim di bidang kecelakaan lalu lintas yang mengandung perdamaian antara korban dan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dan seluruh hakim Pengadilan Negeri Medan. Sementara sampel merupakan himpunan bagian atas sebagian populasi. Penentuan secara tepat untuk populasi dan sampel dalam suatu penelitian hukum adalah sangat penting untuk menentukan apakah penelitian yang akan dilakukan itu terhadap semua populasi atau hanya sampel saja. Penarikan sampel yang digunakan adalah Simple Ra ndom Sa mpling, yaitu intinya bahwa setiap orang atau unit dalam populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih dalam sampel. 66 Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah putusan hakim dalam perkara kecelakaan lalu lintas yang mengandung perdamaian tahun 2009-2014 dan 3 tiga orang hakim yang menangani perkara kecelakaan lalu lintas yang mengandung perdamaian.

4. Sumber Data.

Berdasarkan sudut pandang penelitian hukum, peneliti pada umumnya mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui wawancara danatau survey di lapangan yang berkaitan dengan perilaku masyarakat. data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan pustaka. 67 Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam hal ini adalah hakim. Data sekunder diperoleh dengan melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer, 65 Ibid, halaman 91 66 Ibid, halaman 29. 67 Zainuddin Ali, Op.Cit, halaman 23. Universitas Sumatera Utara yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat khususnya KUHP, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer, misalnya : buku-buku tentang hukum, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar hukum, artikel, surat kabar, dan media massa lainnya, serta berbagai berita yang diperoleh dari internet. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus hukum, ensiklopedia, dan sebagainya.

5. Alat Pengumpulan data

Ada 3 tiga alat pengumpulan data yang lazim digunakan yakni studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara interview. 68 Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan dua cara yaitu studi kepustakaan dan wawancara. a. Studi Kepustakaan Library Research Studi dokumen ini merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum baik normatif maupun sosiologis. Hal ini dikarenakan penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahan-bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 69 1 Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan mengikat, baik peraturan yang ada dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah KUHP, 68 Ibid, halaman 21. 69 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2004, halaman 68. Universitas Sumatera Utara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan-peraturan yang lain yang berkaitan dengan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas. 2 Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah, hasil penelitian, makalah dalam seminar dan jurnal yang berkaitan dengan penelitian. 3 Bahan hukum tertier Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa indonesia, kamus bahasa inggris, artikel-artikel atau laporan dari media massa surat kabar, jurnal hukum, majalah dan lain sebagainya. b. Wawancara Studi lapangan yang dilakukan dalam skripsi ini berupa wawancara. Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka face to face, ketika seseorang, yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada seseorang responden dimana pertanyaan itu dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian. 70 Tipe wawancara yang dilakukan dalam penulisan ini melalui wawancara berencana sta nda rdized interview yaitu suatu wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya. Pedoman wawancara digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang mengetahui tentang eksistensi perdamaian antara korban dengan 70 Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penelitian Behavourial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1991, halaman 770. Universitas Sumatera Utara pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan yang dilakukan kepada hakim-hakim di Pengadilan Negeri Medan.

6. Analisis Data

Terhadap suatu penelitian sangat diperlukan suatu analis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan pekerjaan seorang peneliti yang memerlukan ketelitian dan pencurahan daya pikir secara optimal dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji. 71 Pengolahan data adalah kegiatan merapikan hasilpengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis. 72 Hasil analisis ini diharapkan dapat digunakan nuntuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam skirpsi ini dan akhirnya dapat digunakan untuk menarik kesimpulan serta memberikan saran seperlunya. Penulisan skripsi ini analis data yang dilakukan adalah menggunakan metode analis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan secara lengkap kualitas dari data -data yang telah dikumpulkan dan telah diolah, selanjutnya dibuat kesimpulan. Data yang telah diperoleh melalui studi lapangan wawancara dan studi pustaka dikualifikasikan dan diurutkan ke dalam pola, kategori dan suatu uraian dasar. Keseluruhan data akan diuraikan secara deskriptif yang kemudian akan dianalisa secara kualitatif. Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan, bahwa apa yang dimaksudkan dengan metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh respondeninforman secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Metode kualitatif tidak hanya bertujuan mengungkapkan kebenaran, tetapi juga untuk memahami kebenaran tersebut dan latar belakang terjadinya suatu peristiwa. 71 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum , Raja Grafindo, Jakarta, 2002, halaman 7 72 Bambang Waluyo , Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, halaman 72 Universitas Sumatera Utara Dengan menggambarkan suatu gejala di masyarakat melalui pengamatan yang dilakukan untuk menentukan isi dan makna aturan hukum yang dijadikan pedoman dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian. Universitas Sumatera Utara 40

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG KECELAKAAN LALU LINTAS

JIKA TERJADI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN Sebagai konsekuensi peningkatan jumlah kendaraan dan tingginya mobilitas masyarakat, angka kecelakaan lalu lintas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Kecelakaan lalu lintas darat tersebut mengakibatkan korban dari kecelakaan lalu lintas tersebut tidak sedikit, baik korban yang menderita luka ringan, luka berat sampai mengakibatkan korban meninggal dunia serta kerugian-kerugian lain yang timbul karena kerusakan kendaraan akibat kecelakaan lalu lintas. Pelanggaran terhadap ketentuan pidana tentang lalu lintas dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian. Kecelakaan yang ditimbulkan tersebut bukan hanya berupa tabrakan, baik antar sesama kendaraan bermotor maupun antara kendaraan bermotor dengan pemakai jalan lainnya, tetapi dapat pula berupa kecelakaann lainnya seperti jatuhnya penumpang dari bus kota ataupun jatuhnya kendaraan umum antar kota ke dalam jurang. Dalam kecelakaan semacam itu, pada umumnya orang akan mempermasalahkan mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada si pelaku yang bersalah dalam kecelakaan itu. 73 Akibat hukum terjadinya kecelakaan lalu lintas menimbulkan adanya tuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Pengaturan hukum mengenai kecelakaan lalu lintas diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dalam KUHP maupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 73 Marianna Sutadi, Op. cit halaman 2 Universitas Sumatera Utara

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP 1. Pengaturan Kecelakaan Lalu Lintas dalam KUHP

Induk peraturan hukum pidana positif Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP. KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederla ndsch Indie WvSNI yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit Titah Raja Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan copy dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi penyesuaian bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia. Jika diruntut lebih jauh, sistematika KUHP WvS terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya adalah sebagai berikut: a. Buku Kesatu tentang Aturan Umum yang terdiri dari 9 bab 103 pasal Pasal 1-103. b. Buku Kedua tentang Kejahatan yang terdiri dari 31 bab 385 pasal Pasal 104 s.d. 488. c. Buku Ketiga tentang Pelanggaran yang terdiri dari 9 bab 81 pasal Pasal 489- 569. Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I sampai Bab VIII berlaku bagi Buku Kedua Kejahatan, Buku Ketiga Pelanggaran, dan aturan hukum pidana di luar KUHP kecuali aturan di luar KUHP tersebut menentukan lain Pasal 103 KUHP. 74 Tindak Pidana Kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari kejahatan, yakni yang diatur dalam Buku II KUHP Bab XXI yang mengatur mengenai tindak pidana yang menyebabkan seseorang mati atau luka karena salahnya. Memang dalam bab tersebut, 74 Ahmad Bahiej, Sejarah Pembentukan Kuhp, Sistematika Kuhp, Dan Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Hand Out Mata Kuliah Hukum Pidana. Http: Hynatha30.Files.Wordpress.Com200910Sejarah-Hpi.Pdf. Diakses Tanggal 8 Mei 2014. Universitas Sumatera Utara secara khusus dalam pasal-pasalnya tidak secara tegas mengatur tentang tindak pidana lalu lintas, tetapi karena pada umumnya kecelakaan lalu lintas disebabkan karena adanya kekurang hati-hatian dari si pengemudi atau kelalaian dari pengemudi, maka untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku kecelakaan lalu lintas, sering menggunakan ketentuan pasal-pasal dalam bab XXI ini. Dalam praktek tampak, apabila seorang pengemudi kendaraan bermotor menabrak orang yang mengakibatkan korbannya meninggal, banyak orang mengetahui kecelakaan tersebut maka banyak orang mengeroyok sipelaku, sehingga babak belur, maka timbul adanya beberapa “culpa delicten”, yaitu tindak pidana yang berunsur culpa atau kurang berhati-hati, tetapi dalam kenyataannya hukuman yang dijatuhkan kepada sipelaku tidak seberat seperti hukuman terhadap “doleuze delicten’, yaitu tindak pidana yang berunsur kesengajaan. Pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam KUHP diatur dalam beberapa pasal antara lain: Pasal 359 berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama- lamanya satu tahun”. 75 Adapun unsur-unsur dari Pasal 359 ini adalah: 1. Barang Siapa Bahwa pengertian “ barangsiapa “ ialah setiap orang atau siapa saja sebagai subjek hukum yang dari padanya dapat dimintakan pertanggung-jawaban atas perbuatannya. 2. Adanya kesalahan atau kelalaian. Kesalahan merupakan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan. Dalam undang-undang ini dapat dilihat dalam kesengajaan dan kealpaan. 75 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Politeie, Bogor, 1991, hal.148 Universitas Sumatera Utara Ada 2 dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau yang membayangkan. Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Menurut teori pengetahuan atau membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah sengaja apabila akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang yang terlebih dahulu telah dibuat. Dalam hukum pidana, kesengajaan ada 3 bentuk yaitu; 1. sengaja sebagai maksud opzet a ls oogemerk 2. segaja sebagai kepastian opzet bij zekerheids 3. sengaja sebagai kemungkinan opzet bij mogelijkheids Sementara kealpaan adalah bahwa si pelaku tidak bermaksud melanggar undang- undang, akan tetapi ia tidak mengindahkan undang-undang itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Selanjutnya dengan menutip pernyataan Van Hammel, Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yakni tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana yang diharuskan oleh hukum. 76 Berbuat salah karena kelalaian disebabkan karena tidak menggunakan kemampuan yang dimilikinya ketika kemampuan itu seharusnya ia gunakan, kurang cermat berpikir, kurang pengetahuan bertindak kurang terarah dan tidak menduga secara nyata akibat fatal dari tindakan yang dilakukan. 76 Syarif, Pertanggungjawa banPidana .2012,http:syarifblackdolphin.wordpress.com20120111pertan ggungjawaban-pidana. Diakses tanggal 8 Mei 2014. Universitas Sumatera Utara 3. Menyebabkan matinya orang lain Hal ini harus dipengaruhi oleh 3 syarat: 1. adanya wujud dari perbuatan. 2. adanya akibat berupa matinya orang lain 3. adanya hubungan klausula antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain. Matinya orang dalam pasal ini tidak dimaksudkan sama sekali oleh terdakwa, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang berhati-hati atau lalainya terdakwa culpa , misalnya seorang supir yang menjalankan kendaraannya terlalu kencang sehingga menubruk orang sampai mati atau seseorang yang berburu melihat sosok hitam dalam tumbuh-tumbuhan, dikira babi rusaa terus ditembak mati, tetapi ternyata sosok yang dikira babi tersebut adalah manausia, atau orang main-main dengan senjata api, karena kurang hati-hati, meletus dan mengenai orang lain sehingga mati dan sebagainya. Apabila orang yang mati tersebut dimaksud oleh terdakwa maka ia dikenakan pasal tentang pembunuhan pasal 338 atau 340. Jadi dalam pasal 359 ini, pelaku tidak dikenakan pasal tentang pembunuhan pasal 338 atau 340 KUHP. Pasal ini menjelaskan bahwa kematian orang lain adalah akibat dari kelalaian si pembuat dengan tidak menyebutkan perbuatan sipembuat tetapi kesalahannya. Karena salahnya dalam hal ini berarti kurang hati-hati, lalai, lupa maupun amat kurang perhatian. 77 Adapun sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana dalam pasal ini adalah pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun. Selanjutnya dalam pasal 360 KUHP , dinyatakan bahwa : 77 R. Soesilo, Op. Cit. Universitas Sumatera Utara 1 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukum penjara selama-lamnya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamnya satu tahun. 2 Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4500,- 78 Isi pasal ini hampir sama dengan pasal 359, bedanya hanya bahwa akibat dari pasal 359 adalah matinya orang, sementara dalam pasal 360 adalah : 79 a. Luka berat. Dalam pasal 90 KUHP, yang dimaksud dengan luka berat adalah penyakit atau luka yang tak boleh diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang mendatangkan bahaya maut terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan, tidak lagi memakai salah satu panca indra, kudung romping, lumpuh, berubah pikiran atau akal lebih dari 4 empat minggu lamanya, menggugurkan atau membunuh anak dari kandungan ibu. b. Luka yang menyebabkan jatuh sakit atau terhalang pekerjaan sehari-hari. Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku yang melanggar ketentuan pasal 360 ayat 1 tersebut adalah pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Sementara sanksi pada pasal 360 ayat 2 adalah pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,- Selanjutnya, pasal 361 berbunyi: “ Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan 78 Ibid. 79 Ibid , catatan pasal 360 KUHP Universitas Sumatera Utara sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya dalam waktu dalam mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusan itu diumumkan.” Adapun yang dikenakan pasal ini adalah dokter, bidan, ahli obat, supir, kusir, dokar, masinis yang sebagai ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya, sehingga menyebabkan mati pasal 359 atau luka berat pasal 360, maka akan dihukum berat. 80

2. Pengaturan Perdamaian Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan dalam KUHP

Dalam hukum pidana ada suatu upaya koreksi yang disebut dengan transaksi dan sepot. Transaksi adalah kemungkinan untuk mencegah adanya terjadinya tuntutan pidana oleh karena ada pelanggaran. Tersangka masih akan dibebani oleh penuntut umum dengan beberapa syarat-syarat tertentu dan jika tersangka dapat memenuhi syarat-syarat itu, maka gugurlah hak penuntut umum melakukan tuntutan pidana. Biasanya syarat- syarat ini adalah pembayaran suatu jumlah uang yang tidak lebih besar daripada maksimum denda yang diancamkan undang-undang terhadap perbuatan tersebut. Polisi juga berwenang untuk melakukan transaksi khususnya untuk pelanggaran lalu lintas. 81 Spot adalah tindakan penuntut umum yang dapat meniadakan penuntutan atas dasar yang dipertimbangkan dari segi kepentingan umum. Sebenarnya tersangka telah melakukan perbuatan pidana yang dapat dituntut, namun mengingat kepentingan umum, penuntut tidak melakukan penuntutan dengan syarat. Biasanya dikaitkan dengan suatu syarat yang dikaitkan pada tindakan tidak menuntut itu, yaitu bahwa si tersangka dalam waktu yang ditentukan harus telah melakukan sesuatu pembayaran ganti kerugian 80 Ibid , catatan pasal 361 KUHP. 81 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia , Aksara Baru, Jakarta, 1987, halaman 9 Universitas Sumatera Utara terhadap korbannya. Tindakan koreksi ini terdapat dalam pasal 82 KUHP mengenai denda damai afkop. 82 Pasal 82 KUHP berbunyi: “ Hak menuntut hukuman karena pelanggaran yang terancam hukuman utama tidak lain dari pada denda, tidak berlaku lagi jika denda maksimum telah dibayar dengan kemauan tersendiri dan demikian juga dibayar ongkos perkara jika penuntutan telah dilakukan, dengan izin amtenar yang ditunjuk dalam undang-undang umum, dalam tempo yang ditetapkannya.” 83 Namun dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa denda damai yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP ini hanya terbatas kepada tindak pidana tertentu, yakni pelanggaran. Bila ada orang yang telah berbuat pelanggaran kejahatan tidak termasuk,yang ancaman hukumannya berupa melulu hukuman denda saja, maka orang itu dapat melepaskan diri dari tuntutan pidana dengan membayar denda maksimum hukuman denda yang diancamkan bila sudah mulai penuntutan, juga ongkos perkaranya itu kepada kas negara. Jika pelanggaran itu diancam pula dengan perampasan barang yang tertentu, maka barang tersebut harus diserahkan atau harga barang itu dibayar.hal ini harus ada izin dari pegawai yang ditunjuk oleh undang-undang. Menurut pasal 376 jo 325, pegawai yang ditunjuk itu adalah jaksa pada pengadilan negeri. 84 Tindak pidana kecelakaan lalu lintas merupakan bagian dari Buku II KUHP, yaitu kejahatan. Sehingga pembayaran denda damai afkop tidak akan menghapus dasar penuntutan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP. Sering kali dalam berkas perkara pidana tentang kecelakaan lalu lintas yang membawa korban manusia, terdapat surat perjanjian antara si korban atau ahli warisnya dengan si terdakwa perjanjian perdamaian yang pada pokoknya berisi bahwa si korban atau ahli warisnya yang telah menerima bantuan uang santunan dari terdakwa menyatakan menerima 82 Ibid. 83 Ibid. 84 .R. Soesilo, Op. cit ,catatan pasal 82 KUHP. Universitas Sumatera Utara musibah yang menimpanya sebagai takdir dan karenanya tidak akan menuntut terdakwa, sebaliknya terdakwa dalam perjanjian tersebut menyatakan bahwa tanpa paksaan siapapun dan dengan rela hati menyerahkan santunan untuk meringankan penderitaan si korban atau ahli warisnya.pemberian santunan tersebut oleh si terdakwa dimaksudkan agar dapat meringankan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya, sedang bagi si korban atau ahli warisnya, santunan tersebut merupakan jalan pintas untuk dapat secepatnya memperoleh pergantian atas kerugian yang dideritanya sekalipun jumlah yang diterimanya berdasarkan perjanjian tersebut jauh daripada memadai. 85 Dalam KUHP, perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas baik berupa maaf, pembayaran ganti kerugian, biaya perobatan, biaya pemakaman dan berbagai bentuk perdamaian lainnya yang diberikan oleh pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas kepada korban tidak dapat dijadikan sebagai alasan menggugurkan tuntutan. Proses peradilan pidana harus tetap dijalani. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam KUHP ini tetap wajib diproses sampai ke Pengadilan dan mendapatkan putusan Majelis Hakim. Dengan kata lain, kesepakatan damai antara para korban dengan maupun pihak pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tidaklah serta merta dapat menghapuskan tanggungjawab pidana dari si pelaku.

a. Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas Tidak Menghapus Tuntutan Pidana

Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghapus penuntutan terhadap pelaku. Dalam KUHP telah diatur beberapa alasan penghapus penuntutan, yakni: 1. Pasal 76 KUHP. 85 Marianna Sutadi, Op. Cit . halaman 3 Universitas Sumatera Utara Pasal ini mengatur Nebis In Idem sebagai alasan penghapus penuntutan. Nebis In Idem artinya seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama. 2. Pasal 77 KUHP. Pasal ini menyatakan bahwa hak menuntut hilang karena terdakwa meninggal dunia. Menurut Vos, memang tepat isi pasal ini karena hukuman hanyya diberikan kepada pelakunya, maka apabila pelakunya meninggal dunia, maka tidak ada yang menjalani hukuman. 3. Pasal 78 KUHP. Pasal ini mengatur tentang hak menuntut menjadi hilang karena lewat waktu kadaluarsa. 4. Pasal 82 KUHP. Pasal ini mengatur penyelesaian perkara di luar pengadilan atau afdoening buiten process, atau menurut Barda Nawawi Arief, sebagai Lembaga Hukum Afkoop penebusan atau sering disebut sebagai schikking perdamaian. 86 Menurut Satochid Kartanegara, pasal ini hanya berlaku untuk pelanggaran tertentu yang diancam dengan hukuman denda dan tidak terhadap pelanggaran yang diancam dengan hukuman alternatif, seperti pidana kurungan pengganti. Jadi lembaga ini tidak berlaku untuk kategori kejahatan, hanya untuk pelanggaran. 87 Dari pasal-pasal tersebut diatas, kesepakatan damai antara korban dengan pelaku berupa pemberian ganti kerugian, biaya perobatan, biaya pemakaman maupun hal-hal 86 Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Badan Penyedia Bahan Kuliah FH Undip, Semarang , 1999, halaman 63. 87 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan kuliah, bagian kedua, Balai Lektur Mahasiswa , Jakarta, 2008, halaman 224. Universitas Sumatera Utara lainnya dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapus penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tersebut.

b. Perdamaian dalam Kecelakaan Lalu Lintas Tidak Menghapuskan Pidana.

Demikian halnya juga dengan alasan penghapus pidana. Dalam KUHP juga telah diatur mengenai alasan-alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana terdiri atas: 88 1. Alasan penghapus pidana yang berlaku umum, yaitu dasar penghapus pidana yang dapat diberlakukan kepada semua tindak pidana. 2. Alasan penghapus pidana yang berlaku khusus, yaitu dasar penghapus pidana yang hanya dapat diberlakukan pada subjek hukum tertentu. Alasan penghapus pidana yang berlaku umum terdiri atas: 1. Pasal 44 KUHP Pelaku yang sakit terganggu jiwanya Dalam pasal 44 KUHP ini, pembentuk undang-undang membuat suatu peraturan khusus bagi setiap pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat perbuatan itu dilakukan olehnya. Kewenangan untuk tidak menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa ini hanya ada pada hakim kewenangan ini tidak ada pada polisi maupun jaksa penuntut umum. Akan tetapi dalam menentukan apakah pelaku menderita sakit jiwa atau sakit berubah akal itu, hakim harus mendapatkan keterangan dari saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan psikiatri. Meskipun demikian, hakim dalam memberiikan putusannya tidakalah terikat dengan keputusan yang diberikan oleh psikiater, hakim dapat menerima atau menolak keterangan yang diberikan oleh psikiater tersebut. Penerimaan maupun penolakan tersebut harus diuji berdasarkan kepatutan atau kepantasan. 89 2. Pasal 48 KUHP Perbuatan yang dilakukan dalam keadaan terpaksa 88 Mety Rahmawati, Dasar-dasar penghapus penuntutan, penghapus, peringanan dan pemberat pidana dalam KUHP . Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, 2010, halaman. 21 89 Hamdan, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, Refika Aditama, Medan, 2012, halaman 78. Universitas Sumatera Utara Pasal 48 KUHP ini tidak merumuskan apa yang dimaksudkan dengan “paksaan” tersebut. Akan tetapi menurut Memorie van Toelichting, maka yang dimaksud dengan paksaan itu adalah suatu kekuatan, suatu dorongan, suatu paksaan yang tidak dapat dilawan, tidak dapat ditahan. Paksaan itu dikenal dengan istilah paksaan yang absolut. Misalnya seorang yang dipaksa untuk menandatangani suatu pernyataan yang tidak benar, dalam keadaan tangannya yang dipegang oleh orang lain yang lebih kuat. 90 3. Pasal 49 ayat 1 KUHP perbuatan yang dilakukan untuk membela diri. Dari bunyi pasal ini, maka penghapusan pidana dapat dijadikan alasan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 91 a Perbuatan itu dilakukan karena untuk membela tubuhbadan, kehormatan atau harta benda diri sendiri ataupun orang lain. b Perbuatan itu dilakukan atas serangan yang melawan hukum yang terjadi pada saat itu juga. Dengan kata lain, perbuatan itu dilakukan setelah adanya serangan yang mengancam, bukan perbuatan yang ditujukan utnuk mempersiapkan sebelum adanya atau terjadinya serangan dan bukan pula terhadap serangan yang telah berakhir. c Perbuatan sebagai perlawanan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa atau dalam keadaan darurat; jika tidak ada pilihan lain perlawanan itu memang merupakan suatu keharusan untuk menghindari dari serangan yang melawan hukum tersebut. Jadi, apabila perbuatan yang dilakukan itu memenuhi ketiga syarat tersebut, maka perbuatan orang tersebut dapat dibenarkan dan oleh karenanya sifat melawan hukum perbuatan itu dapat dihapuskan. 4. Pasal 49 KUHP ayat 2 pembelaan diri yang melampaui batas 92 90 Ibid , halaman 79 91 Ibid , halaman 79 Universitas Sumatera Utara Pasal ini masih terkait dengan pasal 49 ayat 1 diatas, yaitu mengenai pembelaan diri. Akan tetapi pembelaan diri id sini sudah melampaui batas-batas yang wajar. Menurut pasal 49 ayat 2 ini, apa yang dilakukan tersebut sebenarnya sudah melampaui batas pembelaan diri. Akan tetapi hal ini terjadi akibat keadaan jiwa perasaan pelaku yang sangat tergoncang, atas terjadinya serangan yang merupakan perbuatan melawan hukum pada saat itu juga. Jadi terkait dengan ayat 1 tersebut di atas, maka pembelaan yang dilakukan dalam hal ini, tetap terhadap perbuatan yang melawan hukum. Meskipun pembelaan tersebut melampauia batas yang wajar, hal ini dapat dimaafkan karena disebabkan perasaan jiwa pelaku yang bbenar-benar tergoncang, terbawa luapan emosi karena melihat suatu peristiwa yang sedang terjadi dan hal itu merupakan adanya hubungan kausalakibat langsung yang menyebabkan adanya pelampauan batas dari pembelaan tersebut. 5. Pasal 50 KUHP melaksanakan peraturan perundang-undangan. 93 Pasal ini menentukan pada prinsipnya oarng yang melakukan suatu perbuatan, meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang, maka si pelaku tidak boleh dihukum. Asalkan pernuatannya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum. Jadi, ada suatu kepentingan yang lebih besar, yang harus diutamakan oleh pelaku. Kepentingan yang lebih besar, yang lebih baik ini, merupakan alasan pembenar baginya untuk melakukan perbuatan tersebut, meskipun perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana. 6. Pasal 51 ayat 1 KUHP Melakukan perintah jabatan yang sah. 94 Menurut pasal ini, seseorang yang melakukan perintah jabata, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dari sutu jabatan atau penguasa yang sah, meskipun perintah tersebut merupakan tindak pidana, ia tidak boleh dihukum. Yang 92 Ibid , halaman 82 93 Ibid , halaman 83 94 Ibid , halaman 84 Universitas Sumatera Utara dimaksudkan perintah di sini tidak harus dalam bentuk tertulis saja, dan yang secara langsung dapat disampaikan kepadanya, akan tetapi dapat juga dalam bentuk instruksi lisan dengan menggunakan saran komunikasi. Akan tetapi, yang harus diperhatikan bahwa antara yang memerintah dengan yang diperintah harus ada hubungan jabatan dan dalam ruang lingkup kewenangankekuasaan menurut hukum publik meskipun tidak harus sebagai pegawai negeri. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan dalam hal ini adalah bahwa dalam hal melaksanakan perintah jabatan ini, juga harus diperhatikan asas keseimbangan, kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui batas keputusan dari orang yang memerintah. 7. Pasal 51 ayat 2 KUHP Melakukan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi dilindungi 95 Pasal ini menentukan bahwa melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, tetap merupakan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya, tidak dapat dijadikan alasan utnuk menghapuskan pidana tidak membebaskan pelakunya dari hukuman. Akan tetapi, apabila perintah tersebut dilaksanakan oleh orang yang menerima perintah dengan itikad baik karena memandang perintah tersebut adalah perintah dari pejabat yang berwenang dan pelaksanaan tugas tersebut masuk dalam ruang linggkup tugas- tugasnya yang biasa ia lakuukan, maka ia tidak dapat di pidana. Dengan adanya alasan pemaaf yang dapat menghapuskan kesalahannya, kesalahannya dibebankan kepada orang yang memberi perintah. Adapun alasan penghapus pidana yang berlaku khusus antara lain: 1. Psal 110 ayat 4 KUHP Ayat 4 dalam pasal ini berhubungan dengan laranganancaman pidana yang ada dalam ayat 1 dan ayat 2 dari pasal 110. Ayat 1 pasal ini menyebutkan bahwa permufakatan 95 Ibid Universitas Sumatera Utara untuk melakukan perbuatan makar diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku kejahatan tersebut. Peraturan yang terdapat dalam ayat 1 ini berlaku khusus, karena menyimpang dari aturan umum yang ada dalam Buku I KUHP, tentang percobaan melakukan kejahatan makar. Jadi sebenarnya belum ada perbuatan percobaan poging, bahkan belum ada perbuatan perrispan voorbereiding yang biasanya belum merupakan tindak pidana. Dalam ayat 2 disebutkan bahwa pidana yang sama juga berlaku bagi orang yang dengan maksud akan menyediakan atau memudahkan salah satu dari lima macam perbuatan. Kelima macam perbuatan tersebut adalah: 96 a. Perbuatan mencoba membujuk orang lain supaya ia melakukan, menyuruh melakukan atau melakukan kejahatan makar atau supaya ia membantu melakukan kejahatan makar atau supaya ia memberi kesempatan, alat-alat, atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan itu; b. Berusaha mendapatkan untuk dia sendiri atau orang lain kesempatan, alat- alat atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan makar itu; c. Menyimpan atau menyediakan barang-barang yang ia ketahui ditujukan untuk melakukan kejahatan makar itu, barang-baran mana menurut ayat 3 pasal ini dapat dirampas. d. Menyiapkan atau memegang rencana-rencana untuk melakukan kejahatan makar itu, rencana-rencana tersebut ditujukan untuk diberitahukan kepada orang lain; e. Berusaha menccegah, menghalangi atau menggagalkan suatu daya upaya pemerintah untuk mencegah atau menumpas pelaksanaan kehendak melakukan kejahatan makar itu. Pasal 110 ini mengatur mengenai pengecualian pidana yang diatur dalam ayat 4. Orang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dan ayat 2 ,karena didasarkan atas maksud tujuan yang baik untuk mengadakan perubahan ketatanegaraan dapat dimaafkan dan karena itu tidak dipidana. 2. Pasal 166 KUHP Pasal 166 ini berkaitan dengan pasal 164 dan 165 KUHP yang memberiiikan ancaman pidana kepada seseorang yang meskipun sudah mengetahui akan terjadinya bebberapa kejahatan tertentu yang sangat berat sifatnya, tidak melaporkan hal itu kepada pihak yang berwajib pada waktu tindak-tindak pidana itu masih dapat dihindarkan atau dicegah. 96 Ibid , halaman 87 Universitas Sumatera Utara Sanksi pidana ini baru dapat dijatuhkan apabila dikemudian ternyata tindak pidana yang bersangkutan benar-benar terjadi. 3. Pasal 164 KUHP Pasal ini adalah mengenai suatu permufakatan antara beberapa orang untuk melakukan tindak pidana dari pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 113,115,124,187, atau 187 bis KUHP yang diketahui oleh orang tersebut. Sedangkan pasal 165 adalah mengenai niat untuk melakukan tindak-tindak pidana tersebut, ditambah dengan beberapa tindak pidana lain yang juga berat sifatnya seperti, seorang prajurit yang melarikan diri dalam masa perang, penghianatan militer, pembunuhan berencana dan lain-lain. Jadi menurut pasal 166, ancaman pidana dari kedua pasal tersebut 164 dan 165 tidak berlaku. Dengan kata lain, pelakunya tidak dipidana. Hal ini disebabkan karena pelaku melakukan perbuatan itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari penuntutan pidana terhadap dirinya sendiri, atau terhadap sanak saudaranya dalam keturunan lurus dan kesamping sampai derajat ketiga, atau terhadap suami atau isteri, atau terhadap seseorang yang dalam perkaranya ia dapat dibebaskan dari kewajiban memberi kesaksian di muka sidang pengadilan. Dengan demikian, alasan penghapus pidana ini hanya berlaku secara khusus kepada orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pelaku tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 164 dan 165 KUHP, jadi tidak berlaku secara umum terhadap orang lain. Oleh karena itu, alasan penghapu s pidana ini didasarkan kepada maksud pelaku dari dalam diri pelaku untuk menghindarkan dirinya maka hhal ini terkait dengan alasan pemaaf. 97 4. Pasal 186 ayat 1 KUHP Perkelahian satu lawan satu atau perang tanding ini, menurut sejarahnya bukan merupakan tindak pidana. Hal ini merupakan suatu kehormatan pada dua orang yang 97 Ibid , halaman 89 Universitas Sumatera Utara berteengkar dan hanya merasa puas dalam rasa kehormatannya apabila diadakan duel atau perang tanding antara dua orang tersebut. Di Indonesia, perang tanding ini diatur dalam Bab VI KUH P yaitu tentang “Perkelahian Satu Lawan Satu” yang terdapat dalam pasal 182-186. Akan tetapi, saksi-saksi atau tim medis yang menghadiri atau yang menyaksikan perang tanding ini misalnya dalam olah raga tinju, karaten dan lain sebagainya, tidak boleh dihukum berdasarkan pasal 186 ayat 1 ini. Dengan adanya pasal ini, maka secara khusus perbuatan orang-orang yang memenuhi syarat sebagai saksi, tim medis yang menghadiri perang tanding tersebut tidak dipidana, karena perbuatannya dapat dibenarkan. 98 5. Pasal 121 ayat 2 KUHP. Pasal ini berhubungan dengan pasal 221 ayat 1 yang menentukan dua macam tindak pidana yang bernada sama, yaitu: a. Orang yang sengaja menyembunyikan orang yang telah melakukan kejahatann atau yang dituntut karena sesuatu kejahatan, atau menolong orang untuk melarikan diri daripada penyelidikan dan pemeriksaan atau tahana polisi danatau penegak hukum; b. Orang yang membinasakan, merusak dan sebagainya benda-benda tempat melakukan atau yang dipakai untuk melakukan kejahatan atau membinasakan, merusak dan sebagainya bekas-bekas kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatan itu. Kedua-duanya perbuatan yang dilarang itu dilakukan dengan maksud untuk menyembunyikan kejahatan itu atau untuk menghalang-halangi atau menyulitkan pemeriksaan atau penuntutan. Akan tetapi sifat menolong yang dilakukan oleh si pelaku dalam kejahatn ini, menurut ayat 2 pasal ini, tidak berlaku atau tidak diancampidana karena dengan maksud untuk melepaskan atau menghindarkan dari bahaya penuntutan 98 Ibid , halaman 90 Universitas Sumatera Utara seorang keluarga sedarah atau semenda dalam keturunan lurus atau ke samping sampai derajat ketiga atau suamiistri atau jandanya yang telah melakukan kegiatan itu. Dengan kata lain, alasan penghapus pidana ini khusus berlaku bagi orang yang mempunyai hubungan keluarga yang bermaksud untuk melindungi keluarganya tersebut. Hal inilah yang menyebabkan kesalahannya dimaafkan. 99 6. Pasal 310 ayat 3 KUHP. Ayat 3 pasal ini terkait dengan perbuatan penghinaan atau opencemaran nama baik seseorang, yang diancam dengan pidana berdasarkan ayat 1 pencemaran lisan dan ayat 2 pencemaran dengan tulisan dari pasal 310. Tindak pidan ini dirumuskan dengan kata “ sengaja” menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan suatu perbuatan tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud tuduhan itu tersiar ataupun diketahui oleh orang banyak. Dalam ayat 3 pasal ini menyatakan bahwa ada 2 dua hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan penghinaanpencemaran nama baik ini, yang mengakibatkan si pelaku tidak dapat dipidana. Dua hal tersebut adalah apabila dilakukan untuk kepentingan umum danatau untuk membela diri. Jadi apabila perbuatan itu tidak dilakukan atas dasar kedua hal ini, maka alasan penghapus pidana tidak berlaku. Dengan kata lain, alasan penghapus pidana ini berlaku secara khusus atas dasar kepentingan umum dan juga untuk membela diri, tidak berlaku utnuk hal yang lainnya. 100 7. Pasal 314 ayat 1 KUHP. Pasal ini juga masih ada hubungannya dengan tindak pidana pencemarannama baik. Dalam hal ini ada satu hal yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu, yaitu apabila ternyata apa yang dilakukan yang dituduhkandihinakan kepada orang itu terbukti benar, sesuai dengan keputusan hakim yang telah mempunya i 99 Ibid , halaman 91 100 Ibid , halaman 91 Universitas Sumatera Utara kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, orang yang dihinakan dicemarkan nama baiknya itu telah dijatuhi pidana terhadap perbuatan yang dihinakandituduhkan kepadanya. Oleh karena itulah, sifat melawan hukum yang dilakukan oleh si penghinapencemar nama baik tersebut dihapuskanhilang. Dengan kata lain, sifat melawan hukumnya hilang hanya berlaku secara khusus, yaitu dalam hal yang dituduhkan itu terbukti melalui putusan hakim yang sah dan mempunyai kekuatan hukum tetap. 101 8. Pasal 351 ayat 5 KUHP. Pasa l ini berkaitan dengan tindak pidana “ penganiayaan biasa” pasal 351, yang pelakunya diancam dengan pidana. Akan tetapi dengan adanya ayat 5 ini, maka percobaan melakukan penganiayaan tidak dapat dipidana. Jadi merupakan alasan penghapus pidana. Seharusnya sesuai dengan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP, yaitu dalam pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan ini harus dipidana, meskipun pidananya dikurangi dengan sepertiganya. Dengan demikian, pasal 351 ayat 1 ini khusus mengatur tentang alasan penghapus pidana terhadap percobaan melakukan penganiayaan biasa. Akan tetapi sayangnya, pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana. Jika dihubungkan dengan teori percobaan dan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP, seharusnya perbuatan ini sudah dapat dipidana. Akan tetapi hal ini merupakan pengecualian, oleh karena yang dilakukan ini adalah perbuatan yang resikonya ringan. 102 9. Pasal 352 KUHP. 101 Ibid , halaman 92 102 Ibid , halaman 93 Universitas Sumatera Utara Pasal ini berkaitan dengan tindak pidana “ penganiayaan ringan”. Pasal 351 ayat 1, yang pelakunya diancam pidana, akan tetapi, dengan adanya ayat 2 pasal ini, maka percobaan melakukan penganiayaan ringan tidak dapat dipidana, merupakan alasan penghapus pidana. Seharusnya sesuai dengan peraturan umum, yaitu dalam pasal 53 tentang percobaan melakukan kejahatan, perbuatan penganiayaan ringan ini juga seharusnya dapat dipidana. Dengan demikian pasal 352 ayat 2 ini khusus mengatur tentang alasan penghapus pidana terhadap percobaan melakukan penganiayaan ringan. Akan tetapi sayangnya sama seperti pasal 351 ayat 5 pembuat undang-undang tidak merumuskan atas dasar apa percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana. Sama halnya dengan pasal 352 ayat 5 tersebut diatas, maka jika dihubungkan dengan teori percobaan dan Peraturan Umum dalam Buku I KUHP, seharusnya perbuatan ini sudah dapat dipidana. Akan tetapi, hal ini merupakan pengecualian, karena risikonya ringan. 103 Dari seluruh pengaturan alasan penghapus penuntutan dan penghapus pidana yang diatur dalam KUHP ini, terlihat jelas bahwa perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana dalam kecelakaan lalu lintas tidak dapat dijadikan sebagai alasan penghapus penuntutan dan alasan penghapus pidana. Hal ini mengandung arti bahwa pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses pidana. Hal ini dilaksanakan dalam rangkan menegakkan asas legalitas sebagaimana yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Lembaga perdamaian yang memang sudah dianut dalam KUHP, dalam bentuk pembayaran denda damai afkop tidak akan menghapus dasar penuntutan sebagaimana 103 Ibid , halaman 94 Universitas Sumatera Utara yang dimaksud dalam pasal 82 KUHP karena penerapan pasal 82 ini hanya berlaku untuk kategori pelanggaran dan tidak berlaku untuk kejahatan. B. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 1. Pengaturan Kecelakaan Lalu Lintas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. Setiap kasus kecelakaan yang terjadi di lalu lintas di jalan raya tentu akan membawa konsekuensi hukum bagi pengemudi tersebut. Ketentuan hukum mengenai kecelakaan lalu lintas secara umum diatur dalam Pasal 359, 360 ,361 KUHP dan secara khusus adalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Maka apabila terjadi kecelakaan lalu lintas, maka ketentuan hukum yang harus dikenakan adalah mengacu kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Hal ini dikarenakan pengaturan pasal 63 ayat 2 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “ Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, di atur pula dalam aturan yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.” Universitas Sumatera Utara Penerapan pasal 63 ayat 2 KUHP ini mengamanatkan kepada penuntut umum dalam membuat surat dakwaannya dan majelis hakim dalam mengadili agar menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan bukan ketentuan dalam KUHP. Hal ini merupakan konsekuensi logis asas ketentuan khusus yang mengesampingkan ketentuan yang umum lex spesialis derogate lex generalis, dimana KUHP merupakan ketentuan yang umum, sementara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan merupakan ketentuan yang lebih khusus. Ketentuan mengenai lalu lintas semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan . Selain dalam undang-undang ini diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaannya. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka sesuai dengan pasal 235, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ini juga disempurnakan terminologi mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjadi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. 104 Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta pengelolaannya. 105 Sementara, kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa 104 Penjelasan konsideran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 105 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia danatau kerugian harta benda. 106 Dalam pasal 229 UU LLAJ, kecelakaan lalu lintas dibagi atas: a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan danatau barang ; b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang; c. Kecelakaan Lalu Lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat . Pengaturan mengenai kecelakaan lalu lintas dalam UU LLAJ diatur dalam pasal 310,311 dan pasal 312. Pasal 310 1 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan danatau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam bulan danatau denda paling banyak Rp1.000.000,00 satu juta rupiah. 2 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun danatau denda paling banyak Rp2.000.000,00 dua juta rupiah. 3 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak Rp10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. 4 Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun danatau denda paling banyak Rp12.000.000,00 dua belas juta rupiah. Pasal 311 1 Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 tiga juta rupiah. 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan danatau barang sebagaimana 106 Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Universitas Sumatera Utara dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 empat juta rupiah. 3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 3, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 delapan juta rupiah. 4 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 4, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 dua puluh juta rupiah. 5 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 dua puluh empat juta rupiah. Pasal 312 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat 1 huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 tujuh puluh lima juta rupiah. Kata “ setiap orang” dalam pasal-pasal tersebut berarti siapa saja yang menjadi subjek hukum, yakni yang merupakan pembawa hak dan kewajiban. Dalam doktrin hukum pidana, kata “ setiap orang” dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: a. Natuure person manusia b. Korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum legal person . Kata “ setiap orang” dalam pasal ini mengacu kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas serta tidak ditemukan alasan penghapus pidana baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 44 sampai dengan pasal 51 KUHP dan pelaku tersebut dipandang cakap sebagai subjek hukum. Pelaku dalam kecelakaan lalu lintas yang dapat dipidana adalah setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang Universitas Sumatera Utara terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. 107 Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel . 108 Sementara, pengemudi adalah orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. 109 Dari ketentuan pasal-pasal mengenai kecelakaan lalu lintas, pengemudi yang dipidana merupakan pengemudi yang mengemudikan kedaraan bermotor, sementara pengemudi kendaraan tidak bermotor tidak dikenai ketentuan ini. Kendaraan tidak bermotor merupakan kendaraan setiap kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia danatau hewan. 110 Unsur kelalaian dalam pasal 310 merupakan salah pembeda ketentuan dalam pasal 311. Dalam pasal 310 mengatur menganai kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh untur kelalaian, sementara pasal 311 mengatur mengenai kecelakaan yang disebabkan oleh kesengajaan. Unsur kelalaian maupun kesengajaan merupakan unsur yang sangat sulit pembuktiannya. Kesalahan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas berupa kelalaian yang ada pada dirinya saat itu harus dilihat dari factor kejadian yang sebenarnya, yakni factor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Demikian pula harus diukur sejauh mana pengemudi telah benar-benar waspada dan hati-hati dalam mengemudikan kendaraannya. Dalam hal ini yang membedakan kelalaian dan kesengajaan pada pokoknya adalah bahwa pengemudi tentu tidak akan berbuat seandainya ia mengetahui akibat yang akan timbul akibat perbuatannya. Di sini, pengemudi tidak sadar akan risiko dari perbuatannya tersebut yang mengakibatkan dial alai. Kesalahan berbentuk kelalaian kealpaan dengan kata lain merupakan tindakan tercela dan pelaku tidak menyadari tindakan yang dilakukan tersebut. 107 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 108 Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 109 Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 110 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara Oleh karena kelalaian ini merupakan unsur delik, maka harus dibuktikan. Unsur ini dapat dibuktikan dari kronologis kejadian. Demikian juga dengan unsur kesengajaan yang terdapat dalam pasal 311. Dalam pasal 311 terdapat unsur “sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang.” Kesalahan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas berupa kesengajaan yang ada pada dirinya saat kejadian kecelakaan lalu lintas tersebut dapat dilihat dari kronologis maupun fakta-fakta di persidangan. Sementara mengenai pengertian dari “ cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang” dalam pasal 311 ini tidak dijelaskan dalam bagian penjelasan undang-undang tersebut. Adapun pengertian kata “ luka ringan” dalam pasal 310 ayat 2 dan pasal 311 ayat 3 mengandung arti luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain dari yang diklasifikasikan sebagai luka berat. 111 Se mentara, yang dimaksud dengan “luka berat” adalah luka yang mengakibatkan korban: 112 a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut; b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan; c. kehilangan salah satu pancaindra; d. menderita cacat berat atau lumpuh; e. terganggu daya pikir selama 4 empat minggu lebih; f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau g. luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 tiga puluh hari. Mengakibatkan orang meninggal dunia pada umumnya dibuktikan dengan Visum Et Repertum dari rumah sakit yang menerangkan penyebab dan cara kematian korban dengan memeriksa tubuh korban, baik dengan pemeriksaan luar, maupu n pemeriksaan dalam. Defenisi Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah jabatan dokter tentang hal yang dilihat, dan ditemukan pada benda yang diperiksa serta memberikan pendapat mengenai apa yang ditemukan tersebut. Visum Et 111 Penjelasan pasal 229 ayat 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 112 Penjelasan pasal 229 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Universitas Sumatera Utara Repertum merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 KUHAP. Selain dengan melakukan Visum Et Repertum pada korban, pembuktian mengenai adanya korban meninggal dunia pada pasal ini juga dapat dibuktikan dengan melampirkan surat kematian yang dikeluarkan oleh dokter maupun lurah tempat tinggal korban. 113 Sementara pengaturan pasal 312 undang-undang ini berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab pengemudi sebagaimana disebutkan dalam pasal 231 ayat 1 huruf a yang mewajibkan pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas untuk menghentikan kendaraan yang dikemudikannya. Ketentuan pasal ini jika dicermati bukanlah pasal yang mengatur mengenai tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia ataupun korban luka sebagaimana yang diatur dalam pasal 3100 dan 311. Akan tetapi, pasal ini dimasukkan dalam pasal yang tergolong pada suatu tindak pidana kejahatan sebagaimana tertera dalam pasal 316 ayat 2. Pasal ini berhubungan dengan pembiaran orang yang patut ditolong. Hal ini sering terjadi dalam tambrak lari. Dimana pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas tidak mengnetikan kendaraannya dan meninggalkan korban yang patut ditolong. Pengaturan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada umunya mengatur mengenai pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Lamanya ancaman pidana tersebut tergantung akibat yang ditimbulkan oleh kecelakaan lalu lintas tersebut. Namun, selain ancama pidana yang terdapat dalam pasal 310, 311 dan 312 tersebut, pelaku dapat juga diancam pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi SIM maupun ganti kerugian. Hal ini diatur dalam pasal 314 yang berbunyi sebagai berikut: “Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana Lalu Lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti kerugian yang diak ibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.” 113 Rita Mawarni, Ilmu Kedokteran Kehakiman , Bahan ajar tidak diterbitkan,2012, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, halaman 2. Universitas Sumatera Utara Pidana tambahan ini dijatuhkan oleh hakim dalam putusannya mengenai perkara kecelakaan lalu lintas. Pidana tambahan dalam hal ini bersifat alternative artinya kedua jenis pidana tambahan ini tidak dapat dijatuhkan sekaligus terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Hanya salah satu dari kedua jenis pidana tambahan tersebut. Pidana tambahan berupa pencabutan SIM larangan mengemudi bertujuan agar pelaku jera dan lebih berhati-hati di kemudian hari apabila mengendarai kendaraan bermotor. Pidana tambahan ini juga menjadi hukuman agar pelaku tersebut tidak dapat mengulangi perbuatannya di kemudian hari karena ia berada pada kondisi yang tidak diperkenankan mengemudi hingga akhir larangan mengemudi tersebut. Sementara pidana tambahan berupa ganti kerugian ini diputuskan oleh hakim apabila belum ada kesepakatan antara pelaku dengan korban mengenai jumlah nominal kerugian yang diderita oleh pihak korban. Apabila sebelumnya telah ada kesepakatan mengenai bersarnya ganti kerugian yang harus diberikan kepada pihak korban, maka hakim tidak perlu memberikan pidana tambahan berupa ganti kerugian. Namun perlu diingat bahwa ganti kerugian ini merupakan pidana tambahan, bukan untuk menghapuskan tuntutan pidana terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. 2. Pengaturan Perdamaian Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dalam pasal 230 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan bahwa: “Perkara Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Universitas Sumatera Utara Sementara pasal 229 ayat 2 menyatakan bahwa : “Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan danatau barang .” Pasal 229 ayat 3 menyatakan bahwa : “Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan danatau barang.” Pasal 229 ayat 4 menyatakan bahwa: “Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.” Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa setiap terjadi perkara kecelakaan lalu lintas diproses dengan acara peradilan pidana. Hal ini tela h diatur secara eksplisit dalam Undang-UndangNomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam Undang-Undang ini juga, telah diatur mengenai eksistensi perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas. Perdamaian yang dimaksud dapat berupa pemberian maaf dari keluarga korban kepada pelaku, pemberian baiya perawatan, biaya pemakaman maupun ganti kerugian akibat tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Namun berbagia macam bentuk perdamaian ini sama sekali tidak menggugurkan tuntutan terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut. Hal ini telah diatur tegas dalam pasal 235 ayat 1 yang menyatakan bahwa: “Jika korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas sebagaiman dimaksud dalam pasal 229 ayat 1 huruf c, pengemudi wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan danatau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.” Universitas Sumatera Utara Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa perdamaian dalam bentuk pemberian biaya perobatan danatau biaya pemakaman merupakan suatu hal yang menjadi kewajiban pengemudi yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Namun, perdamaian yang terjadi tersebut bukan menjadi suatu alasan yang dapat menggugurkan tuntutan pidana terhadap pelaku. Perkara kecelakaan lalu lintas tersebut tetap diproses sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku walaupun telah ada kesepakatan antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas untuk tidak menuntut pelaku tersebut. Dalam hal ini dapat terlihat dengan jelas bahwa adanya perdamaian baik secara tertulis maupun lisan tidak mempunyai kekuatan sama sekali untuk menggugurkan tuntutan pidana. Perkara kecelakaan lalu lintas lebih cenderung kepada penjatuhan vonis kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sementara dalam sistem pemidanaan, undang-undang ini tidak mengatur mengenai eksistensi perdamaian, apakah harus dipertimbangkan atau tidak dalam menjatuhkan pidana. Hal sangat wajar karena saat ini pengaturan mengenai pedoman pemidanaan itu belum diatur dalam hukum positif yang berlaku. Ketiadaan pedoman pemidanaan ini memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana. Apakah mempertimbangkan adanya perdamaian sebagai hal yang meringankan pidana bagi terdakwa atau sama sekali tidak mempertimbangan perdamaian, itu merupakan ranah kebebasan hakim karena tidak ada peraturan hukum yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian tersebut. Selanjutnya dalam undang-undang ini juga telah diatur mengenai kewajiban mengganti kerugian bagi pihak yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Hal ini diatur dalam pasal 236 undang-undang ini. Dalam pasal 236 disebutkan bahwa: 1 Pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Universitas Sumatera Utara 2 Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pada Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 2 dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat. Dari pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa selain pertanggungjawaban pidana, pelaku kecelakaan lalu lintas, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang, maupun berat juga wajib mengganti kerugian atas tindak pidana yang terjadi. Besarnya ganti kerugian yang wajib diberikan tersebut ditentukan oleh putusan pengadilan. Namun dalam ayat 2 pasal tersebut mengatur adanya suatu pengecualian, yaitu terhadap kecelakaan lalu lintas ringan, kewajiban pembayaran ganti kerugian dapat dilakukan di luar pengadilan jika terdapat kesepakatan damai antara para pihak yang terlibat. Namun pembayaran ganti kerugian yang dimaksud dalam hal ini tidak mengakhiri penyelesaian perkara tersebut. Setiap perkara kecelakaan lalu lintas wajib diproses secara pidana karena undang-undang lalu lintas mengatur demikian. Universitas Sumatera Utara 71

BAB III EKSISTENSI PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK

PIDANA KECELAKAAN LALU LINTAS DALAM SISTEM PEMIDANAAN DALAM PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEDAN Pada bagian ini akan dipaparkan dan dianalisis mengenai mengenai beberapa putusan hakim Pengadilan Negeri Medan mengenai perkara-perkara kecelakaan lalu lintas yang di dalamnya mengandung perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas yang terjadi sejak diundangkannya Undang-UndangNomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan , pada tahun 2009-2014. Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Medan, dalam rentang waktu tahun 2009-2014, hanya terdapat 2 dua putusan hakim yang menyangkut perkara kecelakaan lalu lintas. Putusan tersebut adalah sebagai berikut. A. Dapat Meringankan Pidana Hal ini dapat dilihat dalam Putusan No.992 Pid. B 2013 PN. Mdn, mengenai mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat, yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Dengan identitas terdakwa: Nama lengkap : Riza Vionita Utami Tempat lahir : Kisaran Umurtanggal lahir : 18 tahun13 Juni 1995 Jenis kelamin : Indonesia Tempat tinggal di :Jl. SM. Raja Km. 11 Gg. Rohis B Bangun Sari Tanjung Morawa Agama : Islam Pekerjaan : Mahasiswa Universitas Sumatera Utara Pendidikan : - Duduk Perkara: Pada hari rabu tanggal 9 Januari 2013 sekira pukul 19.30 WIB, atau setidak- tidaknya pada suatu waktu lain masih dalam bulan Januari tahun 2013, bertempat di Jl. SM. Raja di depan GKPI Medan, terdakwa Riza Vionita Utami mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat, yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, yang dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut : Pada waktu dan ditempat sebagaimana diuraikan diatas, saksi korban Rentiana Br. Perangin-angin dan Kartina Harahap keluar dari rumah saksi hendak menyeberang ke arah Gereja hendak mau mengambil uang sewa rumah. Sebelum menyeberang saksi korban sudah melihat ke kanan ke kiri dan tidak ada kendaraan, tetapi situasi pada saat itu gelap karena mati lampu. Selagi menyeberang dan hampir sampai pinggir jalan tiba - tiba saksi korban Rentiana Br. Perangin-Angin dan Kartina Harahap ditabrak oleh sepeda motor Honda Revo dengan No Pol BK 2166 OM yang dikendarai oleh terdakwa Riza Vionita Utami yang mana pada saat itu mengalami sakit maag dan tidak fokus dalam mengendarai sepeda motornya, akibatnya pada saat itu terjadi kecelakaan dan sempat berdiri berteriak minta tolong selanjutnya saksi korban Rentiana Perangi-Angin melihat temannya saksi korban Kartina Harahap dan seorang perempuan lagi sudah pingsan di pinggir jalan, kemudian saksi Budi Harahap melihat kejadian tersebut langsung memanggil becak dan membawa saksi korban dan terdakwa ke RS. Nursaadah atas kejadian kecelakaan tersebut saksi korban Kartina Harahap meninggal dunia dan saksi korban Rentiana Br. Perangin-Angin dan terdakwa Riza Vionita Utami opname di RS Grand Medistra. Universitas Sumatera Utara a. Sesuai dengan Visum Et Repertum No. 71VERRSGMI2013 yang akan ditanda tangani dr. Samuel Sinaga. Hasil pemeriksaannya sebagai berikut : - Pembengkakan di puncak kepala sebelah kanan dengan diameter kurang lebih 5 lima sentimeter b. Sesuai dengan Surat Kematian No. 474.3065SKTD2012 tanggal 14 Januari 2013 atas nama Kartina br. Harahap dari Kelurahan Timbang Deli Medan yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 310 ayat 3 jo ayat 4 Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam kasus ini, sebelum perkara ini diperiksa di muka persidangan, telah terdapat perdamaian antara pihak pertamaorang tua terdakwa Heri Hernando dengan pihak kedua keluarga korban yaitu anak kandung dari pejalan kaki yang meninggal dunia Darmansyah Sibarani dan pihak ketigakorban yang merupakan pejalan kaki Rentiana Br Perangin-Angin . Perdamaian tersebut dibuat pada tanggal 21 Januari 2013. Dalam perjanjian perdamaian tersebut, pihak pertama, kedua dan ketiga telah menyadari bahwa kecelakaan bukalah unsur kesengajaan dan ketiga belah pihak saling memaafkan. Pihak pertama terdakwa telah memberikan bantuan duka kepada pihak kedua keluarga korban meninggal dunia sebesar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dan pihak kedua keluarga korban meninggal dunia menerima bantuan tersebut dengan ikhlas. Pihak terdakwa juga telah memberikan bantuan biaya perobatan kepada pihak ketiga korban luka berat berupa bantuan biaya perobatan sebesar yang telah di sepakati dan pihak korban tersebut menerima dengan ikhlas. Dalam perjanjian perdamaian tersebut, ketiga belah pihak tidak ada masalah lagi dan tidak akan menuntut secara perdata maupun pidana sehubungan dengan kasus lalu lintas yang dimaksud. Bahkan para pihak memohon agar perkaranya tidak diteruskan ke Jaksa Penuntut Umum. Universitas Sumatera Utara Meskipun perkara kecelakaan lalu lintas tersebut telah diselesaikan dengan cara kekeluargaan melalui perdamaian, pihak kepolisian tetap meneruskan perkara tersebut hingga ke persidangan di pengadilan. Setelah di persidangan yang diperiksa oleh hakim tunggal, yaitu Baslin Sinaga, S.H, M.H. , Pengadilan Negeri Medan memutuskan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “ Mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat dan megakibatkan orang lain meninggal dunia”, sehingga terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 6 enam bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan diijalankan kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa dipersalahkan melakukan sesuatu kejahatanpelanggaran atau tidak memenuhi sesuatu syarat yang ditentukan sebelum masa percobaan selama 1 satu tahun terakhir. Dalam menjatuhka pidana, hakim mempertimbangkan hal-hal yang meringankan maupun yang memberatkan terdakwa: Hal-hal yang memberatkan : - Bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat; Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa belum pernah dihukum ; - Terdakwa masih berstatus pelajar ; - Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan ; - Antara terdakwa Riza Vionita Utami dan saksi korban telah ada perdamaian. Dalam putusan tersebut di atas, perdamaian yang terjadi antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas menjadi pertimbangan hakim dalam meringankan pidana bagi terdakwa. Pedamaian yang menjadi pertimbangan tersebut adalah pemberian uang duka maupun biaya perawatan terhadap korban, sedangkan surat pernyataan Universitas Sumatera Utara perdamaian yang dibuat oleh korban dan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut yang pada pokoknya berisi permohonan untuk tidak diteruskan secara pidana sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim, sehingga hakim tetap menjatuhkan pidana bersyarat kepada terdakwa. Berkenaan dengan eksistensi perdamaian dalam putusan tersebut, demikian hasil wawancara dengan hakim pengadilan negeri Medan. Hakim pengadilan Negeri Medan sudah sering menangani perkara kecelakaan lalu lintas. Mulai pengaturan kecelakaan lalu lintas dalam KUHP yang menggunakan istilah “mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya” hingga ketentuan yang lebih khusus mengaturnya dalam dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 114 Perkara lalu lintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Medan tidak banyak. Jumlah perkara yang ditangani oleh hakim Pengadilan Negeri Medan saat ini tidak sebanding dengan angka kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan karena pihak korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas lebih memilih berdamai secara kekeluargaan dibandingkan meneruskan perkaranya secara hukum. 115 Selain itu, minimnya kasus kecelakaan lalu lintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Medan disebabkan adanya perdamaian yang juga dilakukan di kepolisian. Menurut pengalaman Hakim Pengadilan Negeri Medan, tidan semua kasus kecelakaan lalu lintas yang ditanganinya mengandung perdamaian. Hal ini dimungkinkan terjadi jika tidak terdapat kesepakatan antara para pihak. Adapun bentuk perdamaian yang sering kali terdapat dalam berkas perkara kecelakaan lalu lintas adalah berupa pemberian maaf korban maupun keluarga korban, pembayaran ganti kerugian yang disepakati, pemberian biaya perawatanpengobatan 114 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014 115 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Waspin Simbolon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 Universitas Sumatera Utara biaya rumah sakit, uang duka cita dan biaya pemakaman jika korban tersebut meninggal dunia. Bahkan tidak jarang, perdamaian yang dibuat oleh pelaku dengan pihak korban tersebut pada esensinya memohon agar perkara tersebut tidak menuntut pelaku dan juga tidak diproses secara hukum. Sejauh ini, menurut pengalaman Hakim Pengadilan Negeri Medan, belum ada perdamaian yang berbentuk pemberian nafkah biaya hidup bagi korban maupun keluarga korban. Pihak korban dan pelaku sering kali berdamai di luar pengadilan, namun ada kalanya, pada saat perkara kecelakaan lalu lintas tersebut sedang diperiksa, para pihak juga melakukan upaya perdamaian. 116 Hakim Pengadilan Negeri Medan mengatakan bahwa lembaga perdamaian dalam hukum pidana, khususnya dalam perkara kecelakaan lalu lintas tidak dikenal sama sekali. Hal ini berarti bahwa hukum pidana tidak mengenal mekanisme perdamaian ini sebagai alternative penyelesaian perkara pidana seperti yang dianut dalam hukum perdata. Hukum pidana, dalam hal ini termasuk juga perkara kecelakaan lalu lintas tidak dapat diselesaikan secara perdamaian di sidang pengadilan. Hal ini disebabkan karena dalam Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah dengan tegas mengatakan bahwa setiap perkara kecelakaan lalu lintas yang terjadi wajib diproses sesuai dengan acara peradilan pidana. Bahkan selain itu, dalam Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah diatur secara tegas bahwa bantuan yang diberikan kepada korban maupun keluarga korban berupa uang perobatan, biaya duka pemakaman, ganti kerugian sejumlah uang bahkan kewajiban untuk mencukupi kebuhan korban maupun keluarga korban sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menggugurkan tuntutan terhadap pelaku. 117 116 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014 117 Ibid Universitas Sumatera Utara Walaupun dalam surat pernyataan tersebut menyatakan para pihak tidak akan meneruskan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut secara pidana dan tidak akan menuntut pelaku, dan dibuat secara tertulis di atas materai, surat perdamaian tersebut sama sekali tidak dapat dijadikan oleh hakim sebagai alasan untuk menghapus pidana bagi pelaku. Bahkan, walaupun ada kalanya pihak korban maupun keluarga korban memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas, permohonan korban tersebut tidak dapat diterima secara utuh dalam putusan untuk sama sekali tidak mmenjatuhkan pidana. 118 Hakim Pengadilan Negeri Medan memandang bahwa perdamaian pasca terjadinya kecelakaan lalu lintas memang sangat perlu dilakukan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya, kecelakaan lalu lintas tersebut disebabkan karena adanya unsur kelalaian. Sehingga sebenarnya, kecelakaan lalu lintas tersebut sama sekali tidak dikehendaki oleh pelaku dan juga korban. Namun hal ini tergantung bagi pihak korban maupun pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Jika setelah diupayakan perdamaian namun tidak tercapai kesepakatan, hal tersebut wajar terjadi. Selain faktor kelalaian tersebut, perdamaian juga sangat perlu dilakukan sebagai itikad baik dari pelaku untuk bertanggungjawab atas akibat dari perbuatannya. Bentuk perdamaian seperti ganti kerugian, biaya perobatanperawatan, uang duka maupun biaya pemakama sangat membantu pihak korban, apalagi jika pihak korban maupun keluarga korban merupakan keluarga yang kurang mampu, dan hal ini tentu sangat bermanfaat manakala korban tersebut merupakan tulang punggung keluarga. Harus diakui bahwa walaupun terdapat perdamaian antara korban dengan pelaku tidak pidana, tentu hal ini tidak akan pernah dapat mengembalikan kerugian materil maupun immaterial dari pihak korban apalagi jika korban kecelakaan lalu lintas tersebut meninggal dunia. Selain itu, alasan perlunya 118 Ibid Universitas Sumatera Utara perdamaian tersebut dilakukan oleh pelaku dengan korban kecelakaan lalu lintas dikarenakan adalah bahwa perdamaian itu adalah hal yang terindah. Dengan berdamai, pelaku tidak akan berlarut dalam perasaan bersalah dan pihak korban tidak akan menyimpan dendam terhadap pelaku akibat kecelakaan lalu lintas tersebut. Namun, walaupun Hakim Pengadilan Negeri Medan berpendapat bahwa perdamaian tersebut sangat perlu, hal tersebut bukan berarti proses hukum tidak dilanjutkan. 119 Sejak diundangkannya Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hingga tahun 2014, di Pengadilan Negeri Medan hanya terdapat 2 dua perkara kecelakaan lalu lintas. Kedua perkara kecelakaan lalu lintas tersebut mengacu kepada Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai ketentuan yang mengatur lebih khusus daripada ketentuan dalam KUHP. Adapun pasal yang didakwakan terhadap pelaku tersebut adalah Pasal 310 ayat 1 UU RI No. 22 tahun 2009 yang mengatur mengenai “karena kelal aiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan” dan Pasal 310 ayat 3 jo ayat 4 Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengenai “karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal dunia dan luka berat. Kedua perkara kecelakaan lalu lintas tersebut mengandung perdamaian antara korban dengan pelaku. Walaupun kedua perkara tersebut mengandung perdamaian, perkara ini masih tetap dilanjutkan ke sidang pengadilan. Dalam sistem pemidanaan, tidak ada pengaturan hukum yang tertulis yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian tersebut dalam menjatuhkan putusan. Jika dilihatdalam hukum yang berlaku saat ini, kata “perdamaian” tidak mendapat “tempat” dalam hukum pidana. Ketiadaan pedoman pemidanaan yang 119 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Lisfer Berutu, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 Universitas Sumatera Utara mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam hukum pidana ini memberikan ruang kebebasan yang besar pada hakim. Hakim diberikan kebebasan secara moral untuk memilih mempertimbangkan perdamaian tersebut atau tidak. Etika moral hakimlah yang menentukan kedudukan perdamaian tersebut dalam sistem pemidanaa, sehingga hal ini juga yang menyebabkan adanya perbedaan kedudukan perdamaian dalam kedua perkara yang diteliti oleh penulis. Dimana satu perkara mempertimbangkan perdamaian sebagai hal yang meringankan, dan perkara yang lain sama sekali tidak mempertimbangkan perdamaian dalam menjatuhkan pidana. Dan menurut Hakim Pengadilan Negeri Medan hal ini wajar saja terjadi sebagai konsekuensi logis dari ketiadaan kewajiban bagi hakim untuk mempertimbangkannya. 120 Dalam sistem pemidanaan, hakim tidak menjadikan perdamaian dalam perkara kecelakaan lalu lintas sebagai alasan yang menghapus pidana bagi terdakwa. Hal ini merupakan konsekuensi logis hukum positif di Indonesia menyatakan demikian dan dalam diri terdakwa tidak terdapat alasan penghapus pidana sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada umumnya, perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas ini hanya dijadikan sebagai alasan yang meringankan pidana bagi terdakwa. Walaupun telah ada perdamaian bahkan permohonan pihak korban untuk tidak menjatuhkan pidana bagi terdakwa, hal ini tidak mengandung peranan yang penting untuk tidak menjatuhkan pidana. Terdakwa tetap dijatuhi pidana apabila memang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kecelakaan lalu lintas. Sementara mengenai jenis dan lamanya pidana tergantung kepada kebijakan hakim yang memeriksa perkara tersebut. Memang dalam sistem hukum Indonesia, tidak terdapat dasar hukum yang pasti mengenai perdamaian sebagai hal yang meringankan. Namun, dijadikannya perdamaian tersebut sebagai hal yang meringankan di samping karena 120 Ibid Universitas Sumatera Utara terdakwa telah mengakui dan menyesali kesalahannya, bersikap sopan di persidangan dan terdakwa belum pernah dihukum, bukan dikarenakan ada aturan hukum yang mewajibkannya, melainkan karena alasan etika moral dari hakim itu sendiri. 121 Dalam hukum pidana, korban tidak mempunyai peranan yang kuat untuk menentukan putusan. Kadangkala di persidangan, pihak korban maupun keluarga korban memohon kepada majelis hakim untuk tidak menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Korban dan pelaku sama sekali tidak mempermasalahkan perkara kecelakaan lalu lintas tersebut dan melalui perdamaian dirasa sudah cukup mengakhiri perkaranya. Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan, hakim tidak pernah merasakan suatu kegamangan dalam memutus perkara walaupun ada permohonan korban untuk tidak menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Hakim lebih memilih untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, walaupun korban dan terdakwa merasa tidak diuntungkan dengan pengenaan pidana tersebut bagi terdakwa. Sifat hukum publik dalam hukum pidana lebih dikawal oleh hakim. Pemberian pidana tersebut bukan hanya ditujuan kepada pihak terdakwa, melainkan lebih ditujukan kepada kepentingan yang lebih besar lagi, yaitu ketertiban umum. Pemidanaan juga harus bermanfaat kepada masyarakat agar setiap orang yang berpotensi untuk melakukan tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut lebih berhati-hati. Artinya, dalam hukum pidana, kepentingan yang dilindungi itu bukan hanya kepentingan korban, melainkan juga kepentingan masayarakat yang mengalami dampak tidak langsung dari tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut. 122 Perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas pada umumnya dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan pidana bagi terdakwa. Namun, walaupun pada sebagian kasus, hakim 121 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.Hum., Selasa, 10 Juni 2014 122 Ibid Universitas Sumatera Utara tidak mempertimbangkan perdamaian tersebut sebagai hal yang meringankan pidana bagi terdakwa, hal tersebut memang wajar karena eksistensi perdamaian tersebut memang ranah kebijakan hakim. Keinginan untuk mempertimbangkan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas tersebut merupakan pilihan secara etika moral hakim itu sendiri. Namun, alangkah lebih baik jika perdamaian tersebut dipertimbangkan oleh hakim. 123 Dalam beberapa perkara kecelakaan lalu lintas yang juga pernah diperiksa oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan, perdamaian antara korban dengan pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas tidak ada. Hal ini dimungkinkan jika tidak terdapat kesepakatan antara para pihak. Namun, walaupun dalam berkas perkara tidak terdapat perdamaian, bukan berarti hal tersebut dijadikan sebagai hal yang memberatkan pidana bagi terdakwa. Alasan yang memberatkan pidana yang selama ini dijadikan hakim dalam pertimbangannya adalah adanya pengulangan tindak pidana, berbelit-belit, tidak sopan di persidangan dan tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana. Sementara mengenai ketiadaan perdamaian tersebut, bukan serta merta menjadi alasan yang memperberat pidana bagi terdakwa. Hakim biasanya terdorong untuk menganjurkan perdamaian antara pelaku dengan korban walaupun dalam hukum pidana, hakim tidak mempunyai kewajiban untuk menganjurkan perdamaian tersebut seperti dalam hukum perdata. Hal ini dilandasi oleh etika moral dari hakim agar tercipta hubungan yang lebih baik bagi para pihak walaupun bukan berarti terdakwa tidak akan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. 124 123 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Waspin Simbolon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 124 Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Medan, Saur Sitindaon, S.H.M.H., Selasa, 10 Juni 2014 Universitas Sumatera Utara

B. Tidak Dapat Meringankan Pidana

Hal ini dapat dilihat dalam Putusan No.501 Pid. B 2012 PN. Mdn, mengenai karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan, dengan identitas terdakwa: Nama Lengkap : Jonfriadi Sitopu Tempat Lahir : Medan Umur tgl Lahir : 38 tahun . 19 Februari 1973 Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Tempat Tinggal :Jl. Titipapan Gg. Persatuan No. 3 Kel. Sei Sikambing D Medan Pekerjaan : Pengemudi Pendidikan : - Duduk Perkara: Pada hari jumat tanggal 04 November 2011 sekitar pukul 18.48 WIB, di Jl. D. I. Panjaitan simpang Jl. Sekunder Medan, terdakwa yang sedang mengendarai mobil angkot KPUM BK 1078 GW pada awalnya menyenggol mobil Innova di Jalan Sekunder, Medan, dari arah barat menuju timur dengan kecepatan 60-70 kmjam, karena terburu- buru dan cuaca dalam keadaan hujan deras serta tidak lagi memperhatikan kendaraan dari arah lain yang menabrak pintu kiri belakang mobil Suzuki Swift milik saksi Muhammad Fakrie yang berjalan dari arah selatan ke utara, sehingga akibat perbuatan terdakwa mobil milik saksi Muhammad Fikrie mengalami kerusakan pada bagian pintu Universitas Sumatera Utara kiri belakang. Perbuatan tersebut melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 310 ayat 1 UU RI No. 22 tahun 2009 yang mengatur mengenai “karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan” Dalam perkara tersebut telah terdapat perdamaian antara korban dengan terdakwa. Surat perdamaian perdamaian tersebut dibuat dengan dilengkapi materai pada tanngal 21 Februari 2012. Pada pokoknya, perdamaian tersebut berisikan kesepakatan antara korban dengan terdakwa untuk berdamai. Perdamaian tersebut dilakukan dengan membayar ganti rugi sebesar Rp. 6.500.000,- enam juta lima ratus ribu rupiah. Perdamaian tersebut dibuat dengan itikad baik antara kedua belah pihak, tanpa ada paksaan dari pihak manapun dan pihak korban juga dengan ikhlas menerimanya. Namun perkara kecelakaan lalu lintas tersebut tetap dilanjutkan secara hukum walaupun para pihak telah sepakat untuk berdamai. Berdasarkan pemeriksaan di pengadilan, terdakwa Jonfriadi Sitopu terbukti secara sah dan meyakinkan hakim telah melakukan kejahatan karena kealpaannya menyebabkan kerusakan kendaraan danataubarang. Majelis hakim menjatuhkan pidana pidana penjara selama 8 delapan bulan, hakim juga menetapkan bahwa pidana itu tidak akan dijalani kecuali dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim, karena terdakwa dipersalahkan melakukan suatu tindak pidana atau tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam masa percobaan selama 1 satu tahun berakhir. Dalam menjatuhkan pidana tersebut, hakim mempertimbangkan hal yang meringankan dan memberatkan pidana bagi terdakwa. Yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa merugikan saksi korban; Yang meringankan : Universitas Sumatera Utara - Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya dan terdakwa belum pernah dihukum ; Dalam putusan tersebut, ternyata hakim Pengadilan Negeri medan, yang diketuai oleh S.B. Hutagalung, S.H, M.Hum, tidak mempertimbangkan perdamaian tersebut. Hakim hanya mendasarkan pada pengakuan dan penyesalan terdakwa serta belum pernahnya terdakwa dihukum sebagai hal yang meringankan. Dari putusan-putusan tersebut diatas, maka perdamaian yang telah terjadi antara korban dengan pelaku tindak pidana tidak dengan sendirinya menghapuskan perbuatan atau pertanggungjawaban pidana yang telah dilakukan terdakwa meskipun sudah ada surat pernyataan yang dibuat oleh pelaku dan korban yang pada intinya korban sudah memaafkan terdakwa dan tidak akan menuntut terdakwa atas perbuatan yang dilakukannya serta memohon agar perkaranya tidak diteruskan secara hukum. Perdamaian tersebut pada sebagian kasus hanya sebagai hal yang meringankan pidana bagi terdakwa. Hal ini terlihat dengan tetap dipidananya terdakwa. Dari putusan-putusan tersebut juga, ternyata tidak semua pertimbangan hakim yang mempertimbangkan perdamaian dalam menjatuhkan pidana. Hal ini tergantung kepada kebijakan hakim karena sampai saat ini, belum ada aturan hukum yang mewajibkan hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Berkaitan dengan putusan tersebut, menurut pendapat Hakim Pengadilan Negeri Medan, tidak adanya kewajiban hakim untuk mempertimbangkan perdamaian dalam kecelakaan lalu lintas dalam menjatuhkan putusan mengakibatkan terjadinya perbedaan persepsi bagi hakim. Hal tersebut mengakibatkan adanya beberapa hakim yang tidak mempertimbangkan perdamaian dalam memutus perkara. Dalam perkara ini, moral Universitas Sumatera Utara hakimlah yang menentukan untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan perdamaian tersebut. 125

C. Dapat Menghapuskan Pidana

Dokumen yang terkait

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

2 42 147

KEDUDUKAN PERDAMAIAN ANTARA KORBAN DENGAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PEMIDANAAN - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 157

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 13

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 39

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 31

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 5

Eksistensi Perdamaian Antara Korban dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 2

Penerapan Diversi Terhadap Anak Sebagai Pelaku Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan)

0 0 1