Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992

(1)

Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992,

FUSI PDI: MASALAH YANG DIHADAPI

SERTA KEBERHASILANNYA DALAM PEMILU 1987 DAN 1992

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : JHON RIVEL PURBA

NIM : 040706029

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

FUSI PDI: MASALAH YANG DIHADAPI

SERTA KEBERHASILANNYA DALAM PEMILU 1987 DAN 1992

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : JHON RIVEL PURBA

NIM : 040706029

Pembimbing

Drs. Bebas Surbakti NIP 195705161986011002

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

FUSI PDI: MASALAH YANG DIHADAPI

SERTA KEBERHASILANNYA DALAM PEMILU 1987 DAN 1992 SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : JHON RIVEL PURBA

NIM : 040706029

Pembimbing

Drs. Bebas Surbakti NIP 195705161986011002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

FUSI PDI: MASALAH YANG DIHADAPI

SERTA KEBERHASILANNYA DALAM PEMILU 1987 DAN 1992 Yang diajukan oleh:

Nama: Jhon Rivel Purba NIM: 040706029

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Pembimbing

Drs. Bebas Surbakti tanggl……….

NIP 195705161986011002

Ketua Departemen Sejarah

Dra. Fitriaty Harahap, S.U tanggal……….

NIP 195406031983032001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua Departemen

Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP 195406031983032001


(6)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Sastra USU Dekan

Prof. Syaifuddin, M.A Ph.D NIP 196509091994031004

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1 Drs. Bebas Surbakti ( )

2 Dra. Fitriaty Harahap, S.U ( )

3 Dra. Nurhabsyah M.Si ( )

4 Drs. Samsul Tarigan ( )


(7)

ABSTRAK

Proses penyederhanaan partai politik yang digulirkan oleh pemerintah Orde Baru menimbulkan persoalan baru dalam iklim demokrasi di Indonesia. Hal ini karena proses fusi partai politik bukan berdasarkan keinginan partai politik itu sendiri, melainkan karena “paksaan” rezim yang berkuasa. Kondisi inilah yang dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari lima partai politik, yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo).

Konsekuensi yang dialami PDI pasca fusi adalah persoalan identitas partai, konflik intern, peraturan yang mengebiri partai politik, dan tekanan dari pihak yang berkuasa. Latar belakang, ideologi, dan basis massa tiap-tiap unsur partai yang berbeda-beda, merupakan salah satu hal mempersulit konsolidasi partai. Selain itu konflik yang berkepanjangan di dalam tubuh PDI, baik konflik warisan, antar unsur, maupun kepentingan pribadi, semakin menyesakkan nafas kehidupan partai ini. Kondisi ini diperparah dengan produk perundang-undangan yang membatasi ruang gerak partai melaksanakan fungsi-fungsinya. Sehingga bisa dikatakan PDI hanya sebagai partai “pelengkap” demokrasi yang jauh dari massa.

Satu hal yang menarik, di tengah-tengah konflik intern yang berkepanjangan, PDI berhasil dalam meraih dukungan rakyat khususnya generasi muda dalam Pemilu 1987 dan Pemilu 1992. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah suara yang signifikan pada periode tersebut. Tentu banyak faktor yang menyebabkan keberhasilan tersebut seperti faktor kepemimpinan partai, faktor Bung Karno, dan media massa. Permasalahan PDI pasca fusi dan keberhasilannya dalam Pemilu 1987 dan Pemilu 1992 adalah pokok kajian dalam tulisan ini.


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam mengerjakan skripsi ini, begitu besar gelombang tantangan yang penulis hadapi. Api semangat penulis sudah hampir padam dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Di saat teman-teman satu angkatan penulis sudah sibuk mengerjakan tugas akhir dan bahkan sudah menyelesaikannya, penulis masih terus bertanya-tanya di persimpangan jalan. Apakah melalui jalan karya dan pengabdian, atau penyelesaian studi dari kampus untuk kemudian berkarya dan mengabdi bagi rakyat. Selama hampir satu tahun penulis memilih jalan yang pertama, melalui keaktifan menulis di media, penelitian dan berorganisasi. Namun, berkat dukungan banyak pihak, penulis menyadari bahwa sudah saatnya menyelesaikan skripsi agar lebih maksimal berkarya ketika menjadi alumni. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka:

1. Bapakku (Rusdiaman Purba) dan mamaku (Resniada Sinaga). Terima kasih bapa dan mama, atas dukungan, didikan, nasehat, doa-doa, dan segala kebaikan yang telah diberikan kepadaku. Skripsi ini kupersembahkan untuk bapa dan mama. Kiranya Tuhan memberkati segala mimpi-mimpi dan harapan kita.

2. Terima kasih kepada adik-adikku (Cahriady, Marwan, Jhon Canri, dan Maria Kristina) atas dukungan kalian kepadaku. Semoga kalian lebih baik dari aku dan tetaplah kibarkan bendera semangat kalian untuk meraih cita-cita.

3. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra USU Medan.

4. Ibu Dra. Fitriaty Harahap S.U, dan Ibu Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Sejarah yang telah memberikan saran kepada penulis.

5. Ibu Dra. Dewi Murni M.A selaku dosen wali penulis.

6. Bapak Drs. Bebas Surbakti, yang telah membimbing penulis dalam mengerjkan skripsi ini.


(9)

7. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen di Departemen Sejarah yang telah mendidik penulis selama mahasiswa. Terima kasih juga kepada Bang Ampera yang telah memberikan pelayanan administrasi di Departemen Sejarah.

8. Kepada UKM KMK USU yang telah membina penulis agar senantiasa menjadi garam dan terang dunia kapan pun dan di mana pun berada.

9. Terima kasih buat kelompok kecil (KK) Rajawali (Era, Tongam, Roganda, dan Randi) yang telah menemani penulis mengepakkan sayap terbang di angkasa perjuangan dan dalam menyalakan obor pikiran.

10.Terima kasih kepada adik-adik kelompokku: KK Aurora (Derni, Erliana, Friyanti, dan Sancani), KK Sejarah 08 (Cahaya, Frider, Glorika, dan Jan Sarman), dan KK Bahasa Inggris Nomensen 07 (Bintang, Devhi, Dewi, dan Masnita). Semoga kalian tetap bersinar.

11.Kepada kawan-kawan yang pernah mahasiswa Ilmu Sejarah khususnya angkatan 2004. Terima kasih buat waktu yang pernah kita lalui bersama. 12.Kepada adik-adik mahasiswa sejarah, kiranya kalian tetap membudayakan

baca buku, diskusi, menulis, main bola, dan demonstrasi.

13.Terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan KDAS (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial). Bagiku, KDAS adalah tempat belajar dan di sinilah penulis menemukan roh perjuangan membebaskan kaum-kaum tertindas. Vor Veritas.

14.Terima kasih kepada organisasi Pro-Demokrasi yang selalu membela rakyat. Perjuangan kita tak pernah berhenti demi perubahan yang kita cita-citakan.

15.Kepada kaum marginal (buruh, petani, nelayan, dan kaum miskin). Tetaplah teriakkan lagu pembebasan.

16.Terima kasih kepada bidadari merahku, Helen Asrona, yang selalu setia mendukung penulis dalam mengerjakan skripsi ini dan selalu menyegarkan jiwa penulis dalam melewati jalan-jalan berliku penuh duri. 17.Kepada para informan (Zakaria Bangun, Samsul Hilal, Sofyan Piliang,

Noerwahid, dan R. Buttu Hutapea). Terima kasih atas kepingan-kepingan sejarah yang telah disumbangkan.


(10)

18.Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua, khususnya bagi pihak yang tertarik pada sejarah kajian politik.

Medan, 23 Oktober 2009 Penulis


(11)

KATA PENGANTAR

Sudah selayaknya dengan segenap hati dan jiwa, penulis mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena berkat-Nya, penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam mengerjakan tugas akhir ini. Skripsi ini dikerjakan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan perkuliahan penulis di Departemen Sejarah Fakultas Sastra USU.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992”. Tulisan ini menguraikan proses penyederhanaan partai politik dan fusi PDI pada tahun 1973. Ada lima partai politik yang berfusi dalam PDI yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Proses fusi PDI diuraikan dalam Bab II.

Pasca fusi PDI, banyak masalah yang dihadapi PDI baik dari dalam maupun dari luar. Konflik intern, persoalan identitas partai, dan tekanan dari penguasa merupakan masalah mendasar yang dihadapi partai banteng ini. Masalah-masalah tersebut diuraikan dalam Bab III.

Selain itu, tulisan ini juga menganalisis keberhasilan PDI dalam Pemilu tahun 1987 dan tahun 1992, di mana PDI memperoleh peningkatan suara yang signifikan. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari faktor kepemimpinan DPP PDI, pemanfaatan nama besar Bung Karno, antusiasme generasi muda, sikap ABRI, media massa, dan faktor pendukung lainnya. Hal ini diuraikan dalam Bab IV.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dalam tulisan ini. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik yang kritis-konstruktif dari pembaca demi perbaikan tulisan sederhana ini. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Selamat membaca dan hidup demokrasi.

Penulis


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Hasil Pemilihan Umum 1971

Tabel 2 Daerah Basis PNI Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

Tabel 3 Daerah Basis Parkindo Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

Tabel 4 Daerah Basis Partai Katolik Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

Tabel 5 Struktur DPP PDI hasil Kongres II

Tabel 6 Susunan DPP PDI 1986-1991

Tabel 7 Hasil Perolehan Kursi dan Suara Pemilu 1977

Tabel 8 Hasil Perolehan Kursi dan Suara Pemilu 1982

Tabel 9 Hasil Perolehan Kursi dan Suara Pemilu 1987

Tabel 10 Perolehan Kursi PDI untuk DPR-RI

Tabel 11 Persentase Perolehan Suara PDI

Tabel 12 Hasil Perolehan Kursi dan Suara Pemilu 1992


(13)

DAFTAR SINGKATAN

ABRI : Angkatan Bersenjata Republik Indonesia AD/ART : Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga

BP : Badan Pekerja

BUMN : Badan Usaha Milik Negara

DPC : Dewan Pimpinan Cabang

DPD : Dewan Pimpinan Daerah

DPP : Dewan Pimpinan Pusat

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

F-ABRI : Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

F-KP : Fraksi Karya Pembangunan

F-PDI : Fraksi Partai Demokrasi Indonesia G 30 S : Gerakan 30 September

Golkar : Golongan Karya

IPKI : Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia KOSGORO : Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong KOTI : Komando Operasi Tertinggi

LPU : Lembaga Pemilihan Umum

MKGR : Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat

NU : Nahdlatul Ulama

OPP : Organisasi Peserta Pemilu

Parkindo : Partai Kristen Indonesia Parpol : Partai Politik

PDI : Partai Demokrasi Indonesia

PKI : Partai Komunis Indonesia

PNI : Partai Nasional Indonesia

Pemilu : Pemilihan Umum

PPP : Partai Persatuan Pembangunan

RRI : Radio Republik Indonesia

SI : Sarikat Islam

SK : Surat Keputusan

SOKSI : Serikat Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia

TPS : Tempat Pemungutan Suara

TVRI : Televisi Republik Indonesia

UU : Undang-Undang

UUD : Undang-Undang Dasar


(14)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

UCAPAN TERIMA KASIH ... ii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR SINGKATAN ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.4 Tinjauan Pustaka... 12

1.5 Metode Penelitian ... 14

BAB II PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN FUSI PDI ... 15

2.1 Latar Belakang dan Proses Fusi Partai Politik ... 15

2.2 Sejarah Singkat Lima Partai Politik yang Berfusi ke dalam PDI .... 19

2.2.1 Partai Nasional Indonesia (PNI) ... 20

2.2.2 Partai IPKI ... 21

2.2.3 Partai Murba ... 21

2.2.4 Parkindo ... 22

2.2.5 Partai Katolik ... 23

2.3 Struktur Organisasi dan Rekrutmen PDI ... 24

2.4 Hubungan PDI dengan Massa Pendukung Setelah Fusi ... 28

BAB III MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI PDI PASCA FUSI... 32

3.1 Konflik Intern ... 33

3.2 Persoalan Identitas Partai ... 45

3.3 Perundang-undangan Yang Mengebiri Partai Politik ... 48

BAB IV KEBERHASILAN PDI DALAM PEMILU 1987 DAN 1992 ... 51

4.1 Pemilu Sebelum 1987 ... 51

4.2 Pemilu 1987 ... 54


(15)

4.2.2 Faktor Bung Karno ... 57

4.2.3 Kepemimpinan PDI, Sikap NU, ABRI, dan Media Massa ... 59

4.2.4 Pemungutan dan Penghitungan Suara ... 61

4.2.5 Masalah Dalam Pemilu 1987 ... 64

4.3 Pemilu 1992 ... 64

4.3.1 Metode Kampanye ... 65

4.3.2 Faktor Bung Karno ... 66

4.3.3 Kepemimpinan PDI, Sikap NU, ABRI, dan Media Massa ... 67

4.3.4 Pemungutan dan Penghitungan Suara ... 69

4.3.5 Masalah Dalam Pemilu 1992 ... 70

BAB V KESIMPULAN... 72 DAFTAR PUSTAKA ... DAFTAR INFORMAN ... LAMPIRAN ...


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita kekuasaan.1

Pergerakan nasional berkembang pesat sejak berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 di Jakarta. Pada perkembangan selanjutnya menjadi partai-partai politik yang didukung massa buruh-tani. Dalam konteks pergerakan nasional,

Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka. Partai politik juga merupakan salah satu pilar negara demokrasi. Di Indonesia, partai politik telah memainkan peranan yang cukup penting dan berarti bagi perjuangan kemerdekaan, pengisian kemerdekaan dan bagi pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi.

Munculnya partai politik di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan politik etis yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke-20. Salah satu isi dari politik etis tersebut adalah edukasi (pendidikan), yang diberikan kepada penduduk pribumi. Namun, kebijakan ini justru menjadi bumerang bagi pihak penjajah (Belanda) karena pendidikan telah membentuk kesadaran kritis kaum-kaum terpelajar melihat penderitaan yang dialami rakyat. Budi Utomo merupakan organisasi pergerakan nasional pertama yang pendiriannya dipengaruhi oleh kemelaratan dan kebodohan rakyat.

1


(17)

partai-partai politik berdiri untuk mempermudah penyebaran, pengorganisasian, dan pencapaian cita-cita.2

Kehadiran partai politik di Indonesia secara garis besar adalah sebagai aktualisasi dari tiga aliran yaitu Islam, Nasionalisme, dan Marxisme/Sosialisme. Aktualisasi aliran Islam muncul pertama kali dalam Sarikat Islam (SI), sebagai partai politik pertama di Indonesia yang bercorak nasional. Sarikat Islam menjadi lebih menampakkan diri sebagai partai politik sejak 1912, di bawah pimpinan H.O.S Tjokroaminoto. Pada saat inilah mulai tersusun program dasar partai dan program kerja partai. Partai ini pada periode awal mampu mengidentitaskan dirinya untuk perjuangan kemerdekaan.

Kehadiran organisasi nasional lainnya seperti Sarikat Islam dan Indische Partij semakin mengancam Budi Utomo. Dua organisasi yang terakhir ini dapat disebut sebagai partai politik pertama di Indonesia. Unsur-unsur yang tidak puas dalam Budi Utomo berpindah ke dalam dua organisasi itu.

3

PKI yang lahir pada 1920 dalam waktu singkat berkembang dengan pesat, baik dalam bidang organisasi maupun dalam usaha memasyarakatkan Marxisme/Komunisme. PKI berhasil memikat kaum intelektual Indonesia, terutama dengan memperkenalkan analisa Lenin dan Bucharin tentang Wibawa SI sebagai partai pelopor, pada 1920-an disaingi dan dikalahkan oleh PKI dan PNI. Hal ini karena terjadi perpecahan di tubuh SI yang ditandai dengan lahirnya tiga golongan yaitu: golongan berhaluan komunis merah, berhaluan Islam radikal fanatik, dan berhaluan nasional. Lahirnya tiga golongan dalam SI tentu mempengaruhi masa depan partai politik pertama ini.

2

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 2005, hlm. 131.

3

Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut, Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1983, hlm. vii.


(18)

imperialisme sebagai tingkat terakhir dari kapitalisme. Setelah pemberontakan PKI 1926/1927 yang persiapannya tidak matang, aktivitas politiknya menghilang dari peredaran politik dan aktif kembali setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah PKI menghilang, kedudukannya sebagai partai radikal revolusioner digantikan oleh PNI yang didirikan oleh Ir. Soekarno dan kawan-kawannya pada 1927. PNI adalah aktualisasi dari ideologi nasionalisme sekuler dalam pegerakan politik Indonesia. Soekarno banyak belajar dari pengalaman-pengalaman dan kesalahan SI dan PKI. Soekarno menemukan strategi perjuangan bahwa ketiga ideologi politik, Islam, marxisme, dan nasionalisme harus bersatu. Hanya dengan persatuan inilah perjuangan untuk mencapai kemerdekaan akan berhasil.4

Sesudah kemerdekaan, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) yang berfungsi sebagi parlemen mendesak pemerintah agar diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya mendirikan partai-partai politik. Hal ini dipenuhi pemerintah dengan adanya Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.

PNI adalah partai non-kooperatif yang tujuannya kemerdekaan. Akhir 1929 Soekarno dan beberapa tokoh PNI lainnya ditangkap dan dihukum. Dengan dipelopori Mr. Sartono, PNI dibubarkan pada 1931. Pada pokoknya sesudah PNI dibubarkan sampai kedatangan Jepang pada 1942, tidak ada satu ideologi yang dominan dalam pergerakan politik Indonesia. Sedangkan pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) seluruh kegiatan partai politik dihentikan.

5

4

Ibid., hlm. viii-ix.

5

Ibid., hlm. 64.

Maklumat tersebut memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai politik. Dengan dasar


(19)

maklumat pemerintah inilah kemudian berdiri berbagai partai politik baik yang meneruskan partai politik yang telah ada sejak zaman penjajahan Belanda dan zaman pendudukan Jepang maupun yang baru berdiri sama sekali. Akhirnya, partai politik bermunculan, baik partai politik nasional maupun lokal dengan latar belakang ideologi yang beragam.

Adapun partai politik di Indonesia sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tersebut adalah: Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia Raya (PIR), Partai Indonesia Raya (PARINDRA), Partai Rakyat Indonesia, Partai Benteng Republik Indonesia, Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai Wanita Rakyat, Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI), Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), Partai Ikatan Nasional Indonesia (PINI), Partai Rakyat Jelata (PRJ), Partai Tani Indonesia (PTI), Perkumpulan Wanita Demokrat Indonesia, Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Murba, Partai Buruh, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI), Partai Demokrat Tionghoa, Partai Indo Nasional, Nahdlatul Ulama (NU), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).6

Pada tahun 1950 lahir negara kesatuan di bawah naungan UUDS 1950, di mana demokrasi liberal atau demokrasi parlementer dijalankan secara penuh. Pada periode ini, perpecahan politik dalam kubu ideologi Islam dan Nasionalisme semakin kambuh. Sejak tahun 1952 pendukung utama Masyumi tinggal Muhammadiyah sedangkan NU menjadi partai politik. Periode ini ideologi politik

6


(20)

Islam diwakili empat partai yaitu: Masyumi, NU, PSSI (memisah dari Masyumi pada tahun 1947), PERTI dan PPTI (Partai Persatuan Tarikat Indonesia). Dari kubu Nasionalisme ada PNI, PIR (Partai Indonesia Raya), PRN (Partai Rakyat Nasional) dan lain-lain. Dari Komunisme ada PKI dan Acoma (Angkatan Komunis Muda). Perpecahan di kalangan Komunisme ternyata lebih kecil.

Pada masa demokrasi liberal, kepentingan golongan sering lebih diutamakan dari kepentingan negara. Masyumi dan PNI mengakhiri masa-masa kerjasamanya sejak tahun 1953. PNI mulai didekati PKI. Dampaknya, Indonesia selalu diancam oleh pergantian kabinet yang umumnya berumur pendek. Tetapi demokrasi liberal mencatat suatu peristiwa pelaksanaan demokrasi yang penting yaitu penyelenggaraan pemilu pertama pada tanggal 25 Nopember 1955. Pada pemilu ini, jumlah partai mencapai 36 partai politik. Pemilu tersebut tidak sanggup menurunkan jumlah partai. Sebanyak 27 partai masih mempunyai hak hidup, artinya mempunyai kursi dalam parlemen.7

Ada 37.875.299 orang yang memberikan hak suaranya dari 43.104.464 penduduk yang mempunyai hak pilih. Artinya sebanyak 87,65% pemilih berpartisipasi dalam pemilu dengan memberikan hak suaranya. PNI, Masyumi, NU, dan PKI adalah empat partai besar hasil pemilu tersebut yang memperoleh 78% dari suara yang sah.8

7

Manuel Kaisiepo, “Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia”, Prisma, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1991, hlm. 222.

8

Rusli Karim, Op.cit., hlm. 121.

Pemilu ini membentuk dua badan legislatif yaitu parlemen dan majelis konstituante yang bertugas menyusun UUD yang permanen menggantikan UUDS 1950. Banyak pihak yang mengatakan bahwa pemilu yang pertama ini merupakan pemilu paling demokratis di Indonesia.


(21)

Kemacetan dalam masalah dasar negara, akhirnya majelis ini dibubarkan oleh kekuatan ekstra parlementer lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan dukungan tentara. Setelah itu ditetapkanlah Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Presiden Soekarno menjadi pusat seluruh kekuasaan. Sehingga parpol kehilangan kebebasannya. Pada awal 1960 parlemen dibubarkan dan digantikan dengan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) yang anggotanya dipilih sendiri. Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dikucilkan dari semua jabatan politik.

Pada masa ini terjalin kerjasama antara Soekarno dan tentara, dan antara Soekarno dan PKI. Kerjasama ini berakhir dengan meletusnya G 30 S pada 1965. Situasi ini membawa lahirnya Orde Baru dengan Demokrasi Pancasilanya. Namun, dalam pelaksanaannya, tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Karena pemegang kekuasan sesudah hancurnya Soekarno dan PKI dimonopoli oleh elit militer.

Orde baru membawa warna baru bagi politik Indonesia dengan empat strategi politik, yaitu penghancuran PKI, konsolidasi pemerintahan dan pemurnian Pancasila dan UUD 1945, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional, dan mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan (ekonomi).

Salah satu tantangan politik nasional pada awal kebangkitan Orde Baru adalah penataan infra struktur politik. Oleh karena itu, pembangunan politik diarahkan pada strukturisasi lembaga-lembaga politik. Sehingga pemilihan umum menjadi fokus utama, mengingat wakil-wakil rakyat yang menduduki lembaga perwakilan rakyat tidak didasarkan atas pemilihan oleh rakyat, melainkan melalui


(22)

pengangkatan oleh presiden. Akhirnya pemilihan umum ini bisa dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971.

Pemilihan umum yang kedua di Indonesia ini diikuti oleh sepuluh kekuatan politik. Kesepuluh kendaraan politik itu adalah: Partai Katolik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Golongan Karya (Golkar), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Murba, Partai Nasional Indonesia (PNI), Pergerakan Tabiyah Islamiyah (Perti), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).9

Golongan Karya merupakan pendatang baru yang mendapat dukungan dari pemerintah dan ABRI. Golkar adalah realisasi dari upaya yang telah dirintis sejak zaman Demokrasi Terpimpin. Wadah baru yang lahir tanggal 20 Oktober 1964 ini menghimpun hampir 300 buah organisasi fungsional non-politis yang berorientasi kepada karya dan kekaryaan, yang dulunya tidak berorientasi kepada politik dengan tiga organisasi sebagai tulang punggungnya, yaitu SOKSI, MKGR dan

KOSGORO.10

9

Ibid., hlm. 167.

10

Ibid., hlm. 160.

Dalam pemilihan umum ini Golongan Karya dengan tema sentral “politik no, pembangunan yes” dan dengan dukungan ABRI tampak lebih mengena kampanyenya di mata rakyat sambil mengungkit-ungkit kegagalan dan kelemahan partai politik pada masa lalu. Hal ini untuk menarik massa politik dan sekaligus dalam rangka melumpuhkan partai politik. Ditambah dengan kejelian dalam membaca situasi serta memanfaatkan fasilitas yang dimiliki pemerintah, sehingga kampanyenya jauh lebih meriah dibandingkan dengan partai-partai politik yang telah berpengalaman dalam pemilihan umum.


(23)

Adapun hasil akhir dari Pemilihan Umum tahun 1971, dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 1: Hasil Pemilihan Umum Tahun 1971

Partai Jumlah Suara Kursi Persentase

Golkar 34.348.673 227 62,8

NU 10.213.650 58 18,67

Parmusi 2.930.740 24 7,365

PNI 3.793.266 20 6,94

PSII 1.308.237 10 2,39

Parkindo 745.359 7 1,34

Katholik 605.740 3 1,11

Perti 381.309 2 0,70

IPKI 338.403 0 0,62

Murba 48.126 0 0,09

Sumber: Daniel Dhakidae, Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Pasang Surut Partai Politik, Prisma, No. 9, September 1981 dan Adriana Elisabeth Sukamto dkk, PDI dan Prospek Pembangunan Politik (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1991), hlm. 80.

Kemenangan Golongan Karya sebagai pendatang baru menimbulkan tanda tanya besar. Ada orang yang berpendapat, kemenangan tersebut disebabkan oleh kecurangan, paksaan, dan menggunakan kekuasaan ABRI. Sementara Ali Murtopo sebagai orang yang berkepentingan dengan Golongan Karya menilainya dari sudut pandang lain. Dia mengatakan, pemilihan umum tahun 1971 menunjukkan bahwa harapan rakyat ditumpahkan kepada Golongan Karya. Kemenangan ini membuat Golkar leluasa membuat keputusan tanpa mempedulikan suara pihak partai politik lain, karena jumlah seluruh suara yang dapat diperoleh partai lain tidak dapat menyamai suara yang diperoleh Golkar.11

11

Manuel Kaisiepo, Op.cit., hlm. 215.

Kehadiran Golongan Karya pada masa Orde Baru ini dapat dipandang sebagai realisasi dari keinginan para elit politik, yang dalam kurun pertama Orde Baru ini digantikan oleh ABRI ditambah teknokrat sebagai pengganti kaum sipil pada masa Orde Lama, dalam rangka pembaharuan politik di Indonesia.


(24)

Salah satu hal yang menonjol di dalam periode perjalanan partai politik pada masa Orde Baru adalah adanya penciutan jumlah partai politik. Usaha penyederhanaan partai ini sudah mulai dipikirkan pemerintah orde baru sejak tahun 1966. Kemudian pada awal tahun 1970, di hadapan sembilan partai politik dan Golkar yang ikut dalam pemilu tahun 1971, Presiden Soeharto mengutarakan maksud pemerintah untuk melakukan pengelompokan partai-partai politik. Pengelompokan tersebut terdiri dari tiga golongan, yaitu Golongan Nasional, Golongan Spiritual, dan Golongan Karya.12

Usulan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Partai yang mendukung adalah PNI dan IPKI, kemudian diikuti oleh Parmusi dan NU. Sedangkan golongan yang menolak pengelompokan partai adalah Parkindo dan Partai Katolik.13

Pengelompokan parpol tersebut merepotkan pembagian fraksi DPR hasil Pemilu tahun 1971. Hasil Pemilu tahun 1971 yang menyingkirkan Murba dan IPKI sebagai partai yang tidak memiliki wakil dalam DPR menimbulkan persoalan mengenai keberadaan kedua partai itu. Selain itu, MPR hasil Pemilu tahun 1971 memutuskan hanya akan ada tiga organisasi peserta pada Pemilu tahun 1977.

Akhirnya pada tanggal 4 Maret 1970, terbentuklah Golongan Nasionalis yang terdiri dari PNI, Murba, IPKI, Partai Katolik, dan Parkindo. Golongan Spiritual terbentuk pada tanggal 14 Maret 1970 yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).

12

Arif Zulkifli, PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafiti, 1996, hlm. 56.

13

Kedua partai ini tidak sepakat dimasukkan ke dalam golongan spiritual. Mereka lebih senang dimasukkan dalam golongan nasionalis. Karena golongan nasionalis dapat melaksanakan program yang tidak mementingkan motif-motif ideologis.


(25)

Golongan Spiritual berubah menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973. Partai berlambang Ka’bah ini menampung NU, Parmusi, Perti, dan PSSI. Kemudian pada tanggal 10 Januari 1973 Golongan Nasionalis resmi menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Persetujuan pembentukan PDI ditandatangani oleh wakil-wakil setiap unsur. Mereka adalah, Achmad Sukarmadidjaja dan Mh. Sadri (IPKI), Ben Mang Reng Say dan F.S. Wignjosoemarsono (Partai Katolik), A. Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo), S. Mubantoko dan Djon Pakan (Murba), serta Mh. Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI).14

Bagi PDI, pemfusian partai menimbulkan konflik intern yang berkepanjangan di dalam tubuh PDI. Konflik intern disebabkan oleh persaingan antar unsur dan antar individu. Mereka yang sering berkonflik adalah mereka yang berasal dari unsur PNI.

Pemfusian partai ini membawa konsekuaensi buruk bagi partai politik. Pertama, posisi partai menjadi begitu tergantung kepada tendensi politik nasional yang sebenarnya tidak mengakar pada rakyat banyak. Kedua, fusi menjadikan partai politik sulit menjelaskan esensi kehadirannya di hadapan tata politik nasional yang ada. Karena proses fusi ini adalah kehendak dari penguasa Orde Baru, bukan kehendak dari partai politik itu sendiri.

15

14

Ibid., hlm. 58.

15

Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, PDI Dan Prospek Pembangunan Politik, Jakarta: Penerbit Grasindo, 1991, hlm. 54-55.

Selain itu, PDI kehilangan identitas sebagai partai yang bersatu. Latar belakang ideologis yang berbeda di antara partai yang berfusi menjadikan PDI kehilangan simbol dirinya. Hal ini berakibat langsung kepada massa pendukungnya. Tidak seperti PPP yang mengidentikkan dirinya dengan


(26)

Islam, maka PDI tidak punya pilihan ideologis. Selain itu, kondisi PDI juga banyak dipengaruhi faktor eksternal yang tidak menguntungkan.16

Dengan melihat gambaran singkat di atas, maka masalah yang dihadapi PDI pasca fusi serta keberhasilannya dalam Pemilu tahun 1987 dan tahun 1992, sangat menarik untuk dikaji, apalagi belum banyak sejarawan yang mengkajinya di Sumatera Utara. Hal inilah yang mendorong penulis untuk mencoba menguraikan masalah yang dihadapi PDI sejak pemfusian partai (1973) hingga Pemilu tahun 1992. Pemilihan topik ini tentunya berdasarkan kedekatan emosional dan intelektual penulis.17

1. Bagaimana proses penyederhanaan partai politik dan fusi PDI

Meskipun demikian, penulis tetap bersikap kritis dalam melakukan penelitian agar hasilnya obyektif. Dalam hal ini penulis bebas dari tarik ulur kepentingan apapun kecuali kepentingan akademis.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis mengkaji tiga permasalahan penting dari perjalanan politik PDI. Adapun permasalahan yang dikaji yaitu:

2. Apa masalah yang dihadapi PDI pasca fusi

3. Mengapa PDI berhasil dalam Pemilu tahun 1987 dan tahun 1992

Seperti yang telah di singgung sebelumnya, pembatasan periode tahun 1973-1992 dikarenakan pada tahun 1973 merupakan fusi PDI. Tentunya banyak persoalan-persoalan timbul khususnya yang dialami oleh PDI dalam perjalanan politiknya. Tulisan ini dibatasi sampai tahun 1992, di mana pada Pemilu tahun 1992 ini, PDI memperoleh peningkatan jumlah suara yang meningkat drastis dari

16

Arif Zulkifli, Op.cit., hlm. 59.

17


(27)

pemilu sebelumnya meski terjadi konflik internal yang berkepanjangan di dalam tubuh partai ini.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan

1. Menguraikan proses penyederhanaan partai politik dan fusi PDI 2. Menjelaskan masalah yang dihadapi PDI pasca fusi

3. Menganalisis keberhasilan PDI dalam Pemilu tahun 1987 dan tahun 1992 1.3.2 Manfaat

1. Menambah wawasan pembaca mengenai perjalanan politik PDI dalam peta politik nasional

2. Menambah literatur dalam penulisan sejarah guna membuka ruang penulisan sejarah yang berikutnya

3. Memberikan pelajaran bagi pembaca khususnya partai politik agar menjadi cermin dalam berdemokrasi

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam pemilihan topik, penulis menggunakan pendekatan emosional seperti yang dikatakan oleh Kuntowijoyo. Namun, penulis tidak melepaskan begitu saja refrensi untuk melakukan penelitian. Penulis menggunakan refrensi yang berkaitan dengan topik penulisan. Buku pertama yang penulis gunakan yaitu

“Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut”18

18

Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut, Jakarta: Penerbit CV Rajawali, 1983.

yang ditulis oleh Rusli Karim. Buku ini menjelaskan perjalanan partai politik di Indonesia sejak lahirnya partai politik hingga masa orde baru. Tulisan tersebut


(28)

mempunyai kaitan dengan topik yang akan dikaji penulis, terutama dalam menguraikan proses penyederhanaan partai politik dan pelaksanaan pemilihan umum.

Buku kedua yaitu berjudul “PDI Di Mata Golongan Menengah

Indonesia” 19

Buku yang ketiga berjudul “Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia” yang ditulis oleh Arif Zulkifli. Buku ini mengkaji perjalanan PDI dalam konteks politik pada masa orde baru, mulai dari latar belakang fusi PDI, konflik, hingga persoalan-persoalan yang dialami oleh PDI sebagai partai nasionalis. Buku ini membantu penulis membongkar masalah-masalah yang di hadapai oleh PDI pasca fusi. Secara umum, masalah yang dihadapi PDI pasca fusi yaitu: konflik intern, persoalan identitas, dan peraturan-peraturan yang merugikan partai politik khususnya PDI.

20

Sedangkan buku keempat yang penulis gunakan berjudul “PDI Dan

Prospek Pembangunan Politik”

menjelaskan mengenai partai dan sistem kepartaian di Indonesia. Buku ini membahas tentang tipe konflik yang terjadi di tubuh PDI. Konflik di dalam tubuh PDI secara umum dibagi dalam tiga tipe, yaitu: konflik di tingkat pusat, konflik yang terjadi antar unsur, dan konflik antara pimpinan partai dengan anggota-anggotanya di DPR. Meski hanya secara umum, namun buku ini cukup membantu dalam penulisan.

21

19

Arif Zulkifli, PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafiti, 1996.

20

Manuel Kaisiepo, Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1991.

21

Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, PDI Dan Prospek Pembangunan Politik, Jakarta: Penerbit Grasindo, 1991.

yang ditulis oleh Adriana Elisabeth Sukamto,


(29)

pada tahun 1987, dimana PDI berhasil menarik simpati masyarakat yang ditandai dengan perolehan suara yang melonjak tajam dibandingkan dengan perolehan suara yang diperoleh pada Pemilu sebelumnya. Selain itu, buku ini juga mengkaji konflik intern yang dialami PDI, upaya penyelesaian konflik, serta masalah-masalah PDI yang lain, seperti identitas partai, kemandirian, dan kaderisasi. Tulisan ini berhubungan dengan topik tulisan yang dikaji penulis, terutama dalam melihat gambaran umum konflik intern PDI serta strategi PDI dalam menghadapi pemilu.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan lima tahap, yaitu: pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi, interpretasi, dan historiografi.22

22

Kuntowijoyo, Op.cit., hlm. 90.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penulis menggunakan kedekatan emosional dalam pemilihan topik. Pada tahap pengumpulan sumber (heuristik), penulis melakukan studi pustaka dengan mempergunakan buku-buku dan dokumen seperti arsip maupun kliping koran yang berhubungan dengan topik penulisan.

Selain itu, penulis juga melengkapinya dengan melakukan studi lapangan dengan metode wawancara. Wawancara dilakukan kepada tokoh-tokoh PDI sesuai dengan periode kajian penulis. Kemudian setelah data terkumpul memadai, penulis akan mengadakan kritik sumber (verifikasi), secara intern (kredibilitas) maupun ekstern (original). Setelah dilakukan kritik maka langkah selanjutnya adalah interpretasi berdasarkan data-data yang telah diperoleh. Sebagai langkah akhir, penulis akan merangkai peristiwa sejarah secara kronologis maupun sistematis dalam bangunan tulisan (historiografi).


(30)

BAB II

PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DAN FUSI PDI

2.1 Latar Belakang dan Proses Fusi Partai Politik

PDI terbentuk sebagai perwujudan dari keinginan mengadakan pembaharuan struktur politik yang timbul sejak awal tumbuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1966. Ketika itu, ada keinginan dari pemerintah dan masyarakat umum bahwa pembaharuan struktur politik harus dilakukan dengan cara menyederhanakan sistem kepartaian. Tuntutan terhadap pembaharuan struktur politik meningkat seiring dengan kritik terhadap partai-partai politik yang dianggap telah memperlihatkan perangai buruk dalam sistem politik yang berlaku sebelumnya.23

Penyederhanaan tersebut dilatarbelakangi oleh terjadinya berbagai gejolak politik pada sistem kepartaian lama, yang mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan pembangunan (ekonomi) nasional. Gejolak politik tersebut tercermin dari jatuh-bangunnya kabinet dan terjadinya aksi-aksi protes melalui demonstrasi. Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip Arbi Sanit, mencatat bahwa selama periode tahun 1945-1965 tidak kurang dari 25 buah kabinet yang jatuh bangun. Dari jumlah tersebut hanya tujuh kabinet yang berhasil memerintah selama 12 sampai 23 bulan. Terdapat 12 kabinet yang berumur antara 6 sampai 11 bulan, dan 6 buah kabinet hanya dapat bertahan antara 1 sampai 4 bulan. Selain itu terdapat 45 buah Yang dimaksud dengan fusi partai politik adalah pengelompokan organisasi sosial politik yang pada Pemilihan Umum 1971 berjumlah 10 organisasi sosial politik.

23

Manuel Kaisiepo, Dilema Partai Demokrasi Indonesia: Perjuangan Mencari Identitas, Prisma, No. 12 Desember 1981, hlm. 69.


(31)

protes melalui demonstrasi, 83 hura-hura dan 615.000 orang tewas yang disebabkan oleh kekerasan politik selama periode 1948-1967.24

Ketidakstabilan politik pada masa Orde Lama disebabkan oleh kelemahan elit untuk bekerja sama satu sama lain dan belum melembaganya struktur dan prosedur politik yang mampu memberi tempat kepada masyarakat luas untuk mengambil bagian dalam proses politik.25 Ketidakstabilan politik melahirkan kondisi ekonomi yang memprihatinkan bagi pembangunan nasional. Keadaan ekonomi nasional merosot, hutang luar negeri semakin bertambah, dan laju inflasi meningkat drastis. Dalam tahun 1966, hutang luar negeri Indonesia sebesar US $ 2.447.000.000 dan laju inflasi naik dengan cepat dari 109 persen pada Desember 1963 menjadi 1.320 persen pada akhir Juni 1966.26

Dengan lahirnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966, maka generasi muda pendukungnya, terutama sekali dari mahasiswa dan kaum intelektual mengharapkan perubahan-perubahan drastis dalam sistem politik. Nazaruddin Syamsuddin menyatakan bahwa karena generasi muda memahami Orde Baru sebagai lawan dari Orde Lama, maka mereka mengharapkan Orde Baru menjungkirbalikkan situasi politik. Mereka mendambakan suatu keadaan di mana

Sebaliknya perkembangan lembaga-lembaga politik berjalan dengan cepat. Lahirnya partai-partai politik serta lembaga-lembaga politik seperti Front Nasional, KOTI dan lain-lain dalam tahun 1960-an ternyata lebih memberi tempat kepada partisipasi dan mobilisasi massa secara politik. Dengan demikian tidak terjadi keseimbangan antara partisipasi politik dan kemajuan ekonomi.

24

Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia Kestabilan, Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta: C.V. Rajawali, 1987, hlm. 1.

25

Ibid.,

26


(32)

Orde Baru dapat menghilangkan kontrol politik yang diterapkan rezim demokrasi terpimpin, dan menggantikannya dengan sistem lain berdasarkan demokrasi parlementer.27

Penyederhanaan sistem kepartaian diawali pada tahun 1970 dengan pendekatan pemerintah kepada ke-9 partai politik untuk mengelompokkan partai menjadi dua. Partai yang dianjurkan bergabung dalam kelompok spritual adalah partai-partai politik yang berdasarkan agama, yaitu: Nahdatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Sedangkan ke dalam kelompok nasionalis dianjurkan partai-partai politik yang berhaluan nasionalis, yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Murba.

Hal ini bisa dipahami karena peran pemuda/mahasiswa cukup besar sebagai agen-agen perubahan (agent of change).

Usaha pertama yang dilakukan pemerintah Orde Baru untuk memenuhi harapan masyarakat, khususnya generasi muda adalah menciptakan stabilitas politik sebagai landasan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Upaya itu dilaksanakan dengan menganjurkan kepada kesembilan partai politik untuk mengelompokkan diri menjadi dua kelompok, yaitu kelompok nasionalis dan kelompok spritual. Pengelompokan tersebut diharapkan terciptanya partai politik yang lebih efektif untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

28

Pengelompokan demikian tidak bisa diterima oleh Partai Katolik dan Parkindo. Kedua partai tersebut tidak bersedia bergabung dengan partai-partai

27

Nazaruddin Syamsuddin, Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1989, hlm. 150.

28

Fachry Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern, Jakarta: Gramedia, 1966, hlm. 193-194.


(33)

yang berlandaskan agama dan lebih setuju bergabung dengan kelompok Nasionalis.

Perdebatan-perdebatan mengenai pengelompokan partai politik menjadi issu yang hangat menjelang pemilihan umum pertama pada masa Orde Baru, yang diselenggarakan pada 1971. Bisa dikatakan bahwa hasil yang nyata mengenai penyederhanaan sistem kepartaian sampai pada pelaksanaan pemilihan umum tersebut belum kelihatan. Satu-satunya hasil yang menunjukkan tanggapan dari partai-partai politik terhadap usul pemerintah adalah munculnya kelompok Nasionalis pada tanggal 9 Maret 1970, yang merupakan wadah kerja sama bagi partai-partai yang beraliran nasionalis.29

Kemenangan Golongan Karya pada Pemilihan Umum 1971 memberikan legitimasi konstitusional sebagai kekuatan politik yang dominan. Kemenangan itu juga memberi pengesahan yang lebih kuat akan kehadiran pemerintah Orde Baru di tengah masyarakat Indonesia. Pengesahan ini menurut Fachry Ali memberikan kekuatan lebih untuk semakin mengkonsentrasikan kekuasaan pemerintah atas realitas sistem politik yang kemudian diwujudkan dalam penyederhanaan jumlah partai politik. Kemenangan mutlak Golongan Karya menjadikannya sebagai aktor tunggal dalam panggung politik nasional sejak tahun 1971.

Sementara itu, usaha pengelompokan partai-partai politik yang berlandaskan agama masih dalam tahap pendekatan antar partai, sehingga sampai Pemilihan Umum 1971, kontestan masih tetap berjumlah sepuluh organisasi, yang terdiri dari sembilan partai politik dan satu Golongan Karya.

30

29

Ibid.

30

Ibid., hlm. 193.

Namun, harapan masyarakat khususnya kalangan muda tidak kunjung tiba. Justru pemerintah yang


(34)

didukung oleh Golkar dan ABRI telah menyalahgunakan kekuasaan dalam periode berikutnya.

Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika pemerintah yang didominasi Golongan Karya berhasil memaksakan jumlah partai politik dalam sistem kepartaian nasional. Untuk tugas ini, pemerintah menunjuk ketua Operasi Khusus (Opsus), Brigjen Ali Murtopo, Asisten Pribadi Presiden, Brigjen Sudjono Hamardani, Kepala Bakin Sutopo Yuwono dan Brigjen Tjokropranolo sebagai penghubung pemerintah dengan partai-partai politik.31

Partai-partai politik yang berfusi dalam PDI memiliki latar belakang, ideologi dan basis massa yang berbeda-beda. Lima partai politik tersebut mewakili lima paham atau ideologi yang berbeda, yaitu: marhaenisme, nasionalisme, sosialisme, Kristen Protestan, dan Kristen Katolik.

Akhirnya, usaha penyederhanaan tersebut berjalan. Pada tahun 1973 fusi partai-partai politik dilaksanakan secara resmi. Kelompok Demokrasi Pembangunan atau Kelompok Nasionalis menjelma secara resmi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tanggal 10 Januari 1973. Demikian juga kelompok-kelompok spritual atau Kelompok Persatuan melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973. Kedua partai hasil fusi inilah yang bertarung kembali dengan Golongan Karya pada Pemilihan Umum selanjutnya.

2.2 Sejarah Singkat Lima Partai Politik yang Berfusi ke dalam PDI

32

31

Ibid., hlm. 194.

32

Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, Op.cit., hlm. 1.

Lima paham yang berbeda jika disatukan tentu sulit untuk bersatu.


(35)

2.2.1 Partai Nasional Indonesia (PNI)

PNI yang didirikan Soekarno dan kawan-kawan seperjuangan pada tanggal 4 Juli 1927, menganut paham Marhaenisme ajaran Soekarno. Menurut rumusan Soekarno sendiri, marhaen adalah kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain. Sedangkan, marhaenisme adalah asas dan cara perjuangan menuju kepada hilangnya kapitalissme, imperialime, dan kolonialisme. Dan Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan marhaenisme.33 Memperhatikan makna ajaran-ajaran Soekarno itu memang tidak terelakkan kesan yang juga diakui oleh Soekarno sendiri bahwa Marhaenisme adalah Marxime yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.34

Hal yang menarik untuk ditelaah, apakah dukungan yang luas kepada PNI itu semata-mata disebabkan oleh asas Marhaenisme ataukah oleh figur Soekarno sebagai seorang pemimpin kharismatis yang sangat berpengaruh, baik pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Bagi PNI, Soekarno barangkali dianggap bukan saja sebagai pendiri atau pencetus ajaran Marhaenisme yang menjadi asas partai, tetapi lebih dari itu telah menjadi kunci dalam mengikat hubungan dengan massa pendukungnya.

Marhaenisme telah menjadi ideologi yang berakar dan mendapat dukungan luas dari masyarakat pendukungnya, sekaligus menjadi identitas PNI. Dukungan yang luas terhadap partai ini menjadikannya partai pemenang Pemilu 1955.

35

33

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Kedua, Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hlm. 23

34

Roeslan Abdulgani, Sosialisme Indonesia, Jakarta: Yayasan Prapantja, 1964, hlm. 36.

35

Nazaruddin Sjamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, Jakarta: Rajawali Pers, 1984, hlm. 10.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa Soekarno telah menjadi sumber legitimasi PNI, dimana mereka mengidentifikasikan diri dengan


(36)

massa pendukungnya di seluruh Indonesia.36

IPKI didirikan pada tanggal 20 Mei 1954. Bertujuan untuk mengakhiri dan melenyapkan seluruh penderitaan rakyat lahir bathin, dan memberikan hikmat rohaniah dan jasmaniah kepada seluruh rakyat, dengan menjamin keselamatan, ketentraman, dan kemakmurannya dengan menciptakan tata masyarakat Indonesia yang adil makmur sebagai penjelmaan Pancasila dan jiwa proklamasi dan UUD 1945.

Simbol-simbol PNI inilah yang mendominasi warna di dalam tubuh PDI pasca fusi, termasuk penonjolan gambar Bung Karno.

2.2.2 Partai IPKI

37

Partai yang didirikan pada tanggal 3 Oktober 1948 oleh Tan Malaka, berazaskan anti fasisme, anti imperialisme, dan anti kapitalisme. Tujuannya adalah mempertahankan dan memperkokoh tegaknya kemerdekaan 100% bagi Partai ini merupakan wadah kegiatan politik bagi para pejuang kemerdekaan, karena itu partai ini kuat pada paham nasionalisme. Partai ini merupakan unsur minoritas dalam PDI dan sejak terbentuknya tidak pernah mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam percaturan politik nasional. Dalam Pemilihan Umum 1971, partai hanya memperoleh 338.403 suara (0,62 persen) dan tidak memperoleh kursi di legislatif.

2.2.3 Partai Murba

36 Ibid. 37


(37)

republik dan rakyat sesuai dengan dasar dan tujuan Proklamasi 17 Agustus 1945, menuju masyarakat sosialis.38

Partai ini merupakan gabungan dari tiga partai yaitu Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata dan Partai Indonesia Buruh. Dalam pemilihan umum 1971, partai Murba hanya memperoleh suara di bawah 400.000 sehingga seharusnya tidak mendapat tempat di parlemen. Suara terbanyak yang diperolehnya dalam pemilihan umum itu adalah di Jawa Barat, berjumlah 10.042 suara.

39

Parkindo lahir pada tanggal 10 November 1945 sebagai peleburan dari beberapa partai Kristen yang pada mulanya berdiri sendiri-sendiri di wilayah Indonesia. Partai-partai itu antara lain Partai Kristen Indonesia (Parki) yang didirikan oleh Melanthon Siregar di Medan pada bulan September 1946, Partai Kristen Nasional (PKN) di Jakarta, Partai Politik Masehi (PPM) di Pematang Siantar, Persatuan Masehi Indonesia (PMI) yang didirikan oleh Ratulangi dan dua kelompok politik minoritas di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Perserikatan Kristen dan Perserikatan Christen Djawa.

2.2.4 Parkindo

40

Dilihat dari namanya, jelas partai ini memakai basis agama sebagai sumber legitimasinya sekaligus menunjukkan identitasnya. Basis massa partai ini terutama di daerah-daerah dimana penduduknya beragama Kristen, seperti Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Maluku. Dalam Pemilu 1971, partai ini meraih 745.359 suara (1,34 persen) dan mendapatkan tujuh kursi di legislatif.

38

Ibid., hlm. 97.

39

Manuel Kaisiepo, Op.cit., hlm. 319.

40


(38)

2.2.5 Partai Katolik

Partai ini didirikan pada tanggal 8 Desember 1945 dengan nama Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI), sebagai kelanjutan dari Perkumpulan Politik Katolik Indonesia yang ada sebelum Perang Dunia II. Dalam Kongres 17 Desember 1949, PKRI diganti menjadi Partai Katholik. Partai ini bertujuan bekerja dengan sekuat-kuatnya untuk kemajuan Republik Indonesia dan kesejahteraan rakyatnya.41

41

Rusli Karim, Op.cit., hlm. 79.

Hampir sama dengan Parkindo, Partai Katolik juga memakai basis agama sebagai sumber legitimasinya dan sekaligus sebagai identitasnya. Basis massanya juga berada di daerah-daerah dimana penduduknya menganut agama Katolik, seperti Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Sumatera Utara. Dalam Pemilu 1971, perolehan suaranya tidak jauh beda dengan Parkindo, yaitu meraih 605.740 suara (1,11 persen) tapi hanya meraih tiga kursi di legislatif.

Gambaran singkat di atas menunjukkan keanekaragaman latar belakang sejarah pembentukan, basis massa, dan ideologi yang menjadi identitas dari kelima partai yang berfusi dalam PDI. Secara yuridis-formal, PDI sebagai hasil peleburan merumuskan identitasnya sebagaimana dirumuskan dalam Anggaran Dasarnya, yaitu berwatak serta bercirikan Demokrasi Indonesia, Kebangsaan Indonesia, dan Keadilan Sosial yang perjuangannya berdasarkan Pancasila, tetapi ini nampaknya belum cukup teruji keampuhannya sebagai sumber legitimasi dan identitas partai untuk mengidentifikasikan dirinya terhadap massa pendukungnya.


(39)

2.3 Struktur Organisasi dan Rekrutmen PDI

Struktur dari setiap organisasi dapat diketahui dari Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dari organisasi tersebut. Di dalam Anggaran Dasarnya, struktur organisasi PDI secara keseluruhan adalah sebagai berikut.

Kongres merupakan lembaga tertinggi dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam partai, yang diadakan empat tahun sekali. Pemegang kekuasaan partai adalah Majelis Permusyawaratan Partai (MPP), sedangkan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) merupakan pimpinan partai tertinggi dalam melaksanakan tugas eksekutif sehari-hari. Terdapat juga Dewan Pertimbangan Partai baik di tingkat pusat, daerah maupun di tingkat cabang.

Majelis Permusyawaratan Kongres

Dewan Pimpinan Pusat

Dewan Pimpinan Cabang Dewan Pertimbangan

Daerah

Dewan Pimpinan Daerah

Dewan Pertimbangan Cabang

Dewan Pertimbangan Pusat

Komisaris Kecamatan


(40)

Dewan Pimpinan Pusat sebagai lembaga eksekutif partai, terdiri dari seorang Ketua Umum, beberapa orang Ketua, seorang Sekretaris Jenderal, dan beberapa orang Sekretaris Jenderal, yang komposisinya mencerminkan masing-masing unsur dalam PDI.

Jabatan Ketua Umum selalu menjadi jatah PNI sebagai unsur terbesar dalam PDI di tingkatan pusat, sedangkan jabatan ketua yang terdiri dari enam orang dibagi antara kelima unsur. Di tingkat daerah maupun cabang, komposisinya disusun berdasarkan perkiraan besarnya massa pendukung masing-masing unsur yang bisa diketahui dari hasil pemilihan umum tahun 1955 dan 1971. Daerah yang mayoritas massanya adalah PNI (Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta), maka ketua DPD atau DPC-nya berasal dari unsur PNI. Sementara, basis Parkindo dan Partai Katolik (Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya), maka jabatan ketuanya dipegang oleh kedua unsur tersebut.

Tabel 2: Daerah Basis PNI Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

No. Propinsi Jumlah

Suara PDI 1971*

Persentase

PNI Non-PNI**

1 Sumatera Utara 340.730 49 51

2 Riau 18.278 48 52

3 Sumatera Selatan 103.646 68 32

4 Jambi 6.392 48 51

5 Lampung 74.218 68 32

6 Jawa Barat 321.198 54 46

7 Jakarta 361.226 63 37

8 Jawa Tengah 2.154.507 93 7

9 DI Yogyakarta 176.446 68 32

10 Jawa Timur 758.641 82 18

11 Bali 156.525 83 17

12 Nusa Tenggara Barat 57.332 83 17

Sumber: LPU

*Penggabungan suara PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI. **Non-PNI berarti: Parkindo, Katolik, Murba, dan IPKI.


(41)

Tabel 3: Daerah Basis Parkindo Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

No. Propinsi Jumlah Suara

PDI 1971*

Parkindo (persentase)

1 Kalimantan Tengah 7.149 50

2 Kalimantan Timur 49.685 37

3 Sulawesi Utara 127.517 41

4 Sulawesi Tengah 17.877 61

5 Sulawesi Selatan 71.679 49

6 Maluku 139.871 70

Sumber: LPU.

* Penggabungan suara PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI.

Tabel 4: Daerah Basis Partai Katolik Berdasarkan Hasil Pemilu 1971

No. Propinsi Jumlah Suara

PDI 1971*

Parkindo (persentase)

1 Kalimantan Barat 121.116 45

2 Nusa Tenggara Timur 409.580 51

Sumber: LPU

* Penggabungan suara PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI.

Susunan Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia

Hasil Kongres I

1. Ketua Umum : Moh. Sanusi Hardjadinata

2. Ketua : Prof. Usep Ranawijaya SH

3. Ketua : Alexander Wenas

4. Ketua : F.S. Wignjosumarsono

5. Ketua : Achmad Sukarmadidjaja

6. Ketua : Muhidin Nasution

7. Ketua : Abdul Madjid

8. Ketua : J.H.D. Tahamata

9. Ketua : F.C. Palaunsuka

10.Ketua : Andi Parenrengi Tanri

11.Ketua : John B. Andries

12.Ketua : Drs. I.G.N. Gde Djaksa

13.Ketua : Drs. T.A.M. Simatupang

14.Ketua : R.G. Doeriat

15.Ketua : Notosukardjo

16.Ketua : Rasid Sutan Radja Mas

17.Sekretaris Jenderal : Sabam Sirait 18.Wakil Sekjen : Sulomo BA 19.Wakil Sekjen : B.D. Blegur SH 20.Wakil Sekjen : Drs. M.B. Samosir 21.Wakil Sekjen : Dr. Adi Tagor Harahap


(42)

22.Wakil Sekjen : Djon Pakan 23.Wakil Sekjen : Ir. Andjar Siswojo 24.Wakil Sekjen : V.B. da Costa SH 25.Bendahara Umum : G. Sani Fenat BA

26.Bendahara : M.T. Siregar

27.Bendahara : Ny. D. Walandouw

28.Bendahara : Mustafa Supangat

29.Bendahara : Drs. Zakaria Raib

Sumber: Buku Kongres Pertama PDI (Partai Demokrasi Indonesia), halaman 124.

Adapun Struktur DPP PDI hasil Kongres II adalah sebagai berikut.

Tabel 5: Struktur DPP PDI hasil Kongres II

Jabatan Personel Unsur

Ketua Umum Prof. Dr. Soenawar Soekawati SH PNI

Ketua

Drs. Hardjantho Soemodisastro PNI

A. Wenas Parkindo

A. Sukarmadidjaja IPKI

H. Muhidin Nasution MURBA

F. S. Wignjosumarsono Partai Katolik

Mh. Isnaeni PNI

Sekretaris Jenderal Sabam Sirait Parkindo

Wakil Sekjen

Drs. Jusuf Merukh PNI

V. B. da Costa SH Partai Katolik

Andi Parenrengi IPKI

Djon Pakan MURBA

Bendahara Umum M. B. Samosir Partai Katolik

Bendahara Notosukardjo MURBA

J. H. D. Tahamata IPKI

Mustafa Soepangat IPKI

Indra Bhakti PNI

Sumber: Buku Partai Demokrasi Indonesia

Dengan komposisi yang disusun berdasarkan perwakilan proporsional kelima unsur tersebut, maka timbul akibat yang membawa kelemahan dalam penyesuaian struktural. Muncullah figur-figur yang seadanya tanpa melalui pola rekrutmen yang selektif, karena hanya untuk memenuhi porsi perwakilan proporsional unsur-unsur, terutama di tingkat daerah (DPD) dan cabang (DPC).


(43)

Hal ini menunjukkan bahwa PDI belum mampu mencetak kader-kadernya sendiri yang siap direkrut ke tingkat pimpinan.

2.4 Hubungan PDI dengan Massa Pendukung Setelah Fusi

Sebagaimana dikemukakan di atas, fusi telah mengaburkan basis legitimasi masing-masing unsur yang berfusi dalam PDI. Faktor-faktor yang selama ini mengikat partai dengan massa pendukungnya menjadi terputus. Dalam keadaan demikian hubungan antara partai dengan massa pendukungnya berada dalam kondisi yang longgar. Tambahan lagi, terdapat kecenderungan kepemimpinan partai berorientasi ke atas (penguasa), sehingga partai semakin asing terhadap masyarakat yang berada di lapisan bawah.42

Perbedaan basis legitimasi dan identitas antara berbagai unsur yang bergabung di dalamnya, jelas akan menyulitkan partai ini dalam mencapai perumusan tentang siapa dirinya terhadap massa. Apa yang dinyatakan dalam

Dengan diundangkannya UU No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, maka partai politik kembali dituntun dalam suasana politik yang kurang menguntungkan. Sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat 1 undang-undang tersebut, struktur kepengurusan partai politik dan Golongan Karya yang bersifat otonom hanya di ibu kota kabupaten/kotamadya. Di kota kecamatan dan desa, struktur kepengurusannya hanyalah merupakan komisaris pembantu atau sebagai pelaksana Pengurus Daerah Tingkat II. Kondisi seperti ini mengakibatkan terputusnya hubungan organisatoris antara partai dengan massa di daerah pedesaan.

42


(44)

Anggaran Dasarnya bahwa PDI berwatak dan bercirikan Demokrasi Indonesia, Kebangsaan Indonesia, dan Keadilan Sosial, sesungguhnya adalah upaya menjelaskan ideologi atau identitasnya. Namun penjelasan itu tampaknya masih abstrak dan kabur atau dengan kata lain belum cukup kuat untuk menjadi suatu penegasan tentang identitas yang dicari. Karena ketidakmampuannya merumuskan identitas partai secara kongkrit, maka PDI kurang menumbuhkan proses identifikasi dirinya dengan masyarakat.

Hubungan antara massa pendukung dengan PDI pada awal proses fusi memperlihatkan ciri sebagai hubungan antara massa pendukung dengan sebuah partai massa. Artinya, bahwa kekuatan partai ditentukan jumlah massa pendukung. Dalam kondisi seperti itu, kualitas atau kemampuan kader-kader partai menjadi pertimbangan nomor dua. Dalam kerangka perkembangan partai, kondisi tersebut tidak menguntungkan karena dalam pola hubungan itu, perekrutan kader-kader partai tidak akan berjalan dengan baik.

Memang, berbagai faktor perlu diperhatikan untuk memahami pola hubungan partai-massa dalam PDI. Faktor-faktor itu antara lain fusi dan segala konsekuensinya, diundangkannya UU No. 3/1975 dan tindakan depolitisasi masyarakat yang lahir sebagai tindak lanjut UU No. 3/1975.

Sebagaimana telah diuraikan, setelah Deklerasi Fusi tahun 1973, eksistensi unsur-unsur partai yang bergabung dalam PDI secara formal telah berakhir. Dengan demikian ideologi atau ciri dari masing-masing unsur tersebut pada dasarnya juga turut berakhir. PDI sebagai wadah baru bagi kegiatan politik kelima partai yang bergabung dihadapkan pada suatu kondisi dimana identitas partai masih dalam tahap peralihan.


(45)

Kebijakan fusi pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai pemutusan hubungan ideologis antara partai dengan massa pendukung. Dengan demikian maka sejak terbentuknya PDI melalui fusi, massa pendukung partai ini berada dalam kondisi yang dilematis. Banyak di antara pendukung salah satu unsur, baik PNI, Parkindo, Partai Katolik, Murba dan IPKI, tetap menyatakan diri sebagai pendukung unsur tersebut, tetapi tidak sebagai anggota PDI. Hal ini menunjukkan bahwa PDI sebagai wadah kegiatan politik masih asing di hadapan sebagian pendukung kelima unsur yang bergabung di dalamnya.

Perombakan infrastruktur politik sebagai konsekuensi penetapan UU No. 3/1975 adalah juga merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan untuk melihat hubungan antara partai dengan massa. Terbatasnya struktur kepengurusan otonom partai sampai di tingkat kabupaten (DPC) menyebabkan terputusnya hubungan organisatoris antara partai dengan massa. Hal ini menyebabkan longgarnya ikatan antara kedua pihak, yang pada gilirannya melemahkan kedudukan partai di tengah masyarakat.

Proses depolitisasi masyarakat yang lahir sebagai konsekuensi undang-undang tersebut menciptakan kondisi massa mengambang. Masyarakat direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak begitu jauh terlibat dalam masalah-masalah politik. Dengan kata lain, partisipasi politik sebagai salah satu tonggak sistem demokrasi, dikebiri dalam rangka pembangunan nasional.

Kebijakan ini ditinjau dalam rangka penciptaan stabilitas politik yang mantap, memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini terlihat dalam kondisi politik nasional yang secara keseluruhan dapat dikatakan cukup stabil. Namun dilihat dalam kerangka menumbuhkan kecerdasan politik sebagai bagian dari


(46)

pembangunan politik, penciptaan kondisi tersebut bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. PDI yang pada masa awal fusi merupakan partai massa dengan basis di daerah pedesaan sangat terpukul dengan pembatasan tersebut, dan hal ini sangat berpengaruh terhadap proses konsolidasi intern dan ekstern partai ini dalam peta politik nasional.


(47)

BAB III

MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI PDI PASCA FUSI

Bagi partai politik khususnya PDI, pemfusian partai membawa sejumlah konsekuensi yang memperlambat perputaran roda politiknya. Konsekuensi pertama, timbulnya konflik intern yang berkepanjangan dalam tubuh PDI. Sejak kongres pertama hingga tahun 90-an, konflik intern tidak pernah tuntas. Konflik intern disebabkan oleh dua hal: persaingan antar unsur dan vest interst antar individu. Bagi sebagian pengamat, justru konflik antar individu yang dilandasi kepentingan pribadilah yang banyak mewarnai konflik dalam tubuh PDI. Mereka yang sering berkonflik adalah mereka yang berasal dari unsur PNI.43

Konsekuensi kedua, hilangnya identitas PDI sebagai partai yang bersatu. Latar belakang ideologis yang berbeda di antara partai yang berfusi menjadikan PDI kehilangan simbol dirinya. Ini berakibat langsung terhadap perfoma PDI di depan massa pemilihnya. Tidak seperti PPP yang mengidentikkan dirinya dengan Islam, maka PDI tidak punya pilihan ideologis.44

43

Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, Op.cit., hlm. 54-55.

44

Arif Zulkifli, Op.cit., hlm. 59.

Selain itu, kondisi PDI pasca fusi juga banyak dipengaruhi faktor eksternal, yakni disahkannya UU organisasi sosial poilitik dan UU pemilu yang tidak menguntungkan partai politik, termasuk PDI. Kebijakan massa mengambang yang melarang parpol memiliki satuan di tingkat kecamatan dan desa menjadikan PDI kehilangan basis massa pendukung. Padahal, partai yang berfusi dalam PDI, selama ini mempunyai basis di daerah pedesaan.


(48)

3.1 Konflik Intern

Konflik dalam tubuh PDI muncul segera setelah Kongres I PDI berakhir (1977). Konflik terjadi antara Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranawidjaja (ketua umum dan ketua Dewan Pimpinan Pusat hasil Kongres I) melawan Achmad Sukarmadidjaja dan Muhidin Nasution (keduanya juga ketua DPP hasil Kongres I). Pertentangan kemudian memunculkan kubu-kubu di antara anggota yang lain.

Konflik berawal dari perbedaan pendapat mengenai pencalonan unsur PDI untuk duduk dalam jabatan pemimpin MPR/DPR. Ketika itu Isnaeni terpilih menjadi wakil ketua MPR/DPR dengan dukungan F-KP dan F-ABRI. Namun, hal itu ditentang lawan-lawan politiknya dalam tubuh PDI. Perbedaan pendapat ini kemudian melebar dengan digantinya Ketua Umum Sanusi Hardjadinata dan Usep Ranawidjaja. Mereka digantikan secara sepihak oleh Mh. Isnaeni sebagai ketua umum dan Soenawar Soekawati sebagai ketua DPP dengan cara membentuk DPP tandingan. Pembentukan DPP tandingan ini dilakukan atas prakarsa Achmad Sukarmadidjaja. Hal ini tentu saja ditolak oleh Sanusi/Usep dan dianggap inkonstitusional.45

45

Manuel Kaisiepo, Op.cit., hlm. 79.

Kemelut yang melibatkan sebagian besar tokoh dari PNI ini kemudian memecah pengurus PDI lainnya menjadi dua kubu. Pengurus dari unsur IPKI dan Murba mendukung DPP Peralihan, sedangkan Partai Katolik dan Parkindo menentangnya.

Setelah konflik berlarut-larut, maka pada tanggal 16 Januari 1978 tercapailah kesatuan kembali di antara pihak-pihak yang bersengketa. Namun, “rujuk” di antara dua kubu tersebut tidak lepas dari peran pemerintah, dalam hal ini Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara), sebagai penengah.


(49)

“Rujuk” tersebut kemudian melahirkan DPP baru, yakni Sanusi Hardjadinata (ketua umum); Isnaeni, Soenawar Soekawati, Hardjantho, Usep Ranawidjaja, dan Abdul Madjid (ketua); Aberson M. Sihaloho, Adipranoto (wakil sekjen), dan Notosukardjo (bendahara). Sedang komposisi wakil-wakil dan bekas unsur politik lain tidak mengalami perubahan.

Namun, penyelesaian oleh pemerintah ternyata lebih merupakan penyelesaian politis dan bukan organisatoris yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Ini terbukti beberapa waktu berselang Sanusi Hardjadinata membebastugaskan Isnaeni dan Soenawar Soekawati melalui Keputusan Ketua Umum No. 003/XI/1978 tanggal 24 November 1978. Tidak ada alasan yang jelas dari pembebastugasan ini. Isnaeni/Soenawar pun, dengan mengatasnamakan wakil DPP PDI, melakukan serangan balasan dengan menarik Sanusi Hardjadinata dari kursi ketua umum. Situasi kemudian tidak menentu. Sampai akhirnya, pada tanggal 16 Oktober 1980, Sanusi mengundurkan diri dari jabatan ketua umum PDI.

Konflik kemudian memanas kembali menjelang Kongres II, Januari 1981. Ketika itu terjadi perbedaan pendapat antara Soenaar/Isnaeni dengan mereka yang menamakan dirinya “Kelompok Empat” mengenai pelaksanaan Kongres II. Soenawar dan Isnaeni mendukung pelaksanaan kongres, sedangkan Kelompok Empat yang terdiri dari Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandaouw, dan Zakaria, menolaknya. Menurut Kelompok Empat, penyelenggaraan Kongres II tidak sesuai dengan UU No. 3/1975, AD/ART Partai, dan Keputusan Kongres I. Keberatan mereka adalah karena kongres akan dilangsungkan tanpa didahului pembentukan Majelis Permusyawaratan Partai dan Dewan Pertimbangan Partai.


(50)

Hal itu bertentangan dengan AD/ART PDI. Selain itu, Kongres II juga dilangsungkan dengan masih menyebut-nyebut faktor unsur, padahal dalam Kongres I sudah disebutkan bahwa unsur dianggap tidak ada lagi. 46

Menurut Riza Sihbudi, konflik intern PDI sampai periode tersebut adalah konflik antar tokoh PNI garis keras (radikal) dengan mereka yang lebih moderat. Akhir konflik selalu dimenangkan oleh mereka yang berhaluan moderat. Dalam hal konflik antara Sanusi/Usep (radikal) versus Isnaeni/Soenawar (moderat), kelompok radikal-lah yang tersingkir. Hal ini bisa dipahami karena konflik intern PDI hampir selalu diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah memang berusaha

Meskipun Kelompok Empat telah mengajukan keberatan atas penyelenggaraan Kongres II kepada pemerintah, akhirnya pemerintah tetap mengizinkan penyelenggaraan kongres tersebut. Presiden Soeharto sendiri yang membuka kongres itu. Kongres II ini kemudian menghasilkan pengurus baru DPP PDI. Mereka adalah Soenaar Soekawati (ketua umum); Hardjantho Soemodisastro, A. Wenas, Achmad Sukarmadidjaja, H. Muhidin Nasution, Wignjosoemarsono, dan Isnaeni (ketua); Sabam Sirait (sekjen), dan M.B Samosir (bendahara).

Perlawanan Kelompok Empat ternyata berbuntut panjang setelah susunan DPP PDI hasil Kongres II berfungsi. Anggota Kelompok empat, ditambah dengan Sulomo dan Santoso Donoseputro , kemudian di-recall. Konflik dalam tubuh PDI setelah Kongres I dan Kongres II, terlihat bahwa mereka yang berseteru adalah orang-orang dalam tubuh unsur PNI. Sehingga sulit mengatakan bahwa konflik dalam tubuh PDI, setidaknya sampai Kongres II, adalah konflik antarunsur.

46


(51)

menampilkan figur-figur politik yang tidak terlalu besar komitmennya terhadap ideologi selain Pancasila.

Menjelang Kongres III, konflik kembali muncul. Kali ini yang berseteru adalah kubu Soenawar Soekawati melawan kubu Hardjantho Soemodisastro. Konflik berawal dari sebuah pidato Soenawar pada tahun 1985 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara sekuler. Pidato ini mendapat pro dan kontra dari kalangan PDI dan masyarakat luas. Pernyataan Soenawar ini kemudian dipakai kubu Hardjantho untuk memukul kubu Soenawar. Menjelang kongres terebut, Soenawar menginginkan Kongres III diadakan setelah Pemilu 1987, sementara kubu Hardjantho menghendakinya sebelum pemilu. Menurut Soenawar, sebelum pemilu sebaiknya hanya diadakan Munas.

Perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaan Kongres III ini sebenarnya lebih memperhitungkan kepentingan pribadi di antara kelompok-kelompok yang berseteru. Soenawar menghendaki pelaksanaan kongres setelah pemilu lebih disebabkan karena ia masih ingin memegang jabatan ketua umum. Sementara ada kesan Hardjantho menghendaki kongres sebelum pemilu karena ia ingin menjadi ketua umum sebelum datangnya pemilu.47

47

Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, Op.cit., hlm. 56.

Hal itu menunjukkan bahwa kepentingan pribadi lebih mendominasi kepentingan partai.

Selanjutnya konflik mereda, karena pada Januari 1986 Soenawar Soekawati meninggal dunia. Kubu Hardjantho mendapat angin, karena kemudian Kongres III berhasil dilaksanakan sebelum Pemilu 1987. Kongres III ini dilaksanakan di Wisma Haji Pondok Gede, Jakarta, pada tanggal 15-17 April 1986.


(52)

Bursa ketua umum yang beredar ketika itu adalah Gde Djaksa, Soerjadi, Hardjantho, dan Isnaeni. Namun, sampai dengan berakhirnya Kongres III, tidak diperoleh kesepakatan mengenai siapa ketua umum PDI periode 1986-1991. Kongres yang menemui jalan buntu akhirnya menyebabkan pembentukan kepengurusan DPP diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, yang ketika itu menterinya dijabat Soepardjo Rustam.

Berdasarkan konsultasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan sejumlah tokoh PDI, terpilihlah Soerjadi sebagai ketua umum PDI. Munculnya Soerjadi sebagai ketua umum ketika itu cukup mengejutkan, karena dia bukanlah tokoh yang dikenal di PDI. Bahkan isu yang berkembang ketika itu menyebutkan, bahwa beberapa hari menjelang kongres, Soerjadi memperoleh kartu anggota PDI.48

Jabatan

Meskipun demikian, di mata pemerintah nilai plus Soerjadi adalah bersih dari konflik intern PDI. Sehingga, diharapkan ia bisa meredam konflik selama masa kepemimpinannya.

Susunan DPP PDI yang terbentuk juga menggambarkan rekonsiliasi dan terdiri dari wajah-wajah baru. Adapun susunannya, tampak pada tabel beriku.

Tabel 6: Susunan DPP PDI 1986-1991

Personel Unsur

Ketua Umum Soerjadi PNI

Ketua

B.N Marbun Partai Katolik

Sukowaluyo IPKI

Nur Achari Murba

Yahya Nasution IPKI

Dudy Singadilaga PNI

Wakil Ketua

Anjar Siswoyo PNI

Marcel Beding Partai Katolik

P. Silalahi Parkindo

Fatimah Achmad PNI

Djufri IPKI

48


(53)

Royani Haminullah IPKI

Sekjen Nico Daryanto Partai Katolik

Wakil Sekjen

Titi Juliasih PNI

Dimmy Haryanto Partai Katolik

Anwar Dato PNI

Bendahara Lencang Parkindo

Wakil Bendahara

St. Benuhardjo Parkindo

Steve Nafuni Partai Katolik

Markus Wauran Partai Katolik

Sumber: Arif Zulkifli, PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafiti, 1996, hlm. 65.

Pengangkatan Soerjadi sebagai pimpinan DPP PDI, ternyata tidak berarti konflik internal partai berakhir. Banyak tokoh tua terutama tokoh-tokoh yang pernah aktif di PNI tidak senang dengan tampilnya generasi Soerjadi. Berbagai alasan ketidaksenangan itu adalah seperti kedekatan DPP PDI dengan penguasa, manajemen partai, dan prinsip-prinsip musyawarah yang belum sepenuhnya dijalankan kepemimpinan Soerjadi.49

Hal itu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan konflik intern PDI pasca Kongres III. Misalnya, setengah tahun kepemimpinan Soerjadi, muncul kasus dari DPC “tandingan” di Bandung. Kasus bermula ketika DPP PDI mengangkat Dodo Gandamihardja sebagai Pejabat Semenatara Ketua DPC Bandung, Agustus 1986. Padahal Ketua DPC PDI Bandung, Tarwia Sutendi, belum diberhentikan. Kasus ini berakhir dengan hijrahnya 26.328 warga PDI yang dipimpin oleh Tarwia ke Golkar.50

Konflik yang berkepanjangan terus melanda PDI. Konflik intern yang pertama setelah Pemilu 1987 adalah “pembangkangan” tiga orang anggota DPR F-PDI terhadap keputusan DPP PDI Nomor 059 Tahun 1986, yang membatasi

49

Ibid., hlm. 57.

50


(54)

masa tugas anggota DPR F-PDI maksimal dua periode dan melarang jabatan rangkap. SK ini bertujuan untuk memberi kesempatan kepada generasi yang lebih muda dan agar mereka yang telah menjabat dua periode kembali ke partai berkonsentrasi pada tugasnya.

Pelaksanaan SK tersebut tidak bisa berjalan dengan baik. Ada tiga orang anggota DPR F-PDI yang terkena SK itu menolak untuk mengundurkan diri. Ketiga orang itu adalah Kemas Fachruddin (Ketua DPD PDI Sumatera Selatan), F. C. Palaoensuka (Ketua DPD Kalimantan Barat), dan Achmad Subagio (tokoh PDI Jawa Tengah). Mereka menganggap secara konstitusional, pencalonan mereka sebagai anggota DPR tetap sah, karena mereka dicalonkan oleh musyawarah cabang dan DPP PDI.51 Kejadian ini menunjukkan bahwa dimensi konflik warisan dan dimensi kepentingan pribadi masih mewarnai konflik-konflik intern di tubuh PDI, termasuk konflik setelah Pemilu 1987. 52

Namun, karena konsep Nico Daryanto dimaksudkan sebagai bahan masukan yang hendak diajukan kepada BP MPR, maka ke-17 anggota DPR/MPR

Munculnya kasus Kelompok 17 pada akhir November 1987, membuktikan masih ada konflik di dalam tubuh PDI yang berdimensi konflik warisan maupun kepentingan pribadi. Kasus ini bermula dari sebuah konsep yang dibuat oleh Ketua F-PDI di MPR merangkap Sekjen DPP PDI, Nico Daryanto yang menghendaki pendidikan agama dihapuskan dari kurikulum sekolah-sekolah. Padahal, konsep tersebut belum merupakan pendapat resmi PDI, karena tidak semua anggota fraksi di MPR menerima konsep itu. Badan Pekerja (BP) PDI di MPR juga menolak konsep tersebut.

51

Tempo, 18 Juli 1987, hlm. 15-16.

52


(55)

dari F-PDI melancarkan protes keras terhadap DPP PDI dan pimpinan F-PDI di MPR. Mereka yang menentang konsep tersebut dikenal masyarakat luas sebagai Kelompok 17. Mereka menilai konsep Nico Daryanto bertentangan dengan Pasal 29 UUD 1945.53

Mayoritas anggota Kelompok 17 berasal dari unsur PNI, seperti Teuku Thalib Ali, H. Marsoesi, Dudy Singadilaga, Kemas Fachruddin, Jusuf Merukh, Achmad Subagio, Suparman Adiwijaya, Abdul Djafar, dan I.G.N. Yudha. Di antara Kelompok 17 terdapat tiga tokoh yang sebelumnya terlibat kasus “pembangkangan”, yaitu Kemas Fachruddin, Achmad Subagio, dan J.C Palaoensuka. Ada juga lima tokoh di antara Kelompok 17 tersebut yang masih memegang jabatan sebagai sebagai Ketua DPD PDI, yaitu Kemas Fachruddin (Ketua DPD PDI Sumatera Selatan), F.C Palaoensuka (Ketua DPD PDI Kalimantan Barat), H. Teuku Thaib Ali (Ketua DPD PDI Aceh), H. Marsoesi (Ketua DPD PDI Jawa Timur), dan Dudy Singadilaga (Ketua DPD PDI Jawa Barat).54

Empat hari kemudian, 12 Desember 1987, Kelompok 17 kembali menerbitkan surat mempersoalkan pembacaan prosa lirik karya Linus Suryadi

Pada tanggal 8 Desember 1987, Kelompok 17 mengajukan surat pernyataan kepada DPP PDI agar Nico Daryanto mengundurkan diri dari jabatan sebagai Sekjen. Hal itu timbul karena pimpinan fraksi menolak untuk mendengarkan aspirasi mereka bahkan sering berbicara atas nama partai, padahal hasil pemikiran dari satu atau sekelompok orang saja, seperti mengenai penghapusan pendidikan agama dari kurikulum sekolah.

53

Ibid., hlm. 59.

54


(56)

AG. Prosa lirik dibacakan oleh dr. Waluyo Mintorahardja, anggota PDI di BP MPR. Kelompok 17 tersinggung karena prosa itu dibacakan oleh Suko Waluyo bukan secara pribadi, melainkan selaku wakil PDI di sidang BP MPR.

Dalam Sidang Umum MPR mulai 1 hingga 11 Maret 1988, Kelompok 17 memanfaatkan ketidaktegasan sikap DPP PDI untuk menentukan calon wakil presiden. Kelompok 17 mengajukan Menteri Sekretaris Negara, Letjen. (purn) Sudharmono, S.H. sebagai calon wakil presiden. Akan tetapi, sebelumnya, Sudharmono, yang kemudian sebagai calon tunggal, telah dicalonkan oleh F-KP dan Fraksi Utusan Daerah, dan didukung oleh Fraksi ABRI. Situasi ini membuat DPP PDI dan F-PDI di parlemen kian terpojok, sebaliknya Kelompok 17 bagaikan mendapat kesempatan yang baik.

Kasus Kelompok 17 berlanjut sampai saat diadakan Rapat Pimpinan (Rapim) DPP PDI di Cisarua, Jawa Barat, mulai 23 hingga 26 Maret 1988. Salah satu keputusan dari Rapim DPP PDI tersebut adalah pembekuan kepengurusan DPD Jawa Barat dan memecat delapan tokoh partai yang dianggap akan melancarkan “kudeta”. Kedelapan tokoh yang dipecat itu adalah: Dudy Singadilaga (Ketua DPD PDI Jawa Barat), H. Marsoesi (Ketua DPD Jawa Timur), H. Kemas Fachruddin (Ketua DPD Sumatera Selatan), F.C. Palaoensuka (Ketua DPD PDI Kalimatan Barat), H. Teuku Thaib Ali (Ketua DPD PDI Aceh), M. Darwis (Wakil Ketua DPD PDI Bengkulu), Suparman Adiwidjaja (Wakil Ketua DPD PDI Jawa Barat), dan Jusuf Merukh (tokoh PDI Jawa Barat).

Keputusan pemecatan tersebut ditetapkan melalui SK Nomor 121 Tahun 1988 yang ditandatangani oleh Soerjadi (Ketua Umum) dan Nico Daryanto (Sekjen). Sementara kedelapan tokoh yang diberitakan akan melancarkan


(57)

“kudeta” mengumumkan susunan “DPP Tandingan” yang terdiri atas Dudy Singadilaga (Ketua Umum), Marsoesi (Sekjen), dan Jusuf Merukh (Wakil Ketua Umum).55

Usaha Dudy-Marsoesi untuk menggulingkan Soerjadi tidak pernah berhenti. Kelompok ini memakai tuduhan manipulasi hasil kongres. Menurut Dudy dan kawan-kawan, penyelenggaraan Kongres PDI IV sesuai dengan Anggaran Dasar partai berlangsung lima tahun sekali. Artinya seharusnya kongres diadakan tahun 1991. Tetapi menurut DPP PDI, kongres diadakan pada tahun 1993.

Pada hari berikutnya, Marsoesi mengumumkan susunan “DPP PDI Tandingan”, dan sejumlah tokoh yang dipecat menyatakan tidak akan mematuhi SK DPP PDI Nomor 121 Tahun 1988.

Puncak pertarungan antara Kelompok 17 dan DPP PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi-Nico adalah peristiwa “kudeta” di Cisarua yaitu peristiwa pendudukan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, selama tujuh jam. Peristiwa yang dilakukan Dudy Singadilaga dan kawan-kawan berlangsung pada 14 Desember 1989. Kelompok Dudy Singadilaga yang tidak puas terhadap kepemimpinan Soerjadi, mengaku dari 19 propinsi. Mereka meminta agar Dudy kembali menjalankan fungsi sebagai Ketua DPP PDI. Kemudian Dudy membuat dua surat pernyataan resmi, yaitu surat pencabutan pemecatan atas delapan anggota PDI termasuk dirinya dan SK tentang pembentukan panitia kongres luar biasa PDI yang berlangsung pada tahun 1990.

56

55

Tempo, 23 Desember 1989, hlm. 21.

56

Hasil Kongres III PDI 1986 di Jakarta, memutuskan bawa Kongres IV diselenggarakan dalam bulan April 1993 sesudah Sidang Umum MPR. Ketentuan ini tertera dalam Bab XVIII Aturan Tambahan pasal 29 Anggaran Dasar PDI. Hal itu berarti Soerjadi boleh memimpin PDI selama tujuh tahun. Munculnya aturan tambahan itu menurut Hamid Notowidagdo, Kepala Sekretariat PDI, adalah karena selama ini kongres PDI jatuh setahun menjelang pemilu.


(58)

Dengan dalih bahwa DPP PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi telah melakukan manipulasi terhadap hasil kongres, maka Dudy dan kawan-kawan melakukan aksi pendudukan kantor DPP. Dudy yakin bahwa dia akan mendapat dukungan dari pemerintah dan berarti DPP saat itu batal dan mereka bisa mengadakan kongres luar biasa.57

Pada tanggal 29 Desember 1989, Kelompok Dudy Singadilaga mengumumkan telah terbentuknya Panitia Kongres IV PDI yang diketuainya sendiri, dan sekretarisnya Suparman Adiwidjaja yang beranggotakan 30 orang. Mereka menyebut bahwa kantor panitia beralamat di DPP PDI Jalan Diponegoro Jakarta. Menanggapi hal itu, Ketua DPP PDI Fatimah Achmad menyatakan bahwa pembentukan panitia kongres tersebut tidak sah. Karena kelompok itu sudah dipecat keanggotaannya dari PDI.58

Namun sikap pemerintah cenderung memihak pada DPP yang memiliki legitimasi yaitu yang terpilih melalui kongres. Menteri Dalam Negeri Rudini menggap konflik itu sebagai masalah intern PDI dan juga menambahkan bahwa perbedaan pendapat itu wajar, lebih baik bermusyawarah. Selanjutnya Rudini menyatakan bahwa pimpinan dan warganya jangan konfrontatif. 59

Tuntutan untuk mengadakan kongres terus bergulir, sekitar 400 orang menamakan dirinya sebagai kader, generasi muda, mantan pengurus DPD/DPC PDI mewakili 200 cabang dari 9 privinsi se-Indonesia datang ke gedung DPR

Akibatnya, dengan tenggang waktu yang mepet itu, tak banyak waktu buat pimpinan yang baru untuk mengkonsolidasi partainya. Lihat Tempo, 15 Juni 1991, hlm. 26-27.

57

Tempo, 23 Desember 1989, hlm. 21. Dalam wawancara dengan Tempo, Soerjadi mengatakan bahwa syarat melakukan kongres luar biasa adalah apabila ada persetujuan dari DPP dan lebih dari separuh jumlah cabang meminta kongres. Lihat Tempo, 15 Juni 1991, hlm. 30.

58

Sinar Indonesia Baru, 30 Desember 1989, hlm. 1.

59


(59)

tanggal 13 Juni 1991.60 Mereka menemui pimpinan F-ABRI untuk meminta bantuan melicinkan jalan menuju Kongres IV PDI.61

PDI kembali diguncang oleh 400 orang yang mengaku kader PDI, datang ke markas besarnya di Jakarta tanggal 29 Agustus 1991. Mereka mengumumkan pembentukan DPP PDI Peralihan dengan ketua umumnya Achmad Subagyo, tokoh PDI dari Jawa Tengah yang dipecat Soerjadi bersama Kelompok 17, dan Sekjen M.B. Samosir. Menurut Achmad Subagyo, sebelumnya dia didatangi oleh orang-orang PDI dari berbagai daerah, yang intinya mendesak agar ditetapkan DPP PDI karena DPP PDI hasil Kongres III seharusnya sudah berakhir sejak Mei 1991. Yahya Nasution, Ketua DPP PDI, menilai bahwa gerakan tersebut inkonstitusional dan merugikan PDI sendiri.62 Sementara, Menteri Dalam Negeri, Rudini, menegaskan bahwa pemerintah tetap tidak akan mengakui lembaga politik tandingan, termasuk DPP PDI Peralihan yang dipimpin oleh Achmad Subagyo. Pemerintah hanya akan mengakui lembaga politik hasil musyawarah atau kongres.63

Anggota Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDI, Sabam Sirait, mengatakan bahwa Deperpu tidak pernah membicarakan pembentukan DPP PDI Peralihan mengatasnamakan Deperpu. Sedangkan, Ketua Umum PDI berpendapat, pembentukan DPP PDI Peralihan di bawah kepemimpinan Achmad Subagyo adalah masalah kecil, apalagi Mendagri Rudini sendiri selaku pembina politik sudah mengatakan bahwa DPP tandingan tidak sah.64

60

Sinar Indonesia Baru, 14 Juni1991, hlm. 1.

61

Mimbar Umum, 15 Juni1991, hlm. 1.

62

Sinar Indonesia Baru, 30 Agustus 1991, hlm. 1.

63

Sinar Indonesia Baru, 16 Oktober 1991, hlm. 1.

64

Mimbar Umum, 1 September, hlm. 1.

Konflik yang terjadi di pusat sangat mempengaruhi konsolidasi partai di daerah-daerah, baik di


(1)

Gambar 1 : Tanda gambar PDI Hasil Kongres Pertama. Sumber : Buku Kongres Pertama PDI.

Keterangan: DEMOKRASI INDONESIA dilambangkan dengan gambar BANTENG PANCASILA,

KEBANGSAAN INDONESIA dilambangkan dengan gambar POHON PANCASILA,

KEADILAN SOSIAL dilambangkan dengan gambar PADI DAN KAPAS PANCASILA,

SEGI LIMA YANG UTUH DAN MELULU melambangkan PANCASILA YANG MURNI DAN SEUTUHNYA.


(2)

Gambar 2 : Pembukaan Kongres Pertama PDI tahun 1976. Sumber : Buku Kongres Pertama PDI.

Gambar 3 : Suasana Kongres PDI tahun 1986. Sumber : Tempo.


(3)

Gambar 4 : Para intelektual yang bergabung dengan Balitbang PDI. Sumber : Tempo.


(4)

Gambar 6 : Kampanye PDI dengan membawa poster-poster partai dan gambar Bung Karno.

Sumber : Tempo.

Gambar 7 : Kampanye PDI yang diramaikan tukang becak. Sumber : Tempo.


(5)

Gambar 8 : Spanduk PDI untuk merangkul umat Islam. Sumber : Tempo.

Gambar 9 : Ketua Umum PDI, Soerjadi, membakar semangat massa pendukung PDI dalam kampanye Pemilu 1987 di Parkir Timur Senayan.


(6)

Gambar 10 : Kampanye PDI putaran terakhir dalam menghadapi Pemilu 1987, dihadiri massa yang sangat ramai.