Konflik Intern Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992

Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.

3.1 Konflik Intern

Konflik dalam tubuh PDI muncul segera setelah Kongres I PDI berakhir 1977. Konflik terjadi antara Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranawidjaja ketua umum dan ketua Dewan Pimpinan Pusat hasil Kongres I melawan Achmad Sukarmadidjaja dan Muhidin Nasution keduanya juga ketua DPP hasil Kongres I. Pertentangan kemudian memunculkan kubu-kubu di antara anggota yang lain. Konflik berawal dari perbedaan pendapat mengenai pencalonan unsur PDI untuk duduk dalam jabatan pemimpin MPRDPR. Ketika itu Isnaeni terpilih menjadi wakil ketua MPRDPR dengan dukungan F-KP dan F-ABRI. Namun, hal itu ditentang lawan-lawan politiknya dalam tubuh PDI. Perbedaan pendapat ini kemudian melebar dengan digantinya Ketua Umum Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranawidjaja. Mereka digantikan secara sepihak oleh Mh. Isnaeni sebagai ketua umum dan Soenawar Soekawati sebagai ketua DPP dengan cara membentuk DPP tandingan. Pembentukan DPP tandingan ini dilakukan atas prakarsa Achmad Sukarmadidjaja. Hal ini tentu saja ditolak oleh SanusiUsep dan dianggap inkonstitusional. 45 45 Manuel Kaisiepo, Op.cit., hlm. 79. Kemelut yang melibatkan sebagian besar tokoh dari PNI ini kemudian memecah pengurus PDI lainnya menjadi dua kubu. Pengurus dari unsur IPKI dan Murba mendukung DPP Peralihan, sedangkan Partai Katolik dan Parkindo menentangnya. Setelah konflik berlarut-larut, maka pada tanggal 16 Januari 1978 tercapailah kesatuan kembali di antara pihak-pihak yang bersengketa. Namun, “rujuk” di antara dua kubu tersebut tidak lepas dari peran pemerintah, dalam hal ini Bakin Badan Koordinasi Intelijen Negara, sebagai penengah. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. “Rujuk” tersebut kemudian melahirkan DPP baru, yakni Sanusi Hardjadinata ketua umum; Isnaeni, Soenawar Soekawati, Hardjantho, Usep Ranawidjaja, dan Abdul Madjid ketua; Aberson M. Sihaloho, Adipranoto wakil sekjen, dan Notosukardjo bendahara. Sedang komposisi wakil-wakil dan bekas unsur politik lain tidak mengalami perubahan. Namun, penyelesaian oleh pemerintah ternyata lebih merupakan penyelesaian politis dan bukan organisatoris yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Ini terbukti beberapa waktu berselang Sanusi Hardjadinata membebastugaskan Isnaeni dan Soenawar Soekawati melalui Keputusan Ketua Umum No. 003XI1978 tanggal 24 November 1978. Tidak ada alasan yang jelas dari pembebastugasan ini. IsnaeniSoenawar pun, dengan mengatasnamakan wakil DPP PDI, melakukan serangan balasan dengan menarik Sanusi Hardjadinata dari kursi ketua umum. Situasi kemudian tidak menentu. Sampai akhirnya, pada tanggal 16 Oktober 1980, Sanusi mengundurkan diri dari jabatan ketua umum PDI. Konflik kemudian memanas kembali menjelang Kongres II, Januari 1981. Ketika itu terjadi perbedaan pendapat antara SoenaarIsnaeni dengan mereka yang menamakan dirinya “Kelompok Empat” mengenai pelaksanaan Kongres II. Soenawar dan Isnaeni mendukung pelaksanaan kongres, sedangkan Kelompok Empat yang terdiri dari Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandaouw, dan Zakaria, menolaknya. Menurut Kelompok Empat, penyelenggaraan Kongres II tidak sesuai dengan UU No. 31975, ADART Partai, dan Keputusan Kongres I. Keberatan mereka adalah karena kongres akan dilangsungkan tanpa didahului pembentukan Majelis Permusyawaratan Partai dan Dewan Pertimbangan Partai. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. Hal itu bertentangan dengan ADART PDI. Selain itu, Kongres II juga dilangsungkan dengan masih menyebut-nyebut faktor unsur, padahal dalam Kongres I sudah disebutkan bahwa unsur dianggap tidak ada lagi. 46 Menurut Riza Sihbudi, konflik intern PDI sampai periode tersebut adalah konflik antar tokoh PNI garis keras radikal dengan mereka yang lebih moderat. Akhir konflik selalu dimenangkan oleh mereka yang berhaluan moderat. Dalam hal konflik antara SanusiUsep radikal versus IsnaeniSoenawar moderat, kelompok radikal-lah yang tersingkir. Hal ini bisa dipahami karena konflik intern PDI hampir selalu diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah memang berusaha Meskipun Kelompok Empat telah mengajukan keberatan atas penyelenggaraan Kongres II kepada pemerintah, akhirnya pemerintah tetap mengizinkan penyelenggaraan kongres tersebut. Presiden Soeharto sendiri yang membuka kongres itu. Kongres II ini kemudian menghasilkan pengurus baru DPP PDI. Mereka adalah Soenaar Soekawati ketua umum; Hardjantho Soemodisastro, A. Wenas, Achmad Sukarmadidjaja, H. Muhidin Nasution, Wignjosoemarsono, dan Isnaeni ketua; Sabam Sirait sekjen, dan M.B Samosir bendahara. Perlawanan Kelompok Empat ternyata berbuntut panjang setelah susunan DPP PDI hasil Kongres II berfungsi. Anggota Kelompok empat, ditambah dengan Sulomo dan Santoso Donoseputro , kemudian di-recall. Konflik dalam tubuh PDI setelah Kongres I dan Kongres II, terlihat bahwa mereka yang berseteru adalah orang-orang dalam tubuh unsur PNI. Sehingga sulit mengatakan bahwa konflik dalam tubuh PDI, setidaknya sampai Kongres II, adalah konflik antarunsur. 46 Ibid., hlm. 80. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. menampilkan figur-figur politik yang tidak terlalu besar komitmennya terhadap ideologi selain Pancasila. Menjelang Kongres III, konflik kembali muncul. Kali ini yang berseteru adalah kubu Soenawar Soekawati melawan kubu Hardjantho Soemodisastro. Konflik berawal dari sebuah pidato Soenawar pada tahun 1985 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara sekuler. Pidato ini mendapat pro dan kontra dari kalangan PDI dan masyarakat luas. Pernyataan Soenawar ini kemudian dipakai kubu Hardjantho untuk memukul kubu Soenawar. Menjelang kongres terebut, Soenawar menginginkan Kongres III diadakan setelah Pemilu 1987, sementara kubu Hardjantho menghendakinya sebelum pemilu. Menurut Soenawar, sebelum pemilu sebaiknya hanya diadakan Munas. Perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaan Kongres III ini sebenarnya lebih memperhitungkan kepentingan pribadi di antara kelompok- kelompok yang berseteru. Soenawar menghendaki pelaksanaan kongres setelah pemilu lebih disebabkan karena ia masih ingin memegang jabatan ketua umum. Sementara ada kesan Hardjantho menghendaki kongres sebelum pemilu karena ia ingin menjadi ketua umum sebelum datangnya pemilu. 47 47 Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, Op.cit., hlm. 56. Hal itu menunjukkan bahwa kepentingan pribadi lebih mendominasi kepentingan partai. Selanjutnya konflik mereda, karena pada Januari 1986 Soenawar Soekawati meninggal dunia. Kubu Hardjantho mendapat angin, karena kemudian Kongres III berhasil dilaksanakan sebelum Pemilu 1987. Kongres III ini dilaksanakan di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta, pada tanggal 15-17 April 1986. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. Bursa ketua umum yang beredar ketika itu adalah Gde Djaksa, Soerjadi, Hardjantho, dan Isnaeni. Namun, sampai dengan berakhirnya Kongres III, tidak diperoleh kesepakatan mengenai siapa ketua umum PDI periode 1986-1991. Kongres yang menemui jalan buntu akhirnya menyebabkan pembentukan kepengurusan DPP diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, yang ketika itu menterinya dijabat Soepardjo Rustam. Berdasarkan konsultasi Menteri Dalam Negeri Mendagri dengan sejumlah tokoh PDI, terpilihlah Soerjadi sebagai ketua umum PDI. Munculnya Soerjadi sebagai ketua umum ketika itu cukup mengejutkan, karena dia bukanlah tokoh yang dikenal di PDI. Bahkan isu yang berkembang ketika itu menyebutkan, bahwa beberapa hari menjelang kongres, Soerjadi memperoleh kartu anggota PDI. 48 Jabatan Meskipun demikian, di mata pemerintah nilai plus Soerjadi adalah bersih dari konflik intern PDI. Sehingga, diharapkan ia bisa meredam konflik selama masa kepemimpinannya. Susunan DPP PDI yang terbentuk juga menggambarkan rekonsiliasi dan terdiri dari wajah-wajah baru. Adapun susunannya, tampak pada tabel beriku. Tabel 6: Susunan DPP PDI 1986-1991 Personel Unsur Ketua Umum Soerjadi PNI Ketua B.N Marbun Partai Katolik Sukowaluyo IPKI Nur Achari Murba Yahya Nasution IPKI Dudy Singadilaga PNI Wakil Ketua Anjar Siswoyo PNI Marcel Beding Partai Katolik P. Silalahi Parkindo Fatimah Achmad PNI Djufri IPKI 48 Ibid., hlm. 66. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. Royani Haminullah IPKI Sekjen Nico Daryanto Partai Katolik Wakil Sekjen Titi Juliasih PNI Dimmy Haryanto Partai Katolik Anwar Dato PNI Bendahara Lencang Parkindo Wakil Bendahara St. Benuhardjo Parkindo Steve Nafuni Partai Katolik Markus Wauran Partai Katolik Sumber: Arif Zulkifli, PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafiti, 1996, hlm. 65. Pengangkatan Soerjadi sebagai pimpinan DPP PDI, ternyata tidak berarti konflik internal partai berakhir. Banyak tokoh tua terutama tokoh-tokoh yang pernah aktif di PNI tidak senang dengan tampilnya generasi Soerjadi. Berbagai alasan ketidaksenangan itu adalah seperti kedekatan DPP PDI dengan penguasa, manajemen partai, dan prinsip-prinsip musyawarah yang belum sepenuhnya dijalankan kepemimpinan Soerjadi. 49 Hal itu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan konflik intern PDI pasca Kongres III. Misalnya, setengah tahun kepemimpinan Soerjadi, muncul kasus dari DPC “tandingan” di Bandung. Kasus bermula ketika DPP PDI mengangkat Dodo Gandamihardja sebagai Pejabat Semenatara Ketua DPC Bandung, Agustus 1986. Padahal Ketua DPC PDI Bandung, Tarwia Sutendi, belum diberhentikan. Kasus ini berakhir dengan hijrahnya 26.328 warga PDI yang dipimpin oleh Tarwia ke Golkar. 50 Konflik yang berkepanjangan terus melanda PDI. Konflik intern yang pertama setelah Pemilu 1987 adalah “pembangkangan” tiga orang anggota DPR F-PDI terhadap keputusan DPP PDI Nomor 059 Tahun 1986, yang membatasi 49 Ibid., hlm. 57. 50 Tempo, 29 November 1986, hlm. 13. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. masa tugas anggota DPR F-PDI maksimal dua periode dan melarang jabatan rangkap. SK ini bertujuan untuk memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda dan agar mereka yang telah menjabat dua periode kembali ke partai berkonsentrasi pada tugasnya. Pelaksanaan SK tersebut tidak bisa berjalan dengan baik. Ada tiga orang anggota DPR F-PDI yang terkena SK itu menolak untuk mengundurkan diri. Ketiga orang itu adalah Kemas Fachruddin Ketua DPD PDI Sumatera Selatan, F. C. Palaoensuka Ketua DPD Kalimantan Barat, dan Achmad Subagio tokoh PDI Jawa Tengah. Mereka menganggap secara konstitusional, pencalonan mereka sebagai anggota DPR tetap sah, karena mereka dicalonkan oleh musyawarah cabang dan DPP PDI. 51 Kejadian ini menunjukkan bahwa dimensi konflik warisan dan dimensi kepentingan pribadi masih mewarnai konflik-konflik intern di tubuh PDI, termasuk konflik setelah Pemilu 1987. 52 Namun, karena konsep Nico Daryanto dimaksudkan sebagai bahan masukan yang hendak diajukan kepada BP MPR, maka ke-17 anggota DPRMPR Munculnya kasus Kelompok 17 pada akhir November 1987, membuktikan masih ada konflik di dalam tubuh PDI yang berdimensi konflik warisan maupun kepentingan pribadi. Kasus ini bermula dari sebuah konsep yang dibuat oleh Ketua F-PDI di MPR merangkap Sekjen DPP PDI, Nico Daryanto yang menghendaki pendidikan agama dihapuskan dari kurikulum sekolah-sekolah. Padahal, konsep tersebut belum merupakan pendapat resmi PDI, karena tidak semua anggota fraksi di MPR menerima konsep itu. Badan Pekerja BP PDI di MPR juga menolak konsep tersebut. 51 Tempo, 18 Juli 1987, hlm. 15-16. 52 Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, Op.cit., hlm. 58. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. dari F-PDI melancarkan protes keras terhadap DPP PDI dan pimpinan F-PDI di MPR. Mereka yang menentang konsep tersebut dikenal masyarakat luas sebagai Kelompok 17. Mereka menilai konsep Nico Daryanto bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945. 53 Mayoritas anggota Kelompok 17 berasal dari unsur PNI, seperti Teuku Thalib Ali, H. Marsoesi, Dudy Singadilaga, Kemas Fachruddin, Jusuf Merukh, Achmad Subagio, Suparman Adiwijaya, Abdul Djafar, dan I.G.N. Yudha. Di antara Kelompok 17 terdapat tiga tokoh yang sebelumnya terlibat kasus “pembangkangan”, yaitu Kemas Fachruddin, Achmad Subagio, dan J.C Palaoensuka. Ada juga lima tokoh di antara Kelompok 17 tersebut yang masih memegang jabatan sebagai sebagai Ketua DPD PDI, yaitu Kemas Fachruddin Ketua DPD PDI Sumatera Selatan, F.C Palaoensuka Ketua DPD PDI Kalimantan Barat, H. Teuku Thaib Ali Ketua DPD PDI Aceh, H. Marsoesi Ketua DPD PDI Jawa Timur, dan Dudy Singadilaga Ketua DPD PDI Jawa Barat. 54 Empat hari kemudian, 12 Desember 1987, Kelompok 17 kembali menerbitkan surat mempersoalkan pembacaan prosa lirik karya Linus Suryadi Pada tanggal 8 Desember 1987, Kelompok 17 mengajukan surat pernyataan kepada DPP PDI agar Nico Daryanto mengundurkan diri dari jabatan sebagai Sekjen. Hal itu timbul karena pimpinan fraksi menolak untuk mendengarkan aspirasi mereka bahkan sering berbicara atas nama partai, padahal hasil pemikiran dari satu atau sekelompok orang saja, seperti mengenai penghapusan pendidikan agama dari kurikulum sekolah. 53 Ibid., hlm. 59. 54 Ibid. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. AG. Prosa lirik dibacakan oleh dr. Waluyo Mintorahardja, anggota PDI di BP MPR. Kelompok 17 tersinggung karena prosa itu dibacakan oleh Suko Waluyo bukan secara pribadi, melainkan selaku wakil PDI di sidang BP MPR. Dalam Sidang Umum MPR mulai 1 hingga 11 Maret 1988, Kelompok 17 memanfaatkan ketidaktegasan sikap DPP PDI untuk menentukan calon wakil presiden. Kelompok 17 mengajukan Menteri Sekretaris Negara, Letjen. purn Sudharmono, S.H. sebagai calon wakil presiden. Akan tetapi, sebelumnya, Sudharmono, yang kemudian sebagai calon tunggal, telah dicalonkan oleh F-KP dan Fraksi Utusan Daerah, dan didukung oleh Fraksi ABRI. Situasi ini membuat DPP PDI dan F-PDI di parlemen kian terpojok, sebaliknya Kelompok 17 bagaikan mendapat kesempatan yang baik. Kasus Kelompok 17 berlanjut sampai saat diadakan Rapat Pimpinan Rapim DPP PDI di Cisarua, Jawa Barat, mulai 23 hingga 26 Maret 1988. Salah satu keputusan dari Rapim DPP PDI tersebut adalah pembekuan kepengurusan DPD Jawa Barat dan memecat delapan tokoh partai yang dianggap akan melancarkan “kudeta”. Kedelapan tokoh yang dipecat itu adalah: Dudy Singadilaga Ketua DPD PDI Jawa Barat, H. Marsoesi Ketua DPD Jawa Timur, H. Kemas Fachruddin Ketua DPD Sumatera Selatan, F.C. Palaoensuka Ketua DPD PDI Kalimatan Barat, H. Teuku Thaib Ali Ketua DPD PDI Aceh, M. Darwis Wakil Ketua DPD PDI Bengkulu, Suparman Adiwidjaja Wakil Ketua DPD PDI Jawa Barat, dan Jusuf Merukh tokoh PDI Jawa Barat. Keputusan pemecatan tersebut ditetapkan melalui SK Nomor 121 Tahun 1988 yang ditandatangani oleh Soerjadi Ketua Umum dan Nico Daryanto Sekjen. Sementara kedelapan tokoh yang diberitakan akan melancarkan Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. “kudeta” mengumumkan susunan “DPP Tandingan” yang terdiri atas Dudy Singadilaga Ketua Umum, Marsoesi Sekjen, dan Jusuf Merukh Wakil Ketua Umum. 55 Usaha Dudy-Marsoesi untuk menggulingkan Soerjadi tidak pernah berhenti. Kelompok ini memakai tuduhan manipulasi hasil kongres. Menurut Dudy dan kawan-kawan, penyelenggaraan Kongres PDI IV sesuai dengan Anggaran Dasar partai berlangsung lima tahun sekali. Artinya seharusnya kongres diadakan tahun 1991. Tetapi menurut DPP PDI, kongres diadakan pada tahun 1993. Pada hari berikutnya, Marsoesi mengumumkan susunan “DPP PDI Tandingan”, dan sejumlah tokoh yang dipecat menyatakan tidak akan mematuhi SK DPP PDI Nomor 121 Tahun 1988. Puncak pertarungan antara Kelompok 17 dan DPP PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi-Nico adalah peristiwa “kudeta” di Cisarua yaitu peristiwa pendudukan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, selama tujuh jam. Peristiwa yang dilakukan Dudy Singadilaga dan kawan-kawan berlangsung pada 14 Desember 1989. Kelompok Dudy Singadilaga yang tidak puas terhadap kepemimpinan Soerjadi, mengaku dari 19 propinsi. Mereka meminta agar Dudy kembali menjalankan fungsi sebagai Ketua DPP PDI. Kemudian Dudy membuat dua surat pernyataan resmi, yaitu surat pencabutan pemecatan atas delapan anggota PDI termasuk dirinya dan SK tentang pembentukan panitia kongres luar biasa PDI yang berlangsung pada tahun 1990. 56 55 Tempo, 23 Desember 1989, hlm. 21. 56 Hasil Kongres III PDI 1986 di Jakarta, memutuskan bawa Kongres IV diselenggarakan dalam bulan April 1993 sesudah Sidang Umum MPR. Ketentuan ini tertera dalam Bab XVIII Aturan Tambahan pasal 29 Anggaran Dasar PDI. Hal itu berarti Soerjadi boleh memimpin PDI selama tujuh tahun. Munculnya aturan tambahan itu menurut Hamid Notowidagdo, Kepala Sekretariat PDI, adalah karena selama ini kongres PDI jatuh setahun menjelang pemilu. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. Dengan dalih bahwa DPP PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi telah melakukan manipulasi terhadap hasil kongres, maka Dudy dan kawan-kawan melakukan aksi pendudukan kantor DPP. Dudy yakin bahwa dia akan mendapat dukungan dari pemerintah dan berarti DPP saat itu batal dan mereka bisa mengadakan kongres luar biasa. 57 Pada tanggal 29 Desember 1989, Kelompok Dudy Singadilaga mengumumkan telah terbentuknya Panitia Kongres IV PDI yang diketuainya sendiri, dan sekretarisnya Suparman Adiwidjaja yang beranggotakan 30 orang. Mereka menyebut bahwa kantor panitia beralamat di DPP PDI Jalan Diponegoro Jakarta. Menanggapi hal itu, Ketua DPP PDI Fatimah Achmad menyatakan bahwa pembentukan panitia kongres tersebut tidak sah. Karena kelompok itu sudah dipecat keanggotaannya dari PDI. 58 Namun sikap pemerintah cenderung memihak pada DPP yang memiliki legitimasi yaitu yang terpilih melalui kongres. Menteri Dalam Negeri Rudini menggap konflik itu sebagai masalah intern PDI dan juga menambahkan bahwa perbedaan pendapat itu wajar, lebih baik bermusyawarah. Selanjutnya Rudini menyatakan bahwa pimpinan dan warganya jangan konfrontatif. 59 Tuntutan untuk mengadakan kongres terus bergulir, sekitar 400 orang menamakan dirinya sebagai kader, generasi muda, mantan pengurus DPDDPC PDI mewakili 200 cabang dari 9 privinsi se-Indonesia datang ke gedung DPR Akibatnya, dengan tenggang waktu yang mepet itu, tak banyak waktu buat pimpinan yang baru untuk mengkonsolidasi partainya. Lihat Tempo, 15 Juni 1991, hlm. 26-27. 57 Tempo, 23 Desember 1989, hlm. 21. Dalam wawancara dengan Tempo, Soerjadi mengatakan bahwa syarat melakukan kongres luar biasa adalah apabila ada persetujuan dari DPP dan lebih dari separuh jumlah cabang meminta kongres. Lihat Tempo, 15 Juni 1991, hlm. 30. 58 Sinar Indonesia Baru, 30 Desember 1989, hlm. 1. 59 Tempo, 23 Desember 1989, hlm. 22. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. tanggal 13 Juni 1991. 60 Mereka menemui pimpinan F-ABRI untuk meminta bantuan melicinkan jalan menuju Kongres IV PDI. 61 PDI kembali diguncang oleh 400 orang yang mengaku kader PDI, datang ke markas besarnya di Jakarta tanggal 29 Agustus 1991. Mereka mengumumkan pembentukan DPP PDI Peralihan dengan ketua umumnya Achmad Subagyo, tokoh PDI dari Jawa Tengah yang dipecat Soerjadi bersama Kelompok 17, dan Sekjen M.B. Samosir. Menurut Achmad Subagyo, sebelumnya dia didatangi oleh orang-orang PDI dari berbagai daerah, yang intinya mendesak agar ditetapkan DPP PDI karena DPP PDI hasil Kongres III seharusnya sudah berakhir sejak Mei 1991. Yahya Nasution, Ketua DPP PDI, menilai bahwa gerakan tersebut inkonstitusional dan merugikan PDI sendiri. 62 Sementara, Menteri Dalam Negeri, Rudini, menegaskan bahwa pemerintah tetap tidak akan mengakui lembaga politik tandingan, termasuk DPP PDI Peralihan yang dipimpin oleh Achmad Subagyo. Pemerintah hanya akan mengakui lembaga politik hasil musyawarah atau kongres. 63 Anggota Dewan Pertimbangan Pusat Deperpu PDI, Sabam Sirait, mengatakan bahwa Deperpu tidak pernah membicarakan pembentukan DPP PDI Peralihan mengatasnamakan Deperpu. Sedangkan, Ketua Umum PDI berpendapat, pembentukan DPP PDI Peralihan di bawah kepemimpinan Achmad Subagyo adalah masalah kecil, apalagi Mendagri Rudini sendiri selaku pembina politik sudah mengatakan bahwa DPP tandingan tidak sah. 64 60 Sinar Indonesia Baru, 14 Juni1991, hlm. 1. 61 Mimbar Umum, 15 Juni1991, hlm. 1. 62 Sinar Indonesia Baru, 30 Agustus 1991, hlm. 1. 63 Sinar Indonesia Baru, 16 Oktober 1991, hlm. 1. 64 Mimbar Umum, 1 September, hlm. 1. Konflik yang terjadi di pusat sangat mempengaruhi konsolidasi partai di daerah-daerah, baik di Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. propinsi maupun di kabupatenkota. Hal ini ditandai dengan aksi-aksi pendudukan kantor partai. 65 Dengan latar belakang ideologi dan sejarah pembentukan yang berbeda- beda, PDI sulit menjadi partai yang solid dalam hal identitas partai. Misalnya sangat sulit menyatukan Partai Murba yang sosialis dengan Partai IPKI yang berwatak militer, tentu cara berpikirnya berbeda. Begitu juga antara Parkindo dan Partai katolik, meskipun kitab sucinya sama tapi berbeda secara historis. Sehingga sulit mengakomodir tokoh-tokoh dari masing-masing partai dari pusat sampai ke kabupatenkota. Apabila ada kelompok yang dominan, maka sering terjadi konflik. Artinya di tingkat daerah pun sudah terjadi perpecahan partai yang membagi kader-kadernya menjadi dua kubu.

3.2 Persoalan Identitas Partai