Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota- anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita kekuasaan.
1
Pergerakan nasional berkembang pesat sejak berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 di Jakarta. Pada perkembangan selanjutnya menjadi partai-partai
politik yang didukung massa buruh-tani. Dalam konteks pergerakan nasional, Tujuan
kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka. Partai politik juga merupakan salah satu pilar negara demokrasi. Di Indonesia, partai politik telah memainkan peranan yang cukup penting dan berarti
bagi perjuangan kemerdekaan, pengisian kemerdekaan dan bagi pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi.
Munculnya partai politik di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan politik etis yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke-20.
Salah satu isi dari politik etis tersebut adalah edukasi pendidikan, yang diberikan kepada penduduk pribumi. Namun, kebijakan ini justru menjadi bumerang bagi
pihak penjajah Belanda karena pendidikan telah membentuk kesadaran kritis kaum-kaum terpelajar melihat penderitaan yang dialami rakyat. Budi Utomo
merupakan organisasi pergerakan nasional pertama yang pendiriannya dipengaruhi oleh kemelaratan dan kebodohan rakyat.
1
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1985, hlm 160.
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
partai-partai politik berdiri untuk mempermudah penyebaran, pengorganisasian, dan pencapaian cita-cita.
2
Kehadiran partai politik di Indonesia secara garis besar adalah sebagai aktualisasi dari tiga aliran yaitu Islam, Nasionalisme, dan MarxismeSosialisme.
Aktualisasi aliran Islam muncul pertama kali dalam Sarikat Islam SI, sebagai partai politik pertama di Indonesia yang bercorak nasional. Sarikat Islam menjadi
lebih menampakkan diri sebagai partai politik sejak 1912, di bawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Pada saat inilah mulai tersusun program dasar partai dan
program kerja partai. Partai ini pada periode awal mampu mengidentitaskan dirinya untuk perjuangan kemerdekaan.
Kehadiran organisasi nasional lainnya seperti Sarikat Islam dan Indische Partij semakin mengancam Budi Utomo. Dua organisasi yang
terakhir ini dapat disebut sebagai partai politik pertama di Indonesia. Unsur-unsur yang tidak puas dalam Budi Utomo berpindah ke dalam dua organisasi itu.
3
PKI yang lahir pada 1920 dalam waktu singkat berkembang dengan pesat, baik dalam bidang organisasi maupun dalam usaha memasyarakatkan
MarxismeKomunisme. PKI berhasil memikat kaum intelektual Indonesia, terutama dengan memperkenalkan analisa Lenin dan Bucharin tentang
Wibawa SI sebagai partai pelopor, pada 1920-an disaingi dan dikalahkan oleh PKI dan PNI. Hal ini karena terjadi perpecahan di tubuh SI yang ditandai
dengan lahirnya tiga golongan yaitu: golongan berhaluan komunis merah, berhaluan Islam radikal fanatik, dan berhaluan nasional. Lahirnya tiga golongan
dalam SI tentu mempengaruhi masa depan partai politik pertama ini.
2
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005, hlm. 131.
3
Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut, Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1983, hlm. vii.
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
imperialisme sebagai tingkat terakhir dari kapitalisme. Setelah pemberontakan PKI 19261927 yang persiapannya tidak matang, aktivitas politiknya menghilang
dari peredaran politik dan aktif kembali setelah proklamasi kemerdekaan. Setelah PKI menghilang, kedudukannya sebagai partai radikal
revolusioner digantikan oleh PNI yang didirikan oleh Ir. Soekarno dan kawan- kawannya pada 1927. PNI adalah aktualisasi dari ideologi nasionalisme sekuler
dalam pegerakan politik Indonesia. Soekarno banyak belajar dari pengalaman- pengalaman dan kesalahan SI dan PKI. Soekarno menemukan strategi perjuangan
bahwa ketiga ideologi politik, Islam, marxisme, dan nasionalisme harus bersatu. Hanya dengan persatuan inilah perjuangan untuk mencapai kemerdekaan akan
berhasil.
4
Sesudah kemerdekaan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat BPKNIP yang berfungsi sebagi parlemen mendesak pemerintah agar diberikan
kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya mendirikan partai-partai politik. Hal ini dipenuhi pemerintah dengan adanya Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945
yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. PNI adalah partai non-kooperatif yang tujuannya kemerdekaan. Akhir
1929 Soekarno dan beberapa tokoh PNI lainnya ditangkap dan dihukum. Dengan dipelopori Mr. Sartono, PNI dibubarkan pada 1931. Pada pokoknya sesudah PNI
dibubarkan sampai kedatangan Jepang pada 1942, tidak ada satu ideologi yang dominan dalam pergerakan politik Indonesia. Sedangkan pada masa pendudukan
Jepang 1942-1945 seluruh kegiatan partai politik dihentikan.
5
4
Ibid., hlm. viii-ix.
5
Ibid., hlm. 64.
Maklumat tersebut memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai politik. Dengan dasar
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
maklumat pemerintah inilah kemudian berdiri berbagai partai politik baik yang meneruskan partai politik yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan
zaman pendudukan Jepang maupun yang baru berdiri sama sekali. Akhirnya, partai politik bermunculan, baik partai politik nasional maupun lokal dengan latar
belakang ideologi yang beragam. Adapun partai politik di Indonesia sejak dikeluarkannya Maklumat
Pemerintah tersebut adalah: Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia PSII, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah PERTI, Partai Kristen Indonesia Parkindo,
Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia PNI, Partai Indonesia Raya PIR, Partai Indonesia Raya PARINDRA, Partai Rakyat Indonesia, Partai Benteng
Republik Indonesia, Partai Rakyat Nasional PRN, Partai Wanita Rakyat, Partai Kebangsaan Indonesia PARKI, Partai Kedaulatan Rakyat PKR, Serikat
Kerakyatan Indonesia SKI, Partai Ikatan Nasional Indonesia PINI, Partai Rakyat Jelata PRJ, Partai Tani Indonesia PTI, Perkumpulan Wanita Demokrat
Indonesia, Partai Komunis Indonesia PKI, Partai Sosialis Indonesia PSI, Partai Murba, Partai Buruh, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia PERMAI, Partai
Demokrat Tionghoa, Partai Indo Nasional, Nahdlatul Ulama NU, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia IPKI.
6
Pada tahun 1950 lahir negara kesatuan di bawah naungan UUDS 1950, di mana demokrasi liberal atau demokrasi parlementer dijalankan secara penuh. Pada
periode ini, perpecahan politik dalam kubu ideologi Islam dan Nasionalisme semakin kambuh. Sejak tahun 1952 pendukung utama Masyumi tinggal
Muhammadiyah sedangkan NU menjadi partai politik. Periode ini ideologi politik
6
Ibid., hlm. 68.
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
Islam diwakili empat partai yaitu: Masyumi, NU, PSSI memisah dari Masyumi pada tahun 1947, PERTI dan PPTI Partai Persatuan Tarikat Indonesia. Dari
kubu Nasionalisme ada PNI, PIR Partai Indonesia Raya, PRN Partai Rakyat Nasional dan lain-lain. Dari Komunisme ada PKI dan Acoma Angkatan
Komunis Muda. Perpecahan di kalangan Komunisme ternyata lebih kecil. Pada masa demokrasi liberal, kepentingan golongan sering lebih
diutamakan dari kepentingan negara. Masyumi dan PNI mengakhiri masa-masa kerjasamanya sejak tahun 1953. PNI mulai didekati PKI. Dampaknya, Indonesia
selalu diancam oleh pergantian kabinet yang umumnya berumur pendek. Tetapi demokrasi liberal mencatat suatu peristiwa pelaksanaan demokrasi yang penting
yaitu penyelenggaraan pemilu pertama pada tanggal 25 Nopember 1955. Pada pemilu ini, jumlah partai mencapai 36 partai politik. Pemilu tersebut tidak
sanggup menurunkan jumlah partai. Sebanyak 27 partai masih mempunyai hak hidup, artinya mempunyai kursi dalam parlemen.
7
Ada 37.875.299 orang yang memberikan hak suaranya dari 43.104.464 penduduk yang mempunyai hak pilih. Artinya sebanyak 87,65 pemilih
berpartisipasi dalam pemilu dengan memberikan hak suaranya. PNI, Masyumi, NU, dan PKI adalah empat partai besar hasil pemilu tersebut yang memperoleh
78 dari suara yang sah.
8
7
Manuel Kaisiepo, “Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia”, Prisma, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1991, hlm. 222.
8
Rusli Karim, Op.cit., hlm. 121.
Pemilu ini membentuk dua badan legislatif yaitu parlemen dan majelis konstituante yang bertugas menyusun UUD yang permanen
menggantikan UUDS 1950. Banyak pihak yang mengatakan bahwa pemilu yang pertama ini merupakan pemilu paling demokratis di Indonesia.
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
Kemacetan dalam masalah dasar negara, akhirnya majelis ini dibubarkan oleh kekuatan ekstra parlementer lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan
dukungan tentara. Setelah itu ditetapkanlah Demokrasi Terpimpin 1959-1965, Presiden Soekarno menjadi pusat seluruh kekuasaan. Sehingga parpol kehilangan
kebebasannya. Pada awal 1960 parlemen dibubarkan dan digantikan dengan DPRGR Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang anggotanya dipilih
sendiri. Masyumi dan PSI Partai Sosialis Indonesia dikucilkan dari semua jabatan politik.
Pada masa ini terjalin kerjasama antara Soekarno dan tentara, dan antara Soekarno dan PKI. Kerjasama ini berakhir dengan meletusnya G 30 S pada 1965.
Situasi ini membawa lahirnya Orde Baru dengan Demokrasi Pancasilanya. Namun, dalam pelaksanaannya, tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Karena
pemegang kekuasan sesudah hancurnya Soekarno dan PKI dimonopoli oleh elit militer.
Orde baru membawa warna baru bagi politik Indonesia dengan empat strategi politik, yaitu penghancuran PKI, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian
Pancasila dan UUD 1945, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional, dan mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan
ekonomi. Salah satu tantangan politik nasional pada awal kebangkitan Orde Baru
adalah penataan infra struktur politik. Oleh karena itu, pembangunan politik diarahkan pada strukturisasi lembaga-lembaga politik. Sehingga pemilihan umum
menjadi fokus utama, mengingat wakil-wakil rakyat yang menduduki lembaga perwakilan rakyat tidak didasarkan atas pemilihan oleh rakyat, melainkan melalui
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
pengangkatan oleh presiden. Akhirnya pemilihan umum ini bisa dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971.
Pemilihan umum yang kedua di Indonesia ini diikuti oleh sepuluh kekuatan politik. Kesepuluh kendaraan politik itu adalah: Partai Katolik, Partai
Syarikat Islam Indonesia PSSI, Nahdatul Ulama NU, Partai Muslimin Indonesia Parmusi, Golongan Karya Golkar, Partai Kristen Indonesia
Parkindo, Murba, Partai Nasional Indonesia PNI, Pergerakan Tabiyah Islamiyah Perti, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia IPKI.
9
Golongan Karya merupakan pendatang baru yang mendapat dukungan dari pemerintah dan ABRI. Golkar adalah realisasi dari upaya yang telah dirintis sejak
zaman Demokrasi Terpimpin. Wadah baru yang lahir tanggal 20 Oktober 1964 ini menghimpun hampir 300 buah organisasi fungsional non-politis yang berorientasi
kepada karya dan kekaryaan, yang dulunya tidak berorientasi kepada politik dengan tiga organisasi sebagai tulang punggungnya, yaitu SOKSI, MKGR dan
KOSGORO.
10
9
Ibid., hlm. 167.
10
Ibid., hlm. 160.
Dalam pemilihan umum ini Golongan Karya dengan tema sentral “politik no, pembangunan yes” dan dengan dukungan ABRI tampak lebih mengena
kampanyenya di mata rakyat sambil mengungkit-ungkit kegagalan dan kelemahan partai politik pada masa lalu. Hal ini untuk menarik massa politik dan sekaligus
dalam rangka melumpuhkan partai politik. Ditambah dengan kejelian dalam membaca situasi serta memanfaatkan fasilitas yang dimiliki pemerintah, sehingga
kampanyenya jauh lebih meriah dibandingkan dengan partai-partai politik yang telah berpengalaman dalam pemilihan umum.
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
Adapun hasil akhir dari Pemilihan Umum tahun 1971, dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 1: Hasil Pemilihan Umum Tahun 1971
Partai Jumlah Suara
Kursi Persentase
Golkar 34.348.673
227 62,8
NU 10.213.650
58 18,67
Parmusi 2.930.740
24 7,365
PNI 3.793.266
20 6,94
PSII 1.308.237
10 2,39
Parkindo 745.359
7 1,34
Katholik 605.740
3 1,11
Perti 381.309
2 0,70
IPKI 338.403
0,62 Murba
48.126 0,09
Sumber: Daniel Dhakidae, Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Pasang Surut Partai Politik, Prisma, No. 9, September 1981 dan Adriana Elisabeth Sukamto dkk, PDI dan
Prospek Pembangunan Politik Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1991, hlm. 80.
Kemenangan Golongan Karya sebagai pendatang baru menimbulkan tanda tanya besar. Ada orang yang berpendapat, kemenangan tersebut disebabkan oleh
kecurangan, paksaan, dan menggunakan kekuasaan ABRI. Sementara Ali Murtopo sebagai orang yang berkepentingan dengan Golongan Karya menilainya
dari sudut pandang lain. Dia mengatakan, pemilihan umum tahun 1971 menunjukkan bahwa harapan rakyat ditumpahkan kepada Golongan Karya.
Kemenangan ini membuat Golkar leluasa membuat keputusan tanpa mempedulikan suara pihak partai politik lain, karena jumlah seluruh suara yang
dapat diperoleh partai lain tidak dapat menyamai suara yang diperoleh Golkar.
11
11
Manuel Kaisiepo, Op.cit., hlm. 215.
Kehadiran Golongan Karya pada masa Orde Baru ini dapat dipandang sebagai realisasi dari keinginan para elit politik, yang dalam kurun pertama Orde
Baru ini digantikan oleh ABRI ditambah teknokrat sebagai pengganti kaum sipil pada masa Orde Lama, dalam rangka pembaharuan politik di Indonesia.
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
Salah satu hal yang menonjol di dalam periode perjalanan partai politik pada masa Orde Baru adalah adanya penciutan jumlah partai politik. Usaha
penyederhanaan partai ini sudah mulai dipikirkan pemerintah orde baru sejak tahun 1966. Kemudian pada awal tahun 1970, di hadapan sembilan partai politik
dan Golkar yang ikut dalam pemilu tahun 1971, Presiden Soeharto mengutarakan maksud pemerintah untuk melakukan pengelompokan partai-partai politik.
Pengelompokan tersebut terdiri dari tiga golongan, yaitu Golongan Nasional, Golongan Spiritual, dan Golongan Karya.
12
Usulan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Partai yang mendukung adalah PNI dan IPKI, kemudian diikuti oleh Parmusi dan NU. Sedangkan
golongan yang menolak pengelompokan partai adalah Parkindo dan Partai Katolik.
13
Pengelompokan parpol tersebut merepotkan pembagian fraksi DPR hasil Pemilu tahun 1971. Hasil Pemilu tahun 1971 yang menyingkirkan Murba dan
IPKI sebagai partai yang tidak memiliki wakil dalam DPR menimbulkan persoalan mengenai keberadaan kedua partai itu. Selain itu, MPR hasil Pemilu
tahun 1971 memutuskan hanya akan ada tiga organisasi peserta pada Pemilu tahun 1977.
Akhirnya pada tanggal 4 Maret 1970, terbentuklah Golongan Nasionalis yang terdiri dari PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan Parkindo.
Golongan Spiritual terbentuk pada tanggal 14 Maret 1970 yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII Partai Sarekat Islam Indonesia, dan Perti Persatuan Tarbiyah
Islamiyah.
12
Arif Zulkifli, PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafiti, 1996, hlm. 56.
13
Kedua partai ini tidak sepakat dimasukkan ke dalam golongan spiritual. Mereka lebih senang dimasukkan dalam golongan nasionalis. Karena golongan nasionalis dapat melaksanakan
program yang tidak mementingkan motif-motif ideologis.
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
Golongan Spiritual berubah menjadi Partai Persatuan Pembangunan PPP pada tanggal 5 Januari 1973. Partai berlambang Ka’bah ini menampung NU,
Parmusi, Perti, dan PSSI. Kemudian pada tanggal 10 Januari 1973 Golongan Nasionalis resmi menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Persetujuan pembentukan
PDI ditandatangani oleh wakil-wakil setiap unsur. Mereka adalah, Achmad Sukarmadidjaja dan Mh. Sadri IPKI, Ben Mang Reng Say dan F.S.
Wignjosoemarsono Partai Katolik, A. Wenas dan Sabam Sirait Parkindo, S. Mubantoko dan Djon Pakan Murba, serta Mh. Isnaeni dan Abdul Madjid
PNI.
14
Bagi PDI, pemfusian partai menimbulkan konflik intern yang berkepanjangan di dalam tubuh PDI. Konflik intern disebabkan oleh persaingan
antar unsur dan antar individu. Mereka yang sering berkonflik adalah mereka yang berasal dari unsur PNI.
Pemfusian partai ini membawa konsekuaensi buruk bagi partai politik. Pertama, posisi partai menjadi begitu tergantung kepada tendensi politik nasional
yang sebenarnya tidak mengakar pada rakyat banyak. Kedua, fusi menjadikan partai politik sulit menjelaskan esensi kehadirannya di hadapan tata politik
nasional yang ada. Karena proses fusi ini adalah kehendak dari penguasa Orde Baru, bukan kehendak dari partai politik itu sendiri.
15
14
Ibid., hlm. 58.
15
Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, PDI Dan Prospek Pembangunan Politik, Jakarta: Penerbit Grasindo, 1991, hlm. 54-55.
Selain itu, PDI kehilangan identitas sebagai partai yang bersatu. Latar belakang ideologis yang berbeda di antara partai yang berfusi
menjadikan PDI kehilangan simbol dirinya. Hal ini berakibat langsung kepada massa pendukungnya. Tidak seperti PPP yang mengidentikkan dirinya dengan
Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.
Islam, maka PDI tidak punya pilihan ideologis. Selain itu, kondisi PDI juga banyak dipengaruhi faktor eksternal yang tidak menguntungkan.
16
Dengan melihat gambaran singkat di atas, maka masalah yang dihadapi PDI pasca fusi serta keberhasilannya dalam Pemilu tahun 1987 dan tahun 1992,
sangat menarik untuk dikaji, apalagi belum banyak sejarawan yang mengkajinya di Sumatera Utara. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mencoba
menguraikan masalah yang dihadapi PDI sejak pemfusian partai 1973 hingga Pemilu tahun 1992. Pemilihan topik ini tentunya berdasarkan kedekatan
emosional dan intelektual penulis.
17
1. Bagaimana proses penyederhanaan partai politik dan fusi PDI
Meskipun demikian, penulis tetap bersikap kritis dalam melakukan penelitian agar hasilnya obyektif. Dalam hal ini penulis
bebas dari tarik ulur kepentingan apapun kecuali kepentingan akademis.
1.2 Rumusan Masalah