Perundang-undangan Yang Mengebiri Partai Politik

Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.

3.3 Perundang-undangan Yang Mengebiri Partai Politik

Peraturan perundang-undangan mengenai pemilu yang pertama pada masa orde baru adalah UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota- anggota Badan Permusyawaratan RakyatPerwakilan Rakyat. Selanjutnya, UU ini mengalami tiga kali perubahan, yaitu tahun 1975 UU No. 14 Tahun 1975, tahun 1980 UU No. 2 Tahun 1980, dan terakhir tahun 1985 UU No. 1 Tahun 1985. UU No. 1 Tahun 1985 dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah PP No. 35 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1985. UU No.11985 ini juga berkaitan erat dengan UU No. 21985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD serta UU No. 31985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Dari ketiga undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, sangat merugikan partai politik. Hal ini bisa dilihat dalam UU No. 21985 yang menyebutkan bahwa DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat. Artinya, keanggotaannya merupakan perwakilan. Dalam pelaksanaannya masih ada anggota DPR yang diangkat, yakni seratus orang dari ABRI. 69 Dalam UUD 1945 Pasal 2 ayat 1 disebutkan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan Undang-undang”. 70 Mengenai wakil-wakil golongan, penafsiran resmi dalam Penjelasan UUD 1945 adalah “Badan-badan seperti koperasi, serikat sekerja dan lain-lain badan kolektif”. “Lain-lain badan kolektif” inilah yang kemudian ditafsirkan menjadi 69 Sejak Pemilu 1971, para anggota ABRI tak ikut menyuarakan aspirasi politiknya melalui pencoblosan. Seratus kursi jatah untuk ABRI merupakan seperlima dari seluruh kursi DPR adalah kompensasinya sehingga mereka mempunyai wakil di lembaga legislatif. Lihat Tempo, 13 Juni 1992, hlm. 30. 70 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. basis legalitas pengangkatan ABRI menjadi anggota perwakilan rakyat. Pengangkatan anggota ABRI ini berpengaruh terhadap formasi politik di DPR. Dalam sidang-sidang DPR, F-ABRI ditambah fraksi pemerintah Golkar seringkali melemahkan posisi tawar fraksi dari partai politik. 71 Dalam hal Pemilu, partai politik juga dirugikan dengan perundang- undngan yang ada. UU tentang Pemilu No. 351985 Pasal 27 ayat 2 menyebutkan Kebijakan perundang-undangan ini juga memutus hubungan partai politik dengan massanya sehingga lahirlah massa mengambang. Kebijakan massa mengambang ini kemudian dijustifikasi dengan keluarnya UU No. 31975 dan kemudian diperbaharui dengan UU No. 31985. Organisasi hanya diizinkan aktif sampai tingkat ibukota kecamatan yang menyebabkan parpol kehilangan basis dukungan dari massanya di desa-desa. Pada awalnya kebijakan massa mengambang ini bertujuan untuk mengeliminasi konflik-konflik politik di desa serta menghapuskan kesan “politik adalah panglima” yang pernah ada pada masa Orde Lama. Namun dalam perkembangan selanjutnya, justru kebijakan ini menghambat proses kaderisasi parpol, khususnya PDI. PDI yang terbentuk dari partai yang mengakar di rakyat banyak, seperti PNI, jelas kehilangan basis dukungannya karena kebijakan ini. Selain itu, struktur organisasi partai pun terbatas hanya sampai Daerah Tingkat II, meski diizinkan menempatkan komisaris di tingkat kecamatan. Hal yang sama ternyata tidak berlaku bagi Golkar. Identifikasi Golkar dengan birokrasi memudahkan Golkar melakukan kaderisasi sampai ke aparat pada level terbawah. 71 Kedekatan ABRI dan Golkar merupakan ikatan sejarah dimana Golkar adalah kristalisasi dari Sekretariat Bersama Sekber Golongan Karya yang dibentuk oleh Angkatan Darat untuk menandingi PKI pada Oktober 1964. Lihat Tempo, 13 Juni 1992, hlm. 31. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. bahwa anggota Pantarlih Panitia Pendaftaran Pemilih terdiri dari unsur pemerintah sebanyak-banyaknya lima orang. UU ini secara tidak langsung menutup kemungkinan masuknya parpol sebagai panitia pemilu. Bagi parpol keadaan tersebut merugikan, karena parpol tidak bisa mengawasi jalannya pemilu langsung sebagai panitia. Parpol hanya sebagai saksi dalam penghitungan suara. Selain itu, UU No. 351985 juga memungkinkan jabatan rangkap lurah menjadi ketua sekaligus anggota Pantarlih. Jabatan rangkap ini telah mengaburkan asas luber langsung, umum, bebas, dan rahasia, karena posisi pejabat kepala desalurah merangkap fungsionarisanggota Golkar. Beberapa pengamat menilai, panitia biasanya cenderung memihak Golkar. Hal ini bisa dipahami karena salah satu bagian dari keluarga besar Golkar adalah birokrasi. 72 72 Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, Op.cit., hlm. 51. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. BAB IV KEBERHASILAN PDI DALAM PEMILU 1987 DAN 1992

4.1 Pemilu Sebelum 1987