Persoalan Identitas Partai Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992

Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. propinsi maupun di kabupatenkota. Hal ini ditandai dengan aksi-aksi pendudukan kantor partai. 65 Dengan latar belakang ideologi dan sejarah pembentukan yang berbeda- beda, PDI sulit menjadi partai yang solid dalam hal identitas partai. Misalnya sangat sulit menyatukan Partai Murba yang sosialis dengan Partai IPKI yang berwatak militer, tentu cara berpikirnya berbeda. Begitu juga antara Parkindo dan Partai katolik, meskipun kitab sucinya sama tapi berbeda secara historis. Sehingga sulit mengakomodir tokoh-tokoh dari masing-masing partai dari pusat sampai ke kabupatenkota. Apabila ada kelompok yang dominan, maka sering terjadi konflik. Artinya di tingkat daerah pun sudah terjadi perpecahan partai yang membagi kader-kadernya menjadi dua kubu.

3.2 Persoalan Identitas Partai

66 65 Wawancara dengan Noerwahid, Juli 2009. 66 Wawancara dengan Zakaria Bangun, 27 September 2009. Ini mengakibatkan PDI bukan saja kehilangan elemen perekat yang dapat menyatukan, melainkan juga mempengaruhi performa PDI di muka massa pemilihnya. Meskipun demikian, PDI bukan tidak melakukan usaha memperjelas identitas partainya. Misalnya mengangkat kembali identitas dan atribut-atribut yang pernah dipakai oleh PNI sebagai partai yang dominan di dalam PDI. Dipakainya simbol kepala banteng, warna merah dan hitam, dan dimunculkannya kembali Soekarno saat kampanye pemilu. Penggunaan gambar Soekarno pada setiap kampanye PDI kemudian dilarang pada tahun 1987, karena berdasarkan UU No. 3 dan 8 Tahun 1985 setiap ormas dan orsospol harus berasaskan Pancasila. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. Selain itu, penghadiran kembali figur Soekarno juga dilakukan dengan menampilkan keluarga Soekarno dalam PDI. Itu dilakukan dengan merekrut anak- anak Soekarno untuk menjadi kader PDI. Meskipun pada awalnya ada semacam kesepakatan di antara anak-anak Soekarno untuk tidak terlibat dalam politik praktis, namun kesepakatan itu dilanggar dengan masuknya Megawati Soekarnoputri dan suaminya, Taufik Kiemas serta Guruh Soekarnoputra menjadi kader PDI yang kemudian mengantar mereka menjadi anggota DPR F-PDI. Masuknya anak-anak Soekarno ke PDI ini dikelola dengan manajemen modern. Menurut Zakaria Bangun, manajemen Soerjadi-Nico adalah manajemen paling baik dalam sejarah PDI. Pengidentikan PDI dengan PNI menimbulkan persoalan baru buat PDI. Di satu sisi, pengidentikan itu menguntungkan, karena dapat mempertahankan dan menarik massa pemilih PNI. Namun, di sisi lain menimbulkan rasa cemburu di kalangan unsur non-PNI. Kecemburuan itu terlihat, misalnya, dari hengkangnya kader PDI Madiun dari unsur Partai Katolik pada tanggal 20 November 1981. Alasannya, mereka merasa adanya mayoritas yang dominan dan merugikan unsur minoritas. Bahkan Frans Seda, salah seorang tokoh Partai Katolik, secara tersirat mengatakan keinginannya memisahkan diri dari PDI. Ia mengemukakan perlunya jumlah orospol di Indonesia dari tiga menjadi lima buah. Rinciannya, satu Golkar, dua partai nasionalis, dan dua partai agama, meskipun gagasan ini akhirnya hilang dengan sendirinya. 67 Bagi pendukung setia Soekarno, pengidentikan PDI dengan PNI ini hanya berarti “pemanfaatan karisma Soekarno untuk kepentingan-kepentingan politik 67 Adriana Elisabeth Sukamto, dkk, Op.cit., hlm. 70-71. 48 Ibid., hlm. 72. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010. sesaat”. Karena, menjalankan ajaran Sukarno secara bulat-bulat adalah suatu kemustahilan. Artinya, PDI hanya memakai nama besar Sukarno unyuk kepentingan jangka pendek dan itu merupakan sikap oportunistik. Sedangkan bagi pemerintah, pengidentikan ini akan berarti “pengekalan” sisa-sisa Orde Lama dan cap seperti itu bukanlah sesuatu yang menguntungkan buat PDI. 68 Dengan kesulitan mencari identitas diri itulah PDI kemudian, pada tahun 1981, merumuskan identitas partai sekaligus simbol statusnya. Formula itu ialah “partai yang memiliki karakter dan kualitas demokrasi Indonesia, nasionalisme Indonesia dan keadilan sosial”. Tentu saja formula yang abstrak ini tidak membawa dampak langsung buat PDI. Baru belakangan, ketika formula itu dioperasionalkan ke dalam sejumlah manifestasi, seperti mengidentikkan PDI sebagai “wong cilik”, membawa dampak buat penegasan identitas PDI. Dua konsekuensi fusi PDI seperti yang telah dijelaskan di atas konflik intern dan persoalan identitas partai, ternyata masih dimatangkan oleh faktor eksternal, yang juga menjadi latar kehidupan PDI dan parpol secara keseluruhan. Faktor eksternal itu ialah keberadaan sejumlah peraturan perundang-undangan tentang pemilu dan organisasi sosial politik yang hampir sama sekali tidak menguntungkan kehidupan parpol – dan di dalamnya termasuk sikap birokrasi yang cenderung “mempersempit” ruang gerak parpol. Undang-undang, seperti UU tentang asas tunggal ataupun massa mengambang, di satu pihak menjamin berlangsungnya pembangunan ekonomi makro Indonesia, karena ada jaminan stabilitas, tetapi di lain pihak telah mengebiri, untuk tidak mengatakan mematikan, aktivitas partai politik. Jhon Rivel Purba : Fusi PDI: Masalah Yang Dihadapi Serta Keberhasilannya Dalam Pemilu 1987 Dan 1992, 2010.

3.3 Perundang-undangan Yang Mengebiri Partai Politik